sektor

RCN

Minggu, 07 November 2010

KONSEP GUS DUR TENTANG PENDIDIKAN ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN

KONSEP GUS DUR TENTANG PENDIDIKAN ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN


SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Tarbiyah
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ar-Rosyid

















Oleh :

AGUS RIZA HISFANI
NIMKO : 2004.4.097.0001.00007

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AR-ROSYID
JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SURABAYA
2009
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks. Surabaya, 20 Juli 2010
Hal : Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Bapak Ketua STAI Ar-Rosyid
Di – Surabaya

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah membaca meneliti dan member bimbingan serta perbaikan seperlunya terhadap skripsi saudara :
Nama : Agus Riza Hisfani
NIMKO : 2004.4.097.0001.1.00007
Judul : Konsep Gus Dur Tentang Pendidikan Islam
Kami berkesimpulan bahwa skripsi tersebut telah dapat dimunaqasahkan, karena itu kami berharap yang bersangkutan diperkenankan mengikuti munaqasah dan mendapat pengesahan dari STAI.
Demikian, atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Dosen Pembimbing II





Drs. IMAM BAHROZI, M.M. Dosen Pembimbing I





Drs. RATNO HADI, M.HI.

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi STAI Ar-Rosyid Surabaya dan telah diterima sebagai salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Starata Satu (S-1) dalam Prodi PAI pada :

Hari : Sabtu
Tanggal : 23 Oktober 2010

Dewan Penguji
1. Ketua : (……...…………..) Syarifuddin, M.Pd
2. Sekretaris : (……...…………..) Amilan, S.Pd
3. Penguji I : (……...…………..) Prof. DR. Djamaluddin Miri, LC. MA


Mengesahkan
Ketua
STAI Ar-Rosyid




H. SUHARSONO, M.PdI.








PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibahwa ini adalah kami :
Nama : Agus Riza Hisfani
NIMKO : 2004.4.097.0001.1.00007
Prodi : PAI
Institusi : STAI Ar-Rosyid Surabaya
Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa SKRIPSI ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/ karya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang ditunjuk sumbernya.


Surabaya, 20 Juli 2010
Kami yang menyatakan





AGUS RIZA HISFANI










MOTTO

“al-Muhafadhatu ’ala al-Qadim as-Shalih wa Akhdzu bi al-Jadid al-Aslah”




















PERSEMBAHAN

Kami dedikasikan tulisan ini kepada almarhum KH. Abdurrahman Wahid beserta keluarga. Kepada Ayahanda Ridwan dan Ibunda Nurhayati, kepada almarhum KH. Shodiq Rusdy dan Nyai Hj. Muqoddatun, kepada adinda Julianah dan kader-kader PK. PMII Ar-Rosyid Cabang Surabaya. Dan yang terakhir kepada orang-orang yang meragukan kami, semoga kami senantiasa menyayangi kalian.

















ABSTRAK

AGUS RIZA HISFANI : 2004.4.097.0001.1.00007. KONSEP GUS DUR TENTANG PENDIDIKAN ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN.

Islam merupakan desain besar dari keseluruhan nilai-nilai kemanusiaan yang menitik beratkan pada Social Salvation (Penyelamat Sosial) yang sering kita sebut sebagai Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Namun dalam praktiknya, nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi cita-cita Islam tersebut sering terjebak pada teori-teori klasik yang dipertahankan secara simbolis, bukan secara nilai universal atau substansi ajaran Islam itu sendiri.
Karenanya dibutuhkan Pendidikan sebagai kerangka Struktur Sosial untuk menjembatani serta mentransformasikan cita-cita besar Islam, yaitu Islam Social Salvation (Islam Penyelamat Sosial) atau Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Hal ini akan menjadi massif karena pendidikan masuk melalui proses pemahaman yang akan terus berubah-ubah sesuai dengan zamannya.
Namun cita-cita tersebut memerlukan tokoh sebagai penggerak serta menjadi tauladan sekaligus bagi ummat Islam, terutama generasi muda yang diklaim sebagai tonggak maju mundurnya peran Islam dalam kehidupan manusia, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Dalam hal ini peneliti mengambil tokoh yang bernama KH. Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur. Pilihan peneliti untuk mengambil sosok Gus dur bukan tanpa alasan atau hanya karena faktor kiyai dan peneliti adalah santri atau karena faktor fanatik organisasi dimana Gus Dur adalah tokoh central NU sedangkan peneliti adalah pengikut NU.
Adapun penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode kualitatif, yang merupakan salah satu jenis metode yang menitik beratkan pada penalaran yang berdasarkan realitas social atau data secara obyektif dan melalui paradigma fenomenologis. Dengan pertimbangan untuk mempermudah pemahaman realitas ganda, menyajikan secara hakiki antara peneliti dan realitas, terlebih metode ini sangat peka dan mampu melakukan penyesuaian dari pada bentuk nilai yang dihadapi. Metode tersebut menitik beratkan pada pendekatan Sosiologis-Historis melalui pola pendekatan tipologis secara virtual dan dominant (mengamati pola atau sifat khas dari pemikiran individu atau kelompok yang membedakannya dengan yang lain meskipun berdasarkan pola pikir dan asumsi bahwa karakteristrik umum dan mutlak beda itu tidak ada, yang ada adalah kemiripan karakteristik yang batas bedanya tiada pasti). Dengan memakai metode analisis yaitu : Reduksi data, Display data, dan Heuristik data. Dengan cara tersebut peneliti memperoleh hasil bahwa Konsep Gus Dur Tentang Pendidikan Islam merupakan pijakan Pendidikan Islam dengan jalan Pertama, Reformulasi Islam dan Kedua, Islam Kultur.



Dari pijakan tersebut, peneliti menyimpulkan apa yang dimaksud dengan Konsep Gus Dur Tentang Pendidikan Islam adalah sebagaimana berikut :
1. Konsep Pendidikan Islam sebagai Visi (Pendidikan Islam yang menempatkan kekuatan kultur toleran yang menempatkan posisi Islam klasik dan Islam modern sebagai kerangka intelektual, bukan mempertarungkan). Dengan langkah sebagaimana berikut :
a. Pendidikan Islam Universal yaitu pendidikan yang menitik beratkan pada nilai-nilai universal Islam itu sendiri tanpa dibatasi oleh etnis, bangsa, agama dan strata social.
b. Pendidikan Islam Liberal yaitu pendidikan yang menempatkan liberalism (pembebasan) sebagai misi Islam untuk membebaskan setiap ketertindasan civil society dalam bentuk apapun. Apakah ketertindasan moral, budaya, pendidikan, ekonomi, politik, budaya maupun social, bukan berbalik sebagai penindas kebebasan social dengan mengatasnamakan kaum mayoritas.
c. Pendidikan Islam Humanis yaitu pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai humanism (kemanusiaan) sebagai kepentingan tertinggi diatas kepentingan apapun, termasuk kepentingan Islam itu sendiri.
2. Konsep Pendidikan Islam sebagai Struktur Sosial (Pendidikan Islam yang membentuk kerangka aplikasi social melalui kekuatan-kekuatan potensi yang ada). Dengan langkah sebagaimana berikut :
a. Kekuatan Pemerintah (mendorong pemerintah untuk menempatkan visi pendidikan Islam yang diterjemahkan dalam Peraturan Bangsa-Bangsa, Undang-Undang Pendidikan Nasional, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan peraturan-peraturan lain yang ada dalam pemerintah).
b. Kekuatan Intelektual (mendorong setiap Intelektual Islam untuk mengkaji kembali kekayaan teks klasik sebagai bentuk evaluative serta terus melakukan penafsiran ulang atas teks-teks tersebut sebagai sesuatu yang dinamis, bukan sebagai bentuk final atas penafsiran dan dilegal-formalkan)
c. Kekuatan Kultur Civil Society (mendorong terbentuknya budaya cosmopolitan yang bercorak transformatif dalam mengimplementasikan prinsip kemanusiaan serta menempatkannya diatas solidaritas primordial)








KATA PENGANTAR

Segala puji kami panjatkan kepada Dzat yang telah memberikan nikmat baik jasmani maupun rohani, sehingga pada kesempatan ini kami dapat menyelesaikan tugas skripsi yang telah diberikan kepada kami. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi besar Muhammad SAW karena lantaran bimbingan beliau-lah kita semua dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kami haturkan sungkem kepada :
1. Kepada kedua orang tua kami yang telah mendukung materi dan imateri hingga studi kami bisa terselesaikan dengan baik.
2. Kepada KH. Shodiq Rusdy (alm), Nyai. Hj. Muqoddatun (alm) dan KH. Masduqy Rusdy yang telah memberikan kepercayaan berkarya kepada kami.
3. Kepada keluarga besar KH. Abdurrahman Wahid (alm) atau Gus Dur yang telah memberikan izin untuk meneliti Guru Bangsa ini.
4. Kepada Ketua STAI Ar-Rosyid Surabaya (H. Suharsono, M.PdI.) yang memberikan kemudahan dalam menempuh jenjang S-1 kepada kami.
5. Kepada H. Ratno Hadi, M.HI., dan Drs. Imam Bahrozi, MM. selaku dosen pembimbing kami yang telah banyak meluangkan waktu dan ilmunya untuk memberikan arahan terhadap penelitian kami.
6. Kepada Mbak Inayah Wahid (Putri bungsu Gus Dur), Mas Suaedy (Direktur Eksekutif The Wahid Institute), Mas Eman Hermawan (Ketua Umum DKN GARDA BANGSA), Mbak Ira (Ajudan Ibu Shinta Nuriyah) dan Mbak Nisa’ (Staf Ahli Bid. Pendidikan dan Keyakinan The Wahid Institute) yang telah bersedia membagi informasi.

7. Kepada komunitas GKJWI Pusat, komunitas Konghucu Pusat, dan komunitas Hindu Budha Pusat yang memberikan tempat dalam rangka pencarian data penelitian kami.
8. Kepada sahabat, kawan, serta kader-kader kami yang senantiasa memberikan inspirasi.
Akhirnya, tiada kesempurnaan tanpa kekurangan karena kekurangan kami senantiasa akan disempurnakan oleh peneliti berikutnya. Semoga apa yang kami tulis dapat memberikan manfaat bagi segenap bangsa.


Surabaya, 20 Juli 2010




Penulis









DAFTAR ISI

COVER
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………......
LEMBAR PENGESAHAN ………………………...…………………...
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ……………………………….
HALAMAN MOTTO ………………..………………………………......
HALAMAN PERSEMBAHAN …………..…………………………......
ABSTRAK ……………………………..………………………………....
KATA PENGANTAR ….……………………………………………......
DAFTAR ISI …………………………………………………………......

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
A. Latar Belakang ..............................................................................
B. Rumusan Masalah .........................................................................
C. Tujuan Penelitian ..........................................................................
D. Manfaat Penelitian ........................................................................
E. Batasan Masalah ............................................................................
F. Definisi Istilah ................................................................................
G. Metode Penelitian ..........................................................................
H. Sistematika Pembahasan ..............................................................
BAB II BIOGRAFI GUS DUR .................................................................
A. Gus Dur; Keluarga dan Pesantren ...............................................
B. Gus Dur; Lahirnya Kiyai Nyentrik .............................................
i
ii
iii
iv
v
vi
ix
xi

1
1
8
8
8
9
9
12
19
21
23
31




BAB III COVERING EPISTEMOLOGI GUS DUR .............................
A. Universalisme Islam Gus Dur .......................................................
B. Liberalisme Islam gus Dur ............................................................
BAB IV EPISTEMOLOGI GUS DUR; SEBUAH KONSEP PENDIDIKAN ISLAM ...............................................................................
A. Pendidikan Islam Humanism .......................................................
B. Pendidikan Islam Liberalism .......................................................
BAB V PENUTUP .....................................................................................
A. Kesimpulan ....................................................................................
B. Saran-saran ....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
Lampiran-Lampiran ………………………………………………………. 45
49
66

86
92
116
138
138
142
xiii



















BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak lahirnya belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai agama yang memberikan perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat; antara hubungan manusia dengan Tuhan, dan antara hubungan manusia dengan manusia; antara urusan ibadah dan muamalah. Selanjutnya jika kita adakan perbandingan antara perhatian Islam terhadap urusan ibadah dengan urusan muamalah, ternyata Islam menekankan urusan muamalah lebih besar dari pada urusan ibadah dalam arti yang khusus. Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan social dari pada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi sebagai masjid tempat mengabdi kepada Allah dalam arti yang luas. Muamalah jauh lebih luas dari pada ibadah dalam arti khusus.
Realitas nilai-nilai ajaran Islam tersebut diatas memposisikan Islam sebagai agama yang membawa panji-panji Rahmatan Lil ‘Alamin. Kemudian panji-panji ajaran Islam tersebut diharapkan menjadi nilai-nilai yang masuk dalam pendidikan Islam. Namun realitas-empiris dari ajaran Islam yang menjadi terapan pada pendidikan Islam justeru berada pada posisi antara ada dan tiada (la yamut wa-al-yahya), mengapa muncul statemen berdana miring tersebut ?. Hal ini justru terjadi ketika di dunia Eropa terjadi gerakan renaissance sedangkan di dunia Islam, letajnya di dunia Arab (dan sebagian besar Negara-negara Islam lainnya) terjad pergantian periode, dari masa keemasan menuju masa kehancuran hingga sekarang. Masa kehancuran inilah yang kemudian menjadi awal penyebab pendidikan Islam berada lp[ada posisi (la yamut wa al-yahya) terlebih, Islam telah menjadi tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi terhadap teks keagamaan) yang memberi ruanmg lebar terjadinya konflik aliran dalam tubuh pendidikan Islam. Kesesuaian teks keagamaan (penyelarasan) dengan penyelenggara institusi pendidikan Islam menjadi huk,um wajib, hingga membentuk pendidikan yang tidak mampu berdialog dengan zaman. Monolistik pendidikan Islam juga membentuk mental sebagian pemeluk Islam mengakibatkan rasa benci atas zaman modern (yang lebih banyak berwarna kebarat-baratan/ westerenisasi). Salah satu saudara kita yang menamakan diri sebagai Islam Transnasional yang menggencarkan pemahaman Islam sebagai ideology, memiliki peran beswar terhadap kekacauan pendidikan Islam di Negara Islam seluruh dunia. Setidaknya merekalah yang menebarkan nilai kebencian terhadap zaman modern (yang lebih banyak berwarna kebarat-baratan/ westerenisasi), bukan mencoba mendialektikakan zaman dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam.
Upaya mendialektikakan ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin yang nantinya diterjemahkan dalam pendidikan Islam merupakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga ekstra dan waktu yang cukup panjang. Dialektika ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin dengan zaman merupakan upaya membumikan ajaran Islam yang selama ini semakin terbang kelangit agar fatwa dan hokum-hukum produk Islam mampu menjawab setiap perkembangan social masyarakat. Dengan demikian pendidikan Islam akan berada pada kedudukan sebagaimana pembenaran atas ajarannya.
Secara garis besar, institusi pendidikan Islam baik formal (Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA)), non-formal (pesantren, madrtasah Diniyah, dll.) dan in-formal (Ormas, Forum Diskusi, dll.) yang ada di Indonesia sama dengan gambaran diatas (monolistik), meskipun hal ini masih asumsi subyektif. Karenanya harus ada pembaharuan dalam tubuh pendidikan pendidikan Islam disemua sector (agar terwujud keadaan social yang rahmatan lil ‘alamin), terutama pada central kebijakan yang ada di dunia Islam (terutama Indonesia), artinya perlu adanya tokoh pembaharu pendidikan Islam yang moderat dan mampu berdialog dengan social masyarakat yang terus-menerus berkembang tanpa mengenal batas.
Abdurrahman Wahid, merupakan salah-satu figure yang menurut peneliti mampu menjawab tantangan social masyarakat yang terus-menerus berkembang tanpa mengenal batas tersebut. Abdurrahman Wahid, merupakan salah-satu figure fenomenal yang telah membawa dinamika kesejarahan Islam Indonesia. Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan dimedia massa yang berbeda dengan opini public pada umumnya menjadikan Abdurrahman Wahid seorang aktivis yang kontrofersial. Dalam sejarah Islam Indonesia, Abdurrahman Wahid adalah pelopor dari kalangan Islam yang memberikan perhatian dan penghargaan bagi kaum minoritas non-muslim. Sejak memimpin Nahdlatul Ulama’ (NU) 1984, Abdurrahman Wahid menemukan pijakan bagi jawaban-jawaban yang strategis bagi penguatan civil society dimasa depan. Abdurrahman Wahid lahir tanggal 4 Sya’ban/ 7 September 1940 di Desa Denanyar, Jombang JAwa Timur. Abdurrahman Wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang pendidri organisasi besar Nahdlatul Ulama’ (NU), yang bernama KH. Wahid Hasyim. Sedangkan ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri pesantren Denanyar Jombang, yaitu KH. Bisri Syamsuri.
Abdurrahman Ad-Dakhil merupakan nama kecil Abdurrahman Wahid. Secara leksikal, ad-Dakhil berarti sang penakluk. Sebuah naman yang diambil oleh ayahnya dari seorang perintis dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Abdurrahman Wahid kemudian lebh akrab dipanggil Gus Dur (selanjutnya oleh peneliti, nama Gus Dur dipakai sebagai ganti nama Abdurrahman Wahid). Gus Dur adalah produk pesantren, sebuah tempat pendidikan yang bisa dikatakan sarang konservatisme dalam beragama. Gus Dur juga berasal dari masyarakat yang sosio-konservatif, walaupun ayah dan kakeknya cukup progresif. Di dalam NU memang banyak orang yang sosio-konservatif seperti itu, tidak mau atau cenderung menolak perunbahan zaman. Sejalan dengan sisi sosio-konservatif, Gus Dur muda bahkan sempat mengagumi gagasan-gagasan Ikhwanul Muslimin dan tulisan Sayyid Qutub diawal tahun 60-an. Tetapi setelah mendalam pemikirannya dianggap terlalu dangkal dan tidak ad aide-ide yang baru. Pada tahun 1962, Gus Dur pergi sekolah keUniversitas al-Azhar di Kairo, meskipun akhirnya beliau merasa bosan juga karena merasakan kesamaan dengan di pesantren. Dan beliau mencari jalan keluar dengan tidak mau ikut kuliah, melainkan pergi ke-coffee house, kebioskop untuk menyalurkan hobinya nonton film Perancis, dan sepak bola, atau mengunjungi perpustakaan America Embassy, membaca nuku dan novel.
Namun dari titik balik tersebut, ilmu-ilmu ke-Islam-an tradisional yang masuk kekepala Gus Dur menjadi matang, kemudian beliau gabungkan dengan ide-ide modern ala Barat. Maka terjadi percampuran dalam pemikiran Gus Dur antar pemikiran tradisional dan modern yang akhirnya cukup produktif . setelah itu Gus Dur pindah ke-Bagdad, yang waktu itu merupakan ibu kota paling ngetop di dunia Arab, paling cosmopolitan, paling canggih dan bebas. Universitas Bagdad adalah universitas yang sekuler dan modern. Lewat ide-ide yang ada dalam buku bacaan dan sastra di-Kairo dalam diri Gus Dur sudah ada pemahaman tentang dunia modern, terjadi penggabungan pengetahuan tradisional dan pengetahuan enlightment.
Sehingga pada wktu Gus Dur pulang ke Jawa pada tahun 70-an, sudah ada cara berfikir yang kritis dan progresif. Dengan demikian sebenarnya bisa dilacak, epistemology dari pemikiran Gus Dur. Dari lacakan epistemology ini, Gus Dur bukanlah bukanlah orang yang eksistensialis, melainkan seorang yang beragama dan percaya pada konsep wahyu, tatepai beliau gabungkan dengan pemikiran modern. Bahwa kalau memang ada Allah sang Pencipta, maka ada wahyu dan kitab suci yang diperkuat dengan pengetahuan obyektif. Jadi ada yang mutlak tetapi kemutlakan itu dibatasi oleh yang tidak mutlak. Jadi secara otomatis ada implikasi pluralisme. Ini adalah sumber pluralisme intelektual, tetapi ada juga sumber-sumber pluralisme yang lain. Orang bisa pluralis kerena punya sikap humanitarian, kecintaan kepada manusia membuat kita saling menghormati.
Hal yang menarik dari pemikiran Gus Dur bukan dengan mengagungkan modernisme seperti kebanyakan tokoh pembaharu Islam, tapi mengkritik modernisme yang di-universal-kan dengan menggunakan pisau tradisionalime Islam. Dalam konteks ini ungkapan John L Esposito dan John O Vold dalam buku Makers Kontemporary Islam (2001), Gus Dur adalah “Modern Reformer But Not Islamic Modernist” (seorang pembaharu modern tapi bukan modernis) sangat tepat. Kalimat tersebut bukan sekedar menggambarkan afiliasi cultural dan asal-usul social Gus Dur, tapi juga menggambarkan corak tradisi pemikirannya yang tetap setia dengan tradisi pemikiran Islam, terutama tradsisi pesantren.
Dari gambaran umum realitas-empiris pendidikan Islam kita membutuhkan peran penting Gus Dur dalam pertarungan dunia pendidikan Islam. Meskipun kebanyakan orang melihat sosok Gus Dur sebagai tokoh HAM dunia, pembaharu Islam, civil society, politikus dan banyak lagi yang didasarkan kepada beliau hingga kita sulit untuk mematakan pel\mikiran Gus Dur yang terfokus pada satu titik. Begitu banyaknya pemerhati yang sepakat dan menentang pemikiran Gus Dur akan mempermudah peneliti untuk mencari data sebanyak mungkin. Namun yang menjadi catatan peeliti adalah pemikiran Gus Dur yang tertuang dalam sebuah gagasan pemikiran pendidikan Islam. Karenanya dalam rangka membuka tabir sisi lain pemikiran Gus Dur penulis berkleinginan menggali lebih dalam sosok Gus Dur yang progresif, cosmopolitan, humanisme, serta controversial. Dalam hal ini penulis selanjutnya menyajikan pemikirannya dalam bentuk karya tulis ilmiyah melalui penelitian (skripsi) dengan judul “Konsep Gus Dur Tentang Pendidikan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin”.




B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah yang melandasi pembahasan selanjutnya. Masalah tersebut juga menjadi titik konsen peneliti. Adapun rumusan masalah tersebut adalah bagaimana Konsep Gus Dur Tentang Pendidikan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.

C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis mempunyai tujuan yang hendak dicapai sebagaimana berikut :
1. Untuk mendeskripsikan konsep pendidikan Islam Rahmatan lil ‘alamin menurut Gus Dur.
2. Untuk mengetahui secara mendalam implementasi Gus Dur dalam pendidikan Islam rahmatan lil ‘alamin.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu menjawab persoalan pendidikan Islam di Indonesia yang kemudian dapat bermanfaat sebagaimana berikut :
1. Secara umum, penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk pakar dan peneliti berikutnya sebagai pengembangan pada penelitian yang lebih relefan.
2. Secara teori, penelitian dapat memberikan gambaran dan masukan bagi institusi pendidikan Islam di Indonesia serta dapat menjadi kontribusi ilmiah bagi dunia pendidikan.
3. Secara praktis, dapat memberikan manfaat kepada peneliti dalam memahami konsep penddikan Islam rahmatan lil’alamin.
E. Batasan Masalah
Batasan masalah sangat diperlukan dalam penelitian, agar penelitian dan hasilnya lebih terarah. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi salah persepsi pada judul skripsi ini. Masalah yang diteliti dalam penelitia ini adalah pendidikan Islam rahmatan lil ‘alamin. Dalam hal ini peneliti memberkan batasan penelitian hanya pada pembahasan bagaimana konsep pendidikan Islam rahmatan lil ‘alamin menurut Gus Dur.

F. Definisi Istilah
Agar terjadi pemahaman yang searah sebagaimana maksud peneliti perlu adanya definisi operasional yang menjelaskan ukuran-ukuran dan hasil yang diharapkan dari pengukuran terhadap variable yang terkandung dalam pertanyaan peneliti. Untuk memudahkan dalam penggambaran dan pemahaman yang lebih konprehensif mengenai judul skripsi yang penulis susun. Perlu kiranya penulis menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul skripsi sebagaimana berikut :

1. Konsep
Konsep merupakan ide, pengertian, pemikiran, rencana, dasar atau pemahaman yang diabstrakkan dari peristiwa konkrit secara mendalam. Konsep juga dapat diartikan sebagai landasan awal ketika akan melakukan sesuatu secara mendalam, agar terlahir konseptualisasi yang mendekati kesempurnaan.
2. Gus Dur
Abdurrahman Wahid, yang kemudian oleh peneliti disebut Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang lahir 4 sya’ban/ 7 September 1940 di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur Ayahnya adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU), yang bernama KH. Wahid Hasyim. Sedangkan ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putrid pendiri pesantren Denanyar Jombang, yaitu KH. Bisri Syamsuri.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-‘aqdi yang diketuai oleh KH. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan Ketua Umum PBNU pad Muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren krapyak Yogyakarta (1989) dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan Ketua Umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4.

3. Pendidikan Islam
Secara terpisah, pendidikan adalah usaha sadar dari seseorang untuk memberikan pemahaman terhadap anak didik, sedangkan Islam memliki arti salah satu dari dua agama samawi di dunia (agama yang lain adalah kristen), al-Qur’an sebagfai kitab suci penutup, risalahnya dibawakan dari nabi Adam AS. Sampai nabi Muhammad SAW. Melalui perantara Jibril yang kemudian menjadikannya pegangan hidup di dunia dan kelak di akhirat. Al-Qur’an sebagi kitab Allah yang disyariatkan kepada seluruh manusia tanpa batas ruang dan waktu. Karena ketika seseorang mengungkapkan dua kalimat syahadat maka secara langsung orang tersebut menerima Islam sebagai agama dan aturan atas hukum yang ada didalamnya.
Jadi pendidikan Islam merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh seseorang untuk memberikan pemahaman keagamaan Islam terhadap anak didik dengan symbol institusi Islam (Pesantren, Madrasah, STAI, UI, IAI, atau lembaga yang didalamnya tercantum kata Islam).
4. Rahmatan Lil ‘Alamin
Istilah rahmatan lil ‘alamin merupakan gambaran sebuah cita-cita Islam dalam bentuk kemapanan kondisi masyarakat dari segala aspek, baik ekonomi, politik, social, budaya, pendidikan, yang berhubungan dengan kebutuhan manusia dan lain-lain. Yang dijadikan pembenaran atas relefansi ajaran Islam terhadap setiap perkembangan zaman. Peneliti mengambil istilah rahmatan lil alamin sebagai batasan atas pembahasan pendidikan Islam yang ada di Negara Imdonesia dengan mengacu pada keyakinan bahwa nilai-nilai Islam mengandung rahmatan lil ‘alamin.

