sektor

RCN

Jumat, 27 Mei 2011

TEOLOGI PEMBEBASAN (dariku aku ber-Tuhan)

Oleh : A.R. Hisfani

Sesungguhnya Islam sarat akan spirit revolusioner, nilai!nilai moral yang membebaskan, yang mendorong ke arah terciptanya tatanan hidup yang lebih baik, layak, dan manusiawi. Banyak alasan yang bisa disebut mengapa ketakberdayaan itu tak kunjung usai. Salah satunya ialah ketiadaan motivasi religius. Sejauh menyangkut élan-vital ajaran Islam sendiri, fakta ketakberdayaan umat itu memang berkait rekat dengan ketiadaan motivasi religius yang mampu berperan sebagai motivator perubahan, yang berperan transformatif dan menggerakkan mereka untuk membebaskan diri dari serimpung realitas sosial tak mengenakkan.

Berbicara tentang teologi pembebasan dalam diskusi-diskusi resmi atau tak resmi memang terasa problematik. Seringkali diskusi seperti ini dicurigai sebagai gerakan pemikiran kekiri-kirian yang diasosiasikan dengan pendukung “komunisme” atau dianggap menyebarkan pemikiran subversif. (khususnya pada era Orde Baru lalu). Setelah Orba jatuh dan kebebasan berpikir mulai terbuka diskusi semacam ini juga dianggap tabu dan dipandang dengan mata sinis oleh sebagian kalangan. Rupanya persepsi itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya kesalahpahaman mengenai term teologi pembebasan (liberation theology) itu sendiri. Kedua, karena teologi pembebasan adalah terminologi yang lahir dari tradisi Kristiani, khususnya di Amerika Latin, dan tidak pernah dikenal secara eksplisit dalam khazanah pemikiran Islam. Dan ketiga, karena teologi pembebasan sedikit banyak diinspirasikan oleh ideologi kiri dari pemikiran Marxisme yang dalam sejarah perpolitikan Indonesia dianggap memiliki cacat yang tak termaafkan setelah peristiwa G 30 S.

Urgensi dari penghadiran suatu konstruk teologi yang secara paradigmatik transformatif dan membebaskan bertolak dari postulat bahwa élan-vital Islam pada dasarnya adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide pembebasan merupakan salah satu major themes of Islam. Ide!ide dimaksud berhulu terutama pada tiga gagasan revolusioner Islam, yakni al-‘adâlah (keadilan), al-musâwah (egalitarianisme; kesetaraan; persamaan derajat), dan al-hurriyah (kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang transformatif menghendaki perlunya redefinisi makna teologi. Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan.
Pada mulanya istilah “teologi pembebasan” atau liberation theology diperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada pertengahan abad lalu. Para teolog ini mau membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia.
Ada banyak macam penamaan yang secara subtansial amat dekat dengan gagasan teologi pembebasan ini, diantaranya: teologi pemerdekaan (Romo Mangun), teologi Kiri (Kiri Islam ala Hassan Hanafi), Pribumisasi Islam (Gus Dur), teologi kaum mustadh’afin, teologi kaum tertindas, dan lain-lainnya. Masing-masing penamaan ini hendak mengartikulasikan suatu cara beragama yang otentik, yang lahir dari situasi, sejarah dan keprihatinan atas penderitaan kaum miskin dan tertindas. Oleh karena itu dengan pengertian tersebut jelas sekali teologi pembebasan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan “bebas semau gue” atau sikap permisif sebagaimana yang sudah disalahpahami. Anggapan seperti itu tentu saja salah alamat dan menunjukkan kebodohan saja. Untuk lebih jelas mengenai karakter dan jalan yang ditempuh teologi pembebasan, mari sejenak melihat teologi pembebasan Amerika Latin.
Teologi pembebasan tentu sangat berbeda dengan pandangan teologis kaum konservatif di atas yang menggunakan agama sebagai instrumen status quo. Kaum konservatif telah memperlakukan “agama sebagai candu” untuk mencapai kenikmatan sesaat, seraya mengabaikan panggilan profetik kenabian yang bersolidaritas terhadap kaum miskin dan tertindas. Di tangan kaum konservatif ini pulalah energi agama yang sesungguhnya menjadi kekuatan untuk melawan kezaliman, ketidakadilan dan penindasan menjadi susut dan akhirnya musnah. Konservatisme biasanya juga selalu berkarakter sempit dalam cara berpikir dan tertutup dalam wawasan. Mereka menolak keterbukaan karena dianggap mengurangi kadar keimanannya. Sehingga dalam beberapa kesempatan mereka menolak teologi pembebasan yang telah memakai analisis kelas yang dikembangkan Marxisme. Bagi mereka konflik kelas dalam Marxisme telah menyebabkan agama telah kehilangan watak spiritualitasnya sekaligus menjadi sekadar gerakan sosial yang kerap diperjuangkan dengan cara-cara kekerasan. Oleh pandangan-pandangan yang sempit inilah, lalu dalam setiap wacana dan gerakannya teologi pembebasan banyak disalahpahami dan dicibir. Bukannya menjadi sarana belajar dan refleksi kritis atas praksis untuk memperkaya pemahaman keagamaan yang sudah usang.
Bagi Gutierrez bahwa pembelaan terhadap kaum miskin dan perlawanan terhadap para penindas sesungguhnya adalah konsekuensi dari iman seseorang kepada Allah. Iman seseorang tidak bermakna apapun tanpa keterlibatan dirinya dalam praksis sosial dan sejarah. Karena bagi Gutieres, makna teologi itu sendiri sebenarnya adalah suatu refleksi kritis terhadap praksis dalam terang Kitab Suci. Oleh karena itu pula makna spiritualitas selalu terkait langsung dengan tindakan. Gutierrez menunjukkan tiga karakteristik teologi pembebasan (Alfred T. Hannelly, 1995: 12). Pertama, teologi pembebasan adalah pemahaman yang progresif dan terus menerus atas dasar komitmen kemanusiaan dan keberimanan yang selalu hidup. Oleh karena itu teologi sesungguhnya adalah praksis pembebasan dari belenggu ekonomi, sosial, politik, dan dari sistem masyarakat yang mengingkari kemanusiaan dan dari kedosaan yang merusak hubungan manusia dengan Allah. Kedua, teologi adalah sebuah refleksi yang lahir dari tindakan. Di sini Gutierrez menulis dalam sebuah paragraf yang cantik : “Teologi adalah sebuah refleksi, yakni suatu tindakan kedua, suatu gerak balik, sebuah perefleksian yang dilakukan setelah bertindak. Jadi bukan teologi, melainkan komitmenlah yang pertama. Teologi adalah hasil pemahaman dari komitmen, dan komitmen itu adalah kesediaan untuk bertindak. Inti tindakan adalah kemurahan hati yang disertai komitmen, setelah itu baru teologi hadir”
Oleh karena itu teologi harus menjadi kritis ketika berhadapan dengan masyarakat maupun terhadap institusi keagamaan. Ia harus menjadi pembebas bagi kedua institusi sosial itu dari berbagai macam ideologi, keberhalaan dan alienasi. Sehingga teologi itu sendiri pada akhirnya akan memberikan orientasi dan inspirasi bagi aksi tindakan selanjutnya. Inilah yang disebut dengan keberimanan dalam praksis sejarah, keberimanan yang transformative /Transformasi sosial. Dan ketiga, setiap tindakan kita harus disertai dengan refleksi untuk memberi orientasi masa depan yang diyakini dan diharapkan dan koherensi agar ia tidak jatuh pada aktivisme.
Meskipun Gutierrez telah memberikan ancangan rumusan metode teologi pembebasan, baru kemudian Juan Luis Segundo yang berhasil mensistematisasi rumusan metodologi teologi pembebasan. Sistematisasi inilah yang nantinya menjadi acuan berbagai metode “teologi-teologi pembebasan” (liberation theologies) lainnya di dunia. Dalam salah satu tulisannya “Two Theologies of Liberations”, ada pernyataan menarik dari Segundo yang dikutip oleh Michel Lowy (Michel Lowy, 1999). Ia menyatakan, “Jangan lupa kita hidup di tanah-tanah yang paling agamis dan di tanah-tanah yang paling tidak berprikemanusiaan”. Pernyataan ini tampaknya menyembunyikan tapi sekaligus menyingkap suatu ironi. Bagaimana mungkin penindasan justeru terjadi dalam masyarakat yang mayoritas beragama yang meyakini bahwa ajaran agamanya melawan ketidakadilan dan penindasan. Mengapa tidak ada protes atau perlawanan atas kondisi ini dari pihak kaum agamawan? Apakah kaum agamawan buta atau membutakan diri terhadap situasi yang ada?
Segundo menyadari bahwa ketidakmampuan mengambil sikap yang diperlihatkan para agamawan itu disebabkan ketidakmampuannya melihat persoalan sosial dan menganalisis struktur-struktur penindasan yang ada. Bukan hanya itu, berlanjutnya penindasan karena agama mengalami impotensi karena pemahaman terhadap teologi dan kitab suci didominasi oleh tafsir yang justeru tidak sensitif terhadap persoalan masyarakat tertindas. Oleh karena itu menurutnya perlu dilakukan deideologisasi terhadap realitas sosial dan superstruktur serta deideologisasi terhadap interpretasi kitab suci, agar iman kita bisa merespon situasi konkrit penindasan dan ikut berjuang bersama-sama kaum tertindas melawan para penindas. Kebekuan agamawan dalam merespon situasi konkrit ini mendorong Segundo untuk menawarkan metode berteologi yang bukan hanya sebagai usaha “ortodoksi” tapi juga suatu “ortopraksis”. Yang dimaksud adalah bahwa berteologi bukan hanya untuk memperteguh dan memantapkan ajaran, tapi juga menjadikan pengalaman konkrit sebagai basis menerapkan sebuah rumusan ajaran. Segundo merumuskan hal ini dalam suatu bentuk “lingkaran hermeneutik”. Apakah yang dimaksud dengan “lingkaran hermeneutik”?
“Hermeneutika” adalah proses interpretasi untuk membuat pesan kitab suci relevan dengan zamannya, sedangkan “lingkaran” menunjukkan bahwa usaha interpretasi itu bertitik tolak pada realitas baru yang lalu menuntut kita menginterpretasikan ajaran kitab suci secara baru pula dalam rangka mengubah realitas sebagaimana dituntutkan, dan akhirnya kembali kepada usaha menginterpretasikan kembali firman Allah, dan seterusnya. Menurut Segundo, lingkaran hermeneutik bisa berlangsung dengan dua syarat: pertama, kesangsian-kesangsian atas situasi nyata sungguh-sungguh dalam memperkaya, dan kedua, interpretasi atas kitab suci juga bersifat sungguh-sungguh dalam dan memperkaya (Fr. Wahono Nitiprawiro, 2000: 36-37). Dalam lingkaran hermeneutik ini sang penafsir dituntut untuk terus menerus melakukan kritik terhadap realitas yang ada sekaligus mengkritik pula pemahaman teologis terhadap realitas tersebut, dan lalu menafsirkannya kembali demi perubahan realitas tersebut. Dengan kata lain, di belakang kritik tersebut sesungguhnya kita selalu dituntut untuk selalu “mencurigai” suatu tafsir. Atau mencurigai status iman seseorang kepada siapa dia mengabdikan imannya. Pengandaiannya adalah bahwa iman itu sendiri bersifat ideologis karena ia lahir dari tanggapan yang menyejarah dan subjektif terhadap wahyu Allah. Oleh karena itu praksis iman seseorang harus senantiasa diberi kritik dengan selalu membenturkannya dengan realitas konkrit. Baru dengan begitu, makna keberimanan seseorang akan membawa transformasi bagi kehidupan ke arah yang lebih baik.
1



Petunjuk Teknis
Program Bantuan
Perguruan Tinggi Agama Islam












DIREKTORAT PENDIDIKAN TINGGI ISLAM
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM
KEMENTERIAN AGAMA RI
TAHUN 2010 - 2011
2



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.
Alhamdulillah Petunjuk Teknis bantuan ini dapat diselesaikan
dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan berbagai pihak yang
berkenaan dengan program bantuan di lingkungan Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam. Juknis ini berfungsi sebagai acuan dalam
pelaksanaan program bantuan di lingkungan Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAI) yang memuat tentang proses dan mekanisme
pengajuan bantuan mulai dari usulan proposal, tahapan seleksi,
penilaian, penetapan penerima bantuan sampai pada tahapan
pencairan dana serta evaluasi dan monitoring.
Program bantuan ini adalah salah satu upaya untuk
mendorong peningkatan mutu secara mandiri dan berkelanjutan
yang menjadi tanggungjawab setiap PTAI. Program ini bersifat
simultan dan dilakukan secara kompetitif agar tercipta budaya
bersaing yang sehat secara internal dan eksternal. Program yang
dibantu pendanaannya oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
pada tahun 2010 - 2011 ini terdiri atas bantuan sarana-prasarana,
bantuan penelitian, publikasi ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat serta bantuan kegiatan Lembaga Organisasi
Kemahasiswaan PTAIS dalam rangkan meningkatkan mutu,
relevansi, dan daya saing PTAI. Untuk bantuan sarana prasarana
panduan ini sepenuhnya berlaku untuk tahun 2011, sedangkan 3

alokasi bantuan sarana prasarana calon penerima bantuan tahun
2010 sebagian besar diambil dari usulan proposal yang sudah
masuk tahun 2009 ditambah dengan data pendukung dari
kopertais.
Akhirnya, mudah-mudahan Juknis ini dapat memenuhi
kebutuhan dan harapan, bukan saja bagi pengelola PTAI tetapi
juga semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan dengan
informasi sekitar program bantuan.

Wassalamu’alaikum wr. wb.


