sektor

RCN

Jumat, 27 Mei 2011

INDONESIA (ku sayang) INDONESIA (ku malang) “Tuan Tanah yang Menjadi Budak”

Oleh : A. Riza Hisfani


Kunci Makalah :
- Bahwa proses pemiskinan dan kemiskinan adalah hasil atau akibat dari proses-proses perampasan sumberdaya dan hak, tidak hanya menyangkut ketiadaan pendapatan atau income yang rendah. Dari dalam negeri, pemiskinan lebih banyak disebabakan oleh ketimpangan kuasa dan kekayaan, dan dari segi lingkungan luar, pemiskinan dan kemiskinan juga disebabkan oleh ketidakadilan dalam sisitem keuangan, bantuan dan perdagangan internasional.
- Di perlukan koreksi atas peranan negara dan pasar. Negara dan Pasar sama-sama bertanggungjawab atas pemiskinan dan kemiskinan. Strategi melawan pemiskinan dan kemiskinan haruslah mengoreksi negara dan pasar, sehingga lembaga-lembaga itu akan lebih bekerja dan berpihak kepada kaum miskin. Hal ini ditempuh lewat kontrol, transparansi dan memiliki akuntabilitas public.
- Di perlukan strategi baru, yang bersumberkan ada paradigma baru, yang lahir dari konsensus dikalangan masyarakat sipil dan gerakan sosial Indonesia. Suatu strategi yang berbasiskan hak-hak dasar manusia dan juga mengedepankan pentingnya mentransformasi gagasan penataan ulang relasi social, ekonomi, politik yang lebih adil. Dan dengan begitu, ikhtiar penanggulangan kemiskinan juga tidak lepas dari pemajuan hak asasi manusia, memperkuat pondasi keadilan sosial dan demokrasi.

A. Pendahuluan
Indonesia, lahir bukan secara kebetulan. Indonesia berdiri berdasarkan kompromi politik yang cukup alot. Unsur suku dan agama membidani terbentuknya Negara yang sering disebut surganya dunia. Dari suku kita bisa mendapati luasnya wilayah Indonesia dengan 32 Propinsi yang terbagi menjadi 73 Kota dan 268 Kabupaten, dari Sabang sampai Meraoke dan dari Nias sampai Rote. Hal ini kemudian melahirkan adanya istilah “kearifan lokal”. Sedangkan bila dilihat dari sisi agama, kita akan menjumpai dua karakter agama, yaitu agama ardi dan samawi yang kemudian menjadi idiologi (azas) bangsa ini yaitu pancasila “Ketuhanan yang maha esa”.
Sebelum Indonesia menjadi sebuah Negara, bangsa ini (Indonesia) memiliki penguasa-penguasa kecil dalam bentuk kerajaan-kerajaan. Tatanan kekuasaan dalam bentuk monarki absolute memang tidak lagi menjadi bentuk Negara kita. Namun secara sirri (samar-samar) ternyata Negara kita masih tetap menjadi ahli waris monarki absolute dengan status asobah bil ghoir.
“Demokrasi” adalah pilihan fanding father kita untuk mencerdaskan bangsa, mensejahterakan bangsa serta melindungi bangsa. Prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi mutlak dalam menilai benar-salah, hitam-putih, atau pemenang-pecundang. Antara kulit putih-hitam, badan tinggi-pendek, mata sipit-lebar, atau rambut kribo-lurus semuanya sama dimata demokrasi. Sebuah pondasi bangsa yang cukup kuat serta berani, mengingat banyaknya ragam suku dan agama (bhineka tunggal ika).
Meskipun terseok-seok, demokrasi Indonesia tetap berjalan dengan berbagai warna dan polemic didalamnya. Terjadinya revolusi I (dinahkodai oleh : Ir. Soekarno, Syahrir, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Mayyer, KH. Hasyim As’ary, dll) melahirkan presiden mandataris MPR yaitu Ir. Soekarno yang disebut Orde Lama dengan pencapaian gemilang “Proklamasi, bendera merah putih, Pancasila, UUD 1945 serta lagu Indonesia Raya” (berakhir dengan pengasingan Ir. Soekarno hingga wafat). Revolusi II (dinahkodai oleh : Soeharto (TNI), aktivis 65’ dan kelompok anti komunis) melahirkan pemerintahan yang disebut Orde Baru dengan pencapaian gemilang : negara agraris serta Soeharto sebagai Presidennya. Reformasi (dinahkodai oleh : Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Amin Rais, Megawaati, Oc Caligis dan aktifis 98’) dengan pencapaian gemilang : kebebasan public dan transparansi public, serta Abdurrahman Wahid (Gus Dur) presiden, dilanjutkan Megawati Soekarno Putri dan SBY hingga sekarang. Benarkah pencapaian gemilang dari tiga generasi tersebut masih kokoh dan lestari serta mensejahterakan rakyat, atau justru ambruk, dan pudar dan melupakan kemiskinan rakyat.

