sektor

RCN

Minggu, 01 November 2009

FIQH DAN REAKTUALISASI AJARAN ISLAM

Oleh : Atho' Mudzhar

Sedikitnya ada empat macam produk pemikiran hukum Islam yang kita kenal dalam perjalanan sejarah Islam, yaitu: kitab-kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundangan di negeri-negeri Muslim. Masing-masing produk pemikiran hukum itu mempunyai cirri khasnya tersendiri, karena itu memerlukan perhatian tersendiri pula.
Fatwa-fatwa ulama atau mufti, sifatnya adalah kasuistik karena merupakan respon atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam arti si peminta fatwa tidak harus mengikuti isi/hukum fatwa yang diberikan kepadanya, tapi fatwa biasanya cenderung bersifat dinamis karena merupakan respon terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat si peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tapi sifat responsifnya itu yang sekurang-kurangaya dapat dikatakan dinamis.
Jenis produk pemikiran Islam yang kedua, adalah keputusan-keputusan pengadilan agama. Berbeda dengan fatwa, keputusan-keputusan pengadilan agama ini sifatnya mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara, dan sampai tingkat tertentu juga bersifat dinamis karena merupakan usaha memberi jawaban atau menyelesaikan masalah yang diajukan ke pengadilan pada suatu titik waktu tertentu.
Jenis produk pemikiran hukum ketiga, yaitu peraturan perundangan di negeri Muslim. Ini juga bersifat mengikat atau mempunyai daya ikat yang lebih luas. Orang yang terlibat dalam perumusannya juga tidak terbatas pada para fuqaha atau ulama, tapi juga para politisi dan cendekiawan lainnya.
Jenis produk pemikiran hukum keempat, ialah kitab-kitab fiqh yang pada saat di tulis pengarangnya, kitab-kitab itu tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri, meskipun dalam sejarah kita mengetahui, beberapa buku fiqh tertentu telah diperlakukan sebagai kitab undang-undang. Kitab-kitab fiqh ketika ditulis juga tidak dimaksudkan, untuk digunakan pada masa atau periode tertentu. Dengan tidak adanya masa laku ini, maka kitab-kitab fiqh cenderung dianggap harus berlaku untuk semua masa, yang oleh sebagian orang lalu dianggap sebagai jumud atau beku alias tidak berkembang. Selain itu kitab-kitab fiqh juga mempunyai karakteristik lain. Kalau fatwa dan keputusan pengadilan agama sifatnya kasuistik yaitu membahas masalah tertentu-- maka kitab-kitab fiqh sifatnya menyeluruh dan meliputi semua aspek bahasan hokum Islam. Sebagai salah satu akibat dari sifatnya yang menyeluruh ini, maka perbaikan atau revisi terhadap sebagian isi kitab fiqh dianggap dapat, atau akan mengganggu keutuhan isi keseluruhannya. Karena itu kitab-kitab fiqh cenderung menjadi resisten terhadap perubahan.
Inilah kedudukan kitab fiqh sebagai salah satu bentuk produk pemikiran hukum Islam dan karakteristik serta kecenderungan-kecenderungannya dibanding dengan produk-produk pemikiran hukum lainnya: fatwa, keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundangan negeri Muslim. Dengan cara meletakkan fiqh pada proporsinya yang demikian itu maka diharapkan kita akan memperlakukannya secara proporsional pula, seperti pertama, fiqh hanyalah salah satu dari beberapa bentuk produk pemikiran hukum Islam. Kedua, karena sifatnya sebagai produk pemikiran, maka fiqh sebenarnya tidak boleh resisten terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian. Dan ketiga, membiarkan fiqh sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan masa lakunya, adalah sama dengan menghalalkan produk pemikiran manusia yang semestinya temporal.

Sikap Muslim Terhadap Fiqh
Setelah kita melihat bagaimana seharusnya memandang fiqh, sekarang kita lihat bagaimana dalam kenyataan, masyarakat memandang fiqh. Gambaran ini diperlukan, sebelum kita mencoba memberi analisa lebih jauh tentang mekanisme kerja fiqh, dan saran-saran pemecahan masalahnya, dalam rangka reaktualisasi ajaran Islam.
Pada umumnya masyarakat Islam, khususnya masyarakat Islam Indonesia, memandang fiqh identik dengan hukum Islam, dan hukum Islam dipandang identik dengan aturan Tuhan. Sebagai akibatnya, fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri. Dengan cara pandang itu, maka kitab-kitab fiqh dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa dirubah maka kitab-kitab fiqh bukan saja dipandang sebagai produk keagamaan, tapi sebagai buku agama itu sendiri. Akibatnya, selama berabad-abad fiqh menduduki tempat yang amat terpandang sebagai bagian dari agama itu sendiri, dan bukan bagian dari produk pemikiran keagamaan.
Akibat lebih lanjut dari kedudukan fiqh yang diidentikkan dengan agama itu, maka orang yang menguasai fiqh yang biasanya disebut fugaha, juga mempunyai kedudukan tinggi, bukan saja sebagai orang yang memaklumi produk pemikiran keagamaan tapi sebagai penjaga hukum agama itu sendiri. Secara sosiologis kedudukan demikian itu memberi hak-hak istimewa dan peranan tertentu kepada fuqaha pada lapisan sosial tertentu, yang pada gilirannya akan mempengarahi cara pandang dan cara piker fuqaha itu sendiri. Ketika seorang faqih dari suatu masa menuliskan tintanya menjadi kitab fiqh, maka sebenarnya itu tidak terlepas dari cara pandang dan cara pikirnya yang sebagian atau seluruhuya diwarnai oleh kedudukan sosialnya tadi.
Di sini, sebenarnya terjadi siklus yang menarik diamati: bahwa untuk menjaga dan memeliharanya, fiqh memerlukan penjaga yang disebut faqih atau fuqaha, dan untuk memelihara status diri mereka, maka para fuqaha memerlukan kehidupan fiqh yang tinggi. Kadang-kadang fiqh yang dipeliharanya itu adalah produk para pendahulunya, tapi kadang-kadang juga produksinya sendiri. Ironisnya, produk-produk pemikiran fiqh itu dianggap sebagai identik dengan hukum Tuhan itu sendiri, sebagaimana telah disebutkan di muka. Demikian kesalahpahaman yang terjadi di kalangan sementara orang Islam, tidak terkecuali di Indonesia, dalam memandang fiqh. Kekeliruan ini rasanya perlu diperbarui dan dibetulkan, dan untuk itu terlebih dahulu perlu dipahami faktor-faktor apa sebenarnya mengakibatkan kekeliruan tersebut.

Empat Pasangan Pilihan
Terdapat sejumlah pasangan pilihan yang dapat mempengaruhi pandangan seseorang tentang fiqh, empat diantaranya akan disebutkan dan diuraikan di sini. Keempat pasangan pilihan tersebut ialah sebagai berikut:
1.Pilihan Wahyu dan Akal
Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam kita mengetahui, terdapat dua aliran besar di kalangan para pendiri madzhab, dalam hal porsi penggunaan akal, dalam mencoba memahami dan menjabarkan ajaran Islam tentang hukum. Kelompok pertama adalah mereka yang mengutamakan penggunaan hadits dalam memahami ayat-ayat Qur'an dan kelompok kedua, adalah mereka yang mengutamakan penggunaan akal. Kelompok pertama kemudian dikenal dengan ahl al-hadith dan kelompok kedua disebut ahl al-ra'yi. Kelompok pertama terutama berkembang di Madinah, dan dipelopori Imam Malik bin Anas dan kelompok kedua berkembang di Kufah dan Baghdad, dipelopori Imam Abu Hanifah.
Kedua aliran ini telah menghasilkan kitab-kitab fiqh yang berbeda. Kitab-kitab fiqh hasil kelompok pertama lebih memberi tempat kepada hadits-hadits meskipun lemah, sedangkan kelompok kedua menghasilkan kitab-kitab fiqh yang bersifat rasional. Imam Syafi'i sebenarnya telah berusaha menjembatani kedua kelompok itu, tapi tidak sepenuhnya berhasil, karena beliau sendiri pada akhirnya lebih memihak pada kelompok pertama.
Jadi sejak awal pertumbuhannya telah ada pihak-pihak yang berpendirian, aturan yang disebut hukum Islam itu tidak boleh terkena intervensi akal manusia karena hukum Islam itu adalah kebenarannya mutlak yang hanya diatur dengan wahyu. Meskipun pandangan ini bersifat utopis karena kenyataan, jumlah ayat al-Qur'an mengenai hukum itu hanya sedikit sekali (kurang lebih 276-500 ayat), dan karenanya tidak meliput semua aspek kehidupan manusia, apalagi aspek-aspek kehidupan yang merupakan produk perkembangan zaman modern, tapi pandangan ini telah mempunyai pengaruh dalam memberikan label bahwa produk pemikiran fiqh itupun merupakan upaya menafsirkan kehendak Tuhan yang bersifat abadi dalam bidang hukum. Inilah yang menyebabkan lahirnya pandangan yang telah membiarkan fiqh sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan masa lalu dan cenderung mengekalkan produk pemikiran manusia yang semestinya temporal dan liable terhadap perubahan. Kesalahan dalam melakukan pilihan antara wahyu dan akal, atau lebih tepatnya kesalahan dalam memberikan porsi peranan wahyu dan akal ternyata telah membawa pada kejumudan fiqh itu sendiri yang justru meliputi sebagian terbesar dari aturan hukum Islam yang ada. Satu kitab fiqh dapat ditulis dalam berpuluh-puluh jilid, sementara wahyu yang mendasarinya hanya beberapa ratus ayat saja. Tentu saja selebihnya adalah produk penafsiran dan pemikiran manusia. Tapi karena hukum Islam dipandang identik dengan fiqh, maka kitab fiqh yang berpuluh-puluh jilid itupun menjadi tabu mendapatkan revisi. Jadi, kesalahan dalam melakukan pilihan yang tepat antara porsi peranan wahyu dan akal telah mempunyai dampak yang serius dalam sejarah perkembangan --atau lebih tepatnya ketidak-berkembangan fiqh.
2.Pilihan Kesatuan dan Keragaman
Pasangan pilihan kedua adalah, antara hukum Islam sebagai kesatuan dan hukum Islam sebagai keragaman. Hukum Islam sebagai kesatuan artinya, karena hukum Islam itu adalah hokum Tuhan maka semestinya hukum Islam itu hanya ada satu macam saja untuk seluruh umat manusia, untuk seluruh umat Islam di dunia. Tapi pada kenyataan kita melihat, fiqh yang dipandang identik dengan hukum Islam itu bermacam-macam. Kita mengetahui terdapat berbagai madzhab dalam fiqh. Sekarang kita melihat madzhab-madzhab itu sebagai aliran-aliran dalam hukum Islam, tapi dulunya lebih merupakan ekspresi lokal. Demikianlah perkembangan hukum Islam. Orang harus melakukan pilihan antara pandangan yang mengatakan hukum Islam itu universal, dengan pandangan yang mengatakan hukum Islam itu partikular . Kita mengetahui dalam sejarah, bahwa pandangan pertama telah mendominasi benak kaum Muslim selama berabad-abad, dan sebagai hasilnya fiqh selalu resisten terhadap perubahan.
Bagi kita kaum Muslim Indonesia, lebih ironis lagi. Hukum Islam yang dianggap universal itu sebenarnya adalah produk fuqaha dari suatu lingkungan kultur tertentu, dan dari suatu masa tertentu di masa silam. Kitab-kitab fiqh yang kita pelajari sekarang di Indonesia ini, dan sebagian diterjemahkan atau disadur dalam bahasa Indonesia, adalah kitab-kitab fiqh yang ditulis lima atau enam abad yang lalu, dan merupakan ekspresi dari kultur tertentu di sekitar Timur Tengah. Jadi, selain sudah tua, kitab-kitab fiqh yang kita pelajari itu mengandung ekspresi lokal di Timur Tengah sana. Artinya kitab-kitab fiqh itu partikularistik. Tapi justru kitab-kitab yang dipandang sebagai hukum Islam itu di Indonesia dipandang universal tadi. Begitulah, mengidentikkan fiqh dengan hokum Islam yang universal, telah mengakibatkan mandeknya perkembangan fiqh, seperti yang kita saksikan selama ini.
3.Pilihan Idealisme dan Realisme
Pasangan pilihan ketiga yang telah mempengaruhi perkembangan fiqh adalah pilihan antara idealisme dan realisme, antara cita-cita dan kenyataan. Kita mengetahui dari sejarah, bahwa kitab-kitab fiqh itu pada umumnya ditulis para fuqaha, jurist, atau para ahli hukum, dan bukan oleh para hakim di pengadilan agama. Bahkan kita mengetahui banyak fuqaha menolak jabatan qadi atau hakim, meskipun untuk itu mereka harus masuk penjara. Ini berarti --sejarah telah membuktikannya-- fiqh pada umumnya dirumuskan para teoritisi belakang meja daripada praktisi di lapangan. Sebagai akibatnya, fiqh yang dihasilkannya lebih mengekspresikan hal-hal yang ideal daripada real, lebih menekankan segala sesuatunya pada hal-hal yang maksimal daripada minimal.
Akibat lain dari pilihan atas idealisme daripada realisme itu, ialah: fiqh semakin hari semakin jauh dari kenyataan masyarakat. Ini telah terjadi pada saat kitab fiqh itu dituliskan, apalagi ketika kitab-kitab fiqh itu menjadi remote dari masyarakat yang mengamalkannya, baik remote waktu maupun tempat.
4.Pilihan Stabilitas dan Perubahan
Pasangan pilihan keempat adalah pilihan stabilitas dan perubahan. Pasangan pilihan ini sebenarnya tidak sepenuhnya berdiri sendiri, melainkan akibat lanjutan dari pilihan pada pasangan-pasangan sebelumnya. Karena hukum Islam harus hanya ada satu, maka secara konseptual hukum Islam tidak menerima adanya variasi. Dari dimensi waktu, ini berarti hukum Islam itu harus stabil, statis, dan tidak boleh mengalami perubahan. Sebagai akibatnya kitab-kitab fiqh menjadi beku, dan resisten terhadap perubahan.
Kebekuan fiqh itu, sebagaimana disebutkan di muka, telah berlangsung selama berabad-abad. Baru pada abad ke-19 terdengar suara-suara untuk melakukan perubahan terhadap fiqh yang ada. Beberapa negeri Muslim setelah pertemuan yang pahit dengan peradaban Barat, mulai mencoba melakukan revisi terhadap fiqhnya, dengan mengintrodusir dan memperbaharui peraturan perundangan, khususnya dalam hal hukum keluarga. Hal ini terjadi di Tunisia, Mesir, Siria, dan Irak. Bahkan Saudi Arabia pun dalam banyak hal telah mulai melakukan suplemen terhadap hukum-hukum fiqh Hambali yang umumnya terlalu literalis.