Jakarta,

DIREKTUR JENDERAL


ttd


Prof. Dr. H. Mohammad Ali, MA



4

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
Sesuai dengan rencana strategis Direktorat Pendidikan Tinggi
Islam, pembangunan pendidikan tinggi agama Islam di Indonesia
bertujuan untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan
dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa, melakukan
pemerataan pendidikan yang bermutu melalui penataan
kelembangaan yang efisien, mengelola pembiayaan pendidikan
yang berkeadilan dan akuntabel, dan menerapkan konsep good
university governance dalam pengelolaan pendidikan. Melalui
penerapan prinsip-prinsip penyelenggaran pendidikan tinggi ini
diharapkan PTAI dapat berpartisipasi aktif dalam membangun
masyarakat Indonesia yang berbasis pengetahuan (knowledge-
based society) pada era kesejagatan.
Program peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing
mencakup antara lain kegiatan-kegiatan pelaksanaan tridharma
perguruan tinggi yang lebih bermutu dan berdaya guna,
peningkatan mutu sarana dan prasarana sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan, pengembangan sistem dan standardisasi
layanan pendidikan, dan pengembangan budaya akademik di
kalangan dosen dan mahasiswa sebagai stakeholder utama
pendidikan.
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan PTAI antara
lain dilaksanakan dengan memperluas dan memperbanyak target
kelulusan PTAI dalam rangka menjangkau masyarakat yang
lebih luas, menambah fasilitas pendidikan PTAI, meningkatkan
jumlah dosen, dan menambah kuota penerimaan mahasiswa
baru. Selain itu, perluasan akses dilakukan dengan memberikan
beasiswa bagi kelompok yang tak beruntung secara ekonomi,
geografi, dan kultural, tetapi memiliki potensi, baik melalui
pembelajaran residensial maupun dengan mengembangkan
pembelajaran jarak jauh (distance learning).
Peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik
dilakukan melalui peningkatan kapasitas kepemimpinan dan
manajemen perguruan tinggi, pengembangan program-program
bantuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi 5

pengelolaan melalui implementasi teknologi komunikasi dan
informasi. Peningkatan citra PTAI dilakukan melalui penguatan
dan peningkatan akreditasi, pendirian pusat-pusat unggulan dan
peningkatan kerjasama, baik dengan dalam negeri maupun luar
negeri.
Program pengembangan PTAI itu didasarkan atas pemikiran
yang mendalam dan visi pembangunan pendidikan Islam untuk
menjadikan nilai-nilai agama sebagai landasan moral spritual
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta
untuk memberdayakan masyarakat dan lembaga pendidikan Islam
agar dapat memberikan layanan pendidikan yang bermutu kepada
peserta didiknya.
Petunjuk teknis ini disusun agar ada kesamaan persepsi di
antara pemberi bantuan dan pihak yang berkepentingan
berkenaan dengan pelaksanaan program bantuan sarana dan
proses pengajuan usulannya. Dengan demikian, petunjuk teknis ini
dapat dijadikan sebagai acuan dalam persiapan, perencanaan,
pelaksanaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban bantuan.

B. Dasar Hukum
Program dan kegiatan bantuan ini berpedoman pada
peraturan perundang-undangan sebagai berikut.
1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286);
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4355);
4. Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
5. Undang-undang Nomor 45 tahun 2007 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2008; 6

6. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan , Tugas, fungsi, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja kementrian Negara Republik Indonesia, sebagaimana
telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 tahun
2005;
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005
tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian
Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah dirubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 63 tahun 2005;
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun
2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah sebagimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006;
10. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373
Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Departemen Agama Propinsi dan Kantor Departemen
Agama Kabupaten/ Kota, sebagaimana telah dirubah dengan
Keputusan Menteri Agama Nomor 480 Tahun 2003;
11. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2006 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas
Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di
lingkungan Departemen Agama;
12. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama;
13. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal
Pendidikan IslamTahun Anggaran 2010 Nomor : 0006/025-
04.1/-/2010 tanggal 31 Desember 2009;
14. Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen
Agama Nomor Dj.I/05/2009 tanggal 5 Januari 2009 tentang
Petunjuk Teknis Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Departemen Agama Republik Indonesia Tahun
Anggaran 2009.




7

C. Tujuan
Program bantuan ini bertujuan untuk mendorong PTAI agar
dapat:
1. memenuhi standar minimal penyelenggaraan pendidikan tinggi
Islam;
2. meningkatkan mutu hasil pendidikan tinggi;
3. meningkatkan relevansi pendidikan, penelitian dan
pengabdian masyarakat; dan
4. meningkatkan akuntabilitas dan pencitraan penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi Islam;
5. meningkatkan pemberdayaan mahasiswa dan lembaga
organisasi kemahasiswaan

D. Target sasaran
Sasaran program bantuan Tahun Anggaran 2010 – 2011
meliputi:
1. Perguruan tinggi agama Islam swasta;
2. Tenaga pendidik (Dosen) PTAI dan dosen PAI pada
perguruan tinggi umum;
3. Lembaga organisasi kemahasiswaan PTAI.

E. Program Bantuan
Program-program bantuan PTAI yang ada di Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam tahun 2010 – 2011 ini terdiri atas 3 (tiga)
program besar sebagai berikut:
No. Jenis Bantuan Kode
1. Bantuan Sarana Prasarana BSP
2. Bantuan Penelitian, Publikasi ilmiah, dan
Pengabdian kepada Masyarakat
BP3M
3. Bantuan Lembaga Organisasai
Kemahasiswaan
BLOK

8

BAB II
PROGRAM BANTUAN SARANA PRASARANA PTAI

A. Rasional
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kondisi sarana dan
prasarana PTAI, memperlihatkan bahwa masih banyak PTAI yang
belum mempunyai sarana prasarana yang memadai dan layak
dalam rangka menunjang proses perkuliahan. Bahkan masih
banyak PTAIS yang belum mampu menopang kebutuhan
operasional sehingga proses pendidikan belum berjalan secara
optimal. Melihat dari kondisi tersebut, sangat dikhawatirkan PTAIS
tidak dapat menghasilkan lulusan yang bermutu yang dapat
berdaya saing global. Oleh karena ha tersebut, maka bantuan
sarana prasarana diprioritaskan pada PTAIS.
Pada tahun anggaran 2010 ini, program bantuan sarana
prasarana bersifat sebagai pemenuhan kebutuhan minimal bagi
PTAIS agar dapar menunjang proses pendidikan dan
menghasilkan lulusan yang bermutu. Selain itu sarana prasarana
tersebut diharapkan dapat membantu memenuhi proses akreditasi
program studi.
Sedangkan pada tahun anggaran 2011, selain untuk
memenuhi kebutuhan minimal pada PTAIS, program bantuan
sarana prasarana tersebut digunakan sebagai upaya untuk
pengembangan sarana prasarana yang secara minimal sudah
memadai agar dapat menghasilkan lulusan yang bermutu dan
sesuai dengan kebutuhan pasar.
Petunjuk teknis ini digunakan sebagai pedoman bagi PTAI
yang hendak mengajukan permohonan bantuan sarana prasarana
kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama
untuk tahun anggaran 2011.

B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan bantuan sarana prasarana ini adalah untuk mendorong
PTAIS meningkatkan kualitas sarana prasarana pendidikan dalam
rangka meningkatkan mutu lulusan yang berdaya saing global.

C. Jenis dan Alokasi Bantuan
Jenis Bantuan Sarana dan Prasarana (BSP) tahun anggaran
2011 terdiri atas:
1) Bantuan pembangunan / rehabilitasi gedung PTAIS; 9

2) Bantuan pengembangan laboratorium PTAIS, yang terdiri
atas laboratorium micro teaching, laboratorium komputer,
laboratorium bahasa, laboratorium dakwah dan
laboratorium syariah.
3) Bantuan pemberdayaan perpustakaan PTAIS.

D. Persyaratan Umum
1. Hanya untuk Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta
(PTAIS) dan Fakultas Agama Islam pada Perguruan
Tinggi Umum (FAI pada PTU);
2. Mengajukan Proposal kepada Direktur Jenderal
Pendidikan Islam Departemen Agama;
3. Memiliki izin pnyelenggaraan yang masih berlaku (surat
izin dilampirkan);
4. Program studi yang diusulkan terakreditasi/dalam proses
(bukti) dari BAN PT;
5. Untuk program studi yang baru berdiri, disayaratkan telah
memiliki izin penyelenggaraan dan beroperasi minimal 2
(dua) tahun;
6. Tidak menyelenggarakan kelas jauh (dibuktikan dengan
surat pernyataan bermaterai) dan diketahui oleh pihak
kopertais;
7. Mengisi dan mengirim formulir Bantuan Sarana Prasarana
(Form. BSP-11) sebagaimana terlampir;
8. Bersedia menyediakan dana pendamping sebesar minimal
5% dari total bantuan yang disertai dengan rencana
alokasi penggunaan dana pendamping tersebut;
9. Mempunyai program rencana pemanfaatan bantuan yang
jelas

E. Persyaratan Khusus
1. Bantuan Pembangunan Gedung
a. Dapat digunakan untuk pembangunan gedung baru
atau melanjutkan pembangunan yang belum selesai;
b. Mempunyai kampus milik sendiri dan lahan
pengembangan minimal seluas 500m2 dan
bersertifikat.
2. Bantuan rehabilitasi Gedung
a. Mempunyai kampus milik sendiri; 10

b. Kondisi gedung dalam keadaan rusak berat (tidak
layak) diperkuat dengan surat pernyataan dan
dokumentasi.
3. Bantuan Pengembangan Laboratorium
a. Belum memiliki peralatan laboratorium yang diusulkan;
b. Mempunyai program studi yang relevan dengan
laboratorium yang diusulkan;
c. Mempunyai ruang yang dipersiapkan untuk
laboratorium minimal 7x8 m2;
d. Mempunyai jaringan listrik khususnya untuk
laboratorium minimal sebesar 2200 watt;
e. Mempunyai tenaga pengelola laboratorium minimal
satu orang;
f. Menyediakan sarana pengamanan terhadap ruang
laboratorium yang diusulkan.
4. Bantuan pemberdayaan perpustakaan
a. Memiliki perpustaakaan;
b. Mempunyai tenaga teknis perpustakaan minimal satu
orang;
c. Menyampaikan profil dan katalog perpustakaan.

F. Komponen Pembiayaan
Komponen pembiayaan bantuan sarana prasarana ini akan
diatur lebih lanjut dengan juknis pelaksanaan dan spesifikasi
tersendiri.

G. Prosedur Pengajuan Bantuan
Pengumuman ditayangkan melalui website www.depag.go.id
dan dikirimkan melalui surat kepada Pimpinan PTAIN dan
kopertais seluruh Indonesia.
1. PTAI yang hendak mengajukan bantuan wajib mengisi
Form. BSP-11 dapat diunduh dari website
www.depag.go.id.
2. Mengisi Form. BSP-11 secara lengkap dan kirim ke email
bantuanpendidikan@depag.go.id dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. nama file sesuai dengan format “BSP-Nama PTAI”
contoh “BSP-STAI DARULULUM.xls
b. menggunakan email PTAI bersangkutan yang resmi
dan masih aktif 11

c. subjek email diberi judul “BSP-NAMA PTAI”
d. email harus dilengkapi dengan identitas dan kontak
pengirim.
3. Selain mengirim email, juga mengirimkan berkas
permohonan Bantuan Sarana Prasarana kepada Direktur
Jenderal Pendidikan Islam c.q Direktur Pendidikan Tinggi
Islam alamat Kementerian Agama Lt 8 Kamar B806 Jalan
Lapangan Banteng Barat No 3-4 Jakarta dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. ditulis dan disusun sesuai dengan kaidah yang telah
ditentukan
b. melampirkan print out Formulir BSP yang telah diisi
dalam setiap berkas permohonan

CATATAN
1. Formulir BSP yang dikirim melalui email harus
menggunakan file formulir yang telah ditentukan.
2. Setiap PTAI hanya dapat mengajukan satu jenis
bantuan.
3. tim seleksi tidak menerima berkas susulan atau berkas
tambahan, setelah berkas yang pertama telah diterima
oleh panitia.

H. Seleksi
Seleksi terhadap permohonan dari PTAI dilakukan melalui
tahapan seleksi administrasi dan seleksi kelayakan oleh tim
pelaksana yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam.
Adapun hal hal yang menjadi pertimbangan dalam proses seleksi
antara lain:
1. Kesesuaian data dengan persyaratan yang telah
ditentukan.
2. Penjelasan dari calon penerima bantuan yang dapat
dilakukan melalui presentasi bantuan maupun kunjungan
langsung ke lokasi.
Calon peserta penerima bantuan sarana prasarana untuk
tahun anggaran 2010 diseleksi dari pemohon yang telah
mengajukan permohonan pada tahun 2009 dan dilengkapi dengan
data pendukung dari Kopertais. 12

Sedangkan bagi PTAI yang mengajukan permohonan pada
tahun 2010 ini, proposal tersebut akan diproses untuk program
bantuan sarana prasarana tahun anggaran 2011.

I. Jadwal Kegiatan
Jadwal pelaksanaan kegiatan bantuan Sarana Prasarana
pada Perguruan Tinggi Agama Islam adalah sebagai berikut:


NO. URAIAN KEGIATAN
WAKTU
PELAKSANAAN
1 Pengumuman Calon
Penerima Bantuan Sarana
Prasarana PTAI tahun 2010
Awal Juli 2010
2 Pengumuman Pendaftaran Minggu I Mei 2010
3 Batas akhir pengiriman
formulir via email dan
pengiriman berkas proposal
30 Juni 2010
4 Seleksi proposal Juli - Agustus 2010
5 Survey atau visitasi ke PTAI September – Oktober
2010
6 Pengumuman calon
penerima bantuan Tahun
Anggaran 2011
Februari 2011
13

BAB III
PROGRAM BANTUAN
PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT


A. Rasional

Program Bantuan Dana Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat adalah dana hibah penelitian dan pengabdian pada
masyarakat yang disediakan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam,
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama
Republik Indonesia untuk meningkatkan mutu proses dan hasil
penelitian dan pengabdian pada masyarakat dosen di lingkungan
Perguruan Tinggi Islam (PTI). Bantuan dana diberikan secara
kompetitif, transparan, dan obyektif berdasarkan mutu proposal
yang diajukan. Program ini terbuka bagi setiap dosen Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI), baik negeri maupun swasta, dan
dosen Fakultas Agama Islam (FAI) dan Pendidikan Agama Islam
(PAI) pada Perguruan Tinggi Umum (PTU).
Program bantuan dana penelitian dan pengabdian pada
masyarakat ini bertujuan untuk menghasilkan penelitian dan
pengabdian pada masyarakat yang bermutu (sesuai dengan
prosedur, kaidah, dan etika penelitian/pengabdian) sehingga bisa
memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, khazanah keislaman Indonesia, kajian kritis sosio-
kultural, bahkan rekomendasi untuk penyelesaian terhadap
persoalan (problem solving) yang dihadapi masyarakat dewasa ini,
khususnya yang berkaitan dengan masalah keislaman.