B. PEMBAHASAN

Kemiskinan dan Pemiskinan
Krisis ekonomi politik merupakan pemicu dahsyat dari pembengkakan jumlah penduduk miskin. Tetapi ia tidak dapat dipahami sebagai satu-satunya faktor. Semua orang juga paham, bahwa akar masalah kemiskinan dan pemiskinan juga tidak lepas dari faktor akan kuatnya watak otoriter penguasa dan pilihan politik pembangunan yang dijalankannya. Kemiskinan, memang tidak dapat hanya dipahami dari sederet data tentang seberapa besar jumlah orang yang tingkat biaya konsumsinya tidak dapat mencapai “garis kemiskinan”. Kenyataan yang terjadi ternyata lebih rumit dari itu. Di sisi lain, banyak juga orang mengatakan bahwa saat ini hampir tidak ada gunanya bicara tentang hebatnya kinerja penanggulangan kemiskinan dimasa lalu.
Sampai sekarang, kita seharusnya tetap prihatin dengan tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan yang terjadi. Yang tidak berubah dari dulu hingga kini dalam kehidupan kaum miskin kota adalah, lahir sengsara, hidup menderita, dan mati pun harus tetap sengsara. Kemiskinan tidak berdiri sendiri sebagai realitas sepi dan tanpa sebab. Realitas kemiskinan itu ada karena akibat dari sesuatu. Dan sesuatu itu bukanlah hanya dari masalah internal si miskin, tetapi dari kekuatan eksternal: kekuatan besar yang berdasar “kuasa wewenang”, “kuasa moral”, ataupun “kuasa modal” yang datang dari luar si miskin, yang terus mendesaknya ke jurang kemiskinan. Oleh karenanya yang sesungguhnya terjadi adalah proses pemiskinan. Keprihatinan kita bukanlah pada hanya pada realitas kemiskinan itu sendiri, tapi enerji besar seharusnya diarahkan pada pembongkaran sebab dan masalah proses pemiskinan dan kemudian, bagaimana gagasan jalan keluarnya.