G. Metode Penelitian
Secara teoritis, upaya memecahkan persoalan harus mempertimbangkan dua hal fundamental, yaitu bentuk dan sumber informasi yang digunakan untuk menjawab sekaligus cara mendapatkannya. Dan bagaimana memahami serta menganalisis informasi itu untuk kemudian merangkainya menjadi satu penjelasan yang bulat dan guna menjawab persoalan yang diteliti. Dengan demikian, penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode kualitatif, yang merupakan salah satu jenis metode yang menitik beratkan pada penalaran yang berdasarkan realitas social atau data secara obyektif dan melalui paradigma fenomenologis.
Artinya metode ini digunakan atas tiga pertimbangan : untuk mempermudah pemahaman realitas ganda, menyajikan secara hakiki antara peneliti dan realitas, terlebih metode ini sangat peka dan mampu melakukan pennyesuaian daripada bentuk nilai yang dihadapi. Adapun kerangka yang mendasari hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Sebagaimana gambaran secara umum metode penelitian yang dilakukan penulis, pendekatan yang dilakukan dalam penelitian adalah pendekatan sosiologis-historis, secara spesifik dipergunakan untuk mengamati proses interaksi pemikiran Gus Dur dengan dimensi ruang dan waktu, dimana ide pemikiran Gus Dur tentang pendidikan Islam itu muncul, dengan pendekatan ini, peneliti berusaha menghindari asumsi positifisasi pemikiran Gus Dur tentang pendidikan Islam, dengan tetap mempertahankan segala bentuk pemikiran Gus Dur tentang perndidikan Islam sebagai the practice, bukan the face. Dengan demikian, pemikiran Gus Dur tentang pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Islam yang domain sebagai pengkayaan atau (enrichment), bukan sebagai primeri improve pemikiran Gus Dur.
Di samping itu peneliti juga menggunakan pendekatan tipologis secara virtual dan dominant. Pendekatan ini berdasarkan pola piker dan asumsi bahwa karakteristrik umum dan mutlak beda itu tidak ada, yang ada adalah kemiripak karakteristik yang batas bedanya tiada pasti. Dalam perspektif dhavamony, pendekatan tipologis mengamati pola atau sifat khas dari pemikiran individu atau kelompok yang membedakannya dengan yang lain. Dengan demikian, pendekatan tipologis merupakan gagasan dan pemikiran yang berbentuk dari susunan unsur-unsur karakteristik sejumlah fenomena yang diamati dalam analisis. Pendekatan ini dipaka secara khusus dalam kerangka membuat pemetaan pemikiran Gus Dur.
Di lihat dari pendekatan penelitiahan di atas, maka jeni penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research). Artinya data dan bahan yang digunakan berasal dari sumber-sumber kepustakaan, baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, majalah, surat kabar, maupun yang lainnya dalam hipotesa dan konsep untuk mendapatkan hasl yang obyektif. Dengan jenis ini informasi dapat diambil secara lengkap untuk menentukan tindakan ilmiah.
2. Sumber Data
Sebagaimana metode kualitatisf serta jenis penelitian kepustakaan (library research), sumberdata yang akan dikumpulkan sebagai bahan penelitian bersumber pada kepustakaan baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, majalah, surat kabar. Dalam mengumpulkan data, peneliti tidak menggunakan data khusus. Segala cara untuk memperoleh data kepustakaan, baik primer maupun sekunder, yang berkaitan dengan penelitian ini telah diupayakan semaksimal dan selengkap mungkin.
Semua karya ilmiah yang memuat serta membahas secara khusus (menjadi substansi karya ilmiah/ judul) pemikiran Gus Dur, baik ditulis oleh Gus Dur secara langsung maupun orang lain ditempatkan sebagai sumber primer. Sedangkan sumber sekunder adalah karya-karya ilmiah pendukung dari pemikir lain yang mempunyai sifat relasional, baik langsung maupun tidak dengan topik pembahasan yang dimaksud yang berupa anotasi dari pemikiran Gus Dur
3. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti tidak menggunakan prosedur khusus, melainkan mengumpulkan semaksimal mungkin. Hal ini dilakukan agar peneliti memperoleh gambaran umum data yang akan diteliti dengan tetap mengedepankan verifkasi konsen data,baik melalui kumpulan data pribadi berupa buku, ensiklopedi, jurnal, majalah, surat kabar, maupun bantuan dari luar pihak peneliti.
Tidak digunakannya prosedur khusus pengumpulan data oleh peneliti, bukan berarti memberikan kesan arogansi subyektif (pemikiran peneliti), melainkan bentuk generalisasi data yang coba dihadirkan peneliti melalui banyaknya temuan data yang justru mengaburkan kesan ilmiah apabila data temuan dipaksakan memakai metode tersendiri. Artinya, geeralisasi data menjadi pemikiran mendasar yang dipakai oleh peneliti untuk melakukan langkah ayau prosedur penelitian yang akan dijalankan.
4. Analisis Data
Content analisis yang menjadi dasar setiap penelitian merupakan langkah pertama dalam upaya menelisik kandungan subtansial data. Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan cara menghubungkan apa yang diperoleh dari suatu proses awal, hal ini ditujukan untuk memahami data yang terkumpul dari sumber, yang kemudian menjadi temuan kerangka berfikir peneliti. Secara umum, peneliti memakai analisis data reflektif yaitu, kombinasi antara berfikir deduktif dan induktif atau dengan mendialogkan data teoritik dan empiric secara berkesinambungan dan nalar kritis.
Adapun peneliti memakai analisis data secara khusus dengan beberapa cara, yaitu : Pertama, Reduksi data, dalam arti bahan-bahan yang sudah terkumpul kemudian dianalisis, disusun secara sistematis dan ditonjolkan pokok-pokok persoalannya. Metode ii secara khusus diaplikasikan untuk mensimplifikasi semua data, melalui cara mengambil intisari data sehingga ditemukan tema pokok, focus masalah, dan pola-polanya. Kedua, Display data, hal ini dilakukan karena data yang terkumpul demikian banyak sehingga dalam praktiknya menimbulkan kesulitan dalam menggambarkan detail keseluruhan, serta kesulitan pula dalam mengambl kesimpulan. Namun demikian, hal ini dapat diatasi dengan cara membuat model dan pemetaan, sehingga keseluruhan data dan bagian-bagian detailnya dapat dipetakan dengan jelas. Ketiga, Heuristik data, yaitu melukiskan dan memperbandingkan dengan asumsi mencari perbedaan dan menarik persamaan, serta menguji hipotesis-hipotesis yang berhubungan dengan tema pemikiran ini, sehingga memungkinkan terbentuk satu peta pemikiran yang kohesif, yang darinya tipologi dapat terbentuk.
5. Pengecekan Keabsahan Temuan
Kata “pengecekan”, yang selanjutnay diganti oleh peneliti menjadi validitas data, merupakan suatu pengujian keabsahan data untuk mengetahui tingkat kepercayaan yang dicapai dan menunjukkan validitas hasl temuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.
Adapun teknik validitas data yang digunakan peneliti yaitu, pertama, credibility, criteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data yang dikumpulkan. Kedua, dependability, criteria yang digunakan untuk menilai proses penelitian dengan melacak apakah peneliti cukup hati-hati dalam mengkonseptualisasikan rencana penelitiannya, baik dalam pengumpulan maupun interpretasi data tersebut. Ketiga, confirmability, criteria yang digunakan untuk menilai validitas nilai mutu data yang dihasilkan peneliti.
6. Tahapan-tahapan Penelitian
Segala tindakan yang melandasi penelitian ini bermula dari teori-teori ajaran Islam yang membawa pesan rahmatan lil ‘alamin yang berbeda dengan kenyataan dilapangan, terutama diwilayah pendidikan Islam. Karenanya tahapan-tahapan penelitian dilakukan dengan semaksimal mungkin.
Secara garis besar tahapan yang dilakukan oleh peneliti ada dua yaitu tahapan analisis teori dan realitas lapangan. Kemudian diterjemahkan oleh peneliti melalui tahapan-tahapan penelitian yaitu, pertama, menyusun kerangka masalah, kedua, pencarian isu central dari pendidikan Islam dan tokoh terdekat yang berpengaruh terhadap perkembangan ajaran Islam, Ketiga, penulisan proposal penelitian sebagai pengajuan sekaligus sebagai evaluasi dan masifitas isu yang akan diangkat, keempat, penelitian (real research) menjadi tahapan yang selanjutnya melalui pengumpulan data, analisis serta pendalaman terhadap perkembangan isu, kelima, penulisan laporan penelitian menjadi tahapan berikutnya dengan tetap mengedepankan unsur ketelitian, kecermatan, kritik dan kritis demi hasil yang maksimal,keenam, uji hasil penulisan laporan (munaqasah) dan penilaian terhadap relevansi hasil penelitian, yang juga menjadi titik akhir dari penelitian.

H. Sistematika Pembahasan
Penelitia ini pertama-tama menguraikan dan menjelaskan bagian pertama meliputi, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, batasan masalah, definisi istilah, metode penelitian dan sistematika pembahasan yang kemudian menjadi pendahuluan dari penelitian. Inti uraian ini dimaksudkan untuk memberi jawaban umum atas pertanyaan metodologis: apa, mengapa, dan bagaimana penelitian ini dilakukan.
Pada bagian kedua, sebelum melakuka tindakan, maka diperlukan pembacaan terhadap sesuatu yang akan ditindak. Karena hal itu akan mencerminkan maksimal dan tidaknya seseorang melakukan tindakan tersebut. Tema Biografi Gus Dur menjadi pilihan peneliti yang didalamnya terbagi menjadi dua. Pertama, Gus Dur; Keluarga dan Pesantren. Kedua, Gus Dur; Lahirnya Kiyai Nyentrik. Pemaparan biografi Gus Dur menjadi penting dihadirkan sebagai gambaran atas bab-bab berikutnya.
Pada bagian ketiga, membahas lebih banyak tentang Covering Epistimologi Gus Dur yang terbagi menjadi dua yaitu, Universalisme Islam Menurut Gus Dur dan Liberalisme Islam Gus Dur. Kedua sub-tema tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran sedetail-detailnya pemikiran Gus Dur yang oleh peneliti disebut dengan “Covering Epistemologi” sebelum masuk pada tindakan atas epistemology Gus Dur dalam realitas-empiris kehidupan beliau.
Bagian keempat, merupakan tindakan kelanjutan dari bab sebelumnya yang menitik beratkan pada realitas empisris dengan pilihan judul tema “Epistemologi Gus Dur; Sebuah Konsep Pendidikan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” yang kemudian terbagi menjadi dua sub-tema yaitu: Pendidikan Islam Humanism dan Pendidikan Islam Liberalism. Sedangkan Bagian kelima, yang merupakan bagian penutup, memuat kesimpulan dan saran-saran yang dinharapkan mampu memperbaiki ketajaman penulis.















BAB II
BIOGRAFI GUS DUR

Mozaik seorang Gus Dur pada dasarnya memiliki multi tafsir karenanya siapa saja akan mudah menafsirkan sosok Gus Dur. Namun tidak satupun intelektual, ulama, budayawan dan politisi yang mampu menyamai Gus Dur. Gus Dur memiliki aplikasi unik yang diperoleh dari didikan keluarga pesantren dan studinya di Timur Tengah dan Barat, orang yang didaulat sebagai guru bangsa ini juga dianugrahi sebagai Man of The Year (orang terpopuler sepanjang tahun) oleh majalah editor pada tahun 1999.
Namun yang paling penting untuk bisa memahami Gus Dur adalah selalu mencoba apa yang tersirat dari pada apa yan tersurat. Pada umumnya, tidak bijak meremehkan atau sebaliknya mengkultuskan Gus Dur, karena ada yang tersembunyi dibalik kasat mata. Seringkali apa yang diucapkan Gus Dur bukanlah apa yang diketahuinya, melainkan apa yang diinginkannya sebagai suatu kebenaran. Gus Dur juga termasuk sosok yang controversial, dalam setiap pernyataan-pernyataannya yang memandang enteng masalah juga menggambarkan mekanise ekstrovert dari kebiasaannya untuk memberikan motivasi kepada dirinya sendiri ketika menghadapi tantangan-tantangan yang benar-benar mengancamnya.
Banyak penghormatan yang diberikan kepada Gus Dur yang memiliki kapasitas intelektual, layaknya ulama, budayawan dan politisi mumpuni. Akan tetapi gaya penyampaiannya dibuku justru memilih bahasa yang sangat sederhana, sehingga karya beliau mampu difahami oleh semua kalangan meskipun tetap hal-hal controversial tidak benar-benar lepas dari setiap karyanya. Multi tafsir terhadap paradigma Gus Dur semakin memuncak, penilaian yang dulunya miring/ bernada negative seolah-olah hilang dengan sendirinya ketika Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009. pernyataan-pernyataan yang dahulunya dianggap controversial mulai mendapat pengakuan dan pembenaran, baik oleh pengikut maupun diluar pengikut dan pengagum pemikirannya, semisal pernyataan Gus Dur sebelum melakukan dekrit presiden pada tahun 2001 yang mengatakan bahwa anggota DPR RI tak ubahnya seperti anak TK (Taman Kanak-kanak) mulai dibenarkan oleh seantero bangsa Indonesia ketika media masa mengekspos kasus-kasus yang melibatkan anggota DPR RI yang justru kemudian disebut oleh Gus Dur sebagai Play Group.
Namun dalam hal ini peneliti mencoba lepas dari isu-isu yang dibangun oleh media dan sedapat mungkin meminimalisir pemakaian referensi dari media masa, hal ini dilakukan agar peneliti memperoleh gambaran utuh dari sosok Gus Dur yang menadi mozaik tersendiri bag bangsa karena gelar pahlawan sudah ramai diperbincangkan secara Nasional sebelum genap 24 jam setelah beliau wafat. Sebaliknya peneliti memanfaatkan benyaknya data yang diperoleh yang kemudian diuji agar memperoleh hasil siobyektif mungkin.

A. Gus Dur; Keluarga dan Pesantren
Tanggal 20 Oktober 1999 merupakan salah satu tonggak penting dalam ikhtiar bangsa ini untuk membangun kehidupan politik yang demokratis. Hari itu boleh dikatakan sebagai peristiwa puncak dari rangkaian gugatan bangsa Indonesia terhadap pemerintah Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun melalui kemenangan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara demokratis untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia. Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4 Indonesia tidak hanya mengejutkan kebanyakan masyarakat Indonesia, melainkan masyarakat dunia, karena Gus Dur pada saat terpilih telah mengalami kebutaan mata.
Hal mengejutkan ini akan terlihat biasa-biasa saja ketika kita melihat lebih dalam sosok Gus Dur melalui biografinya, dimana kita akan menemukan Gus Dur telah menjadi salah satu figure fenomenal yang telah membawa dinamika kesejarahan Indonesia melalui proses yang panjang. Pemikiran-pemikirannya yang dilontarkan pada media masa yang berbeda dengan opini public pada umumnya menjadikan Gus Dur seorang aktivis intelektual yang controversial. Dalam sejarah pemikiran Islam Indonesia, Gus Dur adalah pelopor dari kalangan Islam yang memberikan perhatian dan penghargaan terhadap kaum minoritas non-muslim. Sejak memimpin Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1984, Gus Dur berhasil menemukan pijakan bagi pencarian jawaban yang strategis bagi penguatan civil society bangi bangsa Indonesia kedepan.
Gus Dur lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 sya’ban tahun hijriyah atau 7 September 1940. Gus Dur dilahirkan dalam lingkungan keluarga muslim Jawa terkemuka. Meliau merupakan putra tertua KH. Wahid Hasyim dari enam bersaudara dan juga cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, ibunya Hj. Sholehah adalah adik kandung KH. Bisri Syamsuri dimana keduanya merupakan tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang memliki jaringan pondok pesantren yang tersebar di Nusantara, hingga menempatkan posisi Nu sebagai organisasi terbesar di Nusantara.
Gus Dur memiliki nama kecil yaitu “Abdurrahman ad-Dakhil”. Secara leksikal, ad-Dakhil berarti sang penakluk, sebuah nama yang diambil oelh ayahnya dari seorang nama perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Sebutan ad-Dakhil tidak cukup dikenal, yang kemudian diganti dengan nama belakang ayahnya, sehingga menjadi Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan nama panggilan Gus Dur.
Sejak usia muda, Gus Dur sudah mulai mengenal tokoh-tokoh masyarakat, baik sebelum maupun sepeninggal KH. Wahid Hasyim, karena rumahnya yang sering dijadikan tempat pertemuan para pemimpin NU, para pemuka agama baik muslim maupun non-muslim, aktifis dan politisi dari berbagai aliran. Di samping factor kecerdasan, factor lingkungan dan latar belakang keluarga sangat mendorong kreatifitas dan progresifitas Gus Dur. Sejak kecil Gus Dur sudah memiliki bakat dan kegemaran membaca, mulai dari novel, majalah, surat kabar, dan buku-buku social-politik dan filsafat. Di samping membaca, Gus Dur juga senang bermain catur, sepakbola dan musik serta nonton film, khususnya film-film Prancis. Kegemarannya ini membuat beliau memiliki apresiasi yang mendalam terhadap dunia film yang mengantarkan Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festifal Film Indonesia.
Gus Dur masuk Sekolah Dasar tahun 1946. ketika masih kecil beliau pernah dititipkan secara periodic kepada muslim Jerman yang juga teman KH. Wahid Hasyim, dari sinilah Gus Dur kemudian menyukai musik-musik klasik hingga akhir hayatnya. Selama menempuh studi di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) tahun 1953-1957, Gus Dur diasuh oleh KH. Juaidi, seorang tokoh Majelis Tarjih Muhammadiyah. Setelah lulus SMEP, Gus Dur mula mengembara dari pesantren satu kepesantren yang lain. Tahun 1957-1959, Gus Dur nyantri di pesantren Tegalrejo, Magelang. Tahun 1959-1963, Gus Dur nyantri di Mu’amallat Bahrul Ulum, Tambak Beras, dan kemudian melanjutkan di pesantren al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta dan tinggal di rumah KH. Ali Maksum. Dari pengembaraa dipesantren inilah kedalaman pemikiran Islam konservatif Gus Dur mulai terbentuk.
Pada tahun 1964, Gus Dur berangkat ke-Kairo, Mesir untuk belajar di Universitas al-Azhar pada Departement of Higher Islamic and Arabic Studies (Ma’had Ali Dirasah Islamiyah). Akan tetapi, Gus Dur kecewa dengan metode digdaktik yang mengutamakan hafalan yang dilaksanakan di al-Azhar karena tidak jauh berbeda dengan metode pesantren Jawa yang menekankan kekuatan hafalan. Merasa atmosfir intelektual di al-Azhar tidak mendukung progresivitasnya, selama dua tahun di KAiro. Gus Dur banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan Nasional Mesir (Dar al-Kuttab), dan diperpustakaan milik kedutaan American Univercity Library. Gus Dur juga aktif mengikuti halaqa-halaqa dan mengadakan kontak intelektual dengan ulama dan cendekiawan Mesir. Gus Dur juga aktif dalam diskusi budaya dan politik, khususnya diskusi seputar persoalan Nasionalisme dan sosialisme, pada saat itulah Gus Dur mulai mengenal lebih dekat Nasionalisme Nasserisisme dan Baathisme. Walaupun kecewa dengan system pendidikan al-Azhar sebagai institusi, tetapi Gus Dur sangat senang dengan kehidupan cosmopolitan di kota Kairo.
Karena kekecewaan terhadap Universitas al-Azhar Kairo, Gus Dur kemudian pindah kefakultas Seni Universitas Bagdad Irak tahun 1966-1970, pada masa-masa awal kekuasaan Partai Baath. Selama empat tahun beliau belajar sastra dan kebudayaan Arab, teori-teori ilmu social dan filsahat Eropa. Gus Dur mengakui bahwa pembelajaran di Universitas Bagdad dirasakan lebih dinamis dan dalam banyak hal lebih mirip dengan system di universitas-universitas di Eropa dibandingkan dengan universitas al-Azhar Kairo. Kemiripan itu antara lain corak pendidikan di Bagdad yang lebih sekuler dan bergaya Barat sepertu fakultas Syari’ah dijadikan jurusan agama dan dimasukkan kedalam fakultas sastra. Akan tetapi, setelah sepeninggal professor yang membimbingnya, tesis Gus Dur tertunda kendati seluruh materi kuliah dan ujian sudah ditempuh. Belum rampungnya penulisan tesis menjadikan tidak diakuinya kualitas-kualitas studi di Kairo dan Bagdad di Eropa dan kendala administrasi lain menyebabkan Gus Dur yang mengunjungi Eropa pada tahun 1971 tidak dapat melanjutkan studi S-3 di Eropa.
Gus Dur perna bermaksud belajar di McGill University kAnada untuk studi Islam. Tetapi niat itu akhirnya dibatalkan Karen perkembangan-perkembangan baru di dunia pesantren telah menariknya untuk pulang keIndonesia. Tahun 1972-1974, Gus Dur diangkat menjadi dekan Ushuluddin Institute KH. Hasyim Asy’ari (IKAHA) Jombang, tetapi beliau tetap aktif belajar sebagai dosen. Beliau juga menjadi sekretaris umum Pondok pesantren Tebuireng pada tahun 1974-=1980, sedangkan mulai tahun 1979, Gus Dur juga mulai masuk pada organisasi NU dengan menjadi katib Syuriyah PBNU. Tahun 1978, Gus Dur pindah keJakarta untuk mengasuh pesantren Ciganjur, beliau juga menjadi staf pengajar di Program Training untuk Pendeta Protestan. Hubungan yang telah dijalin dengan Nur Chalis Madjid, Djohan Efendi, Marsilam Simanjuntak dan beberapa aktifis dari kalangan non-muslim telah memotivasi Gus Dur untuk lebih intens terlibat dalam forum-forum kajian seputar kerukunan umat beragam, social, budaya dan politik. Sosok Gus Dur sebagai budayawan semakin jelas terlihat ketika tahun 1982-1985, Gus Dur diangkat menjadi Dewan Kesenian Jakarta. Beliau juga pernah dua kali menjadi juri dalam Festifal Film Indonesia yang memposisikan ketidak laziman Gus Dur sebagai keturunan ulama atau kiyai yang terpandang di Indonesia untuk dijadikan sebagai juri film.
Di samping itu, Gus Dur adalah pendiri dan ketua POKJA Forum Demokrasi (FORDEM) tahun 1991, salah satu presiden World Council Religion and Peace (WRCP), anggota Dewan Pembina dan pebdiri Pusat Simon Peres untuk Perdamaian, dan penasihat The International Dialogue Soundation Project on Perspective Studies and Secular Law (Proyek pembinaan dialog internasional untuk kajian-kajian wawasan dan hokum sekuler) tahun 1994 dan Deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kemudian juga menjadi calon presiden RI ke-4 dan terpilih melalui kemenangan atas Megawati Soekarno Putri pada Pemilihan Umum (PEMILU) tahun 1999. sebelumnya, tahun 1985-1990 Gus Dur juga berhidmad di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pernah menjadi salaj seorang yang turut memberi pertimbangan untuk penerimaan penghargaan Agha Kahan Award untuk arsitektus Islam Indonesia tahun 1080-1983.
Pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, Gus Dur terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Hal ini bukan saja merupakan kemenangan Gus Dur, tetapi juga merupakan kemenangan kalangan NU tajdid. Muktamar Situbondo ini juga secara formal konseptual telah menetapkan posisi NU kembali ke-Khittah 1926, peran kalangan muda dalam mengembalikan NU ke-Khittah 1926 cukup besar. Gus Dur dan beberapa kalangan NU muda sebelum muktamar menang sudah menggulirkan gagasan evaluatif terhadap kiprah politik NU sejak 1977.
Gus Dur dan kelompok intelektual NU yang liberal dan progresif ini, pada tahun 1983 sudah membentuk kelompok majelis 24 untuk menyusun konsep kembali ke-khittah 1926 yang kemudian disetujui oleh peserta muktamar di Situbondo. Konsep kembali kekhittah telah membuka nuansa baru bagi warga Nahdliyin untuk lebih bebas menentukan kiprah dan aspirasi politiknya. Khittah 1926 juga bermuatan cultural sebagai titik awal dimulainya pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Pasca Khittah 1926 peran politik Nu bergeser menuju peran transformative dengan mempersiapkan warganya memasuki era-industrialisasi tanpa kehilangan sendi-sendi keagamaannya.
Gus Dur merupakan agamawan dan pemikir liberal di Indonesia. Salah-satu cirri khas yang membedakan Gus Dur dengan pemikir Islam pada umumnya adalah corak gagasan yang revolusioner. Komitmennya yang tinggi terhadap persoalan humanitarianism dan demokrasi telah menjadikan Gus Dur sebagai tokoh yang memiliki pergaulan luas dengan seluruh komponen bangsa. Wawasan intelektualnya yang luas diilhami dari pergumulan wacana yang digelutinya sejak dinimenyebabkan Gus Dur menjadi seorang pemikir yang cukup progresif dan liberal, baik dalam persoalan agama, social, budaya, pendidikan, maupun politik. Liberalisme pemikiran inilah yang menjadikan Gus Dur sebagai sosok yang controversial, bukan saja dalam kancah pemikiran dan pergerakan Islam Indonesia pada umumnya, tetapi juga inten tubuh NU sendiri.
Latar belakang pendidikan tradisional Gus Dur dan kajian-kajian liberal yang digelutinya telah membuahkan pemikiran yang cosmopolitan. Corak intelektualnya merupakan paduan kesarjanaan Islam tradisional dan pendidikan otodidak Barat sehingga memunculkan sintesis berupa perhatian serius Gus Dur terhadap persoalan-persoalan modernitas. Pergulatannya dengan denia pesantren yang hirarkis dan penuh etika dunia Timur Tengah yang terbuka dank eras, serta budaya Barat yang liberal, rasional, dan sekuler telah membentuk kultur kepribadian yang sintetik dalam diri Gus Dur. Tiga model lapisan budaya yang pernah digulitinya inilah yang menyebabkan Gus Dur menjadi sosok pemikir yang penuh teka-teki. Beliau bukanlah pemikir tradisional-konservatif, tetapi juga bukan modernis Islam. Gus Dur merupakan sosok pemikir dan pemimpin ORMAS tradisional yang memiliki pandangan liberal, bahkan lebih liberal dari kalangan modernis Islam.
Di Internal tubuh NU sendiri, Gus Dur berhasil menciptakan citra baru bagi NU. Selama ini, NU dikenal sebagai organisasi Islam tradisional-konservatif. Citra in dilawan Gus Dur dan angkatan muda NU yang menggagas liberalisme NU. Wacana yang ada di Nu tidak lagi terbatas pada akhidah, fiqh, dan tasawuf, tetapi sudah memasuki wilayah-wilayah sekuler. Untuk membedakan dengan kelompok modernis Islam, kalangan muda NU sering menyebut pemikiran-pemikiran pembaharuannya sebagai pemikiran post-tradisionalism Islam, bukan modernisme, neorevivalisme atau neomodernisme.