B. Kluster Penelitian dan Pengabdian Tahun 2010

1. Program Bantuan Penelitian Kompetitif Kolektif dan
Individual, dibagi menjadi 3 (tiga) kluster penelitian sebagai
berikut:
a. Penelitian Pengembangan Studi- Islam (PSI)
Kluster penelitian ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kualitas kajian studi Islam yang selama ini menjadi core
dan spesifikasi kajian PTAI. Agar rancangan penelitian
yang diusulkan dapat lebih fokus pada ekstensi dan 14

pendalaman studi-studi Islam, maka tema kajian riset
untuk Program Penelitian Pengembangan Studi-studi
Islam di Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik
Indonesia Tahun 2010 difokuskan pada kajian konsorsium
ilmu studi Islam berikut ini:
1) Tarbiyah, yang meliputi kajian Pendidikan Agama
Islam Pendidikan Bahasa Arab.
2) Ushuluddin, yang meliputi kajian Ilmu Al-Qur’an,
Tafsir, Hadis, Tasawuf, Aqidah Filsafat, Pemikiran
Islam, Perbandingan Agama.
3) Syari’ah, yang meliputi kajian Mu’amalah, Ahwal
Syakhshiyah, Jinayah, Siyasah, Perbandingan
Madzhab.
4) Adab, yang meliputi kajian Sejarah
Kebudayaan/Peradaban Islam Bahasa/Sastra Arab.
5) Dakwah, yang meliputi kajian Manajemen Dakwah,
Pengembangan Masyarakat Islam, Bimbingan-
Konseling Islam.
Program Penelitian Pengembangan Studi- Islam
diselenggarakan agar dosen-dosen di lingkungan PTAI
mampu meneliti dan mengembangkan kajian studi-studi
Islam yang menjadi konsentrasi akademiknya, sehingga
menjadi subyek yang expert dan profesional. Penelitian
pengembangan studi Islam dapat dilaksanakan secara
monodisiplin maupun multidisplin. Yang dimaksud dengan
penelitian pengembangan ilmu monodisiplin adalah
sebuah upaya pengembangan internal dari disiplin itu
sendiri, baik melalui upaya dekonstruksi, rekonstruksi,
reinterpretasi, ataupun kontekstualisasi. Sementara yang
dimaksud dengan pengembangan ilmu multidisiplin adalah
sebuah upaya pengembangan yang didasarkan pada
beberapa disiplin ilmu.
b. Penelitian Pengembangan Disiplin Ilmu Umum (DIU)
Kluster penelitian ini dimaksudkan untuk mengakomodasi
perkembangan bidang kajian ilmu di lingkungan PTAI
yang tidak hanya mengkaji studi-studi Islam, namun juga
mengembangkan bidang kajian ilmu-ilmu umum, seperti
cabang ilmu sains, teknik, maupun humaniora. Agar 15

rancangan penelitian yang diusulkan mudah untuk
diklasifikasi, maka tema kajian riset untuk Program
Penelitian Pengembangan Disiplin Ilmu Umum di
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik
Indonesia Tahun 2010 difokuskan pada cabang-cabang
ilmu berikut ini:
1) Sains, yang meliputi bidang Ilmu Kedokteran, Fisika
Kimia, Biologi, Farmasi, Matematika, Pertanian,
Peternakan, Teknik Informatika, dan Ilmu Komputer.
2) Ilmu-ilmu Sosial, yang meliputi bidang Sosiologi,
Antropologi, Ekonomi, Psikologi, dan Komunikasi.
3) Humaniora, yang meliputi bidang Filsafat, Bahasa,
Sastra, Seni, dan Sejarah.
Program Penelitian Pengembangan Disiplin Ilmu Umum
diselenggarakan agar dosen-dosen di lingkungan PTAI
mampu meneliti dan mengembangkan kajian bidang ilmu
yang menjadi konsentrasi akademiknya, sehingga menjadi
subyek yang expert dan profesional. Penelitian
pengembangan ilmu dapat dilaksanakan secara
monodisiplin maupun multidisplin. Yang dimaksud dengan
penelitian pengembangan ilmu monodisiplin adalah
sebuah upaya pengembangan internal dari disiplin itu
sendiri, baik melalui upaya dekonstruksi, rekonstruksi,
reinterpretasi, ataupun kontekstualisasi. Sementara yang
dimaksud dengan pengembangan ilmu multidisiplin adalah
sebuah upaya pengembangan yang didasarkan pada
beberapa disiplin ilmu.
c. Penelitian Sosial Keagamaan (SK)
Jenis penelitian ini dimaksudkan agar dosen memiliki
kepedulian dan tanggungjawab sosial akademik untuk
memahami, menjelaskan, mendeskripsikan, menggali,
menjajagi, atau memaknai ulang fenomena/konstruksi
sosial dan kebudayaan yang terkait dengan masalah-
masalah keagamaan, khsususnya yang terkait dengan
komunitas Muslim. Dengan demikian, hasil penelitian
diharapkan mampu memotret dan menjelaskan
bagaimana relasi agama dan konstruksi sosial-budaya
dipahami, dipersepsikan, dipraktikkan, atau sebaliknya 16

diabaikan dalam kerangka pergulatannya dengan ideologi,
politik, ekonomi, kebudayaan, atau pasar.

2. Program Participatory Action Research (PAR), difokuskan
pada subyek dampingan sebagai berikut :
a. Madrasah, difokuskan pemberdayaan (empowerment)
dan peningkatan mutu murid, pendidik, tenaga
kependidikan, dan sistem penyelenggaraan kelembagaan
yang lebih baik dan mandiri.
b. Pesantren, fokus pemberdayaan (empowerment) pada
pesantren lebih diprioritas untuk peningkatan mutu santri,
asatidz, pengurus pesantren, dan sistem penyelenggaraan
kelembagaan yang lebih baik dan mandiri.
c. Masjid, difokuskan untuk pemberdayaan jama'ah masjid
melalui berbagai kegiatan sosial-keagamaan, bidang
perekonomian, maupun sektor-sektor lain sehingga bisa
meningkatkan kualitas kelembagaan masjid secara
keseluruhan.
d. Komunitas Miskin/Marginal, difokuskan untuk
pemberdayaan kaum miskin/marginal, baik di wilayah
perkotaan maupun pedesaan, melalui berbagai aktivitas
yang bisa memberikan nilai tambah bagi kehidupan sosial,
sektor perekonomian, maupun sektor-sektor lain sehingga
mampu mengantarkan mereka sebagai subyek yang
percaya diri, mandiri, dan berdaya.
3. Program Penelitian Pendidikan dan Kelembagaan Islam,
dengan fokus sebagai berikut :
a. Peningkatan Mutu Layanan Publik, baik dari sisi
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam bidang
pendidikan Islam maupun kelembagaan Islam dalam
memberikan layanan publik.
b. Pemberdayaan Komunitas Muslim, melalui kelembagaan
industri syari’ah maupun sektor-sektor lain sehingga bisa
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
c. Inovasi Produk Penunjang Studi Islam, sehingga
mempermudah aplikasi berbagai teori dalam studi-studi
Islam, seperti Bahasa Arab, Ilmu Falaq, Bimbingan-
Konseling Islam, maupun studi Islam lainnya. 17

4. Program Pengabdian pada Masyarakat, difokuskan pada
beberapa jenis subyek dampingan sebagai berikut :
a. Komunitas Marginal/Miskin, dimaksudkan agar dosen
mengabdi dan memberikan pendampingan bagi
masyarakat yang hidup dalam tatanan sosial atau relasi
kuasa yang tidak seimbang, sehingga komunitas
marginal/miskin di daerah perkotaan memiliki kedudukan
setara, berdaya, dan hidup di tengah tengah
masyarakatnya dengan lebih percaya diri.
b. Komunitas Daerah Tertinggal, dimaksudkan agar dosen
mengabdi dan memberikan pendampingan bagi komunitas
yang hidup di daerah tertinggal, khususnya di kawasan
pedesaan yang miskin atau pedalaman. Dengan berbagai
inovasi pemberdayaan, dosen diharapkan mampu
menerapkan berbagai hasil inovasi yang bisa mengangkat
kehidupan komunitas tersebut menjadi lebih baik.
c. Komunitas Nelayan, dimaksudkan agar dosen mengabdi
dan memberikan pendampingan bagi komunitas nelayan
yang miskin. Dengan demikian, dosen bisa bekerja sama
dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas
kehidupan mereka menjadi lebih sejahtera.


C. Perspektif Penelitian dan Pengabdian

Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia memiliki
kepedualian khusus terhadap program Education For All (EFA)
dan Millennium Development Goals (MDGs) yang telah menjadi
komitmen Pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain di
dunia. Di antara komitmen yang dihasilkan di forum dunia tersebut
adalah mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan
perempuan dengan cara mengurangi pembedaan dan diskriminasi
gender dalam seluruh sektor kehidupan, khususnya di bidang
pendidikan. Oleh karena itu, Program Bantuan Dana Penelitian
dan Pengabdian pada Masyarakat memberikan ruang bagi para
peneliti di lingkungan PTI yang memiliki ketertarikan untuk
mengkaji maupun mengembangkan berbagai permasalahan yang
terkait dengan isu gender pada ketiga kluster penelitian dan 18

pengabdian pada masyarakat di atas dengan cara melaksanakan
penelitian maupun pengabdian pada masyarakat yang
berperspektif gender, yakni sebuah analisis yang mengedepankan
pada upaya penyeimbangan dan keadilan peran (role) dan
perlakuan (treatment) pada perempuan dan laki-laki, tanpa adanya
diskriminasi pada salah satu jenis kelamin.

D. Persyaratan Administratif

1. Peneliti adalah dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI),
baik negeri maupun swasta, atau dosen FAI pada Perguruan
Tinggi Umum (PTU), dibuktikan dengan surat keputusan atau
surat keterangan dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
2. Jumlah tim peneliti pada Penelitian Kompetitif Kolektif, PAR,
dan Penelitian Pendidikan dan Kelembagaan Islam, serta
Pengabdian pada Masyarakat minimum 3 (tiga) orang dan
maksimum 4 (empat) orang.
3. Ketua Tim maupun Peneliti Individual bukan penerima
program bantuan dana Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
Kementerian Agama RI tahun 2009.
4. Proposal penelitian yang diajukan bukan untuk kepentingan
tesis atau disertasi. Hal ini dibuktikan dengan surat
pernyataan pimpinan lembaga pengusul.
5. Masalah yang diusulkan dalam proposal penelitian belum
pernah diteliti atau tidak sedang dalam proses penelitian.
Sementara proposal pengabdian bukan yang sedang atau
pernah dilaksanakan. Hal ini dibuktikan dengan surat
pernyataan dari pimpinan lembaga pengusul.
6. Substansi usulan penelitian atau pengabdian sudah dibahas
atau didiskusikan di kalangan kolega dosen pada PTI masing-
masing. Hal ini dibuktikan dengan komentar ataupun masukan
dari kolega dosen tentang proposal yang diajukan.
7. Sebagai salah satu bentuk affirmative action, bantuan dana
penelitian akan dialokasikan 30% bagi peneliti perempuan.
8. Proposal diajukan oleh Tim Pengusul atau Peneliti Individu.
Surat pengantar ditujukan kepada Direktur Pendidikan Tinggi
Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian
Agama Republik Indonesia c.q. Kepala Subdit Penelitian,
Publikasi Ilmiah, dan Pengabdian kepada Masyarakat.
19


E. Teknis Registrasi
1. Untuk meningkatkan kualitas layanan dan proses penjaminan
mutu, sistem registrasi Program Bantuan Dana Tahun 2010
dirancang secara on line. Buku Panduan Program bisa
diakses di website: www.ditpertais.net.
2. Registrasi secara on line merupakan prasyarat bagi peserta
untuk mengikuti Program Bantuan Dana. Melalui registrasi on
line pendaftar akan mendapatkan nomor registrasi (No. Reg)
yang harus dicantumkan dalam cover Concept Notes yang
dikirim via pos.
3. Untuk melakukan registrasi, peserta harus menempuh
beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Mengunjungi website: www.penelitiandiktis.com
b. Membuat account pendaftaran.
Klik Buat Account pada kotak LOGIN di bagian pojok kiri
atas.
c. Mengakses Formulir Pendaftaran.
Setelah membuat account, cek email yang telah Anda
daftarkan. Sistem komputer kami akan memberikan
balasan berupa username dan password. Isi username
dan password tersebut pada kotak LOGIN dan klik Sign In
untuk mengakses Formulir Pendaftaran.
d. Mengisi Formulir Pendaftaran.
Isi Formulir Pendaftaran dengan lengkap dan benar.
Peserta hanya bisa mendaftar 1 (satu) kali untuk Program
Penelitian Kompetitif Individual dan 1 (satu) kali untuk
Program Penelitian atau Pengabdian sebagai Ketua Tim.
e. Mendapatkan Nomor Registrasi.
Setelah berhasil mengisi Formulir Pendaftaran, cek email
Anda untuk mendapatkan No. Reg. Gunakan No. Reg
Anda sebagai identitas personal yang harus dicantumkan
pada sampul Concept Notes bagian pojok kanan atas
yang dikirim via pos.
4. Batas akhir registrasi online dan pengiriman berkas hard copy
tanggal 18 April 2010 cap pos.
5. Tidak diadakan surat-menyurat terhadap semua Concept
Notes yang masuk, kecuali bagi proposal yang masuk 20

nominasi akan dipanggil untuk presentasi pada seminar
proposal.
6. Hard copy yang disertai Check List kelengkapan Concept
Notes dikirim ke:

Kepada Yth,
Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama
c.q. Kasubdit Penelitian, Publikasi Ilmiah, dan Pengabdian
kepada Masyarakat, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
Jln. Lapangan Banteng Barat No. 3-4, Lantai VIII, kamar
B807, Jakarta Pusat
Telp.: 021-3812344, Faks : 021-3853449,
Email: seksipenelitian_diktis@yahoo.com

F. Jadwal Kegiatan
Jadwal kegiatan Program Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI Tahun 2010
sebagai berikut:

No. Uraian Kegiatan Waktu Pelaksanaan
1. Call for Research Proposal Minggu III Maret 2010
2. Registrasi online dan pengiriman
hard copy.
22 Maret - 18 April 2010
3. Seleksi Administrasi (desk
evaluation)
Minggu III April 2010
4. Evaluasi Tim Reviewer Minggu IV April s.d.
Minggu II Mei 2010
5. Pengumuman Nomenees Minggu III Mei 2010
6. Seminar Proposal Program Minggu III Mei 2010
7. Pengumuman Penerima Bantuan
Dana
Minggu IV Mei 2010
8. Interim Report (Laporan
Sementara) Hasil
Minggu IV Agustus
2010
9 Penyerahan Laporan Akhir Minggu I Desember
2010 21

BAB IV
PROGRAM BANTUAN
LEMBAGA ORGANISASI KEMAHASISWAAN PTAI



I. Pendahuluan
A. Rasional
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Islam Nomor : Dj.I/253/2007 tentang Pedoman
Umum Organisasi Kemahasiswaan Perguruan Tinggi
Agama Islam yang mengatur keberadaan kegiatan
kemahasiswaan di setiap Perguruan Tinggi Agama Islam,
telah memberikan arah yang jelas dalam pembinaan dan
kegiatan organisasi kemahasiswaan dalam rangka
meningkatkan kualitas dan kapabilitas mahasiswa. Namun
dalam pelaksanaan kegiatannya seringkali menghadapi
kendala financial. Kondisi ini menyebabkan kegiatan
organisasi kemahasiswaan tidak dapat berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
Untuk mengurangi berbagai kendala finansial kegiatan
organisasi kemahasiswaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam melalui Direktorat Pendidikan Tinggi
Islam memberikan dukungan finansial melalui program
Batuan Kegiatan Organisasi Kemahasiswaan.

