sektor

RCN

Selasa, 24 Agustus 2010

ISLAM SOCIAL SALVATION (Mempertanyakan kembali peran Islam sebagai agama arif)

oleh : Agus Riza Hisfani

Pembahasan Islam dalam wilayah teoritik, terlebih ada kata liberalisme pada dasarnya akan ditarik pada tema yang sangat seksis dan berbahaya karena didalam wacana pemikiran Arab kontemporer misalnya istilah Tafkir itu bertukar kata dengan Takfir. Jika tafkir berarti pemikiran, maka takfir berarti pengkafiran. Artinya dimana orang yang selalu berfikir (tafkir) untuk melakukan perubahan dan pembebasan atas keadaan yang ada selalu disudutkan dengan menyebutnya kafir (takfir). Namun penulis mencoba lepas dari bayang-bayang sejarah kelam dunia Islam yang lebih tepatnya dunia Arab dengan memberikan penilaian seobyektif mungkin dari temuan-temuan atas penelitian ini dengan mengedepankan keadaan muslim yang sudah plural.

Pluralitas dapat diartikan sebagai agama, kebangsaan, pandangan politik, yurisdiksi politik, dan pendapat perseorangan, yang kesemuanya berkumpul bersama di dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu, berbicara mengenai pluralisme di dalam masyarakat Muslim adalah berbicara mengenai kemerdekaan dan demokrasi. Di dalam konteks seorang Muslim, kemerdekaan dan demokrasi harus dipahami dalam kaitannya dengan tradisi dan warisan Arab, khususnya Islam, dan dalam cara di mana hal itu berhubungan dengan kejadian-kejadian yang ada di sekitar pembentukan sebuah negara pada abad ketujuh di Madinah. Negara ini didasarkan atas kebangkitan dari sebuah pesan Ketuhanan yang baru, yang melengkapi dan mengakhiri semua pesan Ketuhanan yang sebelumnya. Dari sudut pandang ini, masyarakat Arab bersifat kohesif, dengan konvensi, nilai-nilai moral, dan peradabannya sendiri.

Secara khusus, kita harus mengetahui bagaimana orang-orang pada saat itu bereaksi terhadap negara baru ini, dengan didasarkan atas kepentingan politik dan sosial mereka. Selama masa pemerintahan Nabi Muhammad, konflik kepentingan tidak terjadi secara terbuka. Dengan kematiannya, konflik secara cepat tumbuh pada suku-suku, keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok lainnya, setiap dari mereka mengklaim sebagai pengikut yang paling benar dari Nabi, dan juga mengklaim kebenaran absolut. Konflik-konflik ini terus berlangsung sampai sekarang di dunia Muslim-Arab, dan termanifestasi di dalam keberadaan dari sekte-sekte Muslim yang berbeda-beda.

Dari akhir abad kesembilanbelas sampai dengan sekarang, sebuah slogan populer telah didengarkan: "Islam adalah solusinya." Ini berarti bahwa Islam adalah satu-satunya petunjuk ke arah keselamatan, dan menawarkan satu-satunya jalan keluar dari krisis yang berbeda-beda. Islam itu sendiri adalah satu-satunya jalan untuk membangun sebuah masyarakat yang adil dan merdeka dengan kata lain, sebuah masyarakat Islam. Tetapi Islam yang manakah yang dimaksud? Apakah Islam-nya Al-Qur'an dan Nabi Muhammad, atau Islam yang tumbuh melalui banyak kejadian dan keadaan historis yang berbeda-beda? Solusi seperti apakah yang ditawarkan oleh Islam? Permasalahan-permasalahan apakah yang diandaikan dapat diselesaikan oleh Islam?

Di bawah keadaan yang seperti itu, masyarakat Muslim Arab telah terbagi ke dalam dua aliran. Kelompok yang pertama berpegang secara ketat kepada arti literal dari warisan, dalam rangka mempertahankan keutuhan karakter dan identitas nasional mereka. Dengan pertimbangan bahwa warisan tersebut menyimpan kebenaran absolut, mereka yakin bahwa apa yang cocok untuk komunitas pertama dari orang-orang yang beriman di zaman Nabi, juga cocok untuk semua orang-orang yang beriman di zaman apapun. Kepercayaan ini telah menjadi absolut dan final.