B. Gus Dur; Lahirnya Kiyai Nyentrik
Gus Dur tergolong pemikir yang liberal, moderat, dan longgar. Secara garis besar perkembangan pemikiran Gus Dur yang tertuang dalam tulisan-tulisannya, dapat dibagi menjadi dua periode.
Periode Pertama; meliputi segenap tulisan Gus Dur antar tahun 1970 sampai akhir 1980. Pada periode ini Gus Dur banyak mengangkat isu perkembangan dan pembaharuan di pesantern. Periode ini merupakan awal dari produktifitas pemikiran Gus Dur sejak kepindahannya ke-Jakarta pada akhir 1977. pada periode ni Gus Dur banyak menekankan pemikiran dan gerakan-gerakan social, cultural, pendidikan, politik dan mengangkat isu-isu keagamaan yang berhubungan dengan pesantren.
Gagasan-gagasan Gus Dur pada periode ini telah mengindikasikan respon kalangan tradisionali Islam (NU) terhadap modernitas. Selain sebagai putra Nu terbaik, Gus Dur pada periode ini telah menjadi salah seorang elit intelektual yang ditunjukkan dalam berbagai tulisannya di media masa, seperti majalah Tempo dan harian Kompas, yang menekankan pentingnya humanitarianisme. Kehadiran tulisan Gus Dur dimedia masa dan partisipasi aktifnya dalam diskusi-diskusi dikalangan intelektual Jakarta telah menjadikan Gus Dur sebagai aktifis yang menaruh perhatian besar dalam upaya transformasi masyarakat muslim Indonesia.
Periode Kedua; Dari tahun 1980-an sampai dengan tahun 1990-an. Ini merupakan periode ketika Gus Dur lebih menjadikan isu-isu demokrasi, pluralisme, HAM, kebebasan berekspresi, kebebasan pendidikan, dan pribumisasi Islam (Nativization of Islam) sebagai perhatian utama. Pada periode ini artikel-artikel yang dimunculkan sudah mulai keluar dari wacana pesantern. Hal ini berbeda dengan periode awal tahun 1970-an yang lebih menonjolkan revormasi pesantren.
Sebagai seorang intelektual, Gus Dur mengomunikasikan pemikiran-pemikirannya lewat tulisan-tulisan dalam berbagai topic yang beberapa diantaranya sudah dijadikan buku, sebagaian lain telah menjadi artikel ilmiah bagian dari sebuah buku editorial. Gagasan Gus Dur dan sikapnya dalam menanggapi persoalan yang berkembang ditengah masyarakat banyak dijumpai dalam buku hasil karyanya, disamping yang termuat dimedia masa, jurnal laporan penelitian, atau yang dapat ditemukan dalam hhasil wawancara.
Diantara karya-karya Gus Dur yang sudha diterbitkan dalam bentuk buku adalah sebagai berikut :
1. Bunga Rampai Pesantren
Buku ini mengangkat isu-isu,apresiasi, serta kesinambungan pesantren sebagai sub-kultur.
2. Muslim ditengah Pergumulan
Respon Gus Dur atas berbagai persoalan modernitas menjadi isi dan perhatian pertama buku ini.
3. Prisma pemikiran Gus Dur
Buku ini tidak menekankan pada topic tertentu tetapi pada pemikiran Gus Dur secara umum yang terkait dengan hubungan agam dan idiologi Negara, HAM, Integrasi Nasional dan gerakan keagamaan.
4. Mengurai Hubungan Agama dan Negara
Buku ini berisi gagasan Gus Dur tentang hubungnan agama-agama, demokrasi, civil society, inklusifisme dan dinamika NU.
5. Membangun Demokrasi
Di samping persoalan politik yang dijadikan perhatian utama dalam buku ini, seperti hubungan agama Negara, demokrasi, PEMILU, dan rekonsiliasi, Gus Dur juga mengulas persoalan toleransi dan kebebasan beragama.
6. Tuhan Tidak Perlu dibela
Penekanan utama buku ini adalah demokrasi dan inklusifisme ke-Islam-an.
7. Kiyai Nyentrik Membela Pemerintah
Buku ini merupakan kumpulan dari esai Gus Dur dimajalah Tempo sekitar tahun 1970-an sampao 1980-an. Buku “antropologi kiyai” ini berisi kejelian Gus Dur dalam melihat realitas pesantren dan sosok-sosok pengasuhnya. Salah-satu penekanan utama dalam buku ini adalah bahwa di pesantren terdapat rasionalitas penuh warna yang bergerak diantara ortodoksi dpragmatisme.
8. Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren
Buku ini menjelaskan bahwa pesantren merupakan pranata pendidikan tradisional yang dinamis dan memiliki fondasi yang kuat dalam mengarahkan dan menggerakkan dinamika masyarakat. Gus Dur menolak penilaian bahwa pesantren menjadi sumber stagnasi ummat.
9. Islamku Islam Anda Islam Kita
Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan Gus Dur yang sebelumnya sudah ditulis dimedia masa dan juga telah dicetak menjadi buku sebelumnya. Buku ini lebih bersifat pengumpulan tulisan Gus Dur yang lebih banyak mengupas tentang rasionalitas Islam dalam menghadapi tantangan perubahan zaman, baik terkait perubahan Islam Idiologi, kultur, Negara, HAM, pendidikan dan budaya yang lebih meleburkan posisi Islam pada masyarakat internasional yang diidam-idamkan sebagai masyarakat liberal.
10. Islam Kosmopolitan
Buku ini merupakan tulisan Gus Dur yangterakhir dicetak. Namun buku ini mewakili semua karya Gus Dur dari periode pertama dan periode kedua pemikiran Gus Dur, karena dalam buku ini termuat banyak ide-ide Gus Dur mulai dari pergulatan gagasan hingga pergulatan politik, baik sebelum menjadi Ketua Umum PBNU hingga setelah lengser, baik sebelum maupun setelah dilengserkan sebagai Presiden RI ke-4. dalam buku ini menunjukkan kedalaman pemikran Gus Dur yang dapat dilihat dari banyaknya referensi yang dipakai oleh Gus Dur, mulai darai pemikiran kiri hingga kanan, mulai dari dunia Timur hingga Barat, mulai dari referensi yang kaku hingga lunak seperti novel.
Setiap karya Gus Dur pada dasarnya merupakan apa yang dipikirkannya yang diterjemahkan pada bentuk aplikasi empiris. Pilar-pilar pemikirannya juga menjadi bagian besar kemauannya yang keras akan sebuah perubahan masyarakat stagnan menuju masyarakat yang progresif dan bebas. Yang dimaksud pilar keislaman dalam kontek ini adalah corak pemikiran Islam yang terkait dengan pemahaman keagamaan dan pembaharuan, hubugan Islam dan kebangsaan serta gerakan social. Depskripsi awal pemikiran dalam mengnkaji gagasan Islam cosmopolitan Gus Dur dianggap penting guna mengetahui arah dan implikasi dari pemikiran Islam cosmopolitan yang dimunculkannya.
Sebagai aktifis dari kalangan pesantren, corak pemikiran cosmopolitan Gus Dur tidak dapat dilepaskan dari corak pemahaman keagamaan kalangan NU dan pesantren pada umumnya. Kendati kalangan tradisionalis Islam secara teoritis lamban menerima perubahan dan kurang inovatif dalam pemikiran Gus Dur memiliki corak pemahaman keislaman yang progresif inklusif, bahkan melampaui alur yang ditempu para pendahulunya dari kalangan pesantren tradisional. Ada tiga pilar pemikiran Gus Dur yang mendasari pemikiran cosmopolitan yang dikemukakannya.
1. Islam dan Reformulasi
Gus Dur memiliki pandangan dasar bahwa Islam harus secara aktif dan subyektif ditafsirkan dan dirumuskan ulang agar tanggap terhadap tuntutan kehidupan modern. Corek progresif dan inklusif dalam pemahaman keislaman Gus Dur ditandai dengan sikapnya yang mau menerima perubahan, bahkan menjadikannya suatu keharusan. Dengan gagasan reformulasi Islam ini tampak bahwa secara sosiologis Gus Dur bermaksud mengadakan reorientasi terhadap ajaran Islam dan fenomena social guna mengubah perilaku social keagamaan umat Islam dalam menciptakan hubungan-hubungn social baru. Hubungan-hubungn social baru inilah diharapkan mempengaruhi perubahan social.
Bagi Gus Dur, Islam harus ditafsirkan ulang dan dirumuskan kembali agar dapat memenuhi tuntutan kehidupan ummat Islam yang terus berkembang. Ummat Islam harus menafsirkan kembali secara terus-menerus al-Qur’an dan al-Hadits mengingat situasi manusia yang selalu berkembang dan berubah. Interpretasi dalam reformulasi itu akan secara continue terjadi sesuai aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Lebih lanjut Gus Dur merupakan, “Islam yang pada mulanya bertumpu pada pilar kehidupan berupa hukum agama (syari’at), kesusilaan (akhlak), dan akhidah (teologi), dipaksa oleh perkembangan zaman untuk mempertanyakan kembali keabsahan pilar-pilar itu sendiri”. Pernyataan ini mencerminkan penerimaan secar positif terhadap dinamika social yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembaharuan pemahaman keagamaan.
Cara pandang Gus Dur yang apresiatif terhadap perubahan ini salah-satunya bersumber dari qaidah yang dianut ulama’ NU pada umumnya yaitu al-muhafadha ’ala al-qadim as-shalih wa akhdzu bi al-jadid al-aslah (memelihara nilai lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik) dari sinilah Gus Dur menekankan bahwa tantangan ummat Islam saat ini adalah melakukan perubahan. Untuk itu, diperlukan proses kreatif yang dinamis dengan menjadikan warisan masalalu sebagai dasar inspirasional, bukan dasar legal formal guna menemukan formulasi Islam yang lebih baik sesuai dengan realitas sosiologis dalam kerangka ke-Indonesia-an.
Urgensi dari reformulasi Islam sangat diperlukan dalam upaya menyesuaikan Islam dengan realitas kehidupan muslim yang berjalan dinamis dan beragam. Dengan melihat istilah dinamisasi yang begitu ditekankan, tidak salah jika dikatakan bahwa reformulasi yang dimaksud Gus Dur adalah reformulasi yang dilakukan secara tereus-menerus tanpa perlu ada pembakuan. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan wajah dan sifat progresif Islam yang relevan yang dapat diterima. Pandanga tentang perlunya reformulasi ini sekaligus merupakan upaya penolakan terhadap penganut formulasi Islam yang ingin menjadikan agama sebagai sumber normative dalam konteks kenegaraan karena yang demikian dianggap oleh Gus Dur telah mematikan dinamika ummat Islam dalam memahami pesan-pesan agama. Pesan-pesan agama seharusnya juga difahami dalam konteks perubahan. Di sinilah urgensi upaya reformulasi Islam secara berkelanjutan.
Dengan upaya reformulasi Islam ini, Gus Dur bermaksud menghindarkan diri dari jebakan-jebakan keagamaan yang melembagakan diri secara berlebihan. Jika agama terjebak pada kelembagaan diri, dinamika dalam Islam akan melemah, bahkan kemungkinan bisa hilang. Wajar jika Gus Dur begitu memberikan perhatian akan perlunya reformulasi Islam sehingga Islam mampu menyalurkan pesan-pesan moralnya tanpa harus terkungkung oleh formulasi yang mengekang.
Di balik pemikiran yang brilian ini secara sosio-historis ternyata Gus Dur gagal menanamkan pemahaman yang demikian terhadap ummat Islam dan kalangan umalam’ NU pada khususnya. Kecuali kalangan muda Nu yang aktif dibertbagai lembaga kajian dan pemberdayaan masyarakat, pemikiran reformulasi Islam yang diungkapkan Gus Dur belum dapat difahami oleh para pengikutnya. Secara sosiologis terdapat kesenjangan yang begiru jauh antar pola pemikiran dan pemahaman Gus Dur terhadap Islam dan pemahaman yang dicapai oleh kalangan pengikut tradisional. Kesenjangan ini tampak di pesantren-pesantren dan di pedesaan yang masih taqlid terhadap hal-hal yang dinyatakan oleh para kiyai tanpa mampu berfikir kritis, sedangkan pemikiran reformulasi Islam sesungguhnya jauh lebig bermuatan kritis dari pada modernisme Islam.
2. Islam dan Dasar Negara
Wacana hubungan antara Islam dan kebangsaan merupakan wacana yang cukup fundamental dalam konstelasi social dan politik di Indonesia sejak Negara ini berdiri. Perbedaan pandangan diantar para intelektual aktifis Indonesia tentang keterkaitan diantar keduanya sangat ditentukan oleh pola pemahaman atas ide-ide moral yang dibawa oleh normativitas wahyu.
Bagi Gus Dur, dalam konteks ke-Indonesia-an Islam tidak boleh menjadi agama Negara. Corak pemikiran terhadap ke-Islam-an dalam kerangka Islam cosmopolitan Gus Dur yang terkait dengan hubungan agama dan kebangsaan merupakan kelanjuran dari corak pemahaman dan pembaharuan keagamaan. Gus Dur melihat bahwa Islam perlu dijadkan factor komplementer bersama-sama komponen bangsa yang lain dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi bangsa secara keseluruhan.
Jika Islam secar legal-formal dijadikan asas kenegaraan, dihawatirkan akan menciptakan kendala psikologis bagi ummat non-muslim yang juga pemilik negeri ini dalam partisipasi aktifnya membangun bangsa. Jika ini terjadi, akan menyebabkan rapuhnya ikatan kebangsaan yang sudah dibangun para pendiri bangsa. Gus Dur menolak secara keras pemikiran dan gerakan Islam yang menawarkan Islam sebagai factor tandingan atau alternative. Idealisasi Islam yang berupaya menjadikan formalitas agama sebagai bangunan normative dalam mewujudkan ajaran Islam sebgai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dalam pranata Negara, dianggap oleh Gus Dur sebagai sikap eksklusif yang akan menjadikan kepentingan Islam sebagai kredo dan ummat Islam sebagai tali solidaritas primordial. Tampak dalam pandangan Gus Dur bahwa yang lebih penting adalah bagaimana tauhid dan pengamalan syariat agama oleh individu dan masyarakat dapat berjalan dalam Negara. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa pola pemikiran Islam cosmopolitan Gus Dur lebih bercorak trnasformatif dalam arti mengimplementasikan prinsip kemanusiaan serta menempatkannya diatas solidaritas primordial.
Gus Dur lebih menginginkan adanya Negara tempat ummat Islam dapat menegakkan tauhid dan menjelaskan syariat tanpa harus mengukuhkan syariat sebagai sumber hukum. Jadi, kunci syariat itu terletak pada sejauhmana ummat Islam mengamalkannya dalam kehidupan serhari-hari, bukan pada formulasi Islam sebagai sumber hokum dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.


Yang melatarbelakangi corak pemikiran deformulasi Islam ini adalah realitas bahwa Negara dan bangsa dengan wawasan kebangsaan merupakan fakta histories keindonesiaan yang tidak dapat dihindari. Atas dasar inilah, Gus Dur menegaskan perlunya mengimplementasikan Islam sebagai etika social yang menempatkan Islam sebagai factor komplementer dalam kehidupan bernegara yang memiliki masyarakat plural ini. Maksudnya bahwa masyarakat Indonesia yang plural mengharuskan adanya pranata hokum yang tidak bersifat sectarian.
Pluralisme masyarakat Indonesia merupakan fenomena yang tidak dapat dibantah sehingga idealisasi dan formulasi Islam sebagai konstruksi social adalah upaya pelarian diri dari fakta yang ada. Dengan gagasan deformalisasi Islam dalam kehidupan berbangsa ini, tampak bahwa Gus Dur bermaksud mengupayakan problem-problem bangsa yang berangkat dari kultur fundamental Islam bukan berangkat dengan formulasi Islam sebagai sumber hokum di Indonesia. Maksudnya, progresifitas pemikiran seseorang itu muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai subyek.
3. Islam dan Kulturalisme
Gus Dur memandang Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis dan pluralis. Sebagai kelanjutan dari corak pemikiran Islam dan kebangsaan, Gus Dur memberi penekanan pada pemikiran tentang gerakan social. Corak pemikiran dalam gerakan social lebih cenderung pada gerakan sosio-kultural yang berupaya menampilkan sosok Islam dalam kesadaran hidup sehari-hari dan membangun system kelembagaan masyarakat tanpa harus membawa bendera agama. Gerakan sosio-kultural cederung pada gerakan penyadaran dan pemberdayaan masyarakat dan system kelembagaannya sebagai komitmen terhadap demokrasi dan terbentuknya masyarakat/ civil society. Melalui pemikiran Islam sebagai kekuatan cultural ini, secara sosiologis menunjukkan adanya indikasi bahwa Gus Dur telah mengupayakan penempatan Islam sebagai penyelamat social.
Upaya social salveation (penyelamat sosial) ini tampak dalam formulasi Islam yang ketengahkannya yang memberikan perhatian utama pada persoalan-persoalan kemasyarakatan secara umum. Implkasi dari pemikiran yang demikian adalah tidak menjadikan dan mengatasnamakan Islam dalam membangun kekuatan untuk merebut wilayah-wilayah struktur kekuasaan. Gus Dur menolak gerakan yang dilakukan oleh ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan partai-parti politik serta gerakan menuju formulasi Islam.
Gus Dur menuding ICMI adalah salah-satu kalangan Islam intelektual eksklusif yang tidak menghargai pluralisme agama. ICMI mencoba melakukan infiltrasi dalam rangka Islamisasi pemerintah dan masyarakat. ICMI juga memunculkan isu-isu adanya “bahaya kristenisasi”. Bagi Gus Dur keberadaan ICMI merupakan sumber benturan baru. Dengan sendirinya perdebatan seru mengenai isu kristenisasi ini akan mengganggu hubungan antar agama yang sedang dibangun. Menurut Gus Dur, Islam seharusnya tidak ditamplkan secara eksklusif dan diskriminatif terhadap pikhak lain. Dalam gerakan sosio-kulturalnya Gus Dur justru mengintegrasikan gerakannya dalam kegiatan bangsa secara keseluruhan dalam memnghadapi masalah bangsa. Gus Dur bermaksud mengadakan perubahan tanpa harus memasuki wilayah kekuasaan yang mengatasnamakan agama. Namun, corak pandangan yang demikian telah tergeser, khususnya yang terkait dengan wilayah politik kekuasaan yang ditandai dengan aktifitasnya di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai kekuatan politik praktis dan juga aktifitas dalam jabatannya sebagai Presiden RI ke-4 yang pernah diembannya.
Cara pandang Islam komopolitan yang dikemukakan Gus Dur adalah akomodatif, moderat, pluralis, dan anti sectarian sehingga diharapkan ummat muslim dapat menerima dan mengembangkan kerjasama dengan non-muslim. Cara padang yang demikian sangat riskan memunculkan kontroversi didalam tubuh ummat Islam karena kalangan yang cenderung pada gerakan Islamisasi masyarakat Indonesia dan kalangan Islam politik akan mudah melihatnya sebagai cara pandang yang dapat menyebabkan hilangnya identitas keislaman.

Cara pandang Gus Dur yang bercorak akomodatif tersebut dianggap sebagian kalangan muslim telah keluar dari batas-batas toleransi.untuk menyelamatkan karakter da identitas keislamannya, para kaum konservatif dan sectarian cenderung melakukan gerakan formal-eksklusif. Hal ini pula yang kemudian melahirkan berbagai konflik social yang mengatasnamakan agam sebagaimana di Situbondo, Aceh, Ambon dan daerah-daerah di Indonesia lainnya. Karenanya Gus Dur dengan lantang menolak pola piker tersebut agar konflik social dapat didialogkan melalui kultur masyarakat itu sendiri.















BAB III
COVERING EPISTIMOLOGI GUS DUR

Gus Dur adalah sosok yang tidak mudah difahami. Tindakan dan gagasan Gus Dur, baik baik kapasitasnya sebagai tokoh agam, budayawan, cendekiawan, Guru Bangsa maupun politisi sering melampaui kesanggupan masyarakat luas untuk memahaminya. Sangat wajar jika kemudian banyak tokoh yang kurang berhasil membaca siapa sebenarnya Gus Dur. Ini berarti tidak ada pihak yang mengklaim atau dianggap representative dan karenanya, bisa berpretense menjadi penafsir tunggal pemikir Gus Dur, yang kemudian diistilahkan oleh peneliti dengan Covering Epistimologi Gus Dur.
Gus Dur adalah sebuah teks berjalan, sedangkan kita seperti penafsir sebuah teks yang terbuka, dan dengan sendirinya memiliki posisi yang sama. Menurut Zanubah Arifah “putri Gus Dur”, Gus Dur herve is time (sangat jauh melampaui zamannya), dan ada seorang kiyai dari Pandegelang mengatakan dengan sangat sederhana “Gus Dur adalah kepala lokomotif kereta Jepang yang sangat sauper sonic, sedangkan kita adalah gerbong kereta Gaya Baru (nama kereta api Indonesia)” jadi terseok-seok tidak bisa mengikuti”. Menurut Sutrisno Bachir “Ketua Umum PP. PAN”, Gus Dur adalah manusia langka, aneh, tapi juga jenius. Menurut Ahmad Dani “Musisi The Rock Indonesia” Gus Dur terlalu maju bagi Indonesia, kecerdasannya dalam forum dialog dan diskusi hingga sekarang masih menjadi misteri, karena Gus Dur mampu berkomunikasi didalam forum tersebut meskipun beliau tertidur.
Gus Dur dan Cak Nur pernah menggegerkan jagad pemikran Islam Indonesia. Cak Nur menggagas tentang pentingnya sekularisasi sehingga Muhammad Kamal Hasan-pun mentipologikannya sebagai modernis-sekular. Cak Nur juga menterjemahkan ungkapan syahadat yang diyakini sebagai rukun Islam pertama dengan menterjemahkan “Tiada Tuhan Selain Tuhan” dalam hal ini, kelompok Islam scriptural pun menganggap sebagai “kejahatan” intelektual dan menyelewengkan makna Islam. Gus Dur juga mengungkapkan bahwa Assalamualaikum bisa juga diganti dengan selamat pagi atau selamat siang. Sebagai konsekwensinya, keduanya sering berhadapan dengan kekuatan Isl;am scriptural. Gus Dur bahkan pernah diusir dari forum kajian lintas agama di Pekalongan. Cak Nur juga dianggab membonsai Islam atau mereduksi Islam dengan faham sekuler, tidak hanya didalam pemikiran tetapi juga didalam tindakan, misalnya dalam bentuk fiqh lintas agama. Karena memang Gus Dur tidak sedang berada pada waktudan tempat yang tepat. Aktifitas dan pemikirannya terlalu jauh meninggalkan zamannya. Hanya masyarakat maju dan tercerahkan yang bisa mengapresiasi perjuangannya.
Ada yang menarik dari koferensi tahunan ke-7 yang diadakan oleh Globalization for The Common Good, From The Middle East to Asia Facific: Arc of Conflict or Dialogue of Cultures And Religions, 30 Juni-3 Juli 2008, di Melbourne, Australia. P[ara peserta dan pembicara yangberasal dari universitas-universitas terkemuka pelbagai Negara ini hampir selalu menyebut nama mantan Presiden RI ke-4 yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai contoh ideal pemuka agama tradisional yang begitu gigih memperjuangkan semangat toleransi dan perdamaian.
Prof. Muddathir Abdel Rahim (International institute of Islamic Thought and Civization, Malaysia) menunjuk Gus Dur sebagai sosok yang berhasil membalik prasangka banyak kalangan tentang wajah Islam yang cenderung dipersepsikan tidak ramah terhadap isu-isu toleransi dan perdamaian. Prof. Abdullah Saeed (The University of Melbourne) juga mengakui posisi penting Gus Dur dalam upaya kontekstualisasi nilai-nilai universal al-Qur’an. Dr. Natalie Mobini Kesheh (Australian Baha’I Community) mengatakan bahwa satu-satunya pemimpin Islam dunia yang begitu akomodatif terhadap komunitas Baha’I adalah Gus Dur. Prof. James Haire (Charles Stuart University, New South Wales) berkali-kali emberi pujian kepada Gus Dur yang ia nilai paling gigih dalam memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas. Sementar Dr. Larry Marshal (La Trobe University, Australia) menyebut Gus Dur sebagai pemikir cemerlang yang memiliki pandangan luas. Marshal bahkan sangsi Indonesia bisa melahirkan pemikir-aktivis seperti Gus Dur dalam jangka seratus tahun kedepan. Apresiasi dan pujian dari masyarakat intelektual dunia ini bukan sekali ini saja. Gus Dur kerapkali menerima sejumlah penghargaan dari banyak lembaga internasional yang bersimpati terhadap perjuangannya selama ini. Gus Dur dianggap sebagai harapan bagi masa depan perdamaian di Indonesia dan duniaIslam pada umumnya. Melalui aktivitas pembelaan terhadap kelompok pinggiran, Gus Dur telah memberikan bukti bahwa Islam juga punya semangat toleransi dan perdamaian, bahkan dalam bentuk tradisional sekalipun.
Ahmad Suaedy Direktur Eksekutif The Wahid Institute, mengatakan; referensi yang sering dipakai oleh Gus Dur dalam setiap penulisan karyanya sangat luar biasa, mulai dari novel abad pertengahan, referensi Barat, sampai referensi terbesar abad keemasan Islam. Hal ini memposisikan Gus Dur sebagai pemikir progresif. Kelebihan Gus Dur disbanding pembaharu-pembaharu lainnya, yaitu penguasaannya yang kuat pada khazanah Islam klasik. Di samping melakukan kritik terhadap sejumlah tradisi, Gus Dur juga mempertahankan tradisi tersebut sebagai bangunan dasar untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan pemikiran Islam. Misalnya melalui pendekatan fiqh dan ushul fiqhnya, Gus Dur melakukan pembaharuan pemikiran Islam. Terma hifdh a-din, satu diantara al-dharuriyyat al-khams (lima prinsip dasar) yang lumrah dikenal dalam fiqh klasik, oleh Gus Dur dimaknai sebagai “kebebasan beragama”. Hifdh al’aql yang biasanya dimaknai larangan meminum-minuman keras, oleh Gus Dur menjadi bermakna “kebebasan berfikir dan berekspresi”.
Keragaman pemikiran Gus Dur sebagaimana diatas pada dasarnya mempermudah peneliti dalam pencarian data, hal ini dibuktikan dengan banyaknya data yang terkumpul. Metode analisis data yang dipakai oleh peneliti adalah display data, hal ini dilakukan karena data yang terkumpul demikian banyak sehingga dalam prektiknya menimbulkan kesulitan dalam emnggambarkan detail keseluruhan, serta kesulitan pula dalam mengambil kesimpulan. Dari metode display data tersebut, kemudian peneliti menggunakan pendekatan tipologis secara virtual dan dominant dalam mengcover epistimologi Gus Dur, dimana pendekatan ini berdasarkan pola piker dan asumsi bahwa karakteristik umum dan mutlak beda terhadap epistimologi Gus Dur itu tidak ada, yang ada adalah kemiripan epistimologi Gus Dur dengan karakteristik yang batas bedanya tiada pasti. Sebagaimana perspektif Dhavomony, pendekatan tipologis mengamati pola atau sifat khas dari pemikiran individu atau kelompok yang membedakannya dengan yang lain. Dengan demikian, pendekatan tipologis merupakan gagasan dan pemikiran yang terbentuk dari susunan unsure-unsur karakteristik epistimologi Gus Dur melalui sejumlah fenomena yang diamati oleh peneliti. Terlebih ucapan Gus Dur adalah tradisi, maka pemikiran-pemikiran Gus Dur mudah mengalami penerjemahan pada tingkat praksis dilapangan meskipun sangat rumit dalam covering epistimelogi Gus Dur.