B. Maksud dan Tujuan
Maksud pemberian bantuan ini adalah untuk memberikan
stimulus kepada mahasiswa dalam mengembangkan
bakat, minat, dan kreatifitas serta inovasi menuju
terwujudnya mahasiswa yang mempunyai kecerdasan
spiritual, emosional, intelektual, dan sosial. Sedangkan
tujuan bantuan adalah untuk mewujudkan organisasi
kemahasiswaan yang berkualitas dan bertanggungjawab
yang dijiwai dengan semangat ulul albab dalam rangka
menciptakan kegiatan kemahasiswaaan yang bernuansa
religius, akademis, dan rekreatif.


22

C. Sasaran dan Target
Sasaran program pemberian Bantuan Kegiatan Organisasi
Kemahasiswaan adalah Unit Kegiatan Mahasiswa
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri dan Swasta yang
menyelenggarakan kegiatan dan memenuhi syarat sesuai
aturan yang ditetapkan. Adapun targetnya adalah
terbantunya sebagian kegiatan organisasi kemahasiswaan
dalam melaksanakan programnya.

D. Persyaratan Organisasi Mahasiswa Penerima Bantuan
Dalam mengajukan usulan bantuan kegiatan lembaga
organisasi kemahasiswaan hendaknya didasarkan pada
persyaratan sebagai berikut :
1. Memiliki struktur organisasi kemahasiswaan yang
disahkan pimpinan perguruan tinggi;
2. Organisasi kemahasiswaan yang mengajukan
bantuan harus mempunyai program kegiatan yang
jelas beserta indikator pencapaian program yang
dilampirkan pada proposal pengajuan bantuan;
3. Organisasi kemahasiswaan pengusul harus berasal
dari PTAI yang ijin penyelenggaranya berlaku dan
mempunyai jumlah mahasiswa sekurang-kurangnya
300 mahasiswa;
4. Organisasi kemahasiswaan pengusul bukan termasuk
organisasi yang pernah dan atau sedang dibekukan
atau mendapatkan predikat negatif dari pimpinan
perguruan tinggi
5. Kegiatan yang diusulkan memiliki relevansi dengan
peningkatan kualitas akademik dan non-akademik
yang mendukung Tri Dharma Perguruan Tinggi;
6. Melampirkan Foto copy rekening Bank dan NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak) atas nama lembaga
(PTAI).

II. Prosedur Pengajuan Bantuan
1. Proposal yang diajukan harus diketahui
(ditandatangani) oleh pimpinan PTAI (cq. Purek/Puket
bidang kemahasiswaan)
2. Proposal ditulis dengan kaedah bahasa Indonesia
yang benar, mencantumkan tujuan, target, desain 23

penyelenggaraan kegiatan, dan rincian biaya (RAB)
yang diperlukan mengacu pada outline (terlampir)
3. Mengirimkan proposal permohonan Bantuan Kegiatan
Lembaga Organisasi Kemahasiswaan kepada Direktur
Jenderal Pendidikan Islam cq. Direktur Pendidikan
Tinggi Islam dan dialamatkan ke Jalan Lapangan
Banteng Barat Nomor 3-4 Jakarta Pusat lantai 8
kamar B.811

III Kewajiban Penerima Bantuan
Penerima bantuan berkewajiban untuk :
a. Menandatangani Berita Acara dan kwitansi
penerimaan bantuan (contoh terlampir);
b. Melaksanakan kegiatannya sesuai proposal yang
diajukan paling lambat 1 (satu) minggu setelah
bantuan diterima;
c. Mempertanggung jawabkan penerimaan bantuan
dengan membuat laporan tertulis kepada Direktur
Jenderal Pendidikan Islam (cq. Direktur Pendidikan
Tinggi Islam) paling lambat 1 (satu) bulan setelah
penyaluran bantuan kepada Unit Kegiatan
Kemahasiswaan dan telah melaksanakan
kegiatannya;
d. Melaporkan kepada pimpinan PTAI untuk
mendapatkan pengesahan.

IV. Seleksi Proposal
1. Proposal akan diseleksi oleh panitia/tim yang ditunjuk
oleh Direktur Pendidikan Tinggi Islam
2. Seleksi dilakukan terhadap proposal ajuan dengan
memperhatikan beberapa hal :
a. Relevansi kegiatan dengan Tri Dharma Perguruan
Tinggi;
b. Orisinalitas ide dan topik yang menarik;
c. Pelibatan audiens/peserta;
d. Kesesuaian dengan kebutuhan mahasiswa secara
umum;
e. Waktu yang diperlukan untuk melakukan kegiatan;
f. Sumber Daya Manusia pelaksana;
g. Dukungan pimpinan PTAI. 24


V. Proses Pencairan Bantuan
1. Penerima bantuan adalah organisasi kemahasiswaan
yang memenuhi persyaratan
2. Pencairan bantuan dilakukan dengan ketentuan,
sebagai berikut:
a. Bagi organisasi kemahasiswaan di PTAIN
langsung dicairkan ke rekening organisasi
kemahasiswaan ybs;
b. Bagi organisasi kemahasiswaan di PTAIS
dicairkan melalui rekening an. PTAIS.
3. Penandatanganan kontrak, Berita Acara, dan Kwitansi
diatur sebagai berikut :
a. Organisasi Kemahasiswaan PTAIN oleh pimpinan
organisasi kemahasiswaan (UKM)
b. Organisasi Kemahasiswaan PTAIS oleh pimpinan
lembaga (PTAIS)






















25

Lampiran:

OUTLINE PROPOSAL
PENGAJUAN BANTUAN KEGIATAN LEMBAGA
ORGANISASI KEMAHASISWAAN PTAIN/S

A. Judul
Diungkapkan secara singkat, jelas, tepat, menggunakan
kaidah bahasa Indonesia baku, dan tidak melebihi dari 16 kata
B. Organisasi Kemahasiswaan Pengusul
Ditulis lembaga pengusul dan perguruan tingginya
C. Latar Belakang
Mengungkapkan tentang pentingnya kegiatan dilaksanakan,
sehingga layak mendapat dukungan dana
D. Tujuan
Suatu pernyataan yang menggambarkan tentang sesuatu
yang akan dicapai dari kegiatan tersebut
E. Program
Rencana kegiatan yang akan dilakukan beserta indikator
keberhasilannya dengan dukungan dana tersebut
F. Target dan Sasaran
Hasil akhir yang akan dicapai dalam kegiatan dan arah utama
yang akan dituju dalam kegiatan
G. Waktu dan Tempat Kegiatan
Tanggal kegiatan dan alamat kegiatan
H. Peserta Kegiatan
Orang yang terlibat dalam kegiatan, termasuk di dalamnya
nara sumber jika diperlukan
I. Jadwal Kegiatan
Diungkapkan secara rinci meliputi hari, tanggal, jam, dan jenis
kegiatan
J. Anggaran Kegiatan
Mengungkapkan jumlah nominal anggaran yang dibutuhkan
untuk mendukung kegiatan.
K. Penutup
Mengungkapkan kata akhir yang berkaitan dengan proposal
yang dibuat.


26

Lampiran:
1. Rincian Anggaran Kegiatan (dibuat se rasional mungkin
dengan menggunakan standar akuntasi yang benar)
2. Struktur Organisasi Kemahasiswaan
3. Susunan Panitia Pelaksana Kegiatan

Catatan:
Proposal harus ditandatangani oleh ketua lembaga pengusul dan
diketahui pimpinan PTAI serta berstempel yang diletakkan pada
lembaran terakhir setelah penutup.





27

BAB V
PELAKSANAAN PROGRAM BANTUAN


A. Seleksi dan Penetapan Penerima Bantuan
Proses penetapan penerima bantuan dilakukan berdasarkan
langkah dan tahapan seleksi sebagai berikut:
1. Tahap Seleksi administrasi terhadap proposal oleh tim
pelaksana bantuan yang ditunjuk oleh Direktur
Pendidikan Tinggi Islam;
2. Tahap desk evaluation terhadap proposal yang telah
memenuhi persyaratan administratif yang dilakukan oleh
tim penilai yang ditunjuk oleh Direktur Pendidikan Tinggi
Islam;
3. Tahap presentasi proposal jika diperlukan survei lapangan
yang masuk nominasi sebagai penerima bantuan. Tim
penilai tahap ini ditunjuk oleh Direktur Pendidikan Tinggi
Islam;
4. Tahap penetapan SK penerima bantuan dan
pengumuman;
5. Tahap penyelesaian dokumen kontrak.

B. Proses Pencairan Bantuan
Setelah melalui tahapan seleksi baik secara administrasi
maupun akademik calon penerima bantuan akan ditetapkan
sebagai penerima melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Islam, yang selanjutnya akan diumumkan melalui
website. Selanjutnya penerima bantuan segera melengkapi
segala hal yang diperlukan, baik untuk pelaksanaan bantuan
selanjutnya atau untuk keperluan administrasi pencairan
bantuan.
1. Calon penerima bantuan mengajukan kelengkapan
administrasi pencairan seperti : No. rekening lembaga,
rekening harus sama dengan nama PTAI. NPWP,
kwitansi, penandatanganan kontrak kinerja,dll; 28

2. Proses pencairan bantuan kepada penerima dilakukan
melalui LS kepada penerima bantuan dengan urutan
sebagai berikut :
a. Pejabat pembuat komitmen (Direktur Pendidikan
Tinggi Islam) mengajukan surat permintaan
pembayaran (SPP) kepada pejabat penerbit SPM/
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam;
b. pejabat penerbit SPM mengajukan SPM kepada
KPPN untuk diterbitkan SP2D;
c. KPPN menerbitkan SP2D kepada penerima bantuan
melalui rekening Bank Pemerintah penerima bantuan.

C. Hak dan Kewajiban Penerima Bantuan
Dalam Penggunaan bantuan, penerima bantuan harus
memperhatikan ketentuan sebagai berikut :
1. Wajib menggunakan bantuan sesuai dengan Surat
Keputusan Dirjen Pendidikan Islam, Petunjuk Teknis dan
ketentuan berlaku;
2. Membentuk Tim (Task force) untuk bantuan sarana
prasarana sebagai bentuk pendelegasian wewenang dari
pimpinan kepada Tim;
3. Wajib melakukan pengelolaan keuangan dengan baik;
4. Merealisasikan pogram paling lambat 1 bulan setelah
bantuan diterima;
5. Merealisasikan program dengan tepat waktu, tepat guna,
tepat sasaran dan tepat jumlah serta akuntabel;
6. Mematuhi ketentuan perpajakan;
7. Melaporkan pertanggungjawaban program secara tertulis
kepada Direktur Pendidikan Tinggi Islam paling lambat 1
(satu) bulan setelah selesai kegiatan.



29

D. Monitoring dan Evaluasi
Pelaksanaan Monitoring dan evaluasi (Monev) dilakukan
dalam tiga kegiatan, yaitu:
1. Awal Pelaksanaan Bantuan (Baseline Monitoring and
Evaluation)
a. Mengkonfirmasi kembali proposal yang
dipresentasikan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
riil yang ada di unit calon penerima bantuan program;
b. Identifikasi hambatan dan kendala yang mungkin akan
dihadapi oleh unit penerima hibah dimasa mendatang,
serta memberikan saran-saran dan solusi
penyelesaian masalah tersebut;
c. Pelaksanaan monitoring pada tahap ini terintegrasi
dengan proses site visit ketika penilaian proposal;

2. Pertengahan Pelaksanaan Bantuan (Midterm
Monitoring and Evaluation)
a. Melihat arah perkembangan pelaksanaan program
terutama berkaitan dengan pengadaan barang dan
jasa;
b. Memastikan bahwa spesifikasi minimal yang
ditetapkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
(DIKTIS) telah dilaksanakan;
c. Menggali kemungkinan-kemungkinan dalam rangka
menjaga keberlangsungan (sustainability) hasil
pengembangan dan peningkatan yang telah dicapai
oleh unit penerima bantuan tersebut.

3. Akhir Pelaksanaan Bantuan (Final Monitoring and
Evaluation)

a. Menilai dan melihat secara langsung dampak dari
pelaksanaan bantuan diakhir pelaksanaan, baik yang 30

dilihat sendiri oleh reviewer maupun yang dialami dan
dirasakan oleh civitas academica yang ada di unit
penerima hibah tersebut;
b. Melihat usaha-usaha yang telah dan akan
dilaksanakan dalam rangka menjaga keberlangsungan
(sustainability) hasil pengembangan dan peningkatan
yang telah dicapai oleh penerima bantuan tersebut.









31

BAB VI
PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
PROGRAM BANTUAN

A. Pelaporan
Laporan penggunaan bantuan ditujukan langsung kepada
Direktur Pendidikan Tinggi Islam yang berisi antara lain :
Bab 1, Pendahuluan, menerangkan tentang strategi
pengembangan PTAI, inti masalah dan faktor
penyebabnya;
Bab 2, Tujuan, menguraikan indikator kinerja,
keterkaitan antara latar belakang dengan tujuan
dan program yang dilaksanakan serta out
comes yang dikehendaki;
Bab 3, Mekanisme dan rancangan, menjelaskan rincian
dan langkah langkah kegiatan;
Bab 4, Realisasi program, menguraikan tentang
pelaksanaan pekerjaan dan realisasi pendanaan
dsb;
Bab 5, Keberlanjutan, menjelaskan implikasi finansial
dan komitmen manajemen untuk keberlanjutan
bantuan ini (sebagaimana contoh format
lampiran 4)

B. Pertanggungjawaban
Laporan pertanggungjawaban keuangan yang berisi
penggunaan dana, sisa dana, pajak yang dipungut dan
disetorkan ke kas negara disertai bukti-bukti pengeluaran
sesuai dengan peraturan perundang undangan yang
berlaku. Program yang memerlukan pengadaan sarana
fisik laporan dan pertanggungjawabannya dilakukan
setiap bulan (Progres Report).
Dalam penggunaan bantuan, lembaga penerima bantuan
harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut : 32

1. Wajib menggunakan bantuan sesuai dengan
ketentuan yang tertuang dalam Petunjuk Teknis
(Juknis) dan ketentuan lainnya;
2. PTAIS penerima bantuan (sarana prasarana) dalam
proses pengadaannya dapat dilakukan dengan
swakelola dengan membentuk Tim/ panitia pengadaan
sebagai pelimpahan wewenang pimpinan PTAI;
3. memungut dan menyetor pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
4. menyampaikan laporan dengan memperhatikan
prinsip prinsip akuntabilitas, tepat waktu, tepat guna,
tepat sasaran dan tepat jumlah.
5. laporan harus memuat secara komprehenship mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan bantuan
yang disertai dengan dokumentasi (melampirkan foto)
dan bukti bukti transaksi legal.

