sektor

RCN

Minggu, 01 November 2009

PERANG PARA JENDERAL (Telaah Kritis PILPRES 2009)

Oleh : Agus Riza Hisfani

Pilpres 2009 akan dihelat Rabu, 08 Juli 2009. Sepuluh tahun lalu public begitu anti Orde Baru yang diidentikkan dengan kebencian terhadap militer. Namun, aspirasi politik public luas berubah cepat pada Pilpres 2004. SARS (Saya Rindu Akan Soeharto) bermunculan disetiap perbincangan rakyat disudut-sudut kampung hingga perkotaan. Nuansa KTA (Kenyang, Tenang dan Aman) menjadi harapan masyarakat luas. Hal ini, dibuktikan dengan kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2004. meskipun partai Demokrat hanya memperoleh 7% kursi di parlemen. Namun, duet SBY dan JK mampu meninggalkan jauh rival terdekatnya yaitu Megawati dan Hasyim Muzadi yang diuntungkan dengan posisi incambean.
Lima tahun sudah SBY dan JK memimpin Indonesia yang disambut dengan gelombang tsunami serta konsistensi oposisi dari kubu PDIP. Peta politik Pilpres 1999, 2004 dan 2009 memiliki suasana yang berbeda, 1999 anti militer. 2004, greatd militer pelan tapi pasti mulai pulih dan 2009 insting politik militer benar-benar berada pada puncaknya. Tidak tanggung-tanggung tiga mantan jenderal masuk dalam bursa capres dan cawapres.
Sebut saja Wiranto, dam Pilpres 2004 yang mampu mengalahkan Akbar Tanjung dalm konvensi Capres dari partai Golkar yang kemuydian lending menjadi capres dari partai Golkar pada pilpres 2004. kini Wiranto menjadi Cawapres dari partai Hanura yang berpasangan dengan JUsuf Kalla dari partai Golkar. Kemudian ada Prabowo Subianto yang sempat hilang dalam perpolitikan Nasional pasca tragedy kudeta Soeharto 1998. Prabowo Subianto tiba-tiba muncul melalui HKTI dan Gerindra dengan memadati iklan dimedia. Meskipun partainya baru, namun Gerindra mampu menawarkan nuansa yang berbeda pada public. Rapinya barisan yang dibuat oleh Prabowo Subianto-pun mampu membawa partainya masuk dalam parlemen threshold. Harga jual Prabowo Subianto naik, hingga mampu masuk sebagai wapres bergandengan dengan megawati dari PDIP. Yang terakhir. Namu paling fenomenal adalah Susilo Bambang Yudhoyono. 2004, partatai Demokrat bermodalakan 7% suara di Parlemen, SBY mampu manjadi presiden RI satu0satunya yang bertahan hingga akhir jabatannya pasca presiden Soeharto. Namun partai Demikrat kini diatas angina dengan menduduki perinkat puncak perolehan 26% suara diparlemen dalam Pileg 2009. dengan kekuatan tersebut SBY diunggulkan dibandingkan denga para jenderal yang lain.
Nuansa perang terbuka purnawirawan jenderal dalam pilpres 2009. Tidak ada lawan dan kawan abadi didunia politik. Terbukti dengan bersatunya Wiranto dan Prabowo Subianto dalam mengkritisi kasus DPT pada Pileg 2009. Meskipun dimasa lalu keduanya besitegang dalam mengambil perhatian Soeharto. Wiranto mengklaim bahwa Prabowo yang bertanggungjawab atas kejadian trisakti dan semanggi. Begitu pila Prabowo,. Mengklaim bahwa peristiwa 1998 tersebut adalah keteledoran Wiranto sebagai Pangab. Puncaknya, keduanya salng serang secara terbuka mlalui penerbitan kedua buku mereka.
Perang para jenderal dalam Pilpres 2009 akan menjadi arus balik dari gerakan Pilpres 1999 yang anti militer. Posisi Wapres Wiranto dan Prabowo Subianto dari capres sipil (JK dan Megawati) akan melakukan berbagai manuver-manuver bersama untuk mengubur SBY. Hal ini terlihat bagaimana koalisi SBY (PD, PKB, PAN, PKS, PPP) mulai digoyang melalui instrument hak angket DPT dilegislatif. Masing-masing partai koalisi SBY (PKB, PAN, PKS, PPP) pindah alur koalisi. Sinyal retaknya koalisi yang dibangun SBY terlihat dari mangkirnya anggota koalisi dalam voting kebijakan hak angket DPT.
Dari 203 anggota dewan. 69 dewan yang menolak hak angket DPT (FPD : 43, FPKS : 21, FPBR : 5), sedangkan yang setuju dengan hak angket DPT 137 anggota dewan (FPG : 34, FPDIP : 58, FPPP : 11, FPAN : 3, FBPD : 6, FPKB : 16, FPDS : 1) jelas sudah keretakan yang dibangun SBY.
Aliansi politik jangka panjang yang digagas oleh Taufiq Kiemas (PDIP) tahun 2004 sebagaimana koalisi yang digagas oleh Tengku Abdul Rahman di Malaysia antara Partai Komunitas Melayu (UMNO), Partai Komunitas China (Malaysian Chinese Asociation), dan Partai Komunitas India (Malaysian Indian Congress) bersatu dalam koalisi kaki tiga.
Stabilitas politik Malaysia yang multi partai sejak 1950-an, justru terjadi setelah kuatnya koalisi politik jangka panjang yang menduduki tahta sejak tahun 1959. nuansa maneuver kepentingan politik personal partai tidak ditemukan saat koalisi politik jangka panjang tersebut terwujud di Malaysia.
Model aliansi politik jangka panjang bisa kita terapkan di Indonesia. Namun, segmentasi politik kita bukan Melayu, Cina dan India sebagaimana di Malaysia. Segmentasi terbesar di Indonesia terbalut dalam status agama. Bukan etnis sebagaimana Malaysia. Jumlah 85% penduduk muslim merupakam segmentasi terbesar. Sebagian muslim Indonesia adalah abangan. Mereka menjadi potensial politik nasionalis seperti PDIP, PD, PG, GERINDRA dan HANURA. Sebagian lagi adalah Islam menstream dari basis NU dan Muhammadiyah yang cenderung memilih PKB, PAN atau PPP. Sedangkan bagian terkecil dari komunitas muslim terakhir adalah aspirasi politik Islam model piagam Jakarta yang hanya dimiliki PKS.
Koalisi politik SBY dengan menggandeng dari segmentasi Islam tersebut sudah dilakukan dengan membentuk koalisi politik antara PD, PKB, PKS, dan PAN. Namun, platform personal SBY sendiri yangjustru menghancurkan rencana koalisi jangka panjang tersebut. Hal ini terlihat dari protes jilid I atas kebijakan SBY dengan memilih Budiono sebagai Capres. Protes jilid II dilakukan oleh anggota dewan melalui mangkir dalam voting hak angket DPT. Yang pasti masih akan terjadi protes jilid lanjutan. Karena kebikjakan koalisi politik SBY yang arogan.
Arogansi kebijakan koalisi politik SBY dalam koalisi yang dia bangun ditambahi dengan serangan dua jenderal yang kini menjadi rivalnya dalam Pilpres 2009. mungkinkah elit politik partai akan mengambil langkah koalisi tiga kaki seperti di Malaysia. Ketika masing-masing partai yang masuk dalam lingkarannya harus mengenyampigkan perolehan kursi di Legislatif? Atau memang system koalisi politik di Indonesia lebih cocok sebagaimana primery league di Inggris dengan system klasemen (gambaran koalisi politik Orde Lama), atau champion league dengan system cup (Gambaran Orde Baru). Tapi yang pasti tidak sama seperti pertandingan sepak bola atau jangan-jangan politikus bangsa ini memang hobi main dan nonton sepak bola. Hingg koalisi partai dari 1950 hingga 2009 masih memakai system koalisi politik jangka pendek yang bernuansa transaksional. Poembagian kursi/ jabatan lebih didahulukan dari pada transaksi ide dan gagasan demi stabilitas politik bansa yang menentukan arah keadilan dan kesejahteraan bangsa..!

Buku Bacaan

1.Deny J.A., Melewati Perubahan : Sebuah Catatan Atas Transisi Demokrasi Indonesia, Yogyakarta; LKiS, Cet. I, 2006.
2.Abd. Jalil Ahmad, Koalisi Ideal Dalam Trias Politika Indonesia, Jakarta; LSaK, Cet. VII, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masuk