Menguatnya proses pemiskinan
Aktivitas utama dari penanggulangan kemiskinan selama ini didominasi oleh dua pendekatan: yakni, Pertama, pendekatan pemenuhan konsumsi perkapita (menggunakan garis kemiskinan dan bersifat makro). Pasokan datanya dikerjakan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan dikerjakan Biro Pusat Statistik (BPS); dan Kedua, pendekatan yang berbasis keluarga. Pendekatan ini memiliki patokan 8 (delapan) ciri rumah tangga miskin, yakni: (a) Luas lantai rumah kurang dari 8 m persegi; (b) Jenis lantainya tanah; (c) Menggunakan air hujan atau dari sumber air tak terlindung sebagai pasokan air bersih; (d) Tidak memiliki jamban; (e) Tidak memiliki asset; (f) Tidak ada ketersediaan lauk pauk, atau ada sedikit lauk pauk tapi tidak bervariasi; (g) Tidak pernah terlibat dalam kegiatan sosial; (h) Tidak pernah membeli pakaian. Pendekatan yang kedua ini biasa dijalankan oleh BKKBN. Menurut pendekatan ini, satu keluarga yang lepas dari 8 (delapan) ciri rumah tangga miskin tersebut, dapatlah disebut keluarga sejahtera. Selama puluhan tahun pendekatan ini digunakan oleh pemerintah pusat dan daerah, termasuk melalui departemen atau dinas sektoralnya.
Kedua pendekatan di atas banyak memiliki kelemahan mendasar: (a) kedua pendekatan tersebut di atas tidak membuka peluang bagi suara dan aspirasi si miskin. Dan itu berarti, definisi kemiskinannya bisa bertabrakan dengan definisi kemiskinan dari si miskin itu sendiri. Akibatnya, definisi dan operasionalisasi kegiatan penanggulangan kemiskinan tidak cukup layak untuk memahami realitas kemiskinan yang sesungguhnya terjadi; (b) kedua pendekatan itu membawa konsekuensi operasionalisasi teknis kegiatan penanggulangan kemiskinan menjadi pendekatan ekonomi yang bersifat kedermawanan, dan itu berarti si miskin menjadi obyek dari suatu aktivitas yang bersifat proyek dan yang sesungguhnya hanya mampu menjawab masalah dalam jangka pendek;
(c) kedua pendekatan itu tidak memiliki kepekaan terhadap keragaman konteks wilayah, sektor maupun kedalaman kemiskinan; (d) kedua pendekatan itu tidak bisa diharapkan dapat menyumbang proses demokratisasi karena hanya menghasilkan pola hubungan subordinat dimana “pengendali proyek” penanggulangan kemiskinan sebagai “si dermawan” dan lapisan miskin sebagai “yang terpilih untuk dikasihani”. Itulah sebabnya, realitas kemiskinan menjadi potensial dimanfaatkan sebagai komoditi politik bagi pengambil keputusan yang “dermawan”; (e) kelemahan mendasarnya adalah kedua pendekatan itu gagap dan mengingkari persoalan yang menjadi akar masalah atau sebab-musabab kemiskinan.
Di sadari oleh banyak kelemahan yang ada, sebagian kalangan pemerintah menganggap perlu pembaruan definisi tentang kemiskinan. Definisi kemiskinan selama ini dirasakan sangat sempit, dan untuk itu perlu diperluas sesuai dengan kenyataan sifat kemiskinan yang multidimensi menyangkut segi ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kekeliruan dalam memahami masalah kemiskinan, tidak hanya mengakibatkan program penanggulangan kemiskinan kurang mendasar, tapi juga tidak tepat sasaran. Tetapi pengakuan terhadap sifat multidimensi kemiskinan tanpa diikuti pemahaman tentang nilai-nilai dasar yang tepat dalam pendekatannya, maka ujungnya mungkin justru menghasilkan kemunduran.
Sangat dimungkinkan pilihan terhadap nilai-nilai dasar itu adalah: transparansi, partisipasi, akuntabilitas publik, dan governance. Dalam hal partisipasi misalnya, pemerintah saat ini menganggap penting partisipasi dari para pihak (stakeholders) mulai dari penyusunan program, pelaksanaan sampai dengan pengawasannya. Tingkat partisipasi yang tinggi menimbulkan rasa ikut memiliki dan bertanggungjawab. Yang menjadi masalah dalam proses ini adalah tidak adanya jaminan terhadap penghormatan dan perlindungan hak-hak dasar simiskin itu sendiri. Sejumlah hambatan yang menghalangi tercapainya penghormatan dan perlindungan kelompok miskin sampai saat ini masih terus bertahan.
Realitas kemiskinan yang semakin meluas saat ini jelas menunjuk pada kenyataan bahwa tatanan ekonomi, politik, sosial dan budaya justru berperan besar dalam melanggengkan kenyataan paling buruk dari kemiskinan itu. Dalam masalah sistem alokasi sumber daya alam, misalnya, kecenderungan utama dalam tatanan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menguatkan proses pemiskinan rakyat adalah: (a) Luasnya ekspansi modal dan berikut, permintaannya terhadap ketersediaan tanah murah dalam skala besar. Gejala ini sudah dimulai sejak zaman kolonial, ketika pemerintah Belanda mengundang pemodal swasta Eropa untuk membuka lahan perkebunan di Jawa dan Sumatera. Dan gejala ini terus berlanjut sampai kini. Yakni dengan adanya fakta : berkurangnya secara drastis lahan pertanian di Jawa dan digantikan dengan kawasan industrial, juga disisi lain fakta: semakin meluasnya lahan perkebunan di luar Jawa. Meluasnya ekspansi modal tersebut telah menyumbang masalah ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia yang kemudian berujung pada semakin banyaknya petani miskin.
(b) Politik hukum agraria yang tidak adil. Politik hukum agraria yang terjadi tidaklah peka terhadap realitas ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah, tetapi sebaliknya justru memfasilitasi pemilik modal. Hal ini sangat tampak pada politik hukum Hak Guna Usaha (HGU) sebagai alas hak untuk perluasan dan (perpanjangan) penguasaan tanah perkebunan dalam skala besar; (c) Sistem politik pemerintahan yang hegemonic. Mulanya, operasi politik pemerintahan ini menerapkan politik “masa mengambang” dimana petani sebagai penduduk desa dilarang untuk berpolitik. Dan tidak hanya itu, mereka juga dilarang membentuk atau terlibat dalam organisasi diluar yang direstui oleh pemerintah. Kenyataan pada masa Orde Baru itu kemudian pelan-pelan melemah tetapi masalah lain muncul, rakyat potensial terseret dalam arus tekanan politik partisan.
Kenyataan berkenaan dengan ketiga kecenderungan utama diatas jelas menyumbang masalah membesarnya jumlah petani gurem (petani dengan pemilikan dan penguasaan tanah tidak lebih dari 0,2 hektar) dan petani tuna kisma (petani tanpa pemilikan dan penguasaan tanah pertanian), serta petani di luar Jawa yang tercerabut dari akar budaya aslinya karena diklaim Pemerintah sebagai perambah hutan dan terasing yang harus “dimodernkan” tapi dengan syarat melepas tanah adatnya. Gambaran masalah diatas adalah salah satu dari realitas (sektoral) kemiskinan struktural. Dan itu sesungguhnya memberi peringatan bahwa, kemiskinan tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan atau strategi yang menolak atau mengingkari realitas yang menjadi sumber penyebab kemiskinan itu sendiri. Pendekatan atau strategi yang instrumental, yakni mencoba mengurangi ciri-ciri kemiskinan yang ada pada komunitas miskin ternyata hanya mampu menyelesaikan secara jangka pendek. Dan faktanya, justru memberi peluang untuk kembali terjebak dalam kemiskinan yang lebih dalam. Mungkin ini sulit dipahami, kerja penanggulangan kemiskinan justru menghasilkan penguatan masalah kemiskinan.
Definsi kemiskinan memanglah beragam. Sangat bergantung pada cara pandang. Namun realitas kemiskinan saat ini jelas didominasi dan diakibatkan oleh relasi yang timpang dalam arena tatanan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Dalam relasi yang timpang itu, kelompok masyarakat yang kurang memiliki akses dan tiada memperoleh penghormatan atau perlindungan atas hak-hak dasarnya semakin terdesak dalam jebakan proses pemiskinan. Dalam kelompok masyarakat yang rentan ini, secara khusus yang menerima kenyataan paling buruk dari proses pemiskinan adalah kaum perempuan dan anak-anak.