33

BAB VII
PENUTUP

Demikian petunjuk teknis (Juknis) program bantuan PTAI tahun
2010 – 2011 ini disusun untuk dijadikan acuan bersama dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi serta
laporan pertanggungjawaban program bantuan di lingkungan
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Ditjen Pendidikan Islam. Hal-
hal yang belum tercantum dalam juknis ini akan diatur lebih lanjut.

INDONESIA (ku sayang) INDONESIA (ku malang) “Tuan Tanah yang Menjadi Budak”

Oleh : A. Riza Hisfani


Kunci Makalah :
- Bahwa proses pemiskinan dan kemiskinan adalah hasil atau akibat dari proses-proses perampasan sumberdaya dan hak, tidak hanya menyangkut ketiadaan pendapatan atau income yang rendah. Dari dalam negeri, pemiskinan lebih banyak disebabakan oleh ketimpangan kuasa dan kekayaan, dan dari segi lingkungan luar, pemiskinan dan kemiskinan juga disebabkan oleh ketidakadilan dalam sisitem keuangan, bantuan dan perdagangan internasional.
- Di perlukan koreksi atas peranan negara dan pasar. Negara dan Pasar sama-sama bertanggungjawab atas pemiskinan dan kemiskinan. Strategi melawan pemiskinan dan kemiskinan haruslah mengoreksi negara dan pasar, sehingga lembaga-lembaga itu akan lebih bekerja dan berpihak kepada kaum miskin. Hal ini ditempuh lewat kontrol, transparansi dan memiliki akuntabilitas public.
- Di perlukan strategi baru, yang bersumberkan ada paradigma baru, yang lahir dari konsensus dikalangan masyarakat sipil dan gerakan sosial Indonesia. Suatu strategi yang berbasiskan hak-hak dasar manusia dan juga mengedepankan pentingnya mentransformasi gagasan penataan ulang relasi social, ekonomi, politik yang lebih adil. Dan dengan begitu, ikhtiar penanggulangan kemiskinan juga tidak lepas dari pemajuan hak asasi manusia, memperkuat pondasi keadilan sosial dan demokrasi.

A. Pendahuluan
Indonesia, lahir bukan secara kebetulan. Indonesia berdiri berdasarkan kompromi politik yang cukup alot. Unsur suku dan agama membidani terbentuknya Negara yang sering disebut surganya dunia. Dari suku kita bisa mendapati luasnya wilayah Indonesia dengan 32 Propinsi yang terbagi menjadi 73 Kota dan 268 Kabupaten, dari Sabang sampai Meraoke dan dari Nias sampai Rote. Hal ini kemudian melahirkan adanya istilah “kearifan lokal”. Sedangkan bila dilihat dari sisi agama, kita akan menjumpai dua karakter agama, yaitu agama ardi dan samawi yang kemudian menjadi idiologi (azas) bangsa ini yaitu pancasila “Ketuhanan yang maha esa”.
Sebelum Indonesia menjadi sebuah Negara, bangsa ini (Indonesia) memiliki penguasa-penguasa kecil dalam bentuk kerajaan-kerajaan. Tatanan kekuasaan dalam bentuk monarki absolute memang tidak lagi menjadi bentuk Negara kita. Namun secara sirri (samar-samar) ternyata Negara kita masih tetap menjadi ahli waris monarki absolute dengan status asobah bil ghoir.
“Demokrasi” adalah pilihan fanding father kita untuk mencerdaskan bangsa, mensejahterakan bangsa serta melindungi bangsa. Prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi mutlak dalam menilai benar-salah, hitam-putih, atau pemenang-pecundang. Antara kulit putih-hitam, badan tinggi-pendek, mata sipit-lebar, atau rambut kribo-lurus semuanya sama dimata demokrasi. Sebuah pondasi bangsa yang cukup kuat serta berani, mengingat banyaknya ragam suku dan agama (bhineka tunggal ika).
Meskipun terseok-seok, demokrasi Indonesia tetap berjalan dengan berbagai warna dan polemic didalamnya. Terjadinya revolusi I (dinahkodai oleh : Ir. Soekarno, Syahrir, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Mayyer, KH. Hasyim As’ary, dll) melahirkan presiden mandataris MPR yaitu Ir. Soekarno yang disebut Orde Lama dengan pencapaian gemilang “Proklamasi, bendera merah putih, Pancasila, UUD 1945 serta lagu Indonesia Raya” (berakhir dengan pengasingan Ir. Soekarno hingga wafat). Revolusi II (dinahkodai oleh : Soeharto (TNI), aktivis 65’ dan kelompok anti komunis) melahirkan pemerintahan yang disebut Orde Baru dengan pencapaian gemilang : negara agraris serta Soeharto sebagai Presidennya. Reformasi (dinahkodai oleh : Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Amin Rais, Megawaati, Oc Caligis dan aktifis 98’) dengan pencapaian gemilang : kebebasan public dan transparansi public, serta Abdurrahman Wahid (Gus Dur) presiden, dilanjutkan Megawati Soekarno Putri dan SBY hingga sekarang. Benarkah pencapaian gemilang dari tiga generasi tersebut masih kokoh dan lestari serta mensejahterakan rakyat, atau justru ambruk, dan pudar dan melupakan kemiskinan rakyat.

B. PEMBAHASAN

Kemiskinan dan Pemiskinan
Krisis ekonomi politik merupakan pemicu dahsyat dari pembengkakan jumlah penduduk miskin. Tetapi ia tidak dapat dipahami sebagai satu-satunya faktor. Semua orang juga paham, bahwa akar masalah kemiskinan dan pemiskinan juga tidak lepas dari faktor akan kuatnya watak otoriter penguasa dan pilihan politik pembangunan yang dijalankannya. Kemiskinan, memang tidak dapat hanya dipahami dari sederet data tentang seberapa besar jumlah orang yang tingkat biaya konsumsinya tidak dapat mencapai “garis kemiskinan”. Kenyataan yang terjadi ternyata lebih rumit dari itu. Di sisi lain, banyak juga orang mengatakan bahwa saat ini hampir tidak ada gunanya bicara tentang hebatnya kinerja penanggulangan kemiskinan dimasa lalu.
Sampai sekarang, kita seharusnya tetap prihatin dengan tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan yang terjadi. Yang tidak berubah dari dulu hingga kini dalam kehidupan kaum miskin kota adalah, lahir sengsara, hidup menderita, dan mati pun harus tetap sengsara. Kemiskinan tidak berdiri sendiri sebagai realitas sepi dan tanpa sebab. Realitas kemiskinan itu ada karena akibat dari sesuatu. Dan sesuatu itu bukanlah hanya dari masalah internal si miskin, tetapi dari kekuatan eksternal: kekuatan besar yang berdasar “kuasa wewenang”, “kuasa moral”, ataupun “kuasa modal” yang datang dari luar si miskin, yang terus mendesaknya ke jurang kemiskinan. Oleh karenanya yang sesungguhnya terjadi adalah proses pemiskinan. Keprihatinan kita bukanlah pada hanya pada realitas kemiskinan itu sendiri, tapi enerji besar seharusnya diarahkan pada pembongkaran sebab dan masalah proses pemiskinan dan kemudian, bagaimana gagasan jalan keluarnya.

Menguatnya proses pemiskinan
Aktivitas utama dari penanggulangan kemiskinan selama ini didominasi oleh dua pendekatan: yakni, Pertama, pendekatan pemenuhan konsumsi perkapita (menggunakan garis kemiskinan dan bersifat makro). Pasokan datanya dikerjakan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan dikerjakan Biro Pusat Statistik (BPS); dan Kedua, pendekatan yang berbasis keluarga. Pendekatan ini memiliki patokan 8 (delapan) ciri rumah tangga miskin, yakni: (a) Luas lantai rumah kurang dari 8 m persegi; (b) Jenis lantainya tanah; (c) Menggunakan air hujan atau dari sumber air tak terlindung sebagai pasokan air bersih; (d) Tidak memiliki jamban; (e) Tidak memiliki asset; (f) Tidak ada ketersediaan lauk pauk, atau ada sedikit lauk pauk tapi tidak bervariasi; (g) Tidak pernah terlibat dalam kegiatan sosial; (h) Tidak pernah membeli pakaian. Pendekatan yang kedua ini biasa dijalankan oleh BKKBN. Menurut pendekatan ini, satu keluarga yang lepas dari 8 (delapan) ciri rumah tangga miskin tersebut, dapatlah disebut keluarga sejahtera. Selama puluhan tahun pendekatan ini digunakan oleh pemerintah pusat dan daerah, termasuk melalui departemen atau dinas sektoralnya.
Kedua pendekatan di atas banyak memiliki kelemahan mendasar: (a) kedua pendekatan tersebut di atas tidak membuka peluang bagi suara dan aspirasi si miskin. Dan itu berarti, definisi kemiskinannya bisa bertabrakan dengan definisi kemiskinan dari si miskin itu sendiri. Akibatnya, definisi dan operasionalisasi kegiatan penanggulangan kemiskinan tidak cukup layak untuk memahami realitas kemiskinan yang sesungguhnya terjadi; (b) kedua pendekatan itu membawa konsekuensi operasionalisasi teknis kegiatan penanggulangan kemiskinan menjadi pendekatan ekonomi yang bersifat kedermawanan, dan itu berarti si miskin menjadi obyek dari suatu aktivitas yang bersifat proyek dan yang sesungguhnya hanya mampu menjawab masalah dalam jangka pendek;
(c) kedua pendekatan itu tidak memiliki kepekaan terhadap keragaman konteks wilayah, sektor maupun kedalaman kemiskinan; (d) kedua pendekatan itu tidak bisa diharapkan dapat menyumbang proses demokratisasi karena hanya menghasilkan pola hubungan subordinat dimana “pengendali proyek” penanggulangan kemiskinan sebagai “si dermawan” dan lapisan miskin sebagai “yang terpilih untuk dikasihani”. Itulah sebabnya, realitas kemiskinan menjadi potensial dimanfaatkan sebagai komoditi politik bagi pengambil keputusan yang “dermawan”; (e) kelemahan mendasarnya adalah kedua pendekatan itu gagap dan mengingkari persoalan yang menjadi akar masalah atau sebab-musabab kemiskinan.
Di sadari oleh banyak kelemahan yang ada, sebagian kalangan pemerintah menganggap perlu pembaruan definisi tentang kemiskinan. Definisi kemiskinan selama ini dirasakan sangat sempit, dan untuk itu perlu diperluas sesuai dengan kenyataan sifat kemiskinan yang multidimensi menyangkut segi ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kekeliruan dalam memahami masalah kemiskinan, tidak hanya mengakibatkan program penanggulangan kemiskinan kurang mendasar, tapi juga tidak tepat sasaran. Tetapi pengakuan terhadap sifat multidimensi kemiskinan tanpa diikuti pemahaman tentang nilai-nilai dasar yang tepat dalam pendekatannya, maka ujungnya mungkin justru menghasilkan kemunduran.
Sangat dimungkinkan pilihan terhadap nilai-nilai dasar itu adalah: transparansi, partisipasi, akuntabilitas publik, dan governance. Dalam hal partisipasi misalnya, pemerintah saat ini menganggap penting partisipasi dari para pihak (stakeholders) mulai dari penyusunan program, pelaksanaan sampai dengan pengawasannya. Tingkat partisipasi yang tinggi menimbulkan rasa ikut memiliki dan bertanggungjawab. Yang menjadi masalah dalam proses ini adalah tidak adanya jaminan terhadap penghormatan dan perlindungan hak-hak dasar simiskin itu sendiri. Sejumlah hambatan yang menghalangi tercapainya penghormatan dan perlindungan kelompok miskin sampai saat ini masih terus bertahan.
Realitas kemiskinan yang semakin meluas saat ini jelas menunjuk pada kenyataan bahwa tatanan ekonomi, politik, sosial dan budaya justru berperan besar dalam melanggengkan kenyataan paling buruk dari kemiskinan itu. Dalam masalah sistem alokasi sumber daya alam, misalnya, kecenderungan utama dalam tatanan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menguatkan proses pemiskinan rakyat adalah: (a) Luasnya ekspansi modal dan berikut, permintaannya terhadap ketersediaan tanah murah dalam skala besar. Gejala ini sudah dimulai sejak zaman kolonial, ketika pemerintah Belanda mengundang pemodal swasta Eropa untuk membuka lahan perkebunan di Jawa dan Sumatera. Dan gejala ini terus berlanjut sampai kini. Yakni dengan adanya fakta : berkurangnya secara drastis lahan pertanian di Jawa dan digantikan dengan kawasan industrial, juga disisi lain fakta: semakin meluasnya lahan perkebunan di luar Jawa. Meluasnya ekspansi modal tersebut telah menyumbang masalah ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia yang kemudian berujung pada semakin banyaknya petani miskin.
(b) Politik hukum agraria yang tidak adil. Politik hukum agraria yang terjadi tidaklah peka terhadap realitas ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah, tetapi sebaliknya justru memfasilitasi pemilik modal. Hal ini sangat tampak pada politik hukum Hak Guna Usaha (HGU) sebagai alas hak untuk perluasan dan (perpanjangan) penguasaan tanah perkebunan dalam skala besar; (c) Sistem politik pemerintahan yang hegemonic. Mulanya, operasi politik pemerintahan ini menerapkan politik “masa mengambang” dimana petani sebagai penduduk desa dilarang untuk berpolitik. Dan tidak hanya itu, mereka juga dilarang membentuk atau terlibat dalam organisasi diluar yang direstui oleh pemerintah. Kenyataan pada masa Orde Baru itu kemudian pelan-pelan melemah tetapi masalah lain muncul, rakyat potensial terseret dalam arus tekanan politik partisan.
Kenyataan berkenaan dengan ketiga kecenderungan utama diatas jelas menyumbang masalah membesarnya jumlah petani gurem (petani dengan pemilikan dan penguasaan tanah tidak lebih dari 0,2 hektar) dan petani tuna kisma (petani tanpa pemilikan dan penguasaan tanah pertanian), serta petani di luar Jawa yang tercerabut dari akar budaya aslinya karena diklaim Pemerintah sebagai perambah hutan dan terasing yang harus “dimodernkan” tapi dengan syarat melepas tanah adatnya. Gambaran masalah diatas adalah salah satu dari realitas (sektoral) kemiskinan struktural. Dan itu sesungguhnya memberi peringatan bahwa, kemiskinan tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan atau strategi yang menolak atau mengingkari realitas yang menjadi sumber penyebab kemiskinan itu sendiri. Pendekatan atau strategi yang instrumental, yakni mencoba mengurangi ciri-ciri kemiskinan yang ada pada komunitas miskin ternyata hanya mampu menyelesaikan secara jangka pendek. Dan faktanya, justru memberi peluang untuk kembali terjebak dalam kemiskinan yang lebih dalam. Mungkin ini sulit dipahami, kerja penanggulangan kemiskinan justru menghasilkan penguatan masalah kemiskinan.
Definsi kemiskinan memanglah beragam. Sangat bergantung pada cara pandang. Namun realitas kemiskinan saat ini jelas didominasi dan diakibatkan oleh relasi yang timpang dalam arena tatanan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Dalam relasi yang timpang itu, kelompok masyarakat yang kurang memiliki akses dan tiada memperoleh penghormatan atau perlindungan atas hak-hak dasarnya semakin terdesak dalam jebakan proses pemiskinan. Dalam kelompok masyarakat yang rentan ini, secara khusus yang menerima kenyataan paling buruk dari proses pemiskinan adalah kaum perempuan dan anak-anak.

Pandangan Masyarakat Sipil tentang Kemiskinan
Seluruh proses yang dijalankan kalangan masyarakat sipil menegaskan fakta bahwa: (1) wajah kemiskinan sangat kompleks dan memiliki ciri kedalaman kemiskinan yang berbeda ditiap komunitas dan wilayah; (2) kemiskinan juga semakin meluas pada sektor dan komunitas tertentu karena tekanan eksternal, terutama terjadinya krisis ekonomi politik, yang muncul kepermukaan melalui fakta-fakta: membesarnya jumlah komunitas miskin kota yang hidup didaerah-daerah rawan kesehatan dan lingkungan; mahalnya akses pelayanan jaminan sosial di desa maupun kota, semakin lemahnya kontrol petani kecil atas tanah pertanian, swastanisasi pengelolaan hutan negara yang mendesak perumusan kembali hubungan petani sekitar hutan dengan “pengelola” hutan negara yang ternyata juga tidak menguntungkan petani, banyaknya kasus perdagangan manusia (perempuan dan anak perempuan sebagai tenaga kerja tanpa dokumen di negera lain, korban eksploitasi seksual di dalam dan di luar negeri); (3) Yang disebut terakhir ini, juga memperkuat fakta semakin meluasnya wilayah feminisasi kemiskinan. Fakta-fakta kunci itu dalam konsultasi publik yang terselenggara, ternyata juga didapati kenyataan ironi, bahwa respon pemerintah meski telah memahami kenyataan kemiskinan yang multidimensi¬¬ dilaksanakan dengan pendekatan yang menyeragamkan fakta kemiskinan, teknokrat_berorientasi proyek, dan menggantungkan pada dukungan dana donor. Akibatnya kemudian, persoalan-persoalan penanggulangan kemiskinan semakin memburuk.
Dari keseluruhan proses yang dijalankan kalangan masyarakat sipil itu pula dapat dinyatakan bahwa pilihan tindakan penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah sangat reduksionistik, dianggap tidak memadai lagi, dan untuk itu, perlu ditinggalkan. Roh dan gagasan strategi melawan proses pemiskinan, oleh karena itu, harus dipandu oleh fakta obyektif dari realitas kemiskinan yang terjadi. Dari beberapa proses penelitian dan konsultasi publik yang telah dilakukan, fakta obyektif itu lebih didominasi oleh realitas kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural tersebut sangat jelas sebagai perampasan daya kemampuan manusia atau kelompok manusia yang terjadi secara sistematis sehingga membuat manusia dan kelompok manusia itu terjebak dalam kondisi yang memiskinkan. Sehingga yang terjadi lebih merupakan proses pemiskinan, dan proses pemiskinan itu merupakan tekanan eksternal. Ada kemungkinan akibat­akibat dari tekanan eksternal itu juga diinternalisasi yang kemudian secara gegabah disebut kebudayaan kemiskinan.
Perampasan daya kemampuan ini mencakup : (a) Perampasan daya social, Meliputi perampasan akses pada basis produksi rumah tangga, seperti informasi, pengetahuan dan keterampilan, partisipasi dalam organisasi, dan sumber-sumber keuangan. Akses terhadap daya social ini juga disebabkan tekanan ekspansi modal dan globalisasi ekonomi. (b) Perampasan daya politik, Meliputi perampasan akses individu pada pengambilan keputusan politik, bukan saja pada kemampuan untuk memilih, tetapi juga untuk menyuarakan aspirasi dan bertindak secara kolektif. Tekanan ini lebih merupakan akibat dari operasi watak otoritarian sang rezim dan para pendukung koersifnya. (c) Perampasan daya psikologis, Yaitu tekanan eksternal yang menyebabkan hilangnya perasaan individual mengenai potensi dirinya, baik dalam kancah sosial maupun politik. Sehingga si individu ini tidak ada peluang untuk mampu berpikir kritis. Tekanan eksternal diinternalisasi si miskin menjadi kesadaran palsu.
Dari perampasan daya tersebut kemudian melahirkan Kemiskinan Struktural. Ada lima dimensi pokok dari kemiskinan struktural, yaitu: (a) Dimensi kekuasaan, Yang mengatur pola hubungan kekuasaan (power relation), baik hubungan kekuasaan politik, ekonomi, maupun kebudayaan. (b) Dimensi kelembagaan, Dimensi kelembagaan bukan saja pemerintahan, tapi lembaga tradisional mempunyai pengaruh yang signifikan dengan kemiskinan struktural. Seperti bagaimana situasi lembaga atau pengorganisasian yang mempersatukan perjuangan kepentingan kelompok miskin. (c) Dimensi kebijakan, Termasuk dalam kategori ini adalah produk perundang-undangan serta keputusan-keputusan lembaga pemerintah yang mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung kepada proses pemiskinan dan program penanggulangan kemiskinan. Dimensi kebijakan sekarang ini sama sekali tidak menyentuh dimensi kemiskinan, semisal kebijakan investasi lebih didorong pada investasi skala besar bagi mereka yang sarat modal, dan berorientasi pada pikiran-pikiran teknologi tinggi daripada menggunakan tenaga orang banyak (padat karya). (d) Dimensi Budaya, Termasuk dalam kategori ini adalah unsur-unsur budaya: nilai, sikap, perilaku budaya, khususnya yang berkembang sebagai reaksi terhadap tekanan eksternal masyarakat miskin. Dewasa ini yang signifikan muncul adalah direproduksinya budaya yang akhirnya membuat orang terperangkap pada kemiskinan. (e) Dimensi Lingkungan Fisik, Yang berhubungan dengan potensi sumber daya alam di suatu daerah. Daerah subur tentu saja dapat memberi peluang untuk tidak terlalu miskin.

Melacak Sumber-sumber Pemiskinan
Untuk bisa menarik pelajaran dari masa lalu, penting bagi kita mengidentifikasi secara ringkas sistem, kelembagaan dan proses-proses yang menghasilkan kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama 3 dekade memang menghasilkan manfaat ekonomi yang luas dan menetes kebawah, mengapa sebagian besar rakyat Indonesia masih miskin? Mengapa dalam masa puncak investasi dan pertumbuhan ekonomi, upah riel buruh dan tenaga kerja, baik di industri maupun di pertanian, masih demikian rendah? Mengapa investasi kesehatan dan pendidikan Indonesia masih paling rendah dibandingkan negara tetangganya? Mengapa sektor pertanian Indonesia tidak tangguh? Mengapa kaum petani kita masih terus hidup subsistem? Dan mengapa dimasa orde baru, media massa, sistem politik dan rakyat secara umum tidak berhasil mengoreksi secara mendasar sistem dan kebijakan?
System penanganan kemiskinan oleh pemerintah menunjukkan bahwa, kelembagaan dan proses politik ekonomi dan sosial bermuara kepada konsentrasi kuasa, konsentrasi pengambilan keputusan, dan konsentrasi penguasaan atas aset-aset ekonomi negara dan sumberdaya sosial lainnya oleh segelintir elit politik dan ekonomi. Di satu pihak terjadi konsentrasi kekuasaan politik dan ekonomi, di satu sisi, menghasilkan perampasan dan pelumpuhan ekonomi, politik dan sosial dipihak rakyat. Sistem perusahaan negara dan pemilikan oleh negara telah dibajak dan diselewengkan menjadi pemilikan elit disekitar penguasa dan kerabatnya. Ekonomi "pasar" lebih berpihak kepada kelompok Soeharto, kroninya dan para konglomerat. Tampak bahwa aspek "efisien" yang lebih diandalkan ketimbang aspek keadilan. Kita melihat bahwa setidaknya lima unsur kebijakan, kelembagaan dan proses-proses sosial ekonomi yang langsung bertanggung jawab atas proses pemiskinan dan kemiskinan. Empat unsur itu adalah : (a) politik otoriter dan sentralisme, (b) ekonomi pasar, (c) Penanggulangan Kemiskinan dimasa lalu, (d) Peranan donor dan lingkungan ekonomi global.

a. Otoriterisme dan sentralisasi kekuasaan
Politik otoriterisme telah menghasilkan stabilitas politik, dengan biaya sosial dan politik yang tinggi. Politik otoriter melihat rakyat sebagai obyek dan hamba sahaya, bukan warga negara, pembayar pajak dan konsumen yang memiliki hak penuh dan bebas berpendapat. Politik otoriter lebih bertumpu pada pemaksaan dan kekerasan ketimbang supremasi hukum dan kompetisi ide-ide. Hal tersebut telah mematikan ide dan cara baru, yang sangat diperlukan bagi Indonesia untuk berubah kearah yang lebih baik. Sistem hukum tidak jalan sama sekali karena militer dan birokrasi yang menjadi penentu. Aspirasi rakyat yang muncul akan dicap sebagai lawan politik dan akan dihukum sebagai subversif. DPR hanyalah hiasan demokrasi dan berguna menjadi tukang stempel bagi rencana dan keputusan presiden. Media massa disensor, ketakutan dan tidak bisa berfungsi sebagai pengawas dan koreksi.
Sementara itu, sentralisme ekonomi dan politik telah berakibat pada ketidakadilan dan ketimpangan di propinsi-propinsi. Hutan, tambang dan kekayaan alam lainnya menjadi monopoli Jakarta dengan kewenangan yang tak terkontrol. Akhirnya, politik otoriter telah meninggalkan luka-luka pelanggaran HAM dimasa lalu. Dari Marsinah sampai mahasiwa Trisakti. Dari Aceh sampai Papua. Dari Buruh sampai petani pernah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia.

b. Ekonomi Pasar dan KKN
Di Indonesia, ekonomi pasar yang berjalan ternyata tidak efisien dan tidak adil. Hal ini disebabkan karena tidak adanya regulasi dan institusi regulasi. Ekonomi Indonesia lebih banyak didominasi oleh konglomerasi dan usaha besar ketimbang usaha skala menengah dan kecil (UMKM). Kesempatan ekonomi dan penguasaan aset produktif dikuasai oleh kaum kroni sang penguasa dan elit politik, ketimbang rakyat. 30 tahun pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah merubah Indonesia, dimana sumbangan sektor industri dan jasa makin lama menjadi makin besar. Industri yang berorientasi ekspor, sumberdaya alam yang melimpah dan tenaga kerja murah menjadi sebagai faktor-faktor andalan. Sektor pertanian dan pedesaan hanya menjadi pendukung industrialisasi yang bertumpu pada kota. Keberhasilan dalam hal pendidikan dasar dan kesehatan hanya berhasil dari segi kuantitas dan bukan kualitas. Ekonomi yang sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi terbukti hanya melahirkan ekonomi konglomerat. Kesempatan ekonomi dan pemilikan modal hanya diberikan kepada pemain-pemain besar yang dekat dengan kekuasaan. Ekonomi ini ternyata rapuh dan tidak mampu menahan guncangan krisis. Liberalisasi keuangan telah menambah kerawanan ekonomi.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang meluas dan mengakar membuat ekonomi biaya tinggi dan membuat rakyat terus menerus dirugikan. Selama berpuluh tahun rakyat Indonesia sebagai warga negara, konsumen, dan pembayar pajak, guru, buruh dan petani telah dirugikan oleh korupsi. Mulai dari kasus sistemik dan bersifat politik seperti pada kasus bank century, Nazaruddin, Gayus Tambunan sampai kasus kecil dan sehari-hari seperti bikin KTP, SIM, Paspor dan surat kelahiran, yang merupakan layanan umum, semuanya melibatkan korupsi. Dana-dana utang dan bantuan serta dana pembangunan hanya akan habis dinikmati oleh kaum elit dan politisi. Korupsi juga tentu saja juga menyangkut dana-dana utang dari luar negeri, termasuk dari Bank Dunia.

c. Penanggulangan Kemiskinan Di Masa Lalu
Ciri pokok dari penanggulangan kemiskinan pemeritah adalah berikut : Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan sendirinya akan membereskan kemiskinan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh segelintir konglomerat, maka manfaat ekonomi akan menetes kebawah dalam bentuk lapangan kerja dan upah dan kenaikan daya beli secara umum akan mengangkat kaum miskin yang umumnya miskin modal, miskin pendidikan dan miskin kesempatan ekonomi lainnya. Tidak diutamakan tujuan redistributif dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Kedua, kemiskinan lebih banyak dilihat sebagai kurangnya pendapatan dan kurangnya konsumsi. Tidak heran jika garis kemiskinan yang dipakai adalah pendapatan dan jumlah kalori yang dikonsumsi. Ketiga, kemiskinan dianggap sebagai gejala kantong-kantong kemiskinan, karena itu lahirlah program IDT (Inpress Desa Tertinggal) yang memerlukan uluran tangan dan dana pemerintah.
Program-program tersebut dilaksanakan dalam konteks negara otoriter dan birokrasi yang sentralisitik. Tidak ada laporan independen yang menolak atau mengkonfirmasi hasil-hasil program semacam IDT, Gerdu Taskin dan sejenisnya. Namun, kita bisa melihat bahwa alam pikiran dari proyek semacam itu adalah negara memberi derma, kepada mereka yang miskin dan papa. Kelemahan pokok dari cara-cara semacam itu adalah penanggulangan kemiskinan sekadar sebagai "kumpulan proyek-proyek", dan cenderung dilihat sebagai "proyek dari duit pemerintah", tanpa partisipasi dan legitimasi yang luas dari berbagai kekuatan masyarakat. Program Jaring pengaman sosial (JPS) adalah contoh yang sudah klasik. Salah target, kebocoran, inefisiensi dan soal-soal lain yang kontraproduktif dengan tujuan JPS itu sendiri.
Dengan kata lain, problem kemiskinan lebih dilihat sebagai nasib buruk, soal warisan, soal kebodohan dan kemalasan individu dan juga masalah sumberdaya alam yang jelek. Kemiskinan tidak dilihat sebagai kemiskinan struktural: kemiskinan sebagai akibat dari proses-proses ketidakadilan ekonomi dan politik dalam hal akses dan kontrol serta politik alokasi sumberdaya dan pengambilan keputusan.

d. Peranan Donor dan Kreditor
Pesan yang ingin saya sampaikan dari bagian ini adalah, bagaimana mungkin suatu negara menegakkan komitmen untuk penanggulangan kemiskinan jika negara tersebut telah kehilangan kemampuannya untuk menentukan prioritas bagi dirinya sendiri. Upaya penanggulangan kemiskinan menjadi sangat tergantung pada rekomendasi para donor dan kreditor itu.

Nilai Dasar Strategi Melawan Pemiskinan
Telah menjadi pemahaman umum bahwa program dan strategi penanggulangan kemiskinan akan lebih berhasil maksimal jika melibatkan simiskin itu sendiri sebagai bagian dari seluruh proses. Namun tekanan sistem dan struktur yang dipelihara oleh pemerintah selama bertahun-tahun telah memaksa mereka kehilangan kepercayaan akan diri dan potensi dirinya. Kapabilitasnya dihancurkan sehingga mereka betul yakin bahwa mereka tiada hak dan berhak atas kehidupan yang lebih baik. Dengar pernyataan mereka: “mimpi untuk hidup lebih baik pun, takut.” Realitas kemiskinan saat ini sesungguhnya memberi kenyataan yang sangat dalam dari proses penghancuran martabat manusia. Kapabilitas manusia yang bebas adalah peluang satu-satunya bagi manusia untuk mengekspresikan potensi dirinya sebagai manusia bermartabat. Jika kapabilitas inipun dikhianati oleh cara-cara pembangunan yang salah, maka hancurlah martabat manusia itu. Dan pada titik itu, sesungguhnya pembangunan tidak memberi makna apa-apa bagi kemanjuan kemanusiaan di bumi ini. Pembangunan seharusnya adalah ruang bagi setiap manusia untuk berekspresi, menyatakan kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya menjadi lebih baik. Kebebasan manusia akan memberi jaminan bagi pencapaian tujuan sejati pembangunan.
Yang menjadi soal, kenapa kemiskinan terus mengakar? Karena kaum miskin tidak memiliki kemampuan menghadapi perubahan yang cepat dan radikal itu. Pembangunan harus dimaknakan sebagai saling berbagi pengetahuan. Para agen perubahan harus berbagi pengetahuan dengan rakyat, terutama simiskin, sehingga proses dan dampak pembangunan dapat diantisipasi. Maknanya kita tidak usah berlelah-lelah mempersoalkan perubahan sosial atau pembangunan yang ada selama ini, yang diperlukan adalah penyesuaian terhadapnya. Dalam proses penyesuaian itu, kaum miskin harus memperoleh tempat untuk mengambil putusan bagi dirinya sendiri. Mempromosikan kaum miskin untuk mengatasi masalah mereka sendiri adalah gagasan bagus, tapi menjadi kurang bermakna jika diawali dengan menyalahkan kaum miskin. Sementara itu sudah menjadi paham umum juga bahwa empati terhadap atau kerjasama dengan kaum miskin yang diawali dan diikuti dengan keraguan, ketidakpercayaan atau menyalahkan kaum miskin adalah politik ilmu pengetahuan yang membius. Karena yang terjadi tidak lagi berbagi ilmu pengetahuan, tapi pemilik ilmu pengetahuan akan mendominasi yang dianggap tidak memiliki ilmu pengetahuan. Terlebih lagi, pertanyaan tentang sistem dan struktur yang memperkokoh akar kemiskinan dan telah menjadi karakteristik internal bagaimana negara ditegakkan juga tidak dipersoalkan.
Lalu bagaimana dengan gagasan perspektif hak. Adakah ia memiliki kemampuan untuk menjadi paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan? Strategi yang dapat dikembangkan dalam paradigma perspektif hak ini adalah: Pertama, memastikan hak-hak dasar kaum miskin diakui. Tidak cukup hanya dengan dinyatakan dalam konstitusi (secara hukum), tapi ia harus dipastikan dalam setiap tindakan bahwa hak-hak dasar kaum miskin tidak akan dikhianati. Pengkhianatan terhadap hak-hak dasar kaum miskin itu biasanya terjadi dalam akvitas yang menolak ekspresi kaum miskin yang menyatakan kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri, atau: dalam aktivitas yang diskriminatif. Pengakuan terhadap hak-hak dasar kaum miskin ini akan mengarah pada pembentukan relasi baru tentang bagaimana kebijakan penanggulangan kemiskinan diputuskan. Kedua, hak-hak dasar kaum miskin itu tidak dapat diberikan atau dicabut. Maka peran Negara disini menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar kaum miskin itu. Aktualisasi hak-hak dasar kaum miskin itu tidak perlu menunggu atau tergantung pada kemampuan atau kemauan politik Negara untuk berpihak pada kaum miskin. Masalah dalam kemampuan atau kemauan politik Negara tidak boleh membuat kaum miskin kehilangan hak-hak dasarnya. Dan terlepas dari masalah kemampuan dan kemauan politik Negara, kaum miskin harus tetap memiliki hak-hak dasarnya secara utuh. Ketiga, dalam kerangka Negara melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak kaum miskin, maka Negara harus peka dan aktif untuk melakukan tindakan politik tanpa diskriminasi. Keempat, wilayah strategis dalam penanggulangan kemiskinan sangat bergantung pada konteks wilayah dan sector. Kenyatan kemiskinan di perdesaan adalah karena ketiadaan akses terhadap sumber daya yang memberi keamanan bagi keberlanjutan hidup. Pada kasus tertentu, yang diperlukan adalah penciptaan keadilan sosial bagi pemilikan dan penguasaan sumber daya tanah pertanian. Pada kasus lain, adalah penciptaan keadilan dalam relasi penggarapan tanah pertanian. Namun yang pasti, langkah-langkah kearah sana harus terjamin secara hukum dan memberi keamanan bagi keberlanjutannya. Di mana “hukum” itu juga memastikan bahwa kaum petani miskin terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Dan “hukum” itu juga memastikan akan menghukum pejabat publik yang menolak keterlibatan kaum petani miskin itu untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Sementara itu, wilayah dan sektor kemiskinan di perkotaan juga menampakkan wajah yang beda. Maksud dari bagian ini adalah: kebijakan penanggulangan kemiskinan tidaklah tunggal dan seragam, ia sangat tergantung pada kepentingan dan kebutuhan kaum miskin di mana ia tinggal dan bekerja.



Empat Pilar Demokratisasi Melawan Pemiskinan
Kekayaan yang melimpah ditengah ketimpangan dan kemelaratan adalah tidak bermoral dan tidak adil. Dalam konteks ini, restrukturisasi relasi politik dan redistribusi kekayaan adalah penting jawaban atas ketimpangan dan pemiskinan. Restrukturisasi bisa menjadi menjadi jalan bagi penerjemahan kembali hubungan rakyat dengan negaranya yang lebih adil. Dan sementara itu, redistribusi atas kuasa, aset, kesempatan ekonomi dan sosial dapat dijadikan sebagai jawaban atas marjinalisasi, ekslusi dan diskiriminasi.

a. Restrukturisasi Pelasi Politik
Sejak 1999, Indonesia memiliki demokrasi multi partai dan kebebasan pers. Namun demokrasi yang subtantif dan partisipatori masih belum jalan. Masih terlalu banyak masalah yang belum diproses, diolah dan apalagi dipecahkan. Agar demokrasi menjadi demokrasi yang subtantif, mampu mendukung perang melawan pemiskinan dan kemiskinan, maka parlemen dan pemerintah wajib memulai menata ulang relasi politik dimana sistem dan kelembagaan politik dapat disediakan dan bertanggung jawab untuk memecahkan soal-soal yang menjadi hajat hidup orang banyak, pemiskinan dan kemiskinan.
Penataan ulang relasi politik diatas haruslah memberi porsi yang sah dan layan bagi penguatan hak­hak asasi rakyat. Di sini redistribusi kuasa rakyat dapat diwujudkan dalam (a) Memasukan pasal­pasal hak asasi manusia dalam amandemen UUD 45 secara utuh untuk jaminan kebebasan dan perlindungan hak sipil, politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya. (b) Perlunya dukungan yang kuat terhadap reformasi sistem hukum yang kuat dalam konstitusi, pengadilan korupsi dan sistem perlindungan saksi. (c) Perlunya kebebasan informasi bagi warga negara, termasuk kebebasan pers dimasukkan dalam revisi konstitusi. (d) Perlu adanya yang menjamin hak-hak rakyat dalam kebebasan politik, jaminan layanan kesehatan dan pendidikan, jaminan memperoleh kerja dan sumber daya. (e) Perlunya ormas Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, serikat buruh, serikat petani, organisasi sosial lainnya untuk dilibatkan dalam komisi penanggulangan kemiskinan yang independen.

b. Redistribusi kekayaan
Redistribusi kekayaan ini meliputi: (a) pembaruan agraria; (b) pajak dan anggaran yang prorakyat; (c) pendidikan dan kesehatan. Ketiga hal utama ini merupakan wilayah penting bagi redistribusi kekayaan.

c. Reorientasi Pengelolaan Ekonomi: Menuju Ekonomi Kerakyatan
Tujuan ekonomi kerakyatan adalah memandirikan ekonomi nasional, membuka kesempatan ekonomi bagi semua rakyat, perimbangan pengelolaan keuangan negara, baik dalam konteks antara usaha kecil, menengah dan besar, ataupun antara pusat dan daerah, mengadilkan pemilikan dan menghapuskan ketimpangan pemilikan aset negara, memperkuat peranan negara dalam mengendalikan atau mengatur pasar.
Ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk memiliki akses sebesar-besarnya terhadap asset modal: tanah, kredit, keuangan, mapun dan produksi, tanah, teknologi, sumber daya alam, dan lain-lain yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan. Kebijakan-kebijakan tersebut akan menghindari penumpukan modal dan aset produksi pada segilintir orang, serta sentralisasi pengelolaan keuangan negara (penghisapan daerah oleh pusat) yang tidak memberikan perlindungan terhadap hal-hal diatas, akan menyebabkan masyarakat miskin akan terus termarginalisasi, terampas dayanya.
Strategi ekonomi kerakyatan dapat dicirikan sebagai berikut: (a) peningkatan disiplin pengelolaan keuangan negara dengan sasaran utama penanggulangan KKN dalam segala bentuknya, (b) penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme persaingan yang berkeadilan. (c) peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah. Hal ini terutama harus diselenggarakan dengan melakukan pembagian pendapatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan dengan mengikutsertakan pemerintah daerah sebagai pemilik saham perusahaan-perusahaan eksplorasi sumberdaya alam yang terdapat di daerah. (d) pembaharuan UU koperasi dan pendirian koperasi-koperasi sejati dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan. Koperasi sejati tidak sama dengan koperasi 'persekutuan majikan' yang keanggotaannya bersifat tertutup dan dibatasi pada segelintir pemilik modal kecil sebagaimana saat ini banyak terdapat di Indonesia.


“Wes sakmunu wae yo”


Bahan : Koran dan TV

Rabu, 02 Februari 2011

PAKAN ALTERNATIF UNTUK BUDIDAYA IKAN

PAKAN 1
Biasanya, para peternak akan meramu pakan yang terdiri dari :
1. Dedak halus (bekatul) 20%,
2. Ampas tahu 20%,
3. Menir atau jagung giling 20%,
4. Ayam broiller mati/ ikan rucah 35%,
5. Tepung tapioka 5%
6. Vitamin C serta B Complex.
7. Kuning telur
Ayam broiller atau ikan tadi dibersihkan dan hanya diambil dagingnya. Tulang, jeroan serta kulit dibuang. Selanjutnya bahan-bahan itu digiling menggunakan gilingan daging manual. Hasilnya berupa adonan yang liat. Adonan dibentuk lempengan seperti pempek Palembang lalu dikukus sampai benar-benar masak. Tanda kemasakan adalah,apabila ditusuk, sudah tidak ada bagian yang berwarna keputih-putihan. Pakan ramuan sendiri inilah yang dijadikan menu sehari-hari lele tersebut. Baik yang masih berupa burayak, kebul, putihan maupun lele konsumsi. Bedanya, pada pakan burayak, komposisi protein hewaninya diperbesar menjadi 50% dengan ditambah kuning telur. Telur-telur ini pun merupakan telur afkir yang kondisinya masih bagus, yang dibeli di pengusaha penetasan telur ayam maupun itik. Dedak halus, ampas tahu dan menir atau jagungnya dikurangi hingga masing-masing tinggal 15%.
Pakan berupa "kue kukus" tersebut bisa tahan disimpan di kulkas sampai dengan 1 minggu. Hingga produksi pakan yang sangat merepotkan ini bisa dilakukan selang 1 minggu sekali, 3 hari sekali atau sesuai dengan kesempatan dan kebutuhan. Cara pemberian pakan cukup dengan ditaruh dalam tampah, nyiru atau nampan kayu dan dimasukkan ke dalam bak atau kolam. Tampah, nyiru atau kotak kayu ini dibuat tiga susun. Tampah paling bawah berukuran paling besar, yang ditengah tanggung dan yang di atas paling kecil. Tiga tampah ini diikat kawat dengan jarak sekitar 15 cm. dan diberi gantungan untuk mengikatkannya di tiang pancang, hingga tampah paling atas hanya masuk ke dalam air sebatas 10 sd. 20 cm. Pakan hanya ditaruh pada tampah bagian atas. Tetapi karena lele itu akan makan secara berebutan, maka pakan akan berhamburan dan jatuh pada tampah kedua. Di sini pun pakan diperebutkan dan kembali berhamburan. Tetapi karena pakan di tampah kedua hanya merupakan ceceran dari tampah diatasnya, maka yang jatuh ke tampah ketiga pun volumenya terbatas.
Harga dedak halus, saat ini Rp 800,- per kg. (kering). Harga ampas tahu sekitar Rp 150,- (basah). Harga ayam mati Rp 1.000,- per ekor bobot 1,5 kg. kotor atau 0,75 kg.daging. Menir atau jagung giling Rp 1.500,- per kg. Tepung tapioka Rp 2.000,- per kg. Vitamin-vitamin senilai Rp 50,- per kg. ramuan. Dengan komposisi dedak halus, ampas tahu dan menir 20%, ayam 35% dan tepung tapioka 5%, maka nilai pakan dengan bobot 10 kg adalah Rp 10.900,- atau per kg. basah Rp 1.140,- Biaya produksi (tenaga kerja + bahan bakar) sekitar Rp 200,- per kg. Hingga total nilai pakan Rp 1.340,- bobot basah atau bobot kering Rp 2 000,- Dengan asumsi harga pakan pabrik Rp 2.500,- per kg, maka harga pakan ramuan sendiri ini lebih murah Rp 500,- per kg. Harga lele di tingkat peternak, saat ini Rp 5.500,- dari harga tersebut, peternak mengambil marjin sekitar 20%, hingga harga pokoknya Rp 4.400,- Dari harga pokok tersebut, sekitar 70% atau Rp 3.080,- merupakan nilai pakan. Harga ini menggunakan patokan perhitungan pakan pabrik dengan bobot 1,232 kg. Apabila menggunakan pakan ramuan sendiri dengan nilai Rp 2.000,-per kg, maka nilai pakan itu hanya Rp 2.464,- Berarti, dari tiap kg. ikan lele yang diproduksi menggunakan pakan ramuan sendiri, peternak memperloleh tambahan marjin Rp 616,- Dengan volume pembesaran lele 10 ton dalam jangka waktu 3 bulan, maka marjin tambahan yang bisa diperoleh peternak dari penggunaan pakan tambahan adalah Rp 6.160.000,-
Perhitungan ramuan pakan dengan konversinya pasti akan sangat bervariasi, tergantung lokasi peternakan dan kejelian peternak untuk memperolehbahan pakan yang berkualitas sama baik tetapi dengan harga yang jauh lebih murah. Kelebihan penggunaan pakan buatan sendiri adalah, peternak bisa mengatur komposisi protein hewani maupun nabatinya, sesuai dengan ketersediaan bahan yang ada. Peternak juga bisa mempertinggi prosentase protein hewaninya agar pertumbuhan lele bisa dipercepat, namun tanpa terlalu besar menambah beban biaya pakan akibat pembengkakan nilai protein hewani terebut. Ini semua memerlukan kejelian yang luarbiasa, hingga keong sawah atau darat, kepompong ulat sutera dan cacing tanah misalnya, akan mampu memperbesar marjin. Pemeliharaan cacing tanah, paling tinggi hanya boleh menghabiskan biaya produksi Rp 2.000 per kg. Ini dimungkinkan sebab komponen pakan cacing adalah limbah organik. Meskipun nilai gizi cacing tanah terlalu tinggi untuk dimanfaatkan bagi pembesaran lele. Cacing tanah lebih cocok untuk pakan pembesaran ikan yang nilai ekonomisnya juga lebih tinggi dari lele.
PAKAN 2
Untuk menghasilkan 1 ton ikan lele siap konsumsi, jika menggunakan pakan pellet menghabiskan pakan 1 ton, sedangkan apabila menggunakan pakan organik hanya membutuhkan 2.300 liter. Sementara bobot dalam 1 kilogram ikan lele yang diberi pakan pelet berjumlah antara 8 hingga 9 ekor, sedangkan yang diberi pakan organik 7 hingga 8 ekor. Saat ini harga ikan lele di pasaran mencapai 14.000 rupiah per kilogram.
Untuk menghasilkan pakan lele organik ini, peternak hanya mengumpulkan limbah kotoran sapi ke dalam bak yang dicampur air beserta enzim bakteri silanace untuk mempercepat proses penguraian kotoran sapi. Selang lima hari kemudian, dengan proses aerasi, kotoran sapi yang telah berbentuk cairan siap diberikan ke ikan lele dengan cara disiramkan.

PAKAN 3

Cara Aplikasi yang kami berikan adalah sebagai berikut dibawah ini :
Lahan di Pupuk NPK Organik , Dosis 600 KG – 1.000 KG / HA. Kemudian didiamkan selama 10 hari agar tercipta ZOOPLANKTON dan PHYTOPLANKTON, dan hari ke-11 bibit ikan baru dimasukan. Pemberian PAKAN baru dilakukan setelah kira – kira ZOOPLANKTON dan PHYTOPLANKTON berkurang atau habis.
Cara membuat pakan ikan buatan ( Per 110 KG ) :
bahan – bahan :
katul : 100 kg ( harga rp. 1.500/kg )
tepung gaplek : 10 kg ( harga rp. 1.500/kg )
garam kasar : 2 kg ( harga rp. 1.000/kg )
tesaki cair : 4 botol/0,5 liter ( suplemen organik ) – ( harga rp. 30.000/botol )
Garam Kasar/Grosok dihaluskan kemudian dicampur RATA dengan KATUL dan TEPUNG GAPLEK, setelah itu dikukus sampai warna coklat tua. 3 Botol TESAKI CAIR dicampur dan diaduk RATA dengan 50 liter Air matang / Air isi ulang. Hasil KUKUSAN dicampurkan merata dengan TESAKI + AIR, setelah itu dimasukan mesin pellet atau Gilingan Daging kemudian dikeringkan ( Dijemur atau di Oven pakai Oven Kue ).

PAKAN 4
Tanaman yang bisa untuk Pakan Ternak sekaligus Kesuburan Tanah (contoh di Madura):
1. Rumput gajah rakus unsur hara
2. Jagung
3. Kleresede
4. Kacang-kacangan
5. Kaliandra
6. Ketela rakus unsur hara
7. Lamtoro gung
Pengolahan Pakan Ternak:
I.Hay
Mengeringkan hijauan/tanaman Cara alami (dengan sinar matahari) maupun menggunakan mesin pengering Kandungan air 12-20% ? tidak tumbuh jamur. Tujuan: penyediaan hijauan untuk pakan ternak pada saat kritis & saat ternak diangkut jarak jauh Dapat diperjualbelikan Kualitas hijauan akan menurun apabila tertimpa hujan Pengeringan terlalu lama mengakibatkan kehilangan nutrisi & mudah tumbuh jamur
Syarat tanaman yang dibuat Hay:
1. Bertekstur halus
2. Dipanen pada awal musim berbunga
3. Dipanen dari area yang subur
Pengawet:
1.Garam dapur 1-2%:
mencegah timbulnya panas karena kandungan uap air mengontrol aktivitas mikroba menekan pertumbuhan jamur
2.Amonia cair
mencegah timbulnya panas meningkatkan kecernaan hijauan memberikan tambahan Nitrogen
Kriteria Hay yang baik:
1.berwarna tetap hijau meskipun ada yang kekuning-kuningan
2.daun yang rusak tidak banyak
3.bentuk hijauan masih tetap utuh & jelas
4.tidak terlalu kering sebab akan mudah patah.

II.Silase
Hijauan makanan ternak ataupun limbah pertanian yang diawetkan dalam keadaan segar melalui proses fermentasi Kandungan air: 60-70% Tujuan: pemberian hijauan sebagai pakan ternak dapat berlangsung secara merata sepanjang tahun, atau untuk mengatasi kekurangan pakan di musim paceklik dalam silo Silo: tanah, beton, baja, anyaman bambu, tong plastik, drum bekas, dsb. Pencacahan: memutus/menghentikan proses respirasi/pernafasan pada tanaman agar kandungan air hijauan dapat mencapai titik dimana aktivitas air dalam tanaman dapat mencegah perkembangan mikroba
Prinsip pembuatan Silase:
1. Keadaan hampa udara ? pemadatan hijauan yang telah dicacah dengan cara ditekan atau diinjak-injak
2. Terbentuk suasana asam saat penyimpanan ? penambahan bahan pengawet: garam, gula, dedak, bakteri
3. Tempat penyimpanan (silo) jangan ada kebocoran & harus tertutup rapat yang diberi pemberat
Jenis hijauan yang dapat dibuat Silase: rumput, sorghum, jagung, biji-bijian kecil
Kriteria Silase yang baik:
1.pH sekitar 4 (asam)
2.Bau segar atau bukan berbau busuk
3.Warna hijau masih jelas
4.Tidak berlendir
5.Tidak berbau mentega tengik.

III. Amoniasi atau Urease
Melepaskan serat kasar dari hijauan agar dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak
Kandungan gizi:
Jerami: protein 3-5%, kecernaan 25-45%, kadar vitamin & mineral rendah (jangan diberikan pada ternak perah atau yang sedang menyusui)
Rumput gajah: protein 12-14%
Keuntungan Amoniasi:
1.Kecernaan meningkat
2.Protein jerami meningkat
3.Menghambat pertumbuhan jamur
4.Memusnahkan telur cacing yang terdapat dalam jerami
Pemberian Urea 3% dari berat jerami atau air kencing secara berlapis lalu dipadatkan
Kriteria Amoniasi yang baik:
1.Berwarna kecoklat-coklatan
2.Kering
3.Jerami padi hasil amoniasi lebih lembut dibandingkan jerami asalnya.

PAKAN 6
1. dedak halus (karbohidrat)
2. tepung kedelai (protein)
3. tepung jagung (karbohidrat)
4. bekicot (protein)
5. cacing (protein)
6. tepung daun pepaya, lamtoro, (protein dan karbohidrat)
Komposisi :
1. 1,2,3,dengan porsi 50 :20 :30
2. 1,2,4 dengan porsi 50 :20 :30
3. 1,2,5 dengan porsi 50 :20 :30
4. 1,2,6 dengan porsi 50 :20 :30
cara membuat
1. semua bahan dicampur
2. aduk rata dengan air panas
3. lemparkan ke kolam dalam bentuk basah (untuk satu hari saja)

PAKAN 7

Cara membuat pakan ikan lele
Tepung teri
Tepung udang
Tepung darah.
Tepung ikan
Tepung kedelai
Tepung jagung tepung singkong
Minyak ikan.
Tepung kanji
Bila di tempat anda sulit mencari bahan2 di atas, anda bisa membuatnya dengan 3bahan yg ada di atas. Misal : TEPUNG IKAN, MINYAK IKAN DAN JAGUNG GILING. bisa juga di tambah tepung kanji agar bahan bisa merekat. Kenapa minyak ikan harus ada? Karena minyak ikan adalah salah satu penambah nafsu makan. kadang ikan tak mau makan pelet buatan sendiri karena tidak di campur dengan minyak ikan. jadi minyak ikan bisa dikatakan bahan utama dlm pembuatan pelet sendiri. Campur ketiga bahan tersebut sampai merata lalu tuangkan air hinga menjadi seperti pasta. dan ingat! usahakan dlm pembuatan pelet sebaiknya jangan terlalu encer. kemudian anda masukan kemesin cetak, klo tidak punya mesin bisa anda buat seperti cacing dengan tangan anda sendiri lalu potong pendek-pendek. setelah itu bisa anda keringkan. bila pelet / pakan ikan sudah kering atau sudah siap untuk di jadikan makanan ikan lele, taburkan secukupnya pada pagi dan sore hari.

PAKAN 8
Tapi ada cara lain untuk budidaya ikan lele yang lebih hemat biaya, yaitu dengan menggunakan “ kotoran Sapi “ sebagai pakan. Cara ini ternyata sangat baik untuk pertumbuhan ikan lele dan rasanya pun lebih gurih daripada ikan lele yang diberi pakan sentrat. Cara ini sangat populer di daerah Banyuwangi Jawa Timur. Dengan memberi pakan ikan lele secara Organik maka seakan lele hidup di alam bebas, dimana hidupnya dari makan bahan2 organik.
Hasil panen dari Budidaya ikan lele Organik dengan ikan lele non organik sangatlah berbeda. Ikan lele organic hasilnya bisa lebih panjang 20 – 35 cm. Warnanya juga berbeda, ikan lele organic biasanya warnanya agak kemerah-merahan terutama di bagian sirip dan insang. Sedangkan ikan lele non organic warnanya agak kehitam-hitaman.
Benih tersebut dipisahkan di kolam berikutnya selama dua minggu hingga benih berdiameter 10 milimeter. Dua minggu berikutnya, lele diseleksi untuk yang berukuran 20 milimeter. Sejak benih lele berdiameter 10 milimeter itu, kolam yang berisi air dicampur langsung dengan pupuk organik dari kotoran sapi hingga setinggi 20 centimeter.

PAKAN 9
Pengolahan limbah pertanian, termasuk limbah cair industri pengolahan banyak dikembangkan menggunakan proses fermentasi metan yang menghasilkan energi berupa gas metan. Belakangan ini telah dikembangkan kombinasi fermentasi metan dengan fermentasi hidrogen yang disebut perlakuan dua tahap (two-step treatment). Yakni perlakuan fermentasi hidrogen yang dilanjutkan dengan fermentasi metan. Satu kelompok 5 orang ilmuwan Jepang belum lama ini mencoba penggunaan campuran kotoran ternak (sapi) dengan limbah organik lainnya untuk perlakuan fermentasi satu dan dua tahap. Temuan-temuan mereka membuka peluang dan manfaat baru dalam kegiatan penanganan limbah organik. Kelompok ilmuwan tersebut, Hiroshi Yokoyama dkk dari tim riset daur ulang limbah dan tim riset pengendalian polusi pada Lembaga Nasional Ilmu Peternakan dan Lahan Rumput Badan Nasional Riset Pertanian dan Pangan Jepang menggunakan kotoran sapi sebagai campuran limbah organik lain karena kotoran hewan biasanya mengandung bakteri penghasil hidrogen. Sehingga pada fermentasi hidrogen tidak perlu menambahkan benih bakteri tersebut pada substrat yang akan difermentasi. Limbah organik yang digunakan sebagai substrat fermentasi secara bersama atau terpisah sangat beragam meliputi sisa-sisa makanan dari bahan serealia, daging, ikan, susu, kembang gula, telur, selai, sayuran dst. Pada fermentasi dua tahap, mereka menggunakan campuran kotoran sapi dengan makanan anjing sebagai substrat. Fermentasi tahap pertama berlangsung secara anaerobik selama 4 hari pada suhu 60oC. Dilanjutkan dengan tahap kedua dengan perlakuan penyesuaian pH menjadi 7,0-7,5 menggunakan larutan NaOH, dicampur dengan lumpur metanogenik dan ditambahi air, lalu dibiarkan selama 10 hari pada suhu 37oC.