sektor

RCN

Senin, 03 November 2008

"SEJARAH FORSIS"


Tentang FORSIS


FORSIS kepanjangan dari Forum Silaturahmi Santri, Forsis lahir dari pemikiran tiga intelektual muda, Drs. Priyo Budi Santoso, Drs. Syaiful Bahri Anshari dan M. Shoim Haris S.Ag. Menurut ketiga tokoh ini kehadiran Forsis seakan menjawab keraguan beberapa pihak bahwa santri tidak bisa membangun sebuah organisasi demokratis dan visioner. FORSIS didirikan di Jakarta pada tanggal 1 Muharram 1928 H yang bertepatan dengan tanggal 20 Januari 2007 M dan FORSIS berasaskan Pancasila.





Gagasan ini berawal dari pemikiran sederhana “negara harus ada yang menolong”. negara bukannya kekurangan pemimpin tapi negara kekurangan pemimpin yang mau menolong. Kebanyakan para pemimpin negara cenderung dengan problemnya sendiri-sendiri, padahal negara sedang menuju kehancuran, terutama dari sisi ekonomi. Dan apabila tidak dicarikan solusinya maka akan berimplikasi luas, bisa saja Indonesia “BUBAR”.



Dari sebuah pemikiran sederhana, apabila dibiarkan begitu saja tanpa suatu proses yang diarahkan untuk memperbaiki, negara akhirnya akan mengalami kebangkrutan karena warga negara dan entitas yang menjadi penopang tidak lagi mampu menopang beban berat negara. Dengan pengertian lain negara harus ada yang menolong. Bagaimana dan dari mana memulainya, membangun dengan seluruh sumberdaya yang dimiliki memang sangat bagus akan tetapi hal itu tidak mungkin mengingat power yang terbatas. Mandeknya pembangunan “bagaimana para santri bisa menjadi kekuatan ekonomi” di samping sebagai kekuatan politik. Mampu berkembang sesuai dengan perkembangan jaman yang cepat berubah, mengingat besarnya jumlah santri di Indonesia, kegelisahan mengerucut pada satu gagasan kekuatan santri apabila digabungkan dan disatukan suatu hari mereka akan menjadi kekuatan yang menentukan dalam kehidupan pembangunan negara.



Pemerintahan sipil yang kuat memang harus kita bangun dengan kuat karena yang demikian merupakan amanah demokrasi. Santri dengan segala keunikannya, kepatuhan yang mendalam terhadap nilai-nilai tradisi telah membuka mata kita akan potensi yang tinggi di dalam proses ke-Indonesia-an. Dimana proses tersebut terus menerus menginginkan pembaharuan gagasan terutama dalam bangunan ideologi. Dalam proses ini santri harus kita akui sebagai kekuatan lokal yang masif. Santri bersama rakyat telah mampu membangun bangunan kokoh adat istiadat yang mapan. Walaupun oleh sejumlah pihak sering dicurigai. Santri juga telah memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam proses mengusir penjajah dari Tanah Air.



Idioms ‘santri’ merupakan Khas Indonesia. Clifford Geerzt membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok; Santri, Abangan dan Priyayi. Meskipun tesis ini banyak yang membantah tidak relevan dengan kondisi aktual, namun wacana Gert ini merupakan wacana klasik yang tetap menjadi rujukan. Sedangkan kata santri menunjuk pada seseorang yang menimba ilmu di Pondok Pesantren –sebuah institusi pendidikan keagamaan yang khas Indonesia–.



Kekuatan santri tersebar hampir di setiap strata sosial, secara geografis santri tersebar mulai dari pedesaan sampai di perkotaan. Penyebaran profesionalisme santri di Indonesia tercatat sangat beragam mulai dari pedagang, petani, nelayan, birokrat dan politisi. Umumnya mereka sukses di dalam menjaga nilai-nilai tradisi agama. Dan sekali lagi dalam banyak hal mereka merupakan agen-agen penjaga tradisi yang sukses. Salah satu buktinya adalah peran mereka di dalam menjaga nilai-nilai religius di Indonesia.



Seiring dengan perubahan jaman makna santri turut mengalami perkembangan. Kaum santri saat ini tidak hanya mereka yang pernah ngaji di pesantren, namun juga mereka yang setia menjalankan syariat agama yang kini telah menyebar dan berumah di mana-mana. Santri tidak lagi identitk dengan peci dan sorban. Baju politisi, ekonom, tehnokrat, intelektual-cendikiawan dan budayawan telah banyak dikenakan oleh kalangan santri. Itulah sebabnya santri dilihat sebagai ’kekuatan baru’ yang mesti diperhitungkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.



Seiring dengan derap perkembangan jaman Pondok Pesantren juga mengalami pergeseran di tengah perubahan. Begitu juga model pendidikan yang dikembangkannya juga mengalami modifikasi-modifikasi dalam merespon perubahan jaman. Saat ini Alumni Pesantren telah banyak terserap dalam semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun secara umum, lulusan Pesantren masih dianggap sebelah mata. Namun dalam kesempatan yang sama, idealisasi Pesantren sebagai pendidikan alternatif di tengah kenakalan dan kriminalitas remaja semakin menguat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masuk