Langkah-Langkah Reaktualisasi
Uraian di atas dapat disimpulkan: Kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini adalah karena kekeliruan menetapkan pilihan dari pasangan-pasangan pilihan tersebut di atas, atau sekurang-kurangnya kekeliruan dalam menentukan bobot masing-masing pilihan itu. Fiqh telah dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal daripada sebagai ekspresi keragaman partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam bentuk cita-cita daripada sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara realis. Fiqh juga telah memilih stabilitas daripada perubahan. Semua itu, telah mengakibatkan kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini.
Jika kita hendak mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam, khususnya dalam bidang hukum, dan lebih khusus lagi dalam bidang fiqh, maka kita harus membalik pilihan-pilihan tersebut di atas. Kita harus memandang fiqh sebagai produk dominan akal ketimbang wahyu, dan karenanya boleh diotak-atik, dirubah atau bahkan dibuang pada setiap saat. Fiqh harus dipandang sebagai varian suatu keragaman yang bersifat partikularistik yang terkait dengan tempat dan waktu. Fiqh harus dikembangkan dari yurisprudensi pengadilan yang bertumpu pada realisme. Pendek kata, fiqh harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tak henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya karena toh pada akhirnya fiqh itu hanya menyangkut soal cabang dari agama. Tapi untuk melakukan pilihan-pilihan yang tepat diperlukan beberapa syarat, sedikitnya ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat Muslim. Kedua, adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan pilihan tersebut di atas. Dan ketiga, memahami faktor-faktor sosiokultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran hukum itu. Dengan demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan sendirinya harus dirubah. Dengan demikian dinamika hukum Islam dapat terus dijaga dan dikembangkan.

Daftar Kepustakaan
Atho' Mudzhar, Catatan-catatan kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam pada Fakultas Pasca Sarjana, IAIN Jakarta, 1990/1991.
Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Law (The University of Chicago Press, Chicago, 1969).
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the Orientalists (Islamic Publications Ltd., Pakistan, 1977).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masuk