Pandangan Masyarakat Sipil tentang Kemiskinan
Seluruh proses yang dijalankan kalangan masyarakat sipil menegaskan fakta bahwa: (1) wajah kemiskinan sangat kompleks dan memiliki ciri kedalaman kemiskinan yang berbeda ditiap komunitas dan wilayah; (2) kemiskinan juga semakin meluas pada sektor dan komunitas tertentu karena tekanan eksternal, terutama terjadinya krisis ekonomi politik, yang muncul kepermukaan melalui fakta-fakta: membesarnya jumlah komunitas miskin kota yang hidup didaerah-daerah rawan kesehatan dan lingkungan; mahalnya akses pelayanan jaminan sosial di desa maupun kota, semakin lemahnya kontrol petani kecil atas tanah pertanian, swastanisasi pengelolaan hutan negara yang mendesak perumusan kembali hubungan petani sekitar hutan dengan “pengelola” hutan negara yang ternyata juga tidak menguntungkan petani, banyaknya kasus perdagangan manusia (perempuan dan anak perempuan sebagai tenaga kerja tanpa dokumen di negera lain, korban eksploitasi seksual di dalam dan di luar negeri); (3) Yang disebut terakhir ini, juga memperkuat fakta semakin meluasnya wilayah feminisasi kemiskinan. Fakta-fakta kunci itu dalam konsultasi publik yang terselenggara, ternyata juga didapati kenyataan ironi, bahwa respon pemerintah meski telah memahami kenyataan kemiskinan yang multidimensi¬¬ dilaksanakan dengan pendekatan yang menyeragamkan fakta kemiskinan, teknokrat_berorientasi proyek, dan menggantungkan pada dukungan dana donor. Akibatnya kemudian, persoalan-persoalan penanggulangan kemiskinan semakin memburuk.
Dari keseluruhan proses yang dijalankan kalangan masyarakat sipil itu pula dapat dinyatakan bahwa pilihan tindakan penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah sangat reduksionistik, dianggap tidak memadai lagi, dan untuk itu, perlu ditinggalkan. Roh dan gagasan strategi melawan proses pemiskinan, oleh karena itu, harus dipandu oleh fakta obyektif dari realitas kemiskinan yang terjadi. Dari beberapa proses penelitian dan konsultasi publik yang telah dilakukan, fakta obyektif itu lebih didominasi oleh realitas kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural tersebut sangat jelas sebagai perampasan daya kemampuan manusia atau kelompok manusia yang terjadi secara sistematis sehingga membuat manusia dan kelompok manusia itu terjebak dalam kondisi yang memiskinkan. Sehingga yang terjadi lebih merupakan proses pemiskinan, dan proses pemiskinan itu merupakan tekanan eksternal. Ada kemungkinan akibat­akibat dari tekanan eksternal itu juga diinternalisasi yang kemudian secara gegabah disebut kebudayaan kemiskinan.
Perampasan daya kemampuan ini mencakup : (a) Perampasan daya social, Meliputi perampasan akses pada basis produksi rumah tangga, seperti informasi, pengetahuan dan keterampilan, partisipasi dalam organisasi, dan sumber-sumber keuangan. Akses terhadap daya social ini juga disebabkan tekanan ekspansi modal dan globalisasi ekonomi. (b) Perampasan daya politik, Meliputi perampasan akses individu pada pengambilan keputusan politik, bukan saja pada kemampuan untuk memilih, tetapi juga untuk menyuarakan aspirasi dan bertindak secara kolektif. Tekanan ini lebih merupakan akibat dari operasi watak otoritarian sang rezim dan para pendukung koersifnya. (c) Perampasan daya psikologis, Yaitu tekanan eksternal yang menyebabkan hilangnya perasaan individual mengenai potensi dirinya, baik dalam kancah sosial maupun politik. Sehingga si individu ini tidak ada peluang untuk mampu berpikir kritis. Tekanan eksternal diinternalisasi si miskin menjadi kesadaran palsu.
Dari perampasan daya tersebut kemudian melahirkan Kemiskinan Struktural. Ada lima dimensi pokok dari kemiskinan struktural, yaitu: (a) Dimensi kekuasaan, Yang mengatur pola hubungan kekuasaan (power relation), baik hubungan kekuasaan politik, ekonomi, maupun kebudayaan. (b) Dimensi kelembagaan, Dimensi kelembagaan bukan saja pemerintahan, tapi lembaga tradisional mempunyai pengaruh yang signifikan dengan kemiskinan struktural. Seperti bagaimana situasi lembaga atau pengorganisasian yang mempersatukan perjuangan kepentingan kelompok miskin. (c) Dimensi kebijakan, Termasuk dalam kategori ini adalah produk perundang-undangan serta keputusan-keputusan lembaga pemerintah yang mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung kepada proses pemiskinan dan program penanggulangan kemiskinan. Dimensi kebijakan sekarang ini sama sekali tidak menyentuh dimensi kemiskinan, semisal kebijakan investasi lebih didorong pada investasi skala besar bagi mereka yang sarat modal, dan berorientasi pada pikiran-pikiran teknologi tinggi daripada menggunakan tenaga orang banyak (padat karya). (d) Dimensi Budaya, Termasuk dalam kategori ini adalah unsur-unsur budaya: nilai, sikap, perilaku budaya, khususnya yang berkembang sebagai reaksi terhadap tekanan eksternal masyarakat miskin. Dewasa ini yang signifikan muncul adalah direproduksinya budaya yang akhirnya membuat orang terperangkap pada kemiskinan. (e) Dimensi Lingkungan Fisik, Yang berhubungan dengan potensi sumber daya alam di suatu daerah. Daerah subur tentu saja dapat memberi peluang untuk tidak terlalu miskin.