Di dalam keadaan sekarang ini, kepercayaan seperti itu sering didorong oleh kondisi politik dan ekonomi, di mana ketidakpuasan orang-orang terhadap status quo di banyak negara menggiring mereka untuk menerima slogan bahwa "Islam adalah solusinya." Kebanyakan dari kelompok ini menganggap parlemen dan pemilihan umum sebagai bagian dari bid'ah barat, dan bukanlah cara yang benar untuk memerintah sebuah negara Islam. Sebaliknya, mereka percaya bahwa hanya Allah yang menyediakan legitimasi untuk sebuah negara, yang mana berarti bahwa negara harus dikontrol, baik oleh kependetaan profesional (seperti pada kasus di Iran) atau oleh ulama (otoritas religius). Negara didasarkan atas sebuah legitimasi yang diambil dari warisan asli manusia, dan tidak tersentuh oleh perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu di bidang pemikiran politik. Teori politik mereka didasarkan atas Khalifah dan Imamah (yaitu, otoritas Islam yang unggul) serta ketaatan kepada para pembuat-kebijakan, dan tidak memiliki teori yang orisinil tentang kemerdekaan dan hak asasi manusia.

Kelompok yang kedua telah cenderung untuk menyerukan sekularisme dan modernitas, menolak kesemua warisan Islam, termasuk Al-Qur'an sebagai bagian dari tradisi yang diwarisi, yang hanya akan menjadi narkotik pada pendapat umum. Bagi mereka, ritual adalah sebuah gambaran mengenai ketidakjelasan. Memimpin di dalam kelompok ini adalah kaum Marxis, Komunis, dan beberapa kaum nasionalis Arab. Tetapi semua kelompok ini telah gagal di dalam memenuhi janji mereka untuk menyediakan modernitas kepada masyarakatnya. Mereka telah berusaha untuk membangun sebuah negara sekular yang memonopoli kebenaran, menghalangi ekspresi publik apapun mengenai pluralisme. Hal ini, bagaimanapun juga, adalah sebuah pemutarbalikan dari sekularisme, yang tidak membawa monopoli negara dalam bentuk apapun terhadap kebenaran.

Melalui pembacaan terhadap teks, kita sampai kepada kesimpulan yang relevan dengan aplikasi dari pada Al-Qur'an di dalam masyarakat kontemporer, khususnya dalam hubungannya dengan demokrasi dan pluralisme sebagaimana Prof. Dr. Haqqul Yaqin, Lc.,MA. Pertama, salah satu prinsip inti dari kaum Muslim adalah shura, yang berarti konsultasi. Ini adalah bagaimana cara Nabi berkonsultasi dengan para sahabatnya di dalam membuat kebijakan untuk masyarakatnya. Di dalam Al-Qur'an, shura disebutkan dua kali, sebagai keyakinan yang fundamental, sama seperti shalat, dan sebagai praktek, sesuai dengan zaman di mana seseorang hidup. Pada zaman kita, shura yang asli berarti sudut pandang pluralisme dan demokrasi yang asli.

Kedua, pandangan shura ini merubah konsep jihad, yang sering kita dengar dari kaum fundamentalis. Bukankah jihad hanya sah di dalam dua kasus: untuk mempertahankan tanah air, atau untuk berjuang meraih kemerdekaan dan keadilan. Tetapi apabila masyarakat diatur di dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh Tuhan, maka tidak perlu lagi untuk melawannya dengan jihad. Fundamentalis, lagi-lagi, mengacaukan antara batasan-batasan dengan persyaratan, dan oleh sebab itu, menyerukan jihad melawan masyarakat yang walaupun menghormati batasan-batasan Tuhan, tidak menganut pandangan mereka tentang persyaratan Tuhan.

Menyerang yang lain, dalam rangka untuk menyebarkan Islam adalah sebuah konsep jihad yang bersifat historis dan telah rusak, Islam ada di antara semua manusia, selama mereka percaya kepada Tuhan, hari akhir, dan perbuatan baik. Al-Qur'an mengatakan dengan jelas bahwa tidak diperbolehkan mengobarkan perang melawan siapa saja untuk memaksa mereka percaya kepada Muhammad, atau untuk menjadi Muslim. Al-Qur'an mengetahui bahwa sebagian besar orang di bumi tidak akan menjadi pengikut Nabi Muhammad; sekarang mereka berjumlah 20 persen dari keseluruhan penduduk dunia.

Seharusnya kita meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah. Kecenderungan untuk "me-monumen-kan" Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini.

Karenanya kita harus mengemukakan sejumlah pokok pikiran sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang cenderung membeku, menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri. Salah satu jalan menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini.

Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak. Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan mengikutinya. Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.

Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai "masyarakat" atau "umat" yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam. Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah urusan masing-masing agama.

Bagaimana meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran semacam ini? Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah). Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual. Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara "yang universal" dengan "yang partikular".

Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi. Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Jadi, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.

Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.

Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus di "lawan" adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu. Setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah "nilai generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran "Islam" bisa ada dalam filsafat Marxisme. Ada periode di mana umat beragama menganggap, "baju" bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini. Karenanya musuh semua agama adalah "ketidakadilan". Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan.

Misi Islam yang kita anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik, pendidikan dan ekonomi (tentu juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya amat bersifat furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan. Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada "hukum Tuhan" (nilai-nilai ketuhanan yang universal), tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, bidang pendidikan mengenal hukumnya sendiri dan seterusnya.

Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri. Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan. Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.

Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara "kami" dengan "mereka", antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara "Barat" dan "Islam"; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.

Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan "mereka". Gus Dur berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Quran. Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran "Kitab Suci" atau "Kitab-Tak-Suci", lembaran-lembaran pengetahuan yang dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.

Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)." Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini. Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.

Peradaban Islam pernah mengalami perkembangan pesat pada abad pertengahan. Karakteristik peradaban yang dikembangkan pada saat itu berlandaskan pada dua hal. Pertama, berkembangnya nilai-nilai masyarakat yang terbuka (open society) yang menghasilkan kontak dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Kontak kebudayaan ini kemudian melahirkan nilai-nilai baru yang modern dan egaliter. Kedua, perkembangan humanisme yang melahirkan perhatian terhadap masalah hubungan antarsesama manusia. Dalam perspektif ini manusia memiliki otoritas yang lebih luas dalam menentukan makna kehidupan dan peradabannya. Kedua nilai ini menjadi spirit dalam membangun peradaban yang modern.

Namun pada perkembangan berikutnya akar peradaban modern yang berbasis pada open society dan humanisme ini tidak berkembang baik di negara-negara Islam. Justru spirit ini telah diambil alih oleh negara Barat, sehingga sekarang mereka memimpin peradaban dunia. Sekarang spirit yang sama dikembangkan oleh negara-negara non-Barat yang non-Islam seperti India, China, Jepang, dan Korea. Mereka adalah negara modern baru yang mengembangkan peradaban Timur dengan memasukkan elemen-elemen tradisi Timur dengan elemen modernitas Barat menjadi peradaban modern baru yang berbasis pada induk budaya (mother culture) agama. India mengadopsi sistem pendidikan modern Barat yang liberal dan diterapkan secara masif di kelas-kelas sekolah. Tidak mengherankan jika India mengalami perkembangan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologinya. India juga mengadopsi sistem politik yang demokratis seperti Barat. Tetapi mengadopsi sistem modern Barat bukan sebagai tujuan akhir melainkan sebagai jalan yang efisien untuk mencapai tujuan hidup orang India yakni sampai pada pencerahan jiwa, perbaikan, peningkatan, keuntungan, dan kebahagiaan hidup yang berlandaskan pada nilai-nilai agama Hindu.

Contoh yang lainnya, Jepang. Kemajuan Jepang disebabkan mereka mampu menemukan esensi, makna, dan spirit kultur mereka sebagai elemen penting dalam membangun peradaban modern. Modernisasi yang datang dari nilai-nilai eksternal tidak memuaskan orang Jepang, karena mereka sudah memiliki sejarah dan kultur Timur yang cukup tua. Makna dan spirit Bushido menjadi cahaya dan aliran darah yang melekat kuat dalam diri orang Jepang. Terjadinya kontak kebudayaan dengan modernisasi Barat menjadi pemicu terjadinya pertemuan nilai (melting values,) yang menguntungkan. Pertemuan nilai tidak dikonfrontasi berhadap-hadapan (vis a vis), tetapi diadaptasi dengan baik dengan memasukkan elemen kultur lokal dalam elemen modern Barat menjadi kekuatan pendorong untuk membangun peradaban modern yang non-Barat.

Ki Hadjar Dewantoro menyebut fenomena ini sebagai lahirnya negara-negara non-Barat yang mengembangkan peradaban baru berbasis empat aspek, yakni kebudayaan induk (mother culture) yang berbasis agama, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kebudayaan tekno ekonomi, majunya sistem dan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi, berkembangnya sistem politik dan kenegaraan yang berakar pada trilogi liberalisme, pluralisme, dan sekularisme. Bertumbuh kembangnya negara modern baru non-Barat yang non-Islam ini melahirkan pertanyaan epistemologis. Mengapa negara-negara Islam dan berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia yang memiliki kebudayaan induk sangat kohesif justru tertinggal dari negara-negara lainnya? Padahal modal sosial yang dimiliki lebih dari cukup untuk membangun sebuah peradaban Islam modern.

Jika nilai-nilai Islam yang memiliki induk kebudayaan (mother culture) amat kohesif, sesungguhnya jati diri itulah yang harus dikembangkan oleh model pengembangan pendidikan Islam. Di mana pun Islam berkembang, seharusnya tempat tersebut mampu menjadi melting values untuk membangun peradaban baru yang lebih maju. Karena itu tantangan yang paling besar adalah mengubah paradigma Islam eksklusif menjadi paradigma Islam inklusif. Ketika kita menempatkan Islam vis a vis dengan peradaban modern dan menjadi sangat eksklusif, maka sekohesif apa pun induk kebudayaan ini tidak akan mampu membangun peradaban. Sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk Islam terbesar di dunia, seharusnya Indonesia mampu mengembangkan pendidikan Islam yang modern untuk menjadi soko guru peradaban unggul. Hal inilah yang sudah dilakukan oleh negara-negara non-Barat yang non-Islam dalam membangun peradaban modern mereka tanpa kehilangan akar budaya dan karakteristik kulturalnya. Mereka bangga dengan identitas kultural yang distingtif dalam modernisasi peradaban dunia.

Sistem pendidikan Islam harus dikembangkan untuk menanamkan pemahaman Islam yang moderat, terbuka, toleran, dan menghargai ragam perbedaan. Dengan memahami realitas masyarakat yang majemuk, konsepsi pendidikan yang dikembangkan pada lembaga pendidikan Islam adalah pemahaman, semangat, dan cara pengelolaan yang mampu mengakomodasi perbedaan dan keragaman dengan tanpa mengorbankan keyakinan dalam keberagamaan masing-masing individu. Tetapi selama pemahaman keagamaan berada pada ujung yang ekstrem, pendidikan Islam akan tetap menjadi periferal dan marginal. Selain itu pendidikan Islam juga harus responsif terhadap kehidupan berdemokrasi. Pendidikan demokrasi perlu dikembangkan sebagai upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih menghargai hak-hak individu, termasuk kebebasan berpikir, berserikat, berpendapat, dan bebas dari ketakutan. Upaya ini penting untuk menciptakan kohesivitas nasional dan komitmen warganya dalam membangun warga negara kesatuan yang demokratis. Meskipun secara politik posisi umat Islam telah mendapatkan porsi penghargaan dan penerimaan yang positif dalam perkembangan kehidupan demokrasi di Indonesia, hal yang sama belum terlihat dari sisi pendidikan. Sudah saatnya sekarang ini pendidikan Islam juga mampu untuk mengembangkan dan menjalankan pola pikir yang sama, yaitu sebuah cara berpikir maju dan moderat yang sejauh ini belum terlihat secara maksimal di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Peluang untuk sampai ke arah itu telah tersedia, yaitu dengan diakomodasinya pola pengelolaan pendidikan Islam ke dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pendidikan Islam juga dituntut untuk responsif terhadap modernisasi pembelajaran yang telah berjalan pada lembaga-lembaga pendidikan sekolah umum di bawah kementerian pendidikan. Ada dua hal yang bisa dikembangkan. Pertama, mengembangkan strategi pembelajaran aktif dengan berpusat pada siswa. Di samping itu dikembangkan sikap yang sensitif terhadap perubahan melalui berbagai strategi pembelajaran yang tepat dan dikembangkan sesuai dengan kondisi psiko-sosial anak. Yang tidak kalah pentingnya adalah yang kedua, yaitu memodernisasi fasilitas pembelajaran, lingkunga, dan faktor pendukung seperti manajemen sekolah yang terbuka, transparan, dan akuntabel, termasuk keterlibatan dari orang tua, pemerintah, masyarakat, serta para stakeholder pendidikan lainnya. Spirit yang selama ini telah ditunjukkan oleh lembaga pendidikan Islam yang memiliki basis dukungan dari masyarakat secara penuh perlu ditumbuhkan kembali. Salah satu yang menyebabkan pendidikan Islam di Indonesia tidak kompatibel dengan dunia modern adalah rata-rata lembaga pendidikan Islam seperti telah kehilangan ruh dukungan dari masyarakat sekitarnya. Faktor ini jugalah yang mungkin menyebabkan lembaga pendidikan Islam terkesan sangat eksklusif, karena telah kehilangan independensi pengelolaan yang menyebabkan mereka sangat tergantung pada uluran tangan pemerintah.

Persoalan-persoalan krusial di atas adalah gambaran bahwa lembaga pendidikan Islam masih eksklusif. Tetapi jika nilai-nilai di atas dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh para pengelola dan pengasuh dalam lingkup pendidikan Islam, maka peluang untuk tampil sebagai pilar peradaban baru yang modern dan kukuh berlandaskan nilai-nilai keislaman sangat terbuka luas. Berbagai tantangan khas umat Islam di Indonesia membutuhkan sikap yang terbuka dari pemerintah dan lembaga pendidikan Islam itu sendiri untuk mengembangkan berbagai model pendidikan yang inklusif, terbuka, dialogis, serta bertumpu pada kebutuhan siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam mampu melahirkan SDM tangguh dan berkarakter kuat yang akan berkiprah mengisi dan menciptakan peradaban baru yang bertumpu pada nilai keagamaan, spiritualitas, dan humanisme.

Secara garis besar, pendidikan Islam telah mengembangkan teori hukum agama (ushul fiqh/ legal theory) dan (qawa’idul fiqh/ legal maxims). Karenanya untuk dapat melakukan transformassi inten itu, pendidikan Islam harus merumuskan kembali pandangan-pandangannya mengenai martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia dimuka undang-undang dan solidaritas hakiki antara sesama manusia dengan menempatkan nilai-nilai universal ajaran Islam sebagai bentuk pelayanan kepada warga masyarakat tanpa memandang ras, etnis, agama, kekayaan dan kedudukan. Hal ini kemudian memunculkan peran hadirnya Islam sebagai pembebasan (tahrir/ liberation) atas ketertindasan keadaan yang dibuat oleh sesama manusia.





“Selamat membaca, semoga menjadi motivasi untuk terus belajar dan menjadi yang terdepan”


referensi :
1. Ahmad Baso, Islam Pasca Kolonial; Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, (Bandung: Mizan, 2006).
2. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1992).
3. Haqqul Yaqin, Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, (Surabaya: eLSAQ Press, 2006).
4. Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006).
5. Abdurrahman Wahid, (ed.) Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: PT. Desantara Utama Media).
6. Ahmad Ali Riyadi, Politik Pendidikan: Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2006).
7. Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1997).
8. Hanif Dzakiri, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djambatan dan Pena, 2000).
9. Prof. Dr. Abuddin Nata, MA., Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masuk