A. Universalime Islam Menurut Gus Dur
Telah banyak kitab yang ditulis ulama masyhur untuk menafsirkan ayat-ayat suci al-qur’qn yang merupakan garis-garis besar ajaran Islam itu dengan menggunakan ayat-ayat lain didalam kitab suci tersebut sebagai bandingan, dan Sunnah Rasul sebagai penjelas. Namun, dalam al-Qur’an sendiri, ciptaan Tuhan diseluruh dunia secara jelas disebutkan sebagai “ayat-ayat Allah”, misalnya dalam surah ‘Ali Imran 190 disebut, Sesungguhnya dalam ciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang berakal (dapat berfikir). Karenanya, maka sebagai pandangan untuk mendapatkan arti ayat-ayat al-Qur’an yang menyangkut al-kaun dapat digunakan juga ayat-ayat Allah yang berada didalam alam semesta ini. Ayat-ayat al-kaun merupakan gambaran sisi universal (penerapa norma-norma atau nilai-nilai secara umum, menyeluruh tentang berbagai bidang) dari ajaran Islam.
Sejalan dengan universal ajaran Islam karakter pemikiran Gus Dur yang dapat dilihat darisetiap karya ataustatemen yang beliau ungkapkan disetiap kesempatan juga mengandung makna atau nilai universal. Persamaan nilai ini merupakan keniscayaan seorang Gus Dur yang terlahir dan terdidik dari keluarga yang memiliki akar sejarah ketokohan dalam bidang agama yanga sangat kuat, hal ini pula yang mendasari penilai Gus Dur selalu diambil dari nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam.
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manivestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlak, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsure-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyah).
Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat dimuka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kedholiman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian diatas. Sementara itu, universalisme yang bercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsure-unsur utama kemanusiaan itu diimbangipula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradapan Islam sendiri.
Keterbukaan yang membuat kaum muslim selama sekian abad menyejrap segala ,macam manivestasi cultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradapan-peradapan lain, baik yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi antara peradaban-peradapan yang dikenal itu, waktu itu dikawasan dunia Islam, yang kemudian mengangkat peradapan Islma ketingkat yang sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan sejarawan agung Arnold. J Toynbee sebagai Oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, menurut Arnold. J Toynbee adalah salahsatu diantara enam belas Oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari Oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Salah-satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawai terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literature hukum agama (al-kutub al-fiqhyah) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar ketentuan hokum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hokum, dan (5) keselamatan profesi.
Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hokum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai denga hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antar sesame warganya, sedangkan nkedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan social dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui bahwa pandangan hidup (world view, weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan social.
Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi warga msyarakat melandasi hubungan antar warga masyarakat ats dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggangrasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kedhaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah ummat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inhernt dari kehidupan manusia. Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah “orang besar”, walaupun sasarannya selalu “orang kecil”. Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan orang kecil membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggangrasa dalam membangun masyarakat. Justru toleransilah yang melakukan transformai social dalam skala massif sepanjang sejarah, bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagai pendobrak moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan pendobrak atas ketidak adilan wawasan hidup jahiliyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan terhadap perbedaan pendapat dan pembenturan keyakinan. Jika perbedaan pendapat dapat ditolelir dalam hal paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggangrasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedan pandangan politik dan idiologi. Tampak nyata dari titik aspek ini, bahwa Islam melalui pandangannya memiliki pandangan universal yang berlaku untuk ummat manusia secara keseluruhan.
Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karenakeluarga merupakan ikatan social paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh system kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran, kelompok supra-keluarga senantiasa mencoba menghilangkan, atau setidak-tidaknya menyempitkan ruang ruang gerak individu masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan kebenaran masing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagi keyakinan, termasuk keimanan kita, dan dalam prose situ membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri.
Di samping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteric, Islam juga memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalui proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan masyarakat terkecil yang bernama keluarga. Di lingkungan sangat kecil itulah individu dapat mengembangklan pilihan-pilihannya tanpa gangguan. Sementar kohesi social masih terjaga karena keluarga berfungsi mengintegrasikan keluarganya secara umum kedalam unit kemasyarakatan yang lebih besar.
Jaminan dasar akan kselamatan harta-benda (al-milk, property) merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secar wajar dan proporsional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat dan individu. Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Batas paling praktis, dan yang paling nyata jika dilihat dari perkembangan sosialisme dan terutama Marxisme dan Leninisme saat ini, adalah pemilikan harta benda oleh individu. Dengan hak itulah masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau car yang dipilihnya sendiri. Namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat. Sejarah ummat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta benda inilah yang menjadi penentu kreativitas warga masyarakat, berarti kesediaan melakukan transformasi itulah warga masyarakan memperlihatkan wajah universal kehidupannya. Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampakkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam.
Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan ats resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingindiraih dan kegagalan yang mebayanginya. Dengan ungkapan lain, kebabasan penganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hiduple ngkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum kehidupan masyarakat, karena pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri. Ini berarti keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antar hak-hak individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi situasional yang serba eksistensial sebagai wadah untuk menguji kebenaran keyakinan dalam rangkaian kejadian yang tidat terputus-putus.
Lebih spesifik, universal Islam yang digambarkan oleh Gus Dur merupakan tarikan dari sisi yang sangat privat dari ajaranj Islam itu sendiri. Hal ini juga yang melandasi analisis penelitian untuk mengetahui karakter atau Covering Epistimologi Gus Dur yang bersifat universal. Temuan tarikan tersebut, memposisikan Gus Dur sebagi sosok pemikir Islam yang mencoba mengkompromikan sisi Islam sebagai pembebasan atas ketertindasan social. Lebih tepatnya Gus Dur memberikan tekanan terapan atas ajaran Islam tersebut pada sisi humanism dan etika. Secara tegas Gus Dur mengatakan “Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnan dan keunikannya yang prima dibandingkan dengan makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, massih belum selesai atau setenga jadi, sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91: 7-10)”. Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia itu fitri, hanif, dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai petunjuk hidup (QS. 4:174).
Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi : man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mudah mengenal Tuhannya). Dan juga hadits Kuntu kanzan makhfiyyan fa-ahbabtu anu’rafa fa-khalaqtu al-khalqacfabi ‘arafani (Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Ku-ciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka mengenal Aku). Jadi, pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki kejenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan. Persoalan serius yang menghadang adalah , sebagaimana yang diakui kalangan psikolog, filosuf, dan ahli piker pda umumnya, kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jatidiri dan hakikat kemanusiaannya.
Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan maka potret atau konsep tentang realitas manusia semakin terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran, politik, ekonomi, antropologi, teologi, dan lain-lainnya semuanya menjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapi masing-masing memiliki metode dan tujuuan yang berbeda. Differensiasi Metodologis setiap ilmu, meskipun obyek materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu.
Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung kegelisahan intelektual para ahli piker untuk mencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli piker mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman konprehensif tentang manusia.
Blue-print Allah dalam bentuk pemakmuran bumi mengisyaratkan adanya ketersambungan antara khalifah bumi (manusia) yang kemudian diberikan oleh-Nya akal sebagai senjata. Dari akal tersebut, sang khalifah dituntut untuk member keseimbangan gerak, dalam hal ini adalah etika. Sedangkan etika lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang menduskisakan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dalam kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah-laku yang kongkrit, sebagai etika bekerja dalam level teori. Nilai-nili etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut etos.
Se bagai cabang pemikiran falsafat, etika bisa dibedakan menjadi dua : obyektifisme dan subyektifisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut bai, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat demikian. Tokoh utama pendukung aliran ini adalah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam, pada batas tertentu ialah aliran Mu’tazilah. Aliran kedua adalah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hubbes sampai kefaham tradisionalismenya As’ariyah. Menurut faham As’ariyah, nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada subyektifitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. As’ariyah berpandangan bahwa manusia itu bagaikan “anak kecil” yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.
Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang huruk, bagaimana haknya dengan teori etika dalam kitab suci. Sedangkan telah disebutkan dimuka, kitra menemukan dua faham yaitu faham rasionalisme yang diwakili oleh Mu’tazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh faham As’ariyah. Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena pengaruh filsafat Yunani kedalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Qur’an sendiri yang mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam al-Qur’an pesan etis selalu saja terselubung oleh isyarat=isyarat yang menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia.
Menurut aliran Voluntarisme Rasional, suatu tindakan etis akan terwujud bila mana tindakan itu merupakan produk pilihan sadar dalam situasi bebas, bukannya terpaksa. Suatu pertanggungjawaban etis bisa diberlakukan hanya ketika seseorang berbuat dlam keadaan sadar dan bebas. Dengan demikian, etika senantiasa mengansumsikan kebebasan. Semakin besar wilayah kebebasan, semakin besar pula pertanggungjawabannya moralnya. Dalm perspektif, maka faham Jabariyah yang berpandangan bahwa tindakan manusia adalah bagaikan gerak wayang, tang ditentukan oleh “dalang” tidak ada tempat bagi konsep etika voluntarisme rasional kantianisme. Etika voluntarisme rasional melahirkan suatu pandangan terhadap manusia sebagai sosok manusia berakal yang dewasa, suatu pandangan positif bahwa manusia pantas mendapat julukan ahsan-u ‘I-taq wim, puncak ciptaan Tuhan meskipun keunggulan kualitas manusia masih harus diperjuangkan dan disempurnakan sendiri oleh manusia. Barangkali saja dalam perspektif yang demikian ini kita bisa memahami mengapa pewahyuan Tuhan melalui para Rasul-Nya telah diakhiri, sementara kehidupan manusia kian hari kian berkembang sedemikian kompleknya.
Sebelum kerasulan Muhammad problema kehidupan manusia tidak sekomplek pasca Muhammad, namun justru pada masa-masa itu Allah sering mengirimkan rasul-rasul-Nya mengapa demikian, biasanya kita mengajukan dua jawaban. Pertama, tuntutan Allah yang diturunkan pada manusia. Kedua, manusia dengan kemampuan rasionalitasnya telah mampu mengefaluasi kehidupan sejarah untuk menciptakan kebaikan hidup meraka. Klaim yang menyatakan Islam sebagai agama universal dan agama paripurna.
Yang pertama menyebutkan bahwa Isl;am adalah nikmat Tuhan yang telah disempurnakan, yang kedua menyatakan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruyh rahmat. Secara dogmatis teologis kedua klaim diatas memang sudah lazim sudah diterima oleh ummat Islam, namun secara rasional dan empiris tampaknya masih perlu dirumuskan serta diuji kembali kebenarannya dalam perjalanan sejarahnya.
Dari analisis bahasa dan sosio historis, Islam hadir bukannya dalam ruang kosong, melainkan dalam wacana yang memiliki sifat local dan particular. Secara eksplisit disebutkan bahwa al-Qur’an disebar luaskan dengan menggunakan bahasa Arab. Sedangkan bahasa mengandung atau memiliki sifat budaya, ia terikat dengan kaidah-kaidah social dan consensus budaya. Jadi universalitas al-Qur’an akan bisa terkomunikasikan kalau manusia juga mamiliki dimensi universal. Dalam hal ini rasionalitas dan substansi bahasalah yang secara jelas merupakan dimensi universalitas yang melekat pada manusia. Manusia dibedakan dari binatang terutama adalah karena manusia merupakan animal symbolicum, yaitu makhluk yang hidup dengan symbol-simbol. Berbahasa pada dasarnya adalah berfikir, dan berfikir tidaklah mungkin tanpa bahasa, meskipun berbahasa tidak selalu harus berbicara dan menulis.
Karena adanya rasionalita dan kemampuan bahasa mak suatu masyarakat tercipta, komunikasi antara mereka berlangsung dan dunia disekitarnya memperoleh makna. Barangkali fenomena inilah yang telah diisyaratkan oleh al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 dimana Allah telah mengajar nama-nama pada Adam As. Karena rasiaonalitas dan system symbol yang memiliki manusia maka realitas masa lampau bisa direkonstruksi, dicertiakan dan dihadirkan kembali dihadapan kita melalui narasi sejarah.
Suatu nilai cita-cita dan gagasan masa lampau-pun bisa diwariskan kepada generasi-kegenerasi lantarana adanya symbol ini. Dan sesungguhnya hanyalah al-Qur’an yang secara eksplisit dan tegas agar ummat Islam mengembangkan rasionalitas dan system symbol untuk membangun peradabannya. Kita bisa membuat suatu pengandaian, kalau saja al-Qur’an bertentangan dengan rasionalitas, maka bisa dipastikan Islam telah terdistorsi dalam perjalanan sejarahnya.
Lebih dari itu etika Islam akan teranomali dalam kehidupan modern. Dengan kata lain, al-Qur’an dan pesan-pesannya kini telah menjadi bagian integral dari realitas sejarah masa lampau dan tetap hidup sampai kini, tanpa adanya refisi dan campurtangan Tuhan, baik isi maupun redaksionalnya. Di sini tersirat pandangan positif al-Qur’an tentang manusia. Kalau kita telaah ayat-ayat al-Qur’an sangatlah kelihatan bahwa etika al-Qur’an amat humanisteik dan rasionalistik. Pesan al-Qur’an seperti halnya pada ajakan kepada keadilan, kejujuran, kebersihan, menghormati orang tua, bekerja keras, cinta ilmu dan lain sebagainya. Semuanya sejalan dengan prestasi rasionalitas manusia sebagaimana tertuang dalam karya-karya para filosof.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh kedepan dengan dua cirri utama. Pertama, etika Islam tidak menentang fitrah manusia. Kedua, etika Islam sangat rasionalistik . Alex Inklesmembuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sebagaimana berikut : kegandrungan menerima gagasan baru dan mencoba metode-metode baru; kesediaan buat menyatakan pendapat; kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbangn waktu yang telah lampau; rasa ketepatan waktu yang lebih baik; keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang dunia sebagai suatu yang bisa dihitung; menghargai ilmu dan teknologi; dan keyakinan pada keadilan yang bisa diratakan.
Rasanya tidak perlu lagi dikemukakan disini bahwa apa yang telah dikemukakan oleh Alex Inkles dan diklaim sebagai sikap modern itu memang sejalan dengan etika al-Qur’an, dalm diskusi tentang hubungan antar etika dan moral, problem yang seringkali muncul adalah bagaiman melihat peristiwa moral yang bersifat particular dan individual dalam perspektif teori etika yang bersifat rasional dan universal. Islam yang memiliki klaim universal ketika dihayati dan direalisasikan cenderung menjaddi peristiwa particular dan individual. Artinya, tindakan moral adalah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral ini akan menjadi pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama terjaddi konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas kadangkala berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran. Di sinilah letak kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi amat penting. Yakni bagaiman mempertanggungjawabkan suatu tindakan subyektif dalam rangka nilai-nilai etika obyektif, tindakan mikro dalam rangka etika makro, tindakan lahiriyah dalam acuan sikap batiniyah.
Dalam teori etika, tindakan moral mengasumsikan adanya otonomi perbuatan manusia. Menurut Islam, untuk mencapai otonomi dan kebebasan sejati tidaklah harus ditempuh dengan menyatakan “kematian Tuhan” sebagaimana diproklamasikan oaleh Nietzsche atau Sartre misalnya, keduanya berpendapat bahwa manusia akan terkungkung dalam kekerdilan dan ketidak berdayaan serta dalam perbudakan selama tindakan moralnya masih membutuhkan kekuatan dan kesaksian dari Tuhan. Lebih dari itu, untuk mencapai derajat kemanusiaannya secara prima manusia harus meniadakan Tuhan dan kemudian menggali dan mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya. Dasar pemikiran diatas ditolak oleh Gus Dur bukan karena pemikiran kedua tokoh tersebut berangkat dari konsepsi ketuhanan dalam tradisi Kristen, melainkan secara fitrah manusia memiliki nilai kesucian, yang pada proses kehidupannya bisa bertambah besar atau sebaliknya terkikis habis.
Dalam sejarah pemikiran Barat kita mencatat bahwa untuk mencapai derajat filsuf biasanya mereka mesti bentrok dengan dogtrin gereja tentang Tuhan. Sedangkan dalam Islamjustru ketika tindakan mkita diorientasikan pada Tuhan Yang Maha Absolut, Yang Maha Besar, maka kita akan terjebak dalam relativisme dunia dan sebaliknya kita akan terangkan menuju pada atmosphere Yang Maha Sempurna, disanalah letak makna keimanan yang dinamis.
Menurut Kant, puncak rasionalita pada akhirnya akan mengantar pada pintu keimanan yang bersifat supra-rasional. Tuhan, keimanan, dan kemerdekaan bukanlah obyek ilmu pengetahuan. Semua berada diluar jangkauan rasio, namun puncak rasionalitas mengantarkan manusia untuk melakukan loncatan kearah sana. Terlebih semakin moder dan semakin rasional seseorang atau masyarakat, keislaman mereka cenderung terefleksikan dalam etika pribadi dan social, sedangkan hubungannya dengan Tuhan cenderung pada pendekatan sufistik. Meskipun pada level praksis dan idiologi Islam senantiasa dipengaruhi oleh tradisi local serta kepentingan-kepentingan subyektif, secara epistemologis Islam tetap memiliki vitalitas yang bersifat rassional, sehingga dengan demikian modernisasi tidak hanya menjadikan ancaman bagi Islam.

B. Liberalisme Islam Gus Dur
Liberalism (faham yang memperjuangkan kebebasan setiap individu) dalam arti khusus (Islam konservatif atau Islam kanan) lebih banyak mengartikan kata liberalism sebagai kebebasan tanpa batas yang menggerus nilai-nilai Islam, penilaian yang terlihat sepihak atau kalau boleh secara arogan peneliti mengistilakan dengan penilaian a-pemahaman atau paralogisme atas kata liberalism itu sendiri yang dilandasi atas egoisentris sejarah penguasaan Islam di dunia ketiga yang menanamkan kebencian atas apapun yang bersimbol dari dunia Barat.
Terlepas dari polemic kata liberalism diatas, dalam bagian usaha untuk meneliti Covering Epistimologi Gus Dur yang dapat dilihat dari sub-tema “Liberalisme Islam Menurut Gus Dur” agaknya sedikit berbeda metode pemaparan yang akan dipakai oleh peneliti dengan sub-tema “Universalisme Islam Menurut Gus Dur ” yang memakai langkah pemaparan tematik dan pendekatan virtual dan dominan. Pendekatan yang akan dipakai oleh peneliti dalam memaparkan sub-tema “Liberalisme Islam menurut Gus Dur” merupakan pendekatan sosiologis-historis agar tercapai pengamatan proses interaksi pemikiran Gus Dur dengan dimensi ruang dan waktu, dimana ide pemikiran Gus Dur tersebut diimplementasikan menjadi alat gerak pemikiran Gus Dur itu sendiri.
Lahirnya pemikiran liberal dalam diri Gus Dur sebagai seorang pemuda yang sedang bergulat dengan masalah bagaimana Islam bisa mengadakan perubahan di dunia banyak terpengaruh oleh, pertama, keluarganya sendiri, dimana dalam lingkungan keluarga ini beliau dididik untuk bersikap ter buka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual. Kedua, beliau dibesarkan didalam dunia sufistik Islam tradisional Indonesia. Ketiga, beliau dipengaruhi oleh orientasi budaya masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralism dan egalitarianism. Keempat, beliau sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajarinya, karena keduanya memberikan kesempatan kepada beliau untuk mencoba mensintesiskan pemikiran Barat modern dengan Islam.
Liberalism diaplikasikan oleh Gus Dur dalam menafsirkan hadits tabassumuka fi wajhi akhika shadaqatun (senyum pada saudaramu adalah sedekah) yang mana secara terminology maupun etimologi banyak diartikan senyum dalam implementasi yang sesungguhnya. Namun menurut Gus Dur, hadits tersebut adalah bentuk implementasi dari solidaritas. Kebebasan yang berakar dari kesadaran tinggi atas sikap solidaritas ini pula yang menghantarkan Gus Dur pada posisi central sebagai guru bangsa. Peran central Gus Dur ini juga mengangkat peran seorang kiyai yang pada waktu itu menjadi golongan termarginalkan dalam dunia modern. Penggunaan Pancasila dan UUD 45’ sebagai landasan Negara yang tidak bisa ditawar lagi memberikan penekanan tradisi, berbangsa dalam mewujudkan perdamaian serta demokrasi adalah harga mati yang harus diterima oleh muslim Indonesia sebagai nilai-nilai liberalism ajaran Islam itu sendiri. Gagasan ini (menerima Pancasila sebagai idiologi Negara) dikemukakan melalui muna dan muktamar NU dengan isi “Islam bersifat pluralistic dan oleh karena itu pelaksanaan ajaran Islam harus bersifat pluralistic dengan menerima Pancasila sebagai idiologi Negara kita yang pluralistic pula”.
Penerimaan Gus Dur atas Pancasila sebagai idiologi Negara pada waktu itu merupakan pandangan controversial, hal ini disebabkan Gus Dur mempunyai pemahaman Islam tradisional di Indonesia yang merupakan gabungan unik antara pemikiran Hindu-Budha dan animism Jawa, yang kemudian dilapis oleh Islam yang mencoba merekonstruksi taksonomi kosmologi Islam ortodoks. Karenannya Gus Dur diberikan posisi sebagai indoktrinator resmi Pancasila, yang dikenal dengan nama Manggala Nasional pada tahun 1985. Namun aviliasi Gus Dur bukan berarti memberangus sisi kritis Gus Dur sendiri atas kebijakan pemerintah otoritarian pada waktu itu. Setidaknya dalam waktu yang bersamaan dengan pengangkatan beliau sebagai indoktrinator resmi Pancasila, Gus Dur bersuara lantang dalam kritiknya terhadap bagaimana pemerintah daerah menangani kontroversi proyek Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah yang didanai oleh Bank Dunia. Dengan kesadaran penuh atas system territorial militer yang mengendalikan segenap segi masyarakat Indonesia mulai dari tingkat terkecil yaitu RT yang diterapkan oleh Soeharto yang pada dasarnya menempatkan posisi Gus Dur sebagai orang ya ng akan dilumpuhkan oleh rezim Orba itu sendiri.
Hal yang menarik juga adalah ketika ada kritik terhadap Gus Dur, bahwa Gus Dur bersimpati terhadap Islam Syiah dan beliau mendukung ide-ide mereka yang dipengaruhi oleh filsafat rasional pengikut Mu’tazilah abad pertengahan. Kritik ini bukan tidak berdasar, melainkan melihat realita gerakan Gus Dur. Gus Dur memang tidak pernah menjadi kripto Syiah, namun beliau bersimpati dengan kelompok kecil intelektual Indonesi yang muncul pada akhir decade 1980-an dengan Jalaludin Rahmat sebagai tokoh centralnya. Gus Dur bahkan mengizinkan kaum Syiah untuk menggunakan masjidnya di Ciganjur. Setidaknya ada alas an yang di ungkapkan Gus Dur dalam menanggapi kritik tersebut; pertama, secara pribadi beliau cenderung untuk membantu minoritas yang tertindas dengan menentang segala sesuatu yang menggerogoti kemerdekaan untuk beragama. Kedua, beliau memandang ajaran Syiah, dengan tradisi ijtihad-nya yang masih berlangsung dan keterbukaannya terhadap spekulasi metafisik sebagai sesuatu yang mewakili cabang ilmu yang kaya apabila kaum intelektual Islam bersedia menggalinya. Ketiga, beliau menganggap bahwa banyak aspek dari ritual (ibadah) NU dan pendekatan terhadap mistisisme (tasawuf) berasal dari Syiah Persia.
Pembelaan terhadap kaum minorita merupakan karakter Gus Dur sendiri yang kemudian menghantarkan beliau pada liberalism itu sendiri. Semisal, bagaimana Gus Dur secara konsisten membela WNI keturunan Cina dan orang Kristen Indonesia mulai sebelum jadi Ketua Umum PBNU hinbgga lengser dari kursi RI I. bukti kongkrit dari pembelaan beliau atas kaum minorita ketika menjadi Presiden RI ke-4 adalah dengan mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang larangan segala bentuk seni berbau Tionghoa yang memiliki keyakinan Konghucu pada masa rezim Orba, mengganti dengan Kepres No. 6 tahun 2000 tentang kebebasan segala bentuk seni, termasuk seni Tionghoa, karenanya Konghucu diakui sebagai system kepercayaan sendiri di Indonesia dan syah untuk dicantumkan diKTP sebagai agama.
Bila dilihat dari histori, bahwa orang yang mempunyai asal-usul yang berbeda secar bersam-sama mendirikan Negara ini, dengan demikian dari masa itulah harus dihitung ttik tolak eksistensi kita sebagai bangsa. Karenanya Gus Dur menolak perbedaan antara Warga Negara Indonesia (WNI) asli dan keturunan disebabkan oleh keduanya melakukan usaha bersama dalam mendirikan sebuah Negara Indonesia. Kesalah fahaman pemerintah atas pandangan Konghucu sebagai pengajaran filsafat semata, bukan sebagai agama bermula dari informasi yang diberikan oleh perwira BAKIN (Badan Koordinasi Intelegen Negara) yang beranggapan bahwa keturunan Tionghoa dilarang beragama Konghucu, maka mereka akan masuk kedalam agama resmi yang diizinkan Negara. Inilah bahaya penafsiran oleh Negara, padahal sebenarnya yang menentukan sesuatu agama atau bukan, adalah pemeluknya sendiri.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Gus Dur ketika menjadi Presiden RI ke-4. Gus Dur mengeluarkan keputusan-keputusan yang sangat controversial seperti, pembubaran DEPSOS (karena korupsi didalam lembaga tersebut sudah dsangat mengakar) DEPPAN (Dep. Penerangan) yang seharusnya menjadi pelindung dari kebebasan berfikir justru mengekang kebebasan berfikir itu sendiri, Gus Dur berkata UUD 45’ menjamin kebebasan berfikir dan itu baru bisa terlaksana kalau DEPPAN dihapus dan peran DEPPAN seharusnya digantikan oleh masyarakat. Dan yang paling controversial adalah keputusan Gus Dur untuk mencabut Tap. MPRS No. XXV/ MPRS 1966 tentang larangan komunisme di Indonesia dengan alasan sebab Tap. MPRS tersebut bertentangan dengan UUD 45’ yang melindungi semua warga Negara sebagai ekspresi Pancasila dengan semangat Bhineka Tunggal Ika dimana mengharuskan kita untuk menghapus dendam masa silam.
Gus Dur mengatakan “tugas mengucilkan PKI bukan tugas Negara. Apa artinya pemisahan agama dari Negara kalau Negara mengurusi segala hal”. Karenanya “Tuhan tidak perlu dibela” dengan cara mengucilkan PKI. Merekalah yang sebenarnya justru perlu dibela, ketika mereka menuai ancaman atau mengalami ketertindasan dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, social, budaya, dan agama. Terlebih, Islam melarang keras kesewenang-wenangan, apalagi mamaksakan Indonesia sebagai Negara Islam dengan tedeng aling-aling memakai Tap. MPRS No. XXV/MPRS 1966.
Jauh sebelum Gus Dur menjadi Presiden RI ke-4, tepatnya pada bulan Oktober 1990. Terjadi sesuatu yang merupakan alamat buruk bahwa telah terjadi peralihan serius dalam kebijakan rezim Orba yang berkuasa terhadap penafsiran Islam. Hal ini berkaitan dengan Tabloid Monitor yang memiliki hubungan dekat dengan Harian Kompas dan The Jakarta Post. Ketika itu, mengadakan jajak pendapat dengan meminta para pembacanya untuk menunjukkan siapa yang meraka rasa merupakan orang yang paling penting yang pernah hidup di dunia ini. Barangkali tidak mengejutkan bahwa Presiden Soeharto menjadi pilihan pertama. Namun demikian, yang menjadi keprihatinan bagi orang muslim adalah bahwa nabi Muhammad menduduki posisi ke-11, setelah Soeharto dan Arswendo (Pemimpin Redaksi Monitor yang beragama Katolik).
Jajak pendapat yang bersifat provokatif itu memancing tindakan kekerasan sebagian kelompok dengan menghancurkan candela dan isi kantor tabloid Monitor dicak-acak. Arswendo-pun dibawa kemeja hijau dan dihukum lima tahun penjara dan ditambah dengan pencabutan izin terbit tabloid Monitor. Walaupun jelas bahwa Arswendo telah melanggar larangan dan menyebabkan orang merasa tersinggung, tanpa persetujuan Soeharto maka tidak akan muncul kelompok orang yang marah dan Arswendo-pun tidak akan dijatuhi hukuman. Menurut Gus Dur “Arswendo memang salah, tetapi tanggapan yang sesuai bukan menangkap atau memenjarakannya, tetapi cukup dengan memboikot tabloidnya. Bagaimanapun jika Indonesia bersikap serius mengenai kemerdekaan berpendapat maka sulitlah untuk mengajukan argumentasi yang mendesak bagi pemenjaran seorang pemimpin redaksi suatu tabl,oid hanya karena sesuatu yang pada hakikatnya bukan merupakan suatu kesalahan nilai yang didasarkan pada niat jahat, walaupun hal ini menunjukkan kurangnya tanggung jawab dan kesungguhan hati”. Ini berangkat dari perspektif korban dalam hamper semua kasus yang di bahas oleh Gus Dur. Karenanya Gus Dur tidak pandang bulu, tidak membedakan agama, etnis, warna kulit, posisi social, agama apapun untuk melakukannya. Meskipun mengorbankan image sendiri, sesuatu yang sering kali menjadi barang mahal bagi mereka yang merasa sebagai politisi termuka untuk membela korban yang memang perlu dibela dan dituduh sebagai ketua ketoprak, klenik, neo-PKI dibaptis masuk Kristen, kafir, murtad, agen zionis Yahudi dan sebagainya.
Pembelaan tanpa membedakan agama, etnis, warna kulit, posisi social juga ditunjukkan ketika mengkritik munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Merasa prihatin bahwa dibentuknya perhimpunan kaum elit intelektual Islam akan mendorong tumbuhnya nsentimen sectarian yang akan dimainkan oleh kaum konservatif, karena didalam ICMI terdapat jauh lebih banyak birokrat karis dari pada aktivis. Meskipun orang-orang banyak mendesak agar Gus Dur ikut serta didalam kepengurusan ICMI, Gus Dur tetap menolak. Pada tahun 1991, bersama Marsillam Simanjuntak dan Bondan Gunawan serta empat puluh intelektual yang berasal dari berbagai kelompok agama dan masyarakat, Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi, dimana beliau terpilih menjadi Ketua dan Juru Bicara forum ini.
Dalam rangka memberikan gambaran kehairan Islam yang liberalis, Gus Dur pernah mengatakan kalimat “assalamualaikum” yang dipakai seorang muslim dapat diganti dengan “selamat pagi, siang, sore atau malam” atau memberikan tema-tema bernada melecehkan seperti “Islam Kaset dan Kebisingannya”. Sehubungan dengan hal ini beliau melansir apa yang disebutnya dengan liberalism Islam adalah “Pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekonsilisasi” Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya setempat, agar budaya local itu tidak hilang. Di sini pribumisasi dilihat sebagai kebutuhan, bukannya sebagai upaya menghindari polarisasi agama dengan budaya setempat.


Pribumisasi juga bukan sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya local, karena dalam pribumisasi islam harus tetap pada sifat Islamnya. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “Jawanisasi” atau sinkretisme, sebab pribumisasi islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan likal didalam merumuskan hokum-hukum agama, tanpa merubah hokum itu sendiri. Juga bukannya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budayadengan menggunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ush fiqh dan qhaidah fiqh.
Pribumusasi islam juga merupakan penolakan Gus Dur atas pemahaman bahwa Arabisasi merupakan keniscayaan Islamisasi. Karena Arabisasi akan melahirkan sikap sectarian yang lebih emosional untuk melahirkan Islam pedang atau Islam tembok Cina. Gus Dur melihat bahwa kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara cultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi. Mengutip pendapat mantan hakim Agung Mesir, al-Ashmawi, upaya syariatisasi semacam itu menurut ilmu fiqh termasuk dalam tahsil al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan).
Karenanya usaha Arabisasi dalam Islam merupakan sebuah gerakan kekerasan. Sedangkan dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan terorisme, sikap Gus Dur sangat jelas mengecam keras dan mengutuk penggunaan kekarasan oleh sejumlah kelompok Islam radikal yang sering unjuk rasadengan membawa pedang, clurit, atau bahan peledak lain hingga mereka yang melakukan sweeping terhadap warga asing (terutama AS.) dan kafe-kafe minuman di kawasan Kemang Jakarta Selatan.
Satu-satunya alasan penggunaan kekerasan yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslim diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Inipun masih diperdebatkan oleh para ulama. Misalnya perdebatan, bolehkah kaum membunuh orang lain jika jiwanya sendiri tidak terancam. Menurut Gus Dur, lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras atau radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganut Islam garis keras tersebut mengalami kekecewaan dan alienasi karena “ketertinggalan” ummat Islam terhadap kemajuan Barat dan penetrasi budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak materialistic budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif materialistic dan penetrasi Barat. Kedua, munculnya kelompok-kelompok Islam garis keras itutidak terlepad dari karena adanya pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam sendiri., khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakan-gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari mereka yang berlatarbelakang pendidikan ilmu-ilmu eksak dan ekonomi.
Latar belakang seperti itu menyebabkan fikiran mereka penuh dengan hitungan-hitungan matematika dan ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits dalam jumlah besar memang mengagumkan. Tapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam lemah karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, kaidah-kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman teks yang ada.
Pandangan Gus Dur tersebut diatas, sebenarnya tertuju pada kelompok-kelompok yang dalam sosiologi agama bisa dikategorikan sebagai neo-fundamentasilme. Hal yang sama juga terdapat pada analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur terhadap kebangkitan neo-fundamentalisme Islam. Fazlur Rahman menilai, keberadaan neo-fundamentalisme Islam diberbagai negeri muslim, sebenarnya bukanlah memberikan alternative atau tawaran yang baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Ini karena neo-fundamentalisme sebenarnya mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yakni mendorong kearah pemiskinan intelektual karena pandangan-pandangan literal dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap kekayaan khazanah keislaman klasik yang akaya dengan alternative pemikiran. Selaian itu, Fazlur Rahman menilai kelompok neo-fundamentalisme umumnya memiliki pemahaman yang superficial, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumber dari ruh al-Qur’an daan budaya intelektual tradisional Islam yang kemudian memaksakan terjadinya Islamisme.
Masih dalam konteks formalisasi, Gus Dur juga menolak idiologisasi Islam. Idiologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia yang dikenal dengan “negerinya kaum muslim moderat”. Islam di Indonesia, muncul dalam keseharian cultural yang tidak berbaju idiologis. Idiologisasi Islam mudah mendorong ummat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari idiologisasi Islam adalah upaya-upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam sebagai idiologi alternative terhadap Pancasila, serta keinginan sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembali Piagam Jakarta.
Tahsil al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan) pula yang menjadi dasar Gus Dur yaitu; Pertama, bahwa Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian keepemimpinan. Itu terbukti ketika nabi Muhammad waft dan diganti oleh Abu Bakar. Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Rasul dilakukan melalui bai’at oleh kepala suku dan wakil-wakil kelompok ummat yang ada pada waktu itu. Sedangkan Abu Bakar sebelum wafat menyatakan kepada kaum muslim, hendaknya Ummar bin Khattab yang diangkat menggantikan posisinya. Ini berarti, system yang dipakai adalah penunjukan. Sementara Ummar bin Khattab menjelang wafatnya meminta agar penggantinya ditunjuk melalui sebuah dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu dipilihlah Utsman bin Affan untuk menggantikan Ummar bin Khattab. Selanjutnya, Utsman bin affan digantikan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sofyan juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali bin Abi Thalib. System ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau marga yang menurunkan calon-calon raja dan sultan dalam sejarah Islam.
Kedua, besarnya Negara yang diidialisasikan oleh Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintah kaum muslim. Tidak ada kejelasan misalnya, Negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks Negara bangsa (nation-state), atau hanya Negara kota (city-state).
Dalam hal ini M. Syafii Anwar sangat jelas menggambarkan Gus Dur dalam kelompok pemikir yang bertipologi substantive-inklusif. Adapun paradigm pemikiran politik Islam yang berkembang didunia kaum muslim saat ini adalah; (1) Substantive-inklusif, dan (2) Legal-eksklusif. Dalam paradigm pemikiran politik Islam ya ng substantive-inklusif, secara umum ditandai dengan keyakinan bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep-konsep teoritis yang berhubungan dengan politik. Adapun cirri-ciri yang menonjol dari pemikiran substantive-inklusif ada empat. Pertama, ada kepercayaan yang tinggi bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk hidup manusia, tetapi tidak menyediakan detai-detail pembahasan terhadap setiap obyek permasalahan kehidupan. Argument utama dari pendukung paradigm ini adalah, bahwa tidak ada satupun dari ayat al-Qur’an yang menekankan bahwa ummat Islam harus mendirikan Negara Islam. Mereka berpendapat bahwa al-Qur’an memang memuat kandungan etik dan panduan moraluntuk memimpin masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain-lain.
Kedua, pendukung paradigm substantive-inklusif meyakini bahwa misi ummat Nabi Muhammad bukanlah membangun kerajaan atau Negara. Tetapi seperti halanya para nabi lainnya, yakni mendakwahkan nilai-nilai Islam dan kebijakan. Dengan demikian misi nabi Muhammad tidak perlu diartikan sebagai langkah untuk membangun sebuah Negara atau system pemerintahan tertentu. Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain Fawzi al-Najjar, concern utama nabi Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk mempersatukan para pemeluk Islam (al-wihda al-ijtimai) dari pada membangun sebuah Negara atau system pemerintah. Kenyataan kemudian terbukti bahwa sesudah nabi Muhammad wafat, diperlukan waktu beberapa hari untuk melakukan musyawarah dan memutuskan siapa penggantinya, yang kemudian terpilih Abu Bakar. Sementara pergantian kepemimpinan para sahabat nabi Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib semuanya melalui system dan mekanisme yang berbeda.
Ketiga, para proponen paradigm substantive-inklusif berpendapat bahwa syariat tidak dibatasi atau terikat oleh Negara. Demikian pula syariat tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan spesifik yang berkaitan dengan pemerintah atau system politik. Karena Islam dipandang semata-mata sebagai agama dna bukannya sebuah sitem yang berkaitan dengan tertib Negara, syariat seharusnya tidak diletakkan kedalam domain Negara, tetapi tetap diletakkan dalam kerangka system keimanan Islam. Menurut al-Azhmawi, mantan Hakim Agung Mesir yang juga dikenal sebagai pemikir progresif islam terkemuka, bahkan al-Qur’an sendiri menetapkan bahwa syariat adalah sumber dari orientasi etika Islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang berkaitan dengan bentuk-bentuk Negara. Syariat adalah sebuah jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis dan membawa manusia pada tujuan-tujun yang benar dan orientasi-orientasi yang mulia.
Keempat, refleksi para pendukung substantive-inklusif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan upaya yang siknifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manivestasi substansial dari nilai-nilai Islam (Islamic Injuctions) dalam aktifitas politik. Bukan saja dalam penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan kelembagaan mereka.
Dalam konteks Indonesia, paradigm ini cenderung mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai-nilai Islam yang intrinsic, dalam rangka mengembangkan wajah cultural Islam dalam masyarakat Indonesia modern. Proses kulturalisasi telah melahirkan kompetisi diantara berbagi kekuatan cultural, dan Islam hanyalah satu diantara kekauatan cultural yang bersaing itu agar supaya Islam dapat memenangkan persaingan itu. Proses Islamisasi haruslah mengambil bentuk kulturalisasi dan bukannya politisasi.
Sementara itu, paradigm legal-eksklusif mempunyai cirri-ciri umum sebagai berikut; Pertama, paradigm Legal-eksklusif dalam pemikiran politik Islam meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah system hokum yang lengkap, sebuah idiologi universal dan system yang peling sempurnah yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan ummat manusia. Para pendukung paradigm legal-eksklusif sepenuhnya yakin bahwa Islam adalah totalitas integrative dari “tiga d”; din (agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekwensinya, seperti dikemukakan oleh Nazir Ayubi, paradigm ini didesaind untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari soal terkecil, masalah keluarga hingga menjangkau semua permasalahan ekonomi, social-budaya, politik, dan sebagainya.
Kedua, dalam realitas politik, pendukung paradigm legal-eksklusif mewajibkan kepada kaum muslimin untuk mendirikan Negara Islam (daulah Islamiyah). Paradigm ini menghendaki agar ummat Islam selalu menjadikan kehidupan nabi Muhammad dan para sahabatnya (khulafa’ ar-rosyidun) dalam mengatur tatanan kemasyarakatan, dijadikan referensi utama dan modal untuk mewujudkan “Negara Islam yang ideal” dan menganjurkan penolakan sistemik terhadap konsep-konsep politik Barat. Akibatnya, paradigm ini mkendorong ummat Islam untuk memperkuat identitas dan idiologi mereka sebagai “alternatif” terhadap system-sistem yang dipandang sangat bertentangan dengan Islam.
Ketiga, para pendukung paradigm ini menyakini bahwa syariat harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara, dan dunia tersebut. Syariat dengan demikian diinterpretasikan sebagai hukum Tuhan (divine law), dan harus dijadikan sebagai dasar dari Negara dan konstitusinya, serta diformulasikan kedalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman politik penguasa. Paradigm ini juga menegasikan adanya kedaulatan rakyat, tetapi lebih yakin terhadap kedaulatan Tuhan, yang implementasinya harus didukung oleh syariat. Konsekwensinya, paradigm ini menerapkan visi dan misi yang menegaskan dan mewajibkan setiap muslim untuk menegakkan syariat, apapun yang akan terjaddi, sebagai alternative terhadap system-sistem dunia yang berlaku.
Keempat, dalam koteks politik paradigm legal-eksklusif menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagined Islam polity); seperti mewujudkan suatu “system politik Islam”, munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiologi politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta eksperimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks Indonesia, pendukung paradigm legal-eksklusif sangat menekankan idiologis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal.






BAB IV
EPISTIMOLOGI GUS DUR; SEBUAH KONSEP PENDIDIKAN ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN

Era globalisasi dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya penyatuan pilitik, ekonomi, social, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, dan lain sebagainya yang terjadi diantar satu Negara dengan Negara lainnya, tanpa menghilangkan identitas Negara masing-masing. Penyatuan ini terjadi berkat kemajuan teknologi informassi yang dapat menghubungkan atau mengkomunikasikan setiap itu yang ada pada suatu Negara dengan Negara lain.
Bagi ummat Islam, era globalisasi dalam arti menjalin hubungan, tukar-menukar dan transmisi ilmu pengetahuan, budaya, dan sebagainya sesungguhnya bukanlah hal baru. Pada zaman klasik (abad ke-VI M s.d. XIII M) ummat Islam telah membangun hubungan dan komunikasi yang intens serta efektif dengan berbagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan yang ada di dunia seperti India, Cina, Persia, omawi, dan Yunani. Hasil komunikasi ini ummat Islam telah mencapai kejayaan, bukan hanya dalam bidang ilmu agama Islam melainkan dalam bidang ilmu pengetahuan umum, kebudayaan, dan peradaban, yang warisannya masih dapat dijumpai hingga saat ini. Selanjutnya pada zaman pertengahan (abad ke-XIII M s.d. XVIII M) ummat Islam telah membangun hubungan dengan Eropa dan Barat. Saat itu ummat Islam memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa dan Barat. Beberapa penulis Barat misalnya WC Smith dan Thomas W Arnold mengakui bahwa kemajuan yang dicapai oleh dunia Eropa dan Barat saat ini karena sumbangan dari kemajuan Islam. Mereka telah mengadopsi ilmu pengetahuan dan peradaban Islam tanpa harud menjadi orang Islam.
Pada zaman pertengahan itu ummat Islam hanya mementingkan ilmu agama saja. Sementara itu, ilmu pengetahuan seperti matematika, astronomi, sosiologi, dan kedokteran tidak dipentingkan. Bahkan dibiarkan untuk diambil oleh Eropa dan Barat. Pada zaman ini, Eropa dan Barat mulai bangkit mencapai kemajuan (diawali dengan gerakan pembaharuan/ pencerahan yang sering disebut denga masa renaissance dan aufklarung) sementara ummat Islam berada dalam keterbelakangan dalam bidang ilmu pemngetahuan dan peradaban. Pada zaman moder (abad ke-XIX M sampai sekarang), hubungan Islam dengan Eropa dan Barat terjadi lagi. Di zaman ini timbul kesadaran dari ummat Islam untuk membangun kembali kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban melalui berbagai lembaga pendidikan, pengkajian dan penelitian. Ummat Islam mulai mempelajari kembali berbagai kemajuan yang dicapai oleh Eropa dan Barat dengan alas an bahwa apa yang dipelajari dari Eropa dan Barat itu sesungguhnya mengambil kembali apa yang dahulu dimiliki ummat Islam.
Namun demikian, hubungan Islam dengan Eropa dan Barat, sekatang keadaannya sudah jauh berbeda denganhubungan islam pada zaman klasik dan pertengahan sebagaimana tersebut diatas. Di zaman klasik dan pertengahan, ummat Islam dalam keadaan maju atau hamper menurun sedangkan keadaan Eropa dan barat dalam keadaan terbelakang dan mulai bangkit. Keadaan Eropa dan Barat saat ini berada dalam kemajuan sedangkan keadaan ummat Islam berada dalam ketertinggalan. Demikian halnya dengan tantangan pendidikan Islam saat ini jauh berbeda dengan tantangan pendidikan Islam sebagimana yang terdapat pada zaman klasik dan pertengahan. Baik secara internal maupun eksternal, tantangan pendidikan Islam dizaman klasik dan pertengahan cukup berat, namun secara psikologi dan idiologis lebih mudah diatasi. Secara internal, ummat Islam pada masa klasik masih fresh, masa kehidupan mereka dengan sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an dan sunnah masih dekat serta semangat militansi dalam berjuang memajukan Islam juga masih amat kuat. Sedangkan secara eksternal, ummat Islam belum menghadapi ancaman yang serius dari Negara-negara lain mengingat keadaan Negara-negara lain (Eropa dan barat) masih belum bangkit dan maju seperti sekarang, sedangkan tantangan pendidikan Islam dizaman sekarang lebih kompleks dan harus bertarung dengan idiologi-idiologi besar dunia yang berasal dari Eropa atau Barat. Menurut Daniel Bell, diera globalisasi saat ini keadaan dunia ditandai oleh lima kecenderungan sebagaimana berikut; Pertama, kecenderungan integrasi ekonomi yang menyebabkan terjadinya persaingan bebas dalam dunia pendidikan. Karenanya dunia pendidikan menurut mereka juga yang termasuk yang diperdagangkan maka dunia pendidikan saat ini juga dihadapkan pada logika bisnis. Munculnya konsep pendidikan yang berbasis pada system dan infrastuktur manajemen berbasis mutu terpadu (TQM), interpreneur university, dan lahirnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) tidak lain karena menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Penyelenggaraan pendidikan saat ini tidak hanya ditujukan untuk mencerdaskan bangsa, memberdayakan manusia atau mencetak manusia yang saleh, melainkan untuk menghasilkan manusia-manusia yang ieconomic minded dan penyelenggaraannya untuk mendapatkan keuntungan material yang sebesar-besarnya.
Kedua, kecenderungan fragmentasi politik yang menyebabkan terjadinya peningkatan tuntutan dan harapan dari masyarakat. Mereka semakin membutuhkan perlakuan yang adil, demokratis, egaliter, transparan, akuntabel, cepat, tepat dan professional, mereka ingin dilayani dengan baik dan memuaskan. Kecenderungan ini terlihat dari adanya pengelolaan menajemen pendidikan yang berbasis sekolah (school based manajemen), pemberian peluang kepada komite atau majelis sekolah/ madrasah untuk ikut dalam perumusan kebijakan dan program pendidikan, pelayanan belajar-mengajar yang lebih memberikan peluang dan kebebasan kepada peserta didik yaitu model belajar mengajar yang partisipatif, aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan (PAKEM).
Ketiga, kecenderungan penggunaan teknologi tinggi (high technologie) khususnya teknologi komunikasi dan informasi (TKI) seperti computer. Kehadiran TKI ini menyebabkan terjadinya tuntutan dari masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat, transparan juga tidak dibatasi waktu dan tempat. Teknologi tinggi ini telah masuk kedalam dunia pendidikan seperti dalam pelayanan administrasi pendidikan, keuangan, dan proses belajar-mengajar. Melalui TKI ini para peserta didi dapat melakukan pendaftaran kuliah atau mengikuti kegiatan belajar dari jarak jauh (distance learning). Sementara itu peran dan fungsi tenaga pendidik juga bergeser menjadi semacam fasilitator, katalisator, motivator, dan administrator. Peran pendidik saat ini tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan (iagen of knowledge). Keadan ini pada gilirannya mengharuskan adanya model pengelolaan pendidikan yang berbasis teknologi komunikasi dan informasi (TKI).
Keempat, kecenderungan interdependensi (kesalingtergantungan), yaitu keadaan dimana seseorang baru dapat memenuhi kebutuhannya apabila dibantu oleh orang lain. Berbagi siasat dan strategi yang dilakukan Negara-negara maju untuk membuat Negara-negara berkembang tergantung kepadanya demikian terjadi secara intensif. Berbagai kebijakan hegemoni politik misalnya yang dilakukan Amerika Serikat tidak terlepas dari upaya menciptakan ketergantungan Negara sekutunya. Ketergantungan ini juga terjadi didunia pendidikan. Adanya Badan Akreditasi Pendidikan baik pada tingkat nasional maupun internasional, selain dimaksudkan untuk meningkatkan muu pendidikan, uga menunjukkan ketergantungan lembaga pendidikan terhadap pengakuan dari pihak eksternal. Demikian pula munculnya tuntutan dari masyarakat agar peserta didik memiliki keterampilan dan pengalaman praktis menyebabkan dunia pendidikan membutuhkan atau tergantung pada peralatan praktikum dan magang. Selanjutnya kebutuhan lulusan pendidikan terhadap lapangan pekerjaan menyebabkan lulusan tersebut tergantung kepada kalangan pemodal.
Kelima, kecenderungan munculnya penjajahan baru dalam bidang kebudayaan (new colonization in culture) yang mengakibatkan terjadinya pola fikir (imindset) masyarakat pengguna pendidikan, yaitu dari yang semula mereka belajar dalam rangka meningkatkankemampuan intelektual, moral, fisik, dan psikisnya, berubah menjadi belajar untuk mendapatkan pekerjan dan penghasilan yang besar. Saat ini sebelum seseorang belajar atau masuk kuliah misalnya terlebih dahulu bertanya “nanti setelah lulus jadi apa dan berapa gajinya?”. Program-program studi yang tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sendirinya akan terpinggirkan atau tidak diminati. Sedangkan program-program studi yag menawarkan pekerjan dan penghasilan yang baik bagi lulusannya akan sangat diminati.
Pendidikan Islam dengan beragam system dan tingkatannya dari waktu-kewaktu senantiasa mengalami tantangan. Berbagai kemajuan atau ketertinggalan pendidikan Islam seperti yang terdapat dalam sejarah, antar lain disebabkan kemampuannya dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Tantangan yang dihadapi pendidikan Islam pada era-globalisai jauh lebih berat dibanding tantangan yang dihadapi pendidikan Islam masa lalu. Era-globalisasi dengan berbagai kecenderungannya sebagaimana tersebut diatas, telah melahirkan berbagai peradigma baru dalam dunia pendidikan. Visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik, peserta didik, menegemen, sarana prasarana, kelembagaan pendidikan, dan lainnya kini tengah mengalami perubahan besar. Pendidikan Islam dengan pengamalannya yang panjang seharusnya dapat memberikan jawaban yang tepat atas berbagai tantangan tersebut.

A. Pendidikan Islam Humanism
Islam, pendidikan, dan radikalisme adalah tiga kata yang saling terkait. Munculnya garis keras atas nama agama sebenarnya merupakan dampak pendidikan yang berdasarkan tafsir agama. Pesan-pesan agama dan idiologi pda masa awal kehadirannya yang lebih cenderung upaya pembebasan telah sirna ditelah oleh proses-proses historis yang mendistorsikannya. Agama kristen, katolik, islam, hindu dan seterusnya juga idiologi sosialisme, kapitalisme dan lainnya, kini dihadapkan pada krisis yang terbuka maupun yang tersembunyi ditengah dunia dan ummat manusia yang tengah berubah. Perubahan itu rasanya mengarah kekrisis yang dikarenakan agama dan idiologi berubah menjadi sebuah hirarki kelembagaan dimana yang berkuasa adalah wewenang tertentu yang berhak berkata mengenai kebenaran atas nama otorita mutlak tertentu, baik itu atas nama Tuhan, pihak yang berkuasa, kelas agama, atau yang lainnya.
Teks suci Islam (al-Qur’an) dan teks idiologi yang semula berisi pesan-pesan universal yang liberalis (pembebas) kemudian dibakukan melalui penafsiran tertentu yang diresmikan oleh lembaga agama dan idiologi untuk kemudian diajarkan kepada ummat atau masyarakat sebagai sesuatu yang selesai, lengkap serta kedap kritik lewat lembaga pendidikan. Peresmian itu akhirnya mempunyai konsekwensi yang fatal. Islam kehilangan pesan profetisnya sebagai agama kemanusiaan dan idiologi berakibat kepada dehumanisasi. Beberapa antisipasi pengembangan-pengembangan lembaga pendidikan Islam seperti didiskusikan tersebut merupakan antisipasi dimasa depan dalam upaya menghadapi perkembangan akan kebutuhan pendidikan ditengah masyarakat yang pluralis. Masyarakat multikultural sangat membutuhkan tenaga profesional yang dididik dilembaga pendidikan yang menjunjung tinggi nilai –nilai humanisme pula.
Oleh karenanya, terdapat tantangan lembaga pendidikan Islam antara idialisme dakwah Islam dan tuntutan praktis. Apakah lembaga pendidikan Islam tetap pada idialismenya ataukah hanyut dalam dunia pragmatisme. Jawaban dari pertanyaan ini dibutuhkan analisis yang komprehensif supaya idialisme pendidikan Islam tidak luntur, begitu juga pendidikan Islam tidak ketinggalan dengan kemajuan masyarakat industri yang kompleks dengan perkembangannya yang begiru pesat.
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian ibu) manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi disekitarnya hingga manusia lanjut usia bahkan meninggal dunia manusia tetap melakukan prakondisi-prakondisi dalam melihat persoalan yang dihadapi dan inilah yang disebut sebagai proses pembelajaran. Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentransfer atau memindahkan pengetahuan sesuai peranan yang diharap, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban. Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau pasar. Dari sini pendidikan memainkanfungsi sebagai suplementer, melestarikan tata nilai dan tata sosial yang ada di masyarakat dan sekaligus sebagai agent of Change yang kemudian memposisikan peran pendidikan ditingkat keagungan. Begitu mulianya peran pendidikan sehingga orangtidak pernah curiga terhadap pendidikan, terlebih apabila pendidikan tersebut berlandaskan agama. Ada paradoks; “pada satu sisi pendidikan mengajarkan kedamaian dan keharmonisan, disisi lain pendidikan pada kenyataannya telah mencetak teror dan kerusuhan”.
Salah satu faktor prnting yang perlu diperhatikan adalah bahwa pendidikan sebagai sebuah gagasan atau rekayasa yang melahirkan budaya dan peradaban. Rekayasa budaya atau disebut invasi kultural merupakan penyerbuan dengan bantuan sarana budaya terhadapa kebudayan lain sehingga terjadi penaklukan budaya yang pada akhirnya mengalami proses pemalsuan kultural atau keterasingan terhadap budayanya sendiri. Ekspansi budaya lewat pendidikan inilah yang disebut radikalisme pendidikan atau pendidikan radikal. Dari sini dapat dipahami bahwa lembaga pendidikan merupakan sarana yang apaling ampuh untuk membentuk karakter seseorang serta propaganda nilai-nilai budaya yang dianggap penting bagi penyelenggara pendidikan atau penggagas. Setahap demi setahap orang akan mengalami ekspansi kultural dengan menerima budaya asing yang mengakibatkan dekadensi kulturalnya sendiri. Dengan demikian seseorang tersebut tidak dapat menghayati budayanya sendiri.
Hal ini akan membawa akibat buruk atas rekayasa pendidikan yakni pertama, menjauhkan seseorang dari tradisi dan nilai-nilai budayanya sendiri, kedua, memunculkan keterasingan terhadap hakikat dirinya sendiri serta kondidi sosio budaya hingga munculnya proses tidak mengenal jati dirinya sendiri yang kemudian timbul rasa malu terhadap kekayaan budaya sendiri sebab dianggap inferior (tertinggal/ ndesani). Pendidikan menjadi sarana rekayasa yang dapat mengarahkan seseorang untuk mengikuti sdan menyakini kebenaran yang didapat lewat kerangka keilmuan yang dihasilkan. Kerangka ini menjadikan seseorang tidak mampu keluar dari jeratan pemahaman ilmu yang didapat dari lembaga pendidikan. Indoktrinasi lebih mendominasi dan memaksa kemauan ide-ide edukatif tanpa memperhatikan aspek kebutuhan harapan dan aspirasi pengguna jasa pendidikan. Penggagas ingin membentuk pribadi pengguna jasa pendidikan xsesuai dengan citra penggagas. Karena itu pengguna jasa pendidikan dirampas dari kata-kata, pikiran, bahasa, pengalaman hidup dan kebudayaannya agar mudah ditindas dan didisi dengan nilai-nilai dan benda-benda asing yang cocok dengan kepentingan penggagas.
Dalam sejarah Islam hubungan antara pendidikan dan kebijakan politik dapat dilacak sejak masa-masa awal pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam itu sendiri. Kenyataan ini misalkan dapat dilihat dari pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yang disponsori oleh penguasa politik. Contoh yang paling terkenal adalah Madrasah Nidzamiyah di Bagdad yang didirikan sekitar tahun 1064 M oleh Wazir Dinasti saljuk Nizam al-Mulk sebagai pendukung Madzhab Sunni (syafi’i). Lembaga ini merupakan lembaga tandingan Madrasah al-Azhar di Mesir yang pada awalnya didirikan Dinasti Fatimiyah untuk mendukung dan menyebarkan Madzhab Syi’ah. Fenomena tersebut merupakan signifikasi dan imlikasi politik dalam pengembagan madrasah. Pendidikan Islam pada umumnya bagi pengauasa muslim sudah sangat jelas, madrasah-madrasah tersebut didirikan untuk menunjang kepentingan-kepentingan politik tertentu dari penguasa muslim yakni untuk mendukung, menciptakan dan memmperkokoh citra penguasa sebagai orang-orang yang mempunyai kesalehan dan kepedulian kepada kepentingan ummat dan lebih penting lagi sebagai pembela ortodoksi Islam meskipun hal ini pada gilirannya akan memperkuat legitimasi penguasa vis avis rakyat.
Kepentingan terselenggaranya pendidikan telah membawa dampak rekayasa kebudayaan demi eksistensi kebudayaan penggagas itu sendiri. Kadangkala lembaga-lembaga pendidikan itu menjadi sarana yang ampuh sebagai mesin perang yang sangat mengerikan. Sebagai contoh peperangan antara kelompok sunni dan kelompok syi’ah di negara-negara muslim menjadi paralogime sejarah yang fatal akibat rekayasa pendidikan. Pertarungan idiologi besar dunia, komunis, fasis, sosialis, kapitalis dan Islam sendiri menjadi bukti lain yang mengantarkan pada pembasmian etnis yang dilandasi oleh faktor kepentingan politik.
Berikut beberapa hal prinsip pendidikan Islam yang bernuansakan kemanusiaan yang tercermin dari sosok Gus Dur; Pertama, fungsi menumbuhkan kesadaran magis (magical consciousnees), kesadaran ini dikembangkan dengan suatu keadaan kesadaran yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor yang lain. Sering kali terjadi dalam dunia pendidikan bahwa alumni sebuah lembaga pendidikan tidak mampu berkreasi dan berkarya serta selalu tetap berada dipinggir arus pembangunan yang berjalan begitu cepat. Akibatnya jumlah pengangguran justru banyak diisi oleh kelah menengah terpelajar. Ketidakberdayaan kelas terpelajar ini sebenarnya diakibatkan oleh sistem sebagai struktur pembelajaran yang telah menjerembabkannya kedalam kemiskinan dan ketidakberdayaan.
Di sebut menjerembabkan karena lembaga pendidikan telah membawa dampak pada alienasi (keterasingan) peserta didik terhadap dunia luar. Alienasi dalam kerangka tradisional dipahami bahwa peserta didik telaj mempunyai persepsi bahwa sekolah atau lembaga pendidikan telah dianggap dapat menjanjikan kerja langsung, padahal perkembangan dalam dunia kerja begitu cepat melebihi nalar keilmuan yang diajarkan di lembaga sekolah. Peserta didik telah dialeniasikan oleh sekolah yang mengisolasikan mereka ketika mereka bermaksud menjadi produsen dan sekaligus konsumen dari pengetahuan mereka sendiri.
Karena begitu peserta didik belajar dan diajar di lembaga sekolah maka orang akan kehilangan inisiatif untuk tumbuh mandiri dan menutup diri terhadap hal-hal yang berkembang di luar pelajaran yang diajarkan disekolah. Kreatifitas dan kemampuan siswa diukur dari nilai-nilai yang diatur lembaga pendidikan dan kesuksesan siswa juga ditentukan oleh seberapa tinggi nilai evaluasi yang didapatkannya dan seberapa tinggi nilai kesarjanaan yang diperolehnya. Lembaga pendidikan telah menjadi nilai konsumtif pasar kerja yang berkembang dengan memberikan janji-janji pengembangan potensi kerja yang menggiurkan sehingga lembaga pendidikan telah menjadi lembaga rekayasa sosial yang paling ampuh untuk membuat oang tealeniasi. Salah satu problem pendidikan Islam yang mengarah kepada aleniasi adalah pengembangan kurikulum nalar klasik.
Kedua, membangun kesadaran naif (navival consciousness). Lembaga pendidikan sebagai sebuah keadaan kesadaran yang melihat keterbelakangan oleh faktor individu dari orang lain. Dalam kesadaran ini masalah etika, kreativitas, need for achivement dianggap sebagai perubahan sosial. Pendidikan membangun individu yang mempunyai watak negativ and diagnostic dan positive and remedial. Pertama adalah membentuk manusia yang anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme terhadap segala bentuk yang meliputi semua bidang kehidupan baik agama, sosial, politik dan ilmu pengetahuan. Kedua adalah pendidikan berdasarkan pada suatu kepercayaan atas kemampuan manusia sebagai subyek yang memiliki potensi-potensi ilmiyah terutama kekuatan-kekuatan mempertahankan diri untuk menghadapi dan mengatasi semua problem kehidupan. Pendidikan memberikan keyakinan baru akan pentingnya trnasformasi sosial bagi bentuk kesadaran seseorang atas teori normatif pendidikan. Segala bentuk teori ilmu yang diajarkan hendaknya dapat membebaskan perilaku sehingga dapat membentuk kesalehan sosial dalam bahasa agama disebut akhlak karimah (saleh ritul dan saleh sosial sekaligus). Pendidikan yang awalnya mengatur dan membekali potensi manusia harus dipahami secara produktif, namun kenyatannya justru menjadi sesuatu yang menakutkan dengan pemahaman dogmatik dan kaku.
Hal ini dinyatakan dengan pemahaman out put pendidikan yang di ukur dengan nilai serba hitam-merah. Nilai hitam jika peserta didik mendapatkan nilai yang tinggi dalam proses belajar, begitu pula sebaliknya mendapat nilai merah jika peserta didik tidak mampu mendapatkan nilai standar yang telah ditentukan. Model penilaian salah benar dalam mengukur kelulusan peserta didik tersebut lebih mengarahkan pada nalar pragmatis. Nalar pragmatisme dalam dunia pendidikan lebih diakibatkan oleh paradigma budaya konsumerisme kapitalis. Sifat dasar dari paradigma ini adalah demi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Sifa dasar pembangunan telah membentuk karakter yang mendasari terselenggaranya pembangunan secara pragmatis dengan dalih demi efisiensi dan efektivitas.
Ketiga, membangun kesadaran kritis (critical consiousness). Kesadaran ini memandang sebab masalah dilihat dari sistem alam atau struktur sebagai sumber masalah. Kesadaran ini memberikan ruang bagi masyarakat agar mampu mengidentifikasi ketidak adilan dalam struktur yang ada dan melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur lembaga itu dibangun. Struktur dipahami sebagai realitas yang dilihat sebagaimana adanya yang diletakkan sebagai sebuah sistem dalam hal ini lembaga pendidikan merupakan bagian dari struktur realitas.
Oleh karenanya pendidikan harus dapat mengarahkan peserta didik untuk dapat melihat sistem yang menjadi sasarannya untuk membuka sistem yang membelenggu dirinya. Sebagai contoh munculnya keteransingan akibat diskriminasi peran kelompok minoritas dalam kelompok mayoritas masyarakat atau munculnya keterasingan seseorang karena kemiskinan dilihat karena adanya sistem realitas yang mengitarinya tidak memungkinkan seseorang keluar dari gubangan sistem yang membelenggu. Biasanya dal;am diskriminasi menandakan penindasan, peminggiran, dan ketidakadilan sosial karena adanya unsur superioritas kelompok atau sistem terhadap kelompok lain.
Ada banyak faktor mengapa pendidikan Islam sering ditampilkan dalam corak diskriminatif, salah satunya adalah adanya klaim kebenaran yang tidak disertai dengan adanya pemahaman keniscayaan Indonesia yang terlahir pluralism. Faktor ini dapat dicermati dari pelaksanaan pendidikan agama dengan nalar eksklusif. Secara harfiah eksklusif berarti sendirian, terpisah dari yang lain, berdiri sendiri, semata-mata dan tidak ada sangkut pautnya dengan yang lain. Secara sosial pengertian ini dipahami sebagai sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip diri sendirilah yang paling benar, sementara keyakinan, pandangan, pemikiran dan prinsip yang dianut orang lain adalah sesat, salah dan harus dijauhi, tentunya pendapat seperti ini akan berdampak pada peminggiran saran dan pemikiran yang berasal dari kelompok lainnya. Eksklusifitas pendidikan ini terjadi karena beberapa hal, pertama, pendidikan Islam yang dikembangkan telah terbakukan melalui penafsiran- penafsiran tertentu yang diresmikan oleh lembaga-lembaga pemerintahan atau golongan tertentu kemudian diajarkan kepada masyarakat.
Sebagai dampak penafsiran ini Islam yang semula memesankan pada pembebasan pada akhirnya kehilangan pesan kemanusiaan sebagai agama pembebas dan idiologi yang berakibat dehumanisasi. Ketika Islam mengalami proses pelembagaan yang yang berlebihan maka yang terjadi adalah pembungkaman kekayaan penafsiran diluar penafsiran resmi yang diakui oleh lembaga berwenang (pemerintah atau kelompok tertentu) mustahil ada penafsiran lain yan diakui kebenarannya. Al-qur’an yang semula terbuka untuk ditafsirkan oleh siapapun dibungkam suaranya menjadi hanya bunyi satu penafsiran absolut, muslim yang diluar tafsir resmi tersebut akan diklaim bid’ah, sesat atau murtad. Proses dialogis pada tataran ini dimungkinkan lagi mendapatkan tempat yang selayaknya, suasana seperti ini dapat dicermati pada kasus pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya juga terjadi dilembaga pendidikan Islam seluruh dunia.
Di Indonesia lembaga-lembaga pendidikan Islman banyak didirikan oleh lembaga-lembaga sosial keagamaan tertentu misalnya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, persis, Ahmadiyah dan lembaga sosial keagamaan lainnya. Walaupun model seerti ini dibenarkan menurut ilmu sosiaologi,namun pengkotak-kotakan ini pada akhirnya menimbulkan madzhab dari kelompok tertentu yang secara tidak sadar telah menimbulkan fanatisme madzhab dari kelompok tertentu pula. Jika proses pendidikan Islam tidakdibarengi dengan pemahaman multitafsir dan upaya mendialogkan segala perbedaan, maka corak seperti ini tentunya tidak menguntungkan bagi perkembangan nalar kritis pluralis ditengah masyarakat yang multi etnis dan perbedaan.
Kedua, adanaya keterasingan manusai sebagai peserta didik atas lingkungan sekitarnya. Konsep ini berangkat dari hakikat manusia yang pada intinya adalah bebas dan merdeka. Pendidikan Islam seharusnya bertolak dari pengenalan diri sendiri dan realitas lingkungan manusia. Seringkali pendidikan Islam dianggap sebagai investasi material untuk meneruskan tradisi dan kekayaan intelektual dari generasi kepada generasi selanjutnya. Model ini cenderung mengagungkan kapitalisme yang disebut dengan sistem pendidikan bank (banking education system). Disebut demikian karena dalam prakteknya pendidikan hanyalah proses pengalihan pengetahuan (transfer of knowledge). Dari sini dipahami atau tidak proses seperti ini akan menimbulkan nalar eksekutif karena ada dasarnya sistem pendidikan Islam yang dikembangkan menganut sistem searah dan tidak menampilkan sistem dialogis. Akibatnya peserta didik tidak mengkreasi sejarah dan budayanya sendiri, situasi terbungkam inilah yang menimbulkan kebudayaan bisu (culture of silence).
Secara filosofis, dalam pandangan yang sama dengan bahasa yang berbeda bahwa pendidikan Islam yang dikembangkan masih pada dataran normativitas teks Islam (al-Qur’an dan Hadits atau teks-teks kuno) kurang memperhatikan aspek historisitas kekinian teks yang menuntut atas perubahan zaman. Ajaran Islam yang normatif telah diklaim sebagai yang bersumber dari Allah Yang Suci, bersifat samawi, bersifat sakral, bersifat menjadi agama yang mempunyai keunikan ciri yang spesifik sekaligus membedakannya dari jenis pengalaman budaya sosial keagamaan. Jika klai kebenaran berbenturan dengan historisitas teks Islam yang bergulat dengan faktor kepentingan, baik kepentingan kelompok, etnis, birokrat, maka akan muncullah ketegangan antar penafsiran atas historisitas teks Islam. Penafsiran terks Islam yang diklaim sebagai agama itulah yang kemudian rentan akan memunculkan konflik, karena konflik diidentifikasikan sebagai penafsian tunggal yang diklaim sebagai kebenaran Islam secara absolut yang mengesampingkan kebenaran kelompok Islam lain dan agama lain. Seringkali dijumpai dalam doktrin Islam (kelompok/ golongan) selalu menggunakan sistem pemahaman pengajaran Islam dengan menggagas pendekatan konflik yang tanpa disadari telah mengarahkan pada eksklusivitas atau dalam bahasa hukum disebut legal-formal Islam.
Wacana iman versus kafir, muslim versus non-muslim, surga versus neraka menjadi bahan domain kurikulum yang dogmatik, pelajaran teologi seperti itu memang tidak dapat dihindari namun pelajaran itu hanya diajarkan sekedar memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengab kesadaran berdialog dan perlunya transformasi nilai ajaran Islam yang pada dasarnya tidak dapat diklaim hanya oleh kelompok tertentu saja. Akibatnya tentulah sangat fatal yakni paradigma eksklusif doktrinal yang menciptakan kesadaran ummat Islam untuk memandang ummat agama lain secara antagonis. Oleh karenanya pendidikan Islam harus melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membentuk kesadaran peserta didik berwajah inklusif-humanis tanpa harus menghilangkan kesadaran akan keyakinannya.
Karenannya pendidikan Islam dalam konteks transformasi sosial dapat berorientasi pada pengembangan dan pemberdayaan manusia secara utuh dan holistik. Oleh karena berbagai persoalan kemiskinan dan keterbelakangan sebagai akibat dari sistem pendidikan, kebijakan ekoniomi yang tidak memihak takyat kecil, maka tetap saja banyak masyarakat miskin yang tidak berdaya. Untuk membantu memberdayakan mereka perlu dicari metode pembelajaran yang menjadikan masyarakat lebih kritis, partisipatoris dan demokratis meskipun sulit bagi pendidikan Islam untuk memerankan peran kritisnya terhadap realitas yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian langkah strategis adalah menciptakan proses belajar otonom yang memberikan ruang dan kesempatan kepada masyarakat untuk menjadi mereka sendiri. Jika demokratisasi dalam pendidikan terjadi, akhirnya akan melahirkan masyarakat yang mandiri dan demokratis yang turut menyumbang terbentuknya bangsa yang dewasa.
Istilah pemberdayaan masyarakat (empowerment) adalah istilah yang sudah familier bagi kalangan Lembaga swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, organisasi sosial kemayarakatan dan kalangan pemerintah. Istilah pemberdayaan ini muncul hampir bersamaan dengan adanya kesadaran akan perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Hal ini diasumsikan bahwa tanpa adanya partisipasi masyarakat niscaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan memperoleh kemajuan yang berarti. Adanya gagasan bahwa partisipasi masyarakat itu seyogyanya merefleksikan kemandirian bukanlah tanpa alasan, tanpa adanya kemandirian maka suatu bentuk partisipasi masyarakat itu tidak lain hanya sebuah mobilisasi belaka.
Dalam tataran konseptual pemberdayaan terkait erat dengan proses transformasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pemberdayaan bisa dimaknai sebagai proses penumbuhan kekuasaan dan kemampuan dari diri kelompok masyarakat yang miskin lemah, terpinggirkan dan tertindas. Melalui proses pemberdayaan diasumsikan bahwa kelompok sosial masyarakat terbawah sekalipun bisa saja terangkat dan muncul menjadi bagian masyarakat menengah dan atas. Hal ini bisa terjadi kalau saja mereka diberi kesempatan dan mendapat bantuan serta fasilitas dari pihak lain yang punya komitmen untuk melakukan proses perubahan tersebut. Kelompok miskin disuatu pedesaan misalnya tidak akan mampu melakukan proses pemberdayaan sendiri tanpa bantuan atau difasilitasi pihak lain. Harus ada kelompok atau seseorang suatu lembaga yang bertindak sebagai agent pemberdayaan bagi mereka. Pemberdayaan masyarakat berbeda dengan apa yang selama ini dipahami orang dengan pendekatan karikatif (memberi bantuan dengan dasatr belaskasihan) dan pengembangan masyarakat (community development) yang biasanya berisi pembinan, penyuluhan,bantuan teknis, dan managemen serta mendorong kemandirian dengan bentuk swadaya.
Paradigma pendidikan Islam yang dianut oleh pemerintah dan masyarakat selama ini, dimana pendidikan Islam hanya menghasilkan sosok-sosok pengikut dari sistem yang berkembang dimasyarakat, tidak punya daya kritis dan kontrol untuk melakukan koreksi atas hegemony sistem yang ada. Karenanya diperlukan pendidikan Islam kritis dalam rangka pemenuhan pendidikan Islam yang bersifat humanis. Paradigma dasar yang menjadi pijakan pendidikan Islam kritis ini adalah idiologi Islam yang melakukan kritik terhadap sistem dan struktur sosial, ekonomi dan politik yang adil. Pendidikan Islam dalam paham ini merupakan resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari media untuk transformasi sosial. Pendidikan Islam Kritis merupakan proses perjuangan politik bagi ketidakadilan kelas, diskriminasi gender, arogansi tafsir atau paralogisme tafsir dan berbagai bentuk ketidak adilan lainnya seperti hegemoni kultural dan politik.
Pendidikan Islam Kritis merupakan kelanjutan dari gerakan Islam pembebasan. Maka pendidikan Islam kritis dan Islam pembebasan pada dasarnya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kata “pembebasan” dalam pendidikan Islam kritis memilik konteks makna yang berubah-ubah dari satu formasi sosial keformasi sosial lainnya sesuai dengan konteks dan bentuk penindasan atau ketidakadilan dizamannya. Pada zaman kolonialisme misalnya, diskursus pembebasan yang sering diungkapkan oleh funding father bangsa Indonesia lebih memiliki makna sebagai kemerdekaan dan dipahami sebagai upaya untuk melepaskan diri dari penjajahan kolonialisme. Akan tetapi diskursis Islam pembebasan pada era ketergantungan pasca kolonial jauh berbeda, penderitaan rakyat justru diakibatkan oleh bentuk penindasan melalui proses pemikiran sebagai akibat dari penerapan paham developmentalisme dan fundamentalisme (dalam arti luas) yang bersandar pada cara berfikir modern. Funding father merespon penindasan seperti itu dengan diskursus pembebasan dalam konotasi yang berbeda.
Pada era-pasca kolonial ini diskursus pembebasan lebih berdimensi pembebasan kaum miskin tertindas di grassroot, salah satu contoh adalah apa yang dilakukan oleh Gustavo Gutierez, yaitu tokoh teologi pembebasan dunia selatan yang berasal Guatemala. Ia memaknai ajaran agamanya sebagai pembebasan spiritual dan sosio kultural bagi golongan masyarakat yang terpinggirkan dalam proses pembangunan. Oleh karenanya Gustavo Gutierez memberi pengertian pembebasan sebagai bentuk ekspresi rakyat miskin atau rakyat jelata vis a vis dengan kelas elit di negara-negara ketiga. Dengan demikian konsep teologi pembebasan tidak dapat dipisahkan dari kerangka dan konteks pemikiran teologi ketergantungan (dependency theory) yang berkembang subur tahun 70-an di Amerika Selatan.
Pendidikan kritis mengutamakan proses belajar mengajar yang mencerdaskan sekaligus membebaskan peserta didik untuk menjadi pelaku (subyek) bukan sasaran (obyek) dari proses tersebut. Adapun proses pendidikan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan model penndidikan yang lain, yang meliputi :
1. Belajar dari realitas atau pengalaman. Materi yang dipelajari bukan “ajaran” (teori, pendapat, kesimpulan, wejangan, nasihat, dsb.) dari seseseorang, tetapi keadaan nyata masyarakat atau pengalaman seseorang atau sekelompok orangf yang terlibat dalam kegiatannyata sehingga tidak ada otoritas pengetahuan seseorang yanmg lebih tinggi dari yang lainnya. Keapsahan pengetahuan seseorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan atau pengalaman langsung, bukan pada retorika teoritik atau “kepintaran omong”nya.
2. Tidak menggurui. Oleh karena itu tidak ada “guru” dan tidak ada “murid” yang digurui. Semua orang terlibat dalam pendidikan ini adalah : “guru sekaligus murid” (every body of teacher) pada sat yang bersamaan.
3. Dialogis. Karena tidak ada murid dan guru maka proses belajar mengajar yang berlangsung bukan bersifat teacher center atau satu arah, tetapi proses “komunikasi” dalam berbagai bentuk kegiatan belajar seperti : diskusi kelompok, bermain peran, out-bond, dan sebagainya yang didukung oleh media (peraga), grafika, audio visual dan lain-lain. Proses komunikasi ini lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antar orang yang terlibat dalam proses pelatihan tersebut. Agar proses belajar tetap berpijak pada asas-asas pendidikan kritis sebagai landasan filosofinya, maka panduan proses belajar dan pelaksanaannya harus disusun dalam suatu proses yang dikenal sebagai “daur belajar (dari) pengalaman yang distrukturkan”. Proses belajar ini sudah teruji sebagi suatu proses belajar yang memenuhi semua tuntutan atau prasyarat pemdidikan kritis. Hal tersebut terjadi karena urutan prosesnya memang memungkinkan bagi setiap orang untuk mencapai pemahaman dan kesadaran atas suatu realitas sosial dengan cara terlibat (partisipasi), secara langsung meskipun tidak langsung sebagai bagian dari realitas tersebut.
4. Melakukan sendiri; artinya meteri pengajaran diambil dari pengalaman, atau peristiwa-peristiwa yang dialami sendiri oleh peserta yang diungkapkan lewat cerita, studi kasus, permainan dan media lainnya sebagai cara untuk melijhat data yang ada. Dengan demikian materi pembelajaran akan lebih hidup, dinamis dan inovatif.
5. Mengungkapkan data (rekonstruksi); artinya pengalaman-pengalaman yang diperoleh dan dimilikinya itu diuraikan kembali secara rinci sebagai proses pengungkapan dengan cara menyatakan kembali apa yang sudah dialaminya lewat tanggapan dan pesan atas pengalaman tersebut. Tahapannya dimulai dari penggalian pengalaman dengan cara melakukan kegiatan langsung, kemudian partisipan terlibat dan bertindak atau berperilaku mengikuti suatu pola tertentu termasuk cara mengerjakan, mengamati, melihat, dan menyatakan sesuatu. Pengalaman itulah yang akhirnya menjadi titik tolak proses belajar selanjutnya.
6. Kaji-urai (analisis). Yaitu mengkaji sebab-sebab dan kemajemukan dari berbarbagai macam problema yang ada dalam realitas tersebut, baik yang menyangkut tatanan, aturan-aturan, maupun sistem yang menjadi akar persoalan.
7. Kesimpulan. Yakni merumuskan makna atau hakikat realitas data atau pengalaman melalui analisis data sebagai suatu pelajaran pengalaman dan pemahaman atau pengertian baru yang lebih utuh. Rumusan tersebut berupa prinsip-prinsip dan kesimpulan umum (generalisasi) dari hasil pengkajian atas pengalaman-pengalaman itu. Cara seperti ini akan lebih mempermudah dalam merumuskan, merinci, dan memperjelas hal-hal yang telah dipelajari.
8. Tindakan (penerapan). Tahap terakhir dari proses daur belajar ini adalah memutuskan dan melaksanakan tindakan-tindakan baru yang lebih baik berdasarkan hasil pemahaman atau pengertian baru atas realitas tersebut. Langkah ini diwujudkan dengan cara merencanakan tindakan-tindakan dalam rangka penerapan prinsip-prinsip yang telah disimpulkan. Proses pengalaman atau daur belajar ini belumlah lengkap sebelum ajaran baru, pengalaman baru, atau penemuan-penemuan baru itu dilaksanakan dan diuji dalam perilaku yang sesungguhnya. Tahap ini menjadi bagian yang bersifat “eksperimental” preses penerapan ini tentu akan menjadi suatu pengalaman sendiri dan pengalaman baru itulah daur proses atau daur belajar akan dimulai dari awal lagi dan seterusnya.
Dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa pendidikan hendaknya meliputi nilai-nilai ubudiyah yang diekspresikan dengan bentuk muamalah bila pendidikan kritis ini terwujud, maka akan sesuai sebagaimana yang terungkap dalam QS. Luqman (31): 1-34. Intinya pendidikan hendaknya memberi penyadaran potensi fitrah keagamaan, menumbuhkan, mengelola dan membentuk wawasan (fitrah), akhlak serta tingkah laku yang sesuai dengan ajaran Islam, menggerakkan dan menyadarkan manusia untuk senantiasa beramal saleh dalam rangka beribadah kepada Allah kapan dan dimanapun dengan menjadikan masjid dimanapun tempatnya berada. Yang coba kami (peneliti) tafsirkan berdasarkan epistimologi Gus Dur sebagai berikut :
1. Pendidikan Islam yang integralistik; yakni mengandung komponen-komponen kehidupan yangmeliputi : Tuhan, Manusia dan Alam pada umumnya sebagai suatu yang integral bagi terwujudnya kehidupan yang baik serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani rohani, intelektual, perasaan dan individu-sosial. Pendidikan yang integralistik diharapkan bisa menghasilkan manusia yang memiliki integritas tinggi, yang bisa bersumber dan menyatu dengan kehendak Tuhannya yang bisa menyatu dengan dirinya sendiri (agar tidak memiliki kepribadian ganda) menyatu dengan masyarakatnya (agar bisa menghilangkan disintegrasi sosial), dan bisa menyatu dengan alam (agar tidak berbuat kerusakan).
2. Pendidikan Islam yang humanistik; memandang manusia sebagai manusia yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas –antara hewan dan malaikat –ia menghargai hak-hak asasi manusia seperti ahk untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang dan lain sebagainya. Pendidikan yang humanistik diharapkan dapat mengembalikan hati manusia sebagai sebaik-baik makhluk, khairul ummah. Manusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanistik diharapkan bisa berfikir, berasa dan berkamauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang kepada sesama manusia, sifat ingin memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan dan lain sebagainya.
3. Pendidikan Islam yang pragmatik; adalah pendidikan yang memendang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, dan mempertahankan hidupnya baik bersifat jasmani seperti, pangan, sandang, papan, seks, kendaraan dan sebagainya ; juga bersifat rohani seperti, berfikir, merasa, aktualisasi diri, kasih sayang dan keadilan maupun kebutuhan sukmawi seperti dorongan untuk berhubungan adi kodrati. Pendidikan yang pragmatik diharapkan dapat mencetak manusia yang pragmatik yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, peka terhadap masalah-masalah kemanusian dan dapat membedakan manusia dari kondisi dan situasi yang tidak manusiawi.
4. Pendidikan Islam yang berakar kuat; yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umunya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa atau kelompok etnis tertentu. Pendidikan yang berakar budaya kuat diharapkan dapat membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri sendiri dan membangun peradaban berdasarkan budayanya sendiri yang merupakan warisan monumental dari nenek moyangnya. Tetapi bukan orang yang anti kemodernan yangmenolajk begitu saja arus transformasi budaya dari luar.



B. Pendidikan Islam Liberalism
Sebagaimana metode penelitian yang dipakai oleh peneliti dalam pemaparan BAB I. Pendekatan yang dipakai oleh peneliti adalah pendekatan Tipologis secara Virtual dan Doniman. Pendekatan ini berdasarkan pola pikir dan asumsi bahwa karakteristik umum dan mutlak beda itu tidak ada, yang ada adalah kemiripan karakteristik yang batas bedanya tiada pasti. Dalam perspektif Dhavamony pendekatan tipologis mengamati pola atau sifat khas dari pemikiran individu atau kelompok yang membedakannya dengan yang lain dengan memakai analisis data reflektif yaitu kombinasi antra berfikir deduktif dan induktif atau dengan mendialogkan data teoritik dan empirik secara berkesinambungan (bolak-balik) dan analar kritis melalui langkah-langkah : Pertama, reduksi data, dalam arti bahan-bahan yang sudah terkumpul kemudian dianalisis, disusun secara sistematis dan ditonjolkan pokok-pokok persoalannya. Kedua, display data, hal ini dilakukan karena data yang terkumpul demikian banyak sehingga dalam praktiknya menimbulkan kesulitan dalam menggambarkan detail keseluruhan, serta kesulitan pula dalam mengambl kesimpulan. Ketiga, heuristik data, yaitu melukiskan dan memperbandingkan dengan asumsi mencari perbedaan dan menarik persamaan, serta menguji hipotesis-hipotesis yang berhubungan dengan tema pemikiran ini, sehingga memungkinkan terbentuk satu peta pemikiran yang kohesif, yang darinya tipologi dapat terbentuk.
Sebagaimana metode yang dipilih oleh peneliti maka dalam mengungkapkan data, peneliti akan selalu memberikan kerangka teori dalam tiap-tiap BAB yang kemudian akan ditonjolkan aplikasi yang memiliki kerangka sama dengan teori tersebut, dalam hal ini adalah pola liberasi Gus Dur. Hal ini dilakukan secara concent pemikiran dan liberasi Gus Dur dapat ditarik diruang manapun. Dalam karya Gus Dur baik yang ditulis langsung oleh Gus Dur maupun orang lain memang lebih banyak mengungkapkan pemikiran Gus Dur dar i aspek piltik dan agama, bahkan tidak ditemukan pemikiran Gus Dur yang secara eksplisit membahas tentang pendidikan. Melihat karya Gus Dur, seolah kita teringat pernyataan A.N. Whitehead pada abad ke-18 ketika konflik antara gereja dan ilmuwan (scince and the modern world) “bila kita menyadari betapa pentingnya agama bagi manusia dan betapa pentingnya ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sejarah kita yang akana datang bergantung pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antara keduanya”. Namun bukan berarti Gus Dut tidak kompeten dalam persoalan-persoalan pendidikan. Justru pemikiran Gus Dur yang menjadi aplikasi setiap tindakan beliau lebih menonjolkan kearah pendidikan meskipun persoalan tersebut berbentuk persoalan sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Karena apa yang dipikirkan Gus Dur justru menjadi liberasi pendidikan yang pada dasarnya merupakan visi pendidikan itu sendiri.
Pembahasan pendidikan Islam dalam wilayah teoritik, terlebih ada kata liberalisme pada dasarnya akan ditarik pada tema yang sangat seksis dan berbahaya karena didalam wacana pemikiran Arab kontemporer misalnya istilah Tafkir itu bertukar kata dengan Takfir. Jika tafkir berarti pemikiran, maka takfir berarti pengkafiran. Artinya dimana orang yang selalu berfikir (tafkir) untuk melakukan perubahan dan pembebasan atas keadaan yang ada selalu disudutkan dengan menyebutnya kafir (takfir). Namun penulis mencoba lepas dari bayang-bayang sejarah kelam dunia Islam yang lebih tepatnya dunia Arab dengan memberikan penilaian seobyektif mungkin dari temuan-temuan atas penelitian ini dengan mengedepankan keadaan muslim yang sudah plural.
Pluralitas dapat diartikan sebagai agama, kebangsaan, pandangan politik, yurisdiksi politik, dan pendapat perseorangan, yang kesemuanya berkumpul bersama di dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu, berbicara mengenai pluralisme di dalam masyarakat Muslim adalah berbicara mengenai kemerdekaan dan demokrasi. Di dalam konteks seorang Muslim, kemerdekaan dan demokrasi harus dipahami dalam kaitannya dengan tradisi dan warisan Arab, khususnya Islam, dan dalam cara di mana hal itu berhubungan dengan kejadian-kejadian yang ada di sekitar pembentukan sebuah negara pada abad ketujuh di Madinah. Negara ini didasarkan atas kebangkitan dari sebuah pesan Ketuhanan yang baru, yang melengkapi dan mengakhiri semua pesan Ketuhanan yang sebelumnya. Dari sudut pandang ini, masyarakat Arab bersifat kohesif, dengan konvensi, nilai-nilai moral, dan peradabannya sendiri.
Secara khusus, kita harus mengetahui bagaimana orang-orang pada saat itu bereaksi terhadap negara baru ini, dengan didasarkan atas kepentingan politik dan sosial mereka. Selama masa pemerintahan Nabi Muhammad, konflik kepentingan tidak terjadi secara terbuka. Dengan kematiannya, konflik secara cepat tumbuh pada suku-suku, keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok lainnya, setiap dari mereka mengklaim sebagai pengikut yang paling benar dari Nabi, dan juga mengklaim kebenaran absolut. Konflik-konflik ini terus berlangsung sampai sekarang di dunia Muslim-Arab, dan termanifestasi di dalam keberadaan dari sekte-sekte Muslim yang berbeda-beda.
Dari akhir abad kesembilanbelas sampai dengan sekarang, sebuah slogan populer telah didengarkan: "Islam adalah solusinya." Ini berarti bahwa Islam adalah satu-satunya petunjuk ke arah keselamatan, dan menawarkan satu-satunya jalan keluar dari krisis yang berbeda-beda. Islam itu sendiri adalah satu-satunya jalan untuk membangun sebuah masyarakat yang adil dan merdeka dengan kata lain, sebuah masyarakat Islam. Tetapi Islam yang manakah yang dimaksud? Apakah Islam-nya Al-Qur'an dan Nabi Muhammad, atau Islam yang tumbuh melalui banyak kejadian dan keadaan historis yang berbeda-beda? Solusi seperti apakah yang ditawarkan oleh Islam? Permasalahan-permasalahan apakah yang diandaikan dapat diselesaikan oleh Islam?
Di bawah keadaan yang seperti itu, masyarakat Muslim Arab telah terbagi ke dalam dua aliran. Kelompok yang pertama berpegang secara ketat kepada arti literal dari warisan, dalam rangka mempertahankan keutuhan karakter dan identitas nasional mereka. Dengan pertimbangan bahwa warisan tersebut menyimpan kebenaran absolut, mereka yakin bahwa apa yang cocok untuk komunitas pertama dari orang-orang yang beriman di zaman Nabi, juga cocok untuk semua orang-orang yang beriman di zaman apapun. Kepercayaan ini telah menjadi absolut dan final.
Di dalam keadaan sekarang ini, kepercayaan seperti itu sering didorong oleh kondisi politik dan ekonomi, di mana ketidakpuasan orang-orang terhadap status quo di banyak negara menggiring mereka untuk menerima slogan bahwa "Islam adalah solusinya." Kebanyakan dari kelompok ini menganggap parlemen dan pemilihan umum sebagai bagian dari bid'ah barat, dan bukanlah cara yang benar untuk memerintah sebuah negara Islam. Sebaliknya, mereka percaya bahwa hanya Allah yang menyediakan legitimasi untuk sebuah negara, yang mana berarti bahwa negara harus dikontrol, baik oleh kependetaan profesional (seperti pada kasus di Iran) atau oleh ulama (otoritas religius). Negara didasarkan atas sebuah legitimasi yang diambil dari warisan asli manusia, dan tidak tersentuh oleh perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu di bidang pemikiran politik. Teori politik mereka didasarkan atas Khalifah dan Imamah (yaitu, otoritas Islam yang unggul) serta ketaatan kepada para pembuat-kebijakan, dan tidak memiliki teori yang orisinil tentang kemerdekaan dan hak asasi manusia.
Kelompok yang kedua telah cenderung untuk menyerukan sekularisme dan modernitas, menolak kesemua warisan Islam, termasuk Al-Qur'an sebagai bagian dari tradisi yang diwarisi, yang hanya akan menjadi narkotik pada pendapat umum. Bagi mereka, ritual adalah sebuah gambaran mengenai ketidakjelasan. Memimpin di dalam kelompok ini adalah kaum Marxis, Komunis, dan beberapa kaum nasionalis Arab. Tetapi semua kelompok ini telah gagal di dalam memenuhi janji mereka untuk menyediakan modernitas kepada masyarakatnya. Mereka telah berusaha untuk membangun sebuah negara sekular yang memonopoli kebenaran, menghalangi ekspresi publik apapun mengenai pluralisme. Hal ini, bagaimanapun juga, adalah sebuah pemutarbalikan dari sekularisme, yang tidak membawa monopoli negara dalam bentuk apapun terhadap kebenaran.
Melalui pembacaan terhadap teks, peneliti sampai kepada kesimpulan yang relevan dengan aplikasi dari pada Al-Qur'an di dalam masyarakat kontemporer, khususnya dalam hubungannya dengan demokrasi dan pluralisme. Pertama, salah satu prinsip inti dari kaum Muslim adalah shura, yang berarti konsultasi. Ini adalah bagaimana cara Nabi berkonsultasi dengan para sahabatnya di dalam membuat kebijakan untuk masyarakatnya. Di dalam Al-Qur'an, shura disebutkan dua kali, sebagai keyakinan yang fundamental, sama seperti shalat, dan sebagai praktek, sesuai dengan zaman di mana seseorang hidup. Pada zaman kita, shura yang asli berarti sudut pandang pluralisme dan demokrasi yang asli.
Kedua, pandangan shura ini merubah konsep jihad, yang sering kita dengar dari kaum fundamentalis. Bukankah jihad hanya sah di dalam dua kasus: untuk mempertahankan tanah air, atau untuk berjuang meraih kemerdekaan dan keadilan. Tetapi apabila masyarakat diatur di dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh Tuhan, maka tidak perlu lagi untuk melawannya dengan jihad. Fundamentalis, lagi-lagi, mengacaukan antara batasan-batasan dengan persyaratan, dan oleh sebab itu, menyerukan jihad melawan masyarakat yang walaupun menghormati batasan-batasan Tuhan, tidak menganut pandangan mereka tentang persyaratan Tuhan.
Menyerang yang lain, dalam rangka untuk menyebarkan Islam adalah sebuah konsep jihad yang bersifat historis dan telah rusak, Islam ada di antara semua manusia, selama mereka percaya kepada Tuhan, hari akhir, dan perbuatan baik. Al-Qur'an mengatakan dengan jelas bahwa tidak diperbolehkan mengobarkan perang melawan siapa saja untuk memaksa mereka percaya kepada Muhammad, atau untuk menjadi Muslim. Al-Qur'an mengetahui bahwa sebagian besar orang di bumi tidak akan menjadi pengikut Nabi Muhammad; sekarang mereka berjumlah 20 persen dari keseluruhan penduduk dunia.
Seharusnya kita meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah. Kecenderungan untuk "me-monumen-kan" Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini.
Karenanya Gus Dur mengemukakan sejumlah pokok pikiran sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang cenderung membeku, menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri. Salah satu jalan menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini.
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak. Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan mengikutinya. Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.
Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai "masyarakat" atau "umat" yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam. Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah urusan masing-masing agama.
Bagaimana meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran semacam ini? Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah). Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual. Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara "yang universal" dengan "yang partikular".
Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi. Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Jadi, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus di "lawan" adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu. Setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah "nilai generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran "Islam" bisa ada dalam filsafat Marxisme. Ada periode di mana umat beragama menganggap, "baju" bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini. Karenanya musuh semua agama adalah "ketidakadilan". Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan.
Misi Islam yang kita anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik, pendidikan dan ekonomi (tentu juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya amat bersifat furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan. Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada "hukum Tuhan" (nilai-nilai ketuhanan yang universal), tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, bidang pendidikan mengenal hukumnya sendiri dan seterusnya.
Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri. Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan. Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.
Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara "kami" dengan "mereka", antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara "Barat" dan "Islam"; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.
Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan "mereka". Gus Dur berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Quran. Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran "Kitab Suci" atau "Kitab-Tak-Suci", lembaran-lembaran pengetahuan yang dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.
Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar)." Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini. Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.
Peradaban Islam pernah mengalami perkembangan pesat pada abad pertengahan. Karakteristik peradaban yang dikembangkan pada saat itu berlandaskan pada dua hal. Pertama, berkembangnya nilai-nilai masyarakat yang terbuka (open society) yang menghasilkan kontak dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Kontak kebudayaan ini kemudian melahirkan nilai-nilai baru yang modern dan egaliter. Kedua, perkembangan humanisme yang melahirkan perhatian terhadap masalah hubungan antarsesama manusia. Dalam perspektif ini manusia memiliki otoritas yang lebih luas dalam menentukan makna kehidupan dan peradabannya. Kedua nilai ini menjadi spirit dalam membangun peradaban yang modern.
Namun pada perkembangan berikutnya akar peradaban modern yang berbasis pada open society dan humanisme ini tidak berkembang baik di negara-negara Islam. Justru spirit ini telah diambil alih oleh negara Barat, sehingga sekarang mereka memimpin peradaban dunia. Sekarang spirit yang sama dikembangkan oleh negara-negara non-Barat yang non-Islam seperti India, China, Jepang, dan Korea. Mereka adalah negara modern baru yang mengembangkan peradaban Timur dengan memasukkan elemen-elemen tradisi Timur dengan elemen modernitas Barat menjadi peradaban modern baru yang berbasis pada induk budaya (mother culture) agama. India mengadopsi sistem pendidikan modern Barat yang liberal dan diterapkan secara masif di kelas-kelas sekolah. Tidak mengherankan jika India mengalami perkembangan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologinya. India juga mengadopsi sistem politik yang demokratis seperti Barat. Tetapi mengadopsi sistem modern Barat bukan sebagai tujuan akhir melainkan sebagai jalan yang efisien untuk mencapai tujuan hidup orang India yakni sampai pada pencerahan jiwa, perbaikan, peningkatan, keuntungan, dan kebahagiaan hidup yang berlandaskan pada nilai-nilai agama Hindu.
Contoh yang lainnya, Jepang. Kemajuan Jepang disebabkan mereka mampu menemukan esensi, makna, dan spirit kultur mereka sebagai elemen penting dalam membangun peradaban modern. Modernisasi yang datang dari nilai-nilai eksternal tidak memuaskan orang Jepang, karena mereka sudah memiliki sejarah dan kultur Timur yang cukup tua. Makna dan spirit Bushido menjadi cahaya dan aliran darah yang melekat kuat dalam diri orang Jepang. Terjadinya kontak kebudayaan dengan modernisasi Barat menjadi pemicu terjadinya pertemuan nilai (melting values,) yang menguntungkan. Pertemuan nilai tidak dikonfrontasi berhadap-hadapan (vis a vis), tetapi diadaptasi dengan baik dengan memasukkan elemen kultur lokal dalam elemen modern Barat menjadi kekuatan pendorong untuk membangun peradaban modern yang non-Barat.
Ki Hadjar Dewantoro menyebut fenomena ini sebagai lahirnya negara-negara non-Barat yang mengembangkan peradaban baru berbasis empat aspek, yakni kebudayaan induk (mother culture) yang berbasis agama, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kebudayaan tekno ekonomi, majunya sistem dan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi, berkembangnya sistem politik dan kenegaraan yang berakar pada trilogi liberalisme, pluralisme, dan sekularisme. Bertumbuh kembangnya negara modern baru non-Barat yang non-Islam ini melahirkan pertanyaan epistemologis. Mengapa negara-negara Islam dan berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia yang memiliki kebudayaan induk sangat kohesif justru tertinggal dari negara-negara lainnya? Padahal modal sosial yang dimiliki lebih dari cukup untuk membangun sebuah peradaban Islam modern.
Jika nilai-nilai Islam yang memiliki induk kebudayaan (mother culture) amat kohesif, sesungguhnya jati diri itulah yang harus dikembangkan oleh model pengembangan pendidikan Islam. Di mana pun Islam berkembang, seharusnya tempat tersebut mampu menjadi melting values untuk membangun peradaban baru yang lebih maju. Karena itu tantangan yang paling besar adalah mengubah paradigma Islam eksklusif menjadi paradigma Islam inklusif. Ketika kita menempatkan Islam vis a vis dengan peradaban modern dan menjadi sangat eksklusif, maka sekohesif apa pun induk kebudayaan ini tidak akan mampu membangun peradaban. Sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk Islam terbesar di dunia, seharusnya Indonesia mampu mengembangkan pendidikan Islam yang modern untuk menjadi soko guru peradaban unggul. Hal inilah yang sudah dilakukan oleh negara-negara non-Barat yang non-Islam dalam membangun peradaban modern mereka tanpa kehilangan akar budaya dan karakteristik kulturalnya. Mereka bangga dengan identitas kultural yang distingtif dalam modernisasi peradaban dunia.
Sistem pendidikan Islam harus dikembangkan untuk menanamkan pemahaman Islam yang moderat, terbuka, toleran, dan menghargai ragam perbedaan. Dengan memahami realitas masyarakat yang majemuk, konsepsi pendidikan yang dikembangkan pada lembaga pendidikan Islam adalah pemahaman, semangat, dan cara pengelolaan yang mampu mengakomodasi perbedaan dan keragaman dengan tanpa mengorbankan keyakinan dalam keberagamaan masing-masing individu. Tetapi selama pemahaman keagamaan berada pada ujung yang ekstrem, pendidikan Islam akan tetap menjadi periferal dan marginal. Selain itu pendidikan Islam juga harus responsif terhadap kehidupan berdemokrasi. Pendidikan demokrasi perlu dikembangkan sebagai upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih menghargai hak-hak individu, termasuk kebebasan berpikir, berserikat, berpendapat, dan bebas dari ketakutan (Cohen: 2002; Cristoper: 1989). Upaya ini penting untuk menciptakan kohesivitas nasional dan komitmen warganya dalam membangun warga negara kesatuan yang demokratis. Meskipun secara politik posisi umat Islam telah mendapatkan porsi penghargaan dan penerimaan yang positif dalam perkembangan kehidupan demokrasi di Indonesia, hal yang sama belum terlihat dari sisi pendidikan. Sudah saatnya sekarang ini pendidikan Islam juga mampu untuk mengembangkan dan menjalankan pola pikir yang sama, yaitu sebuah cara berpikir maju dan moderat yang sejauh ini belum terlihat secara maksimal di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Peluang untuk sampai ke arah itu telah tersedia, yaitu dengan diakomodasinya pola pengelolaan pendidikan Islam ke dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan Islam juga dituntut untuk responsif terhadap modernisasi pembelajaran yang telah berjalan pada lembaga-lembaga pendidikan sekolah umum di bawah kementerian pendidikan. Ada dua hal yang bisa dikembangkan. Pertama, mengembangkan strategi pembelajaran aktif dengan berpusat pada siswa. Di samping itu dikembangkan sikap yang sensitif terhadap perubahan melalui berbagai strategi pembelajaran yang tepat dan dikembangkan sesuai dengan kondisi psiko-sosial anak. Yang tidak kalah pentingnya adalah yang kedua, yaitu memodernisasi fasilitas pembelajaran, lingkunga, dan faktor pendukung seperti manajemen sekolah yang terbuka, transparan, dan akuntabel, termasuk keterlibatan dari orang tua, pemerintah, masyarakat, serta para stakeholder pendidikan lainnya. Spirit yang selama ini telah ditunjukkan oleh lembaga pendidikan Islam yang memiliki basis dukungan dari masyarakat secara penuh perlu ditumbuhkan kembali. Salah satu yang menyebabkan pendidikan Islam di Indonesia tidak kompatibel dengan dunia modern adalah rata-rata lembaga pendidikan Islam seperti telah kehilangan ruh dukungan dari masyarakat sekitarnya. Faktor ini jugalah yang mungkin menyebabkan lembaga pendidikan Islam terkesan sangat eksklusif, karena telah kehilangan independensi pengelolaan yang menyebabkan mereka sangat tergantung pada uluran tangan pemerintah.
Persoalan-persoalan krusial di atas adalah gambaran bahwa lembaga pendidikan Islam masih eksklusif. Tetapi jika nilai-nilai di atas dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh para pengelola dan pengasuh dalam lingkup pendidikan Islam, maka peluang untuk tampil sebagai pilar peradaban baru yang modern dan kukuh berlandaskan nilai-nilai keislaman sangat terbuka luas. Berbagai tantangan khas umat Islam di Indonesia membutuhkan sikap yang terbuka dari pemerintah dan lembaga pendidikan Islam itu sendiri untuk mengembangkan berbagai model pendidikan yang inklusif, terbuka, dialogis, serta bertumpu pada kebutuhan siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam mampu melahirkan SDM tangguh dan berkarakter kuat yang akan berkiprah mengisi dan menciptakan peradaban baru yang bertumpu pada nilai keagamaan, spiritualitas, dan humanisme.
Secara garis besar, pendidikan Islam telah mengembangkan teori hukum agama (ushul fiqh/ legal theory) dan (qawa’idul fiqh/ legal maxims). Karenanya untuk dapat melakukan transformassi inten itu, pendidikan Islam harus merumuskan kembali pandangan-pandangannya mengenai martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia dimuka undang-undang dan solidaritas hakiki antara sesama manusia dengan menempatkan nilai-nilai universal ajaran Islam sebagai bentuk pelayanan kepada warga masyarakat tanpa memandang ras, etnis, agama, kekayaan dan kedudukan. Hal ini kemudian memunculkan peran hadirnya Islam sebagai pembebasan (tahrir/ liberation) atas ketertindasan keadaan yang dibuat oleh sesama manusia.
Sejalan dengan Gus Dur. Di Kangra, Tibet, India juga ada Yang Mulia Dhalai Lama XIV selaku guru besar spiritual agama Budha yang mengatakan bahwa “kita perlu mempelajari beberapa konsep dari semua agama agar kita memahami mereka. Karena apa yang terjadi dibalik peperangan yang mengatasnamakana agama sebenarnya bukanlah perintah agama manapun. Hal ini hanya disebabkan oleh berakarnya sifat iri hati yang kemudian menjadi dengki, dan mengakar menjadi amarah yang selanjutnya atas nama agama bertindak memakai metode kekerasan”. Jadi metode kekerasan bukanlah sebuah pilihan terbaik, justru metode kekerasan tersebut adalah pilihan paling buruk diantara yang terburuk. Berkaca pada sejarah maka apa yang terjadi dalam dunia Pendidikan Islam tidak harus dipaksakan melainkan mengkompromikan semua unsur yang dapat membangun kembali pendidikan Islam.
Namun apakah benar Gus Dur memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan Islam terutama pendidikan Islam yang bersifat Humanis dan liberal ? sebagaimana yang dikatakan oleh ahmad Suaedy bahwa Gus Dur merupakan peletak Islam Toleran dengan merealisasikan toleransi Islam sebagai pondasi utama secara intelektual. Gus Dur merupakan pelopor Pendidikan Islam (dalam arti luas) misalnya mempertemukan basik intelektual lokal dan Islam klasik, Islam modern dan Barat, karenannya pendidikan Islam bagi Gus Dur merupakan visioner, karena Gus Dur meletakkan dasar simbiosis individu dan bangsa sebagai pokok (ada etnis city, islamisme, klasikisme, modenisme) terwadai dalam Islam sebagai bangsa. Gus dur bukan sebagai idiolog sepertihalnya paulo friere (Pendidikan pembebasan) atau Ki Hadjar Dewantoro (pendidikan merdeka), melainkan pelaku sepertihalnya Mangun Wijaya atau Gramschi bila dilihat dari perencanaan pembebasan atas ketertindasan kelompok tertentu yang diubahnya, lebih tepatnya Gus Dur tidak meletakkan pendidikan sebagai idiologi melainkan pendidikan sebagai visi (dimana pendidikan bukan sebagai kelembagaan atau departemen). Karenanya pendidikan Islam harus menyiapkan infrastuktur sosial dan budaya sebagai pemaju perkembangan pendidikan Islam yang memiliki karakteristik Rahmatan lil ‘alamin dengan mengedepankan pembebasan yang bersifat humanism.

BAB V
PENUTUP

Sejak lahirnya belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai agama yang memberikan perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat; antara hubungan manusia dengan Tuhan, dan antara hubungan manusia dengan manusia; antara urusan ibadah dan muamalah. Selanjutnya jika kita adakan perbandingan antara perhatian Islam terhadap urusan ibadah dengan urusan muamalah, ternyata Islam menekankan urusan muamalah lebih besar dari pada urusan ibadah dalam arti yang khusus. Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan social dari pada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi sebagai masjid tempat mengabdi kepada Allah dalam arti yang luas. Muamalah jauh lebih luas dari pada ibadah dalam arti khusus.
Upaya mendialektikakan ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin yang nantinya diterjemahkan dalam pendidikan Islam merupakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga ekstra dan waktu yang cukup panjang. Dialektika ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin dengan zaman merupakan upaya membumikan ajaran Islam yang selama ini semakin terbang kelangit agar fatwa dan hokum-hukum produk Islam mampu menjawab setiap perkembangan social masyarakat. Dengan demikian pendidikan Islam akan berada pada kedudukan sebagaimana pembenaran atas ajarannya.
Abdurrahman Wahid, merupakan salah-satu figur yang menurut peneliti mampu menjawab tantangan social masyarakat yang terus-menerus berkembang tanpa mengenal batas tersebut. Abdurrahman Wahid, merupakan salah-satu figure fenomenal yang telah membawa dinamika kesejarahan Islam Indonesia. Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan dimedia massa yang berbeda dengan opini public pada umumnya menjadikan Abdurrahman Wahid seorang aktivis yang kontrofersial. Dalam sejarah Islam Indonesia, Abdurrahman Wahid adalah pelopor dari kalangan Islam yang memberikan perhatian dan penghargaan bagi kaum minoritas non-muslim. Gus Dur dengan pemikir Islam pada umumnya adalah corak gagasan yang revolusioner. Komitmennya yang tinggi terhadap persoalan humanitarianism dan demokrasi telah menjadikan Gus Dur sebagai tokoh yang memiliki pergaulan luas dengan seluruh komponen bangsa.
Setiap karya Gus Dur pada dasarnya merupakan apa yang dipikirkannya yang diterjemahkan pada bentuk aplikasi empiris. Pilar-pilar pemikirannya juga menjadi bagian besar kemauannya yang keras akan sebuah perubahan masyarakat stagnan menuju masyarakat yang progresif dan bebas. Yang dimaksud pilar keislaman dalam kontek ini adalah corak pemikiran Islam yang terkait dengan pemahaman keagamaan dan pembaharuan, hubugan Islam dan kebangsaan serta gerakan social. Depskripsi awal pemikiran dalam mengnkaji gagasan Islam cosmopolitan Gus Dur dianggap penting guna mengetahui arah dan implikasi dari pemikiran Islam cosmopolitan yang dimunculkannya.
Oleh karenanya sosok Gus Dur sebagai Guru Bangsa sangat tepat sebagai figur untuk melakukan perubahan terhadap pendidikan Islam yang terlampaui jauh tertinggal dibandingkan dengan pendidikan diluar Islam. Kiranya apa yang telah dilakukan Gus Dur dalam menjaga kerukunan ummat beragama, kerukunan etnis, Ras serta pendewasaan politik dengan lebih mengedepankan nilai-nilai Islam Universal yang bersifat humanis dalam setiap melakukan liberasi terhadap keterkungkungan masyarakat pada sistem absolut produk doktrin, dogma, aturan dan norma-norma agama dan pemerintahan Indonesia dan Dunia dapat dijadikan Konsep Gus Dur berkenaan dengan Pendidikan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang bercirikan sebagaimana berikut :

A. Kesimpulan
Yang menjadi pijakan Konsep Gus Dur dalam Pendidikan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin adalah pertama, Reformulasi Islam, yaitu pandangan dasar bahwa Islam harus secara aktif dan subyektif ditafsirkan dan dirumuskan ulang agar tanggap terhadap tuntutan kehidupan modern. Yang dilalui dengan gerakan menafsirkan kembali secara terus-menerus al-Qur’an dan al-Hadits mengingat situasi manusia yang selalu berkembang dan berubah. Interpretasi dalam reformulasi itu akan secara continue terjadi sesuai aspirasi yang berkembang dimasyarakat, sesuai dengan prinsip “al-muhafadha ’ala al-qadim as-shalih wa akhdzu bi al-jadid al-aslah (memelihara nilai lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Kedua, Islam Kultur, yaitu pandangan bahwa Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif dan demokratis yang sesuai dengan amanah fitrah bangsa yaitu plural. Dimana setiap persoalan social dapat diselesaikan dengan kesadaran bahwa bangsa ini sejak lahir adalah plural dengan menitik beratkan karakter inklusif dan demokratis. Hal inilah yang akan menumbuh kembangkan Islam cultural, karena setiap persoalan akan diselesaikan melalui jalan social kultur masing-masing masyarakat.
Dari pijakan tersebut, peneliti menyimpulkan apa yang dimaksud dengan Konsep Gus Dur Tentang Pendidikan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin adalah sebagaimana berikut :
3. Konsep Pendidikan Islam sebagai Visi (Pendidikan Islam yang menempatkan kekuatan kultur toleran yang menempatkan posisi Islam klasik dan Islam modern sebagai kerangka intelektual, bukan mempertarungkan). Dengan langkah sebagaimana berikut :
d. Pendidikan Islam Universal yaitu pendidikan yang menitik beratkan pada nilai-nilai universal Islam itu sendiri tanpa dibatasi oleh etnis, bangsa, agama dan strata social.
e. Pendidikan Islam Liberal yaitu pendidikan yang menempatkan liberalism (pembebasan) sebagai misi Islam untuk membebaskan setiap ketertindasan civil society dalam bentuk apapun. Apakah ketertindasan moral, budaya, pendidikan, ekonomi, politik, budaya maupun social, bukan berbalik sebagai penindas kebebasan social dengan mengatasnamakan kaum mayoritas.
f. Pendidikan Islam Humanis yaitu pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai humanism (kemanusiaan) sebagai kepentingan tertinggi diatas kepentingan apapun, termasuk kepentingan Islam itu sendiri.
4. Konsep Pendidikan Islam sebagai Struktur Sosial (Pendidikan Islam yang membentuk kerangka aplikasi social melalui kekuatan-kekuatan potensi yang ada). Dengan langkah sebagaimana berikut :
d. Kekuatan Pemerintah (mendorong pemerintah untuk menempatkan visi pendidikan Islam yang diterjemahkan dalam Peraturan Bangsa-Bangsa, Undang-Undang Pendidikan Nasional, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan peraturan-peraturan lain yang ada dalam pemerintah).
e. Kekuatan Intelektual (mendorong setiap Intelektual Islam untuk mengkaji kembali kekayaan teks klasik sebagai bentuk evaluative serta terus melakukan penafsiran ulang atas teks-teks tersebut sebagai sesuatu yang dinamis, bukan sebagai bentuk final atas penafsiran dan dilegal-formalkan)
f. Kekuatan Kultur Civil Society (mendorong terbentuknya budaya cosmopolitan yang bercorak transformatif dalam mengimplementasikan prinsip kemanusiaan serta menempatkannya diatas solidaritas primordial)
Konsep Gus Dur tersebut perlu ditindak lanjuti lebih massif agar pendidikan Islam mampu menjadi Islam Social Salvation (Islam Penyelamat Sosial) yang sering kita sebut sebagai Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.


B. Saran-Saran
Indonesia adalah negara yang memiliki pluralitas kesejarahan yang panjang. Indonesia bukan negara yang lahir dari orang-orang imigran seperti kebanyakan negara di Benua Amerika dan Eropa. Indonesia terlahir sebagai bangsa pelangi yang memiliki beragam corak warna, baik suku, bahasa, tanah, pendidikan dan agama. Karenannya Indonesia memiliki kesempatan sangat besar untuk memberikan kontribusi terhadap Dunia, baik itu terhadap manusianya maupun terhadap alam semesta.
Maka tidak berlebihan kalau Indonesia kedepan sebagai negara pemeluk Islam terbesar di Dunia dapat mengambil peran tersebut dengan tidak meninggalkan nilai-nilai universal Islam itu sendiri yang kemudian menjadi nilai moral bagi ummat manusia menuju Islam Social Salvation (Islam Penyelamat Sosial) yang sering kita sebut sebagai Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.
Hal ini akan terwujud manakalah ummat Islam berani melakukan perubahan ditubuhnya sendiri dengan mengambil apa yang telah dilahirkan oleh Sejarah Peradaban Islam dengan mengkaji secara kritis hasil temuan-temuan tokoh-tokoh Islam. Sejarah tidak akan terulang apabila ummat Islam kembali pada metode dan langkah-langkah sejarah yang telah diukir dengan menempatkannya sebagai dogma, cerita, dongeng dan kultusisasi, karena pendidikan Islam yang membawa mengedepankan nilai-nilai universal Islam harus kita aplikasikan sedini mungkin sebelum Islam dikatakan usang.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Assegaf, Abdur Rahman, M.A., DR., dkk., Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press, 2007.

_______________________________, Meruntuhkan Indonesia, Yogyakarta: Suka Press, 2006.

Abduh, Syekh Muhammad Risalatu’t Tauhid, KH. Firdaus, (Terj.), Risalah Tauhid, Jakarta: Bulan Bintang1979.

Ali, As’ad Said, Dari Teologi Menuju Aksi; Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan, Jakarta: LP3ES, 2005.

Aulia, H. Ahsinul Khuluq, S.Sos, Bangsa Santri; Seharusnya Negeri ini Dipimpin Seorang Kiyai, Demak: TB. Kota Wali, 2003.

Ahmadi, H. Abu, Drs., Psikologi Umum Jakarta; PT Rineka Cipta, 2003.

A’la, Abd, NU Muda; Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, Surabaya: Erlangga, 2004.

________, Dehistorisasi Islam Indonesia, Jakarta: Pesantren Ciganjur, 2008.

________, Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta: LKiS, 2007

________, Ke-Warga-an Multikultural, Jakarta: LP3ES, 2004.

Aziz, Ahmad Amir, Neo-Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.

Arif, Syaiful, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual, Jakarta; Koekoesan, 2009.

Ali Riyadi, Ahmad, Dr., Pendidikan Alternatif Qoryah Thayyibah, Bandung: Ar-Ruzz Media, 2001.

___________________, Politik Pendidikan: Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Arruzz Media, 2006.

Azra, Azyumardi, Prof. Dr. M.A., Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1997.


Abshar Abdalla, Ulil dan Ahmad Suaedy, Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Jakarta: Ansor, 1997.

Bruinessen, Martin van, NU; Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pendcarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 2008.

Barton, Greg, Biografi Gus Dur; The Authorized Bioraphy of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKiS, 2006.

___________, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 1999.

___________, Abdurrahman Wahid; Muslim Demokrat, Indonesian Presidet, Yogyakarta: LkiS, 2000.

Bisri, A. Mustofa, Gus Dur Garis Miring PKB; Kumpulan Tulisan Khusus tentang Gus Dur dan PKB, Yogyakarta: Yayasan Mata Air, 2004.

_______________, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, Yayasan Mata Air, 2002.

Bakri, Samsul dan Mudhofir, Jombang Kairo, Jombang Chicago; Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia, Solo: Tiga Serangkai, 2004.

Baso, Ahmad, Islam Pasca Kolonial; Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, Bandung: Mizan, 2006.

Choiry, Efendi, Menjadi PMII, Jakarta: Germa, 1987.

Dewantara, Ki Hadjar, Menuju Manusia Merdeka, Yogyakarta: Leutika, 2009.

Daya, Burhanuddin, DR., Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Tha Walib, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995.

Daradjat, Zakiah Dr., dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Dodi S. Truna, Ismatu Ropi, (ed.), Pranata Islam di Indonesia, Jakarta:Logos, 2002.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren ; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994.

Dzakiri, Hanif, Islam dan Pembebasan, Jakarta: Djambatan dan Pena, 2000.

Elson, R.E., a Political Biograpy, (terj.), Suharto; Sebuah Biografi Politik,
Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2005.

Engineer, Asghar Ali, Islam dan Pembebasan, Yogjakarta: LKiS, 1993.

_________________, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Fakih, Mansur, (terj.), Ideologi dalam Pendidikan; Sebuah Pengantar, dalam William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2001.

Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia; dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2005.

Friere, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES, 1995.

__________, Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Fauzan, MA., dan Prof. Dr. Suwito, MA., (ed.), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Fatoni, H., Abdurrahman, Prof., DR., M.S.I., Metodologi Penelitian dan Teknik Penelitian, Bandung: Ar-Ruzz Media, 2005.

Habibie, BJ., Detik-detik yang Menentukan; Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta: THC Mandiri, 2006.

Hanafi, A., M.A., Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Radar Jaya Offset, 2003.

Hikmawati, Fenti, Dra., dan Dra. Hj. Enung K Rukiati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006.

Haramain, Imam Malik, PMII dipersimpangan Jalan, Jakarta: Sinar Harapan, 1999.

Iskandar, Muhaimin, Gus Dur yang Saya Kenal; Catatan Demokrasi Kita, Yogyakarta: LKiS, 2004.

Ihsan, H.A. Fuad, Drs. dan Drs. H. Hamdani Insan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Ismail, H. Faisal, Prof. Dr., MA, Mengindonesiakan Islam, Bandung: Nawesea Press, 2007.


Kartono, Kartini, DR., Psikologi Umum, Bandung: Angkasa, 1993.

_________________, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti, Jakarta: Pradya Paramita, 1997.

Kramadibrata, Soeheba, dan Anthony Giddens, (terj.), Kapitalisme dan Teori Sosial Modern; Suatu Analisis Karya-Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, Capitalism and Modern Social Theory: an Alaysis of Writing of Marx, Durkheim and Max Weber, Jakarta: UIP, 1985.

Muhaimin, M.A., Drs., Paradikma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Rosda Karya, 2008.

Moleong, J lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007.

Mudzar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Mustofa, H. A., Drs., Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Madjid, Nurcholis, Prof. Dr., Islam Kemodernan dan ke-Indonesia-an, Jakarta: Mizan, 1999.

__________________________, Muhammad dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa Kelas, Bandung: Pustaka Pelajar.

Ma’arif, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.

Mahmud, Adnan, dkk., (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Misrawi, Zuhairi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, Surabaya: Fitrah, 2007.

Mulkhan, Abdul Munir, Politik Santri: Cara Menang Merebut Hati Rakyat, Bandung: Kanisius, 2005.

Mubarok, Jaih, Prof. Dr., M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, Bandung: CV. Pustaka Islamika, 2008.

Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Nata, H. Abuddin, Prof., M.A., DR., Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003.

____________________________, (ed.), Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

____________________________, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.

____________________________, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Nasution, Hasyimsyah, DR., M.A., Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.

Nasution, S., Prof. Dr. MA., Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.

Obama, Barack, The Audacity of Hope; Thoughts on Reclaming The American Dream, Ruslani dan Lulu Rahman, (terj.), Barack Obama dari Jakarta Menuju Gedung Putih, Jakarta: Ufuk Press, 2009.

Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Rozak, Abdul dan A. Ubaedillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006.

Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia Since c. 1200, Satrio Wahono, dkk., (terj.), Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, Jakarta: Serambi, 2008.

Sudjana, Nana, DR., Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah; Makalah, Skripsi, Tesis, Desertasi, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006.

Subagyo, P. Joko, Metodologi Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1999.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.

Suwito, Prof. Dr., MA. dan Fauzan, MA., (ed), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Shihab, M.Quraish, Prof., DR., MA., Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1999.

Sunanto, Musyrifah, Prof. DR., Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Syalabi, Ahmad, Prof. DR., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Husna Baru, 2003.

Sirozi, M., Ph.D., Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Tafsir, Ahmad, Prof. DR., Filsafat Ilmu, Bandung : Rosda Karya, 2007.

Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

__________________, Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia Transformasi dan Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007.

__________________, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, Yogyakarta: LKiS, 1997.

__________________, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LKiS,2001.

__________________, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Jakarta: Harian Kompas, 2003.

__________________, Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid Di Tempo, Jakarta: Tempo, 2000.

__________________, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: PT. Grasindo, 1999

__________________, Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: PT. Desantara Utama Media.

__________________, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: Dharma Bakti, 1984.

__________________, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

__________________, Jurus Dewa Mabuk Pendekar Ciganjur, Jakarta: The Wahid Institute, 2005.

Yacub, L. Lya Sofyan dan M. Dahlan Y. al-Barry, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, Surabaya: Target Press, 2003.


Yaqin, Haqqul, Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, Surabaya: eLSAQ Press, 2006.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1992.

Yatim, Badri, (ed), Sejarah Perkembangan Madrasah, Jakarta : Depag RI, 2000.

Zuhairini, Dra., dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004.

Zuhri, Saifuddin, Guruku Orang-orang Pesantren, Bandung: Al-Ma’arif, 1977.

Zulkarnain, Drs., M.Pd., Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Bengkulu: Pustaka Pelajar, 2008.

Zen, Fathurin, NU Politik; Analisis Wacana Media, Yogyakarta: LKiS, 2004.

B. Artikel
Azra, Azyumardi, “Peradaban Indonesia: Akselerasi Multikulturalisme”, makalah Seminar Nasional “Perwujudan Masyarakat Multikultural dan Multikulturalisme dalam rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat”, UIN Syarif Hidayatullah & Kementerian Kordinator Bidang Kesra, Jakarta, 24 Juli 2004.

_______________, “From Civic Education to Multicultural Education with Reference to the Indonesian Experience”, makalah pada “Multicultural Education in Southeast Asian Nations: Sharing Experiences”, Universitas Indonesia, Jakarta, 17-19 Juni 2003.

Barton, Greg, ”Diskusi PluralismeGus Dur, Pluralisme dan Multikulturalisme Indonesia”, Makalah dalam seminar The Wahid Institute dengan Relief-CRCS (Asosiasi Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Cross Religious and Cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 14 Desember 2004.

Ghazali, Abdul Moqsith, DR., KOMBAS (Komunitas Baca Surabaya) Makalah dalam diskusi buku Gus Dur, “Islam Kosmopolitan”, IAIN Sunan Ampel, Surabaya: 8 November 2007.

Hidayat, Komaruddin, Makalah “Etika Dalam Kitab Suci dan Relevansinya Dalam Kehidupan Modern (Studi Kasus di Turki)” Jakarta: Paramadina, 2005.

Suaedy, Ahmad, KOMBAS (Komunitas Baca Surabaya) Makalah dalam
diskusi buku Gus Dur, “Islam Kosmopolitan”, IAIN Sunan Ampel, Surabaya: 8 November 2007.

C. Peraturan dan Surat Keputusan
Dekrit Presiden tahun 2001.

Intruksi Presiden Republik Indonesia No.: 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayan, dan Adat Istiadat Cina.

Instruksi Menteri Agama Republik Indonesia No.: 3 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama di Daerah Sehubungan Dengan Telah Terbentuknya Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayan, dan Adat Istiadat Cina.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No.: XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/ Marxsisme-Leninisme.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.: 045/U/2002 Tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.: 1 Tahun 1979 Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII /MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia .

Keputusan Musyawarah Nasional Ulama No. 02/Munas/VII/2006 Tentang Bahtsul Masail Maudlu’iyyah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.: 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.


Penetapan Presiden Republik Indonesia No.: 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama.

Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri No. : 9 Tahun 2006 No.: 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.: 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

Surat Edaran Bersama: Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri No.: SE/SJ/1322/2008, No.: SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008, No.: SE/119/921.D.III/2008., Tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No.: 3 Tahun 2008; No.: KEP-033/A/JA/6/2008 No.: 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia No.: 5 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention for The Suppression of Terrorist Bombings, 1997 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman Oleh Teroris, 1997).

Undang-Undang Republik Indonesia No.: 6 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression of The Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999).

Undang-Undang Republik Indonesia No.: 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia No.: 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan.







D. Majalah dan Tabloid
GP Ansor, Fathoni Rodli, Ahmad, Fahruddin Salim, Wiranto, dan Berguru Kepada Bapak Bangsa: Kumpulan Esai Menelusuri Jejak Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid, Jakarta: Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, 2000.

Mimbar, Drs. H. Imam Haramain Asy’ari, M,Si., ”Pendidikan Satu Atap”, N0. 273 Juni 2009.

______, Prof. DR. Nur Syam, M.Si., “Kembali Kefitrah” No. 276 September 2009 .

______, Prof. DR. Syafiq A. Mughni, MA., “Mata Air Maulid”, No. 270 Maret 2009.

Majalah Demokrasi, Abdurrahman Wahid, ”Forum Demokrasi Sebuah Pertanggungjawaban”, Jakarta, 1991.

E. Surat Kabar
Harian Kompas, “Presiden Cabut TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Komunisme di Indonesia dan Ajaran Marxsisme dan Leninsisme” Jakarta: 29 Maret 2000.

Harian Republika, Azra, Azyumardi, “Demokrasi Multikultural”, 12 Agustus, 2004.

Jawa Pos, Sholihin Hidayat, ”Julukan Semar untuk Gus Dur”, Surabaya, Sabtu, 6 Februari 2010.

Surya, ”SBY – JK Jadi Saksi, Maskawin 40 Sapi”, Surabaya: Halaman Utama, Kamis, 15 Oktober 2009.

_____, ”Berebut Tanah Makam Gus Dur” Surabaya; Halaman Utama, Sabtu, 2 Januari 2010.

_____, ”Mengenang Tokoh Pluralisme Sejati”, Surabaya: Opini, Senin, 4 Januari 2010.

_____, ”Gus Dur dimata teman-teman Mengaji di Pondok Pesantren Jombang”,








F. Internet
www.detik.com, “ICMI Jangan Ambil Jalan Pintas” 3 Maret 1993.

_____________, ”Pemuka Agama Kongkow Bareng Bahas Gus Dur”, Minggu, 17 Januari 2010.

_____________, ”Bali Anugrahi Gus Dur Mahendradatta Award 2010”, Minggu, 17 Januari 2010.

_____________, ”Mengenang Gus Dur; Jujurlah dalam ber-Indonesia”, Jum’at, 08 Januari 2010.
_____________, ”Gus Dur Lebih Pantas Sebagai Tokoh Demokrasi”, Rabu, 06 Januari 2010.

www.mediaindonesia.com., ”Ali Maskur Musa Luncurkan Buku Tentang Gus Dur”, Jum’at, 05 Februari 2010.

______________________, ”Bapak Demokrasi Indonesia Untuk Gus Dur”, Selasa, 26 Januari 2010.

______________________, ”Novel Kilat Untuk Gus Dur”, Sabtu 09 Januari 2010.

______________________, ”Gus Dur Membuat NU diHormati”, Minggu, 07 Februari 2010.

______________________, ”Gus Dur Manusia Setengah Dewa”, Selasa, 05 Januari 2010.

______________________, ”Gus Dur dan Polisi Kultural”, Jumat, 08 Januari 2010.

www.kompas.online.com, ”Gus Dur yang Kembalikan nama ”Papua” untuk Iriyan Jaya”, Kamis, 31 Desember 2009.

www.republika.com, ”Ulama, Politisi, Pengamat Bola, Pemikir yang Humanis”, Rabu, 30 Desember 2009.

________________, ”Perjalanan Karir Gus Dur”, Rabu, 30 Desember 2009.

www.tempo.com, ”Gus Dur Kunjungi Sang Timur”, Senin, 25 Oktober 2004.

________________, ”Gus Dur; Geser Dakwa Agama ke Budaya”, Jum’at, 30 Juni 2006.

________________, ”Penahanan Mushadiq tidak menyelesaikan masalah”,
Rabu 31 Oktober 2007.

G. TV dan Radio
JTV, KH. A. Mustofa Bisri, “Fatwa 40 hari Gus Dur”, Jombang, 10 Februari 2009.

KBRH69 H & School For Broadcart Media; Muhammad Guntur Ramli, Wawancara “Kongkow Bareng Gus Dur; Islam dan Humor”, Jakarta, 10 Januari 2008.

Metro TV; Andy F. Noya, “Wawancara dengan Gus Dur dalam acara “Kick Andy” Jakarta, , 2009.

________; Butet Kartaraharja, dibalik layar “Wawancara dengan Andy F. Noya dalam acara Kick Andy”, Jakarta, 01, Januari 2009.

Metro TV; Desi Anwar, ”Wawancara dengan Yang Mulia Dhalai Lama XIV dalam acara Face2Face”, Jakarta, 2010

TV One; ”Satu Jam lebih dekat bersama Gus Dur” Jakarta, 23 Februari 2009.











DRAF WAWANCARA
Konsep Gus Dur Tentang Pendidikan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

1. Sejak kapan anda mengenal Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ?
2. Bagaimana hubungan anda dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sekarang ?
3. Bagaimana pendapat anda tentang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada konteks Agama Islam?
4. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sering disebut-sebut sebagai peletak Islam Indonesia yang diklaim lebih toleran, baik sesama maupun antar agama. Bagaimana menurut anda ?
5. Dalam konteks Guru Bangsa, dimana peran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam mendorong perkembangan Pendidikan Islam Indonesia yang toleran ?
6. Selain Pesantren sebagai Subkultur, tulisan Gus Dur mana lagi yang membahasa pendidikan? Mungkin ada buku yang direferensikan?
7. Di mana posisi Gus Dur dibandingkan dengan konsep Pendidikan Kaum Tertindas (Paulo Friere) dan Menuju Manusia Merdeka (Ki Hadjar Dewantara) atau konsep tokoh lain tentang pendidikan Islam Indonesia ?
8. Lantas bagaimana mengaplikasikan konsep Pendidikan Islam Indonesia ala Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam konteks pendidikan di Indonesia ?
9. Apa kebijakan Gus Dur dalam soal pendidikan ketika menjabat menjadi presiden RI?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masuk