Melacak Sumber-sumber Pemiskinan
Untuk bisa menarik pelajaran dari masa lalu, penting bagi kita mengidentifikasi secara ringkas sistem, kelembagaan dan proses-proses yang menghasilkan kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama 3 dekade memang menghasilkan manfaat ekonomi yang luas dan menetes kebawah, mengapa sebagian besar rakyat Indonesia masih miskin? Mengapa dalam masa puncak investasi dan pertumbuhan ekonomi, upah riel buruh dan tenaga kerja, baik di industri maupun di pertanian, masih demikian rendah? Mengapa investasi kesehatan dan pendidikan Indonesia masih paling rendah dibandingkan negara tetangganya? Mengapa sektor pertanian Indonesia tidak tangguh? Mengapa kaum petani kita masih terus hidup subsistem? Dan mengapa dimasa orde baru, media massa, sistem politik dan rakyat secara umum tidak berhasil mengoreksi secara mendasar sistem dan kebijakan?
System penanganan kemiskinan oleh pemerintah menunjukkan bahwa, kelembagaan dan proses politik ekonomi dan sosial bermuara kepada konsentrasi kuasa, konsentrasi pengambilan keputusan, dan konsentrasi penguasaan atas aset-aset ekonomi negara dan sumberdaya sosial lainnya oleh segelintir elit politik dan ekonomi. Di satu pihak terjadi konsentrasi kekuasaan politik dan ekonomi, di satu sisi, menghasilkan perampasan dan pelumpuhan ekonomi, politik dan sosial dipihak rakyat. Sistem perusahaan negara dan pemilikan oleh negara telah dibajak dan diselewengkan menjadi pemilikan elit disekitar penguasa dan kerabatnya. Ekonomi "pasar" lebih berpihak kepada kelompok Soeharto, kroninya dan para konglomerat. Tampak bahwa aspek "efisien" yang lebih diandalkan ketimbang aspek keadilan. Kita melihat bahwa setidaknya lima unsur kebijakan, kelembagaan dan proses-proses sosial ekonomi yang langsung bertanggung jawab atas proses pemiskinan dan kemiskinan. Empat unsur itu adalah : (a) politik otoriter dan sentralisme, (b) ekonomi pasar, (c) Penanggulangan Kemiskinan dimasa lalu, (d) Peranan donor dan lingkungan ekonomi global.

a. Otoriterisme dan sentralisasi kekuasaan
Politik otoriterisme telah menghasilkan stabilitas politik, dengan biaya sosial dan politik yang tinggi. Politik otoriter melihat rakyat sebagai obyek dan hamba sahaya, bukan warga negara, pembayar pajak dan konsumen yang memiliki hak penuh dan bebas berpendapat. Politik otoriter lebih bertumpu pada pemaksaan dan kekerasan ketimbang supremasi hukum dan kompetisi ide-ide. Hal tersebut telah mematikan ide dan cara baru, yang sangat diperlukan bagi Indonesia untuk berubah kearah yang lebih baik. Sistem hukum tidak jalan sama sekali karena militer dan birokrasi yang menjadi penentu. Aspirasi rakyat yang muncul akan dicap sebagai lawan politik dan akan dihukum sebagai subversif. DPR hanyalah hiasan demokrasi dan berguna menjadi tukang stempel bagi rencana dan keputusan presiden. Media massa disensor, ketakutan dan tidak bisa berfungsi sebagai pengawas dan koreksi.
Sementara itu, sentralisme ekonomi dan politik telah berakibat pada ketidakadilan dan ketimpangan di propinsi-propinsi. Hutan, tambang dan kekayaan alam lainnya menjadi monopoli Jakarta dengan kewenangan yang tak terkontrol. Akhirnya, politik otoriter telah meninggalkan luka-luka pelanggaran HAM dimasa lalu. Dari Marsinah sampai mahasiwa Trisakti. Dari Aceh sampai Papua. Dari Buruh sampai petani pernah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia.

b. Ekonomi Pasar dan KKN
Di Indonesia, ekonomi pasar yang berjalan ternyata tidak efisien dan tidak adil. Hal ini disebabkan karena tidak adanya regulasi dan institusi regulasi. Ekonomi Indonesia lebih banyak didominasi oleh konglomerasi dan usaha besar ketimbang usaha skala menengah dan kecil (UMKM). Kesempatan ekonomi dan penguasaan aset produktif dikuasai oleh kaum kroni sang penguasa dan elit politik, ketimbang rakyat. 30 tahun pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah merubah Indonesia, dimana sumbangan sektor industri dan jasa makin lama menjadi makin besar. Industri yang berorientasi ekspor, sumberdaya alam yang melimpah dan tenaga kerja murah menjadi sebagai faktor-faktor andalan. Sektor pertanian dan pedesaan hanya menjadi pendukung industrialisasi yang bertumpu pada kota. Keberhasilan dalam hal pendidikan dasar dan kesehatan hanya berhasil dari segi kuantitas dan bukan kualitas. Ekonomi yang sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi terbukti hanya melahirkan ekonomi konglomerat. Kesempatan ekonomi dan pemilikan modal hanya diberikan kepada pemain-pemain besar yang dekat dengan kekuasaan. Ekonomi ini ternyata rapuh dan tidak mampu menahan guncangan krisis. Liberalisasi keuangan telah menambah kerawanan ekonomi.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang meluas dan mengakar membuat ekonomi biaya tinggi dan membuat rakyat terus menerus dirugikan. Selama berpuluh tahun rakyat Indonesia sebagai warga negara, konsumen, dan pembayar pajak, guru, buruh dan petani telah dirugikan oleh korupsi. Mulai dari kasus sistemik dan bersifat politik seperti pada kasus bank century, Nazaruddin, Gayus Tambunan sampai kasus kecil dan sehari-hari seperti bikin KTP, SIM, Paspor dan surat kelahiran, yang merupakan layanan umum, semuanya melibatkan korupsi. Dana-dana utang dan bantuan serta dana pembangunan hanya akan habis dinikmati oleh kaum elit dan politisi. Korupsi juga tentu saja juga menyangkut dana-dana utang dari luar negeri, termasuk dari Bank Dunia.

c. Penanggulangan Kemiskinan Di Masa Lalu
Ciri pokok dari penanggulangan kemiskinan pemeritah adalah berikut : Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan sendirinya akan membereskan kemiskinan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh segelintir konglomerat, maka manfaat ekonomi akan menetes kebawah dalam bentuk lapangan kerja dan upah dan kenaikan daya beli secara umum akan mengangkat kaum miskin yang umumnya miskin modal, miskin pendidikan dan miskin kesempatan ekonomi lainnya. Tidak diutamakan tujuan redistributif dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Kedua, kemiskinan lebih banyak dilihat sebagai kurangnya pendapatan dan kurangnya konsumsi. Tidak heran jika garis kemiskinan yang dipakai adalah pendapatan dan jumlah kalori yang dikonsumsi. Ketiga, kemiskinan dianggap sebagai gejala kantong-kantong kemiskinan, karena itu lahirlah program IDT (Inpress Desa Tertinggal) yang memerlukan uluran tangan dan dana pemerintah.
Program-program tersebut dilaksanakan dalam konteks negara otoriter dan birokrasi yang sentralisitik. Tidak ada laporan independen yang menolak atau mengkonfirmasi hasil-hasil program semacam IDT, Gerdu Taskin dan sejenisnya. Namun, kita bisa melihat bahwa alam pikiran dari proyek semacam itu adalah negara memberi derma, kepada mereka yang miskin dan papa. Kelemahan pokok dari cara-cara semacam itu adalah penanggulangan kemiskinan sekadar sebagai "kumpulan proyek-proyek", dan cenderung dilihat sebagai "proyek dari duit pemerintah", tanpa partisipasi dan legitimasi yang luas dari berbagai kekuatan masyarakat. Program Jaring pengaman sosial (JPS) adalah contoh yang sudah klasik. Salah target, kebocoran, inefisiensi dan soal-soal lain yang kontraproduktif dengan tujuan JPS itu sendiri.
Dengan kata lain, problem kemiskinan lebih dilihat sebagai nasib buruk, soal warisan, soal kebodohan dan kemalasan individu dan juga masalah sumberdaya alam yang jelek. Kemiskinan tidak dilihat sebagai kemiskinan struktural: kemiskinan sebagai akibat dari proses-proses ketidakadilan ekonomi dan politik dalam hal akses dan kontrol serta politik alokasi sumberdaya dan pengambilan keputusan.

d. Peranan Donor dan Kreditor
Pesan yang ingin saya sampaikan dari bagian ini adalah, bagaimana mungkin suatu negara menegakkan komitmen untuk penanggulangan kemiskinan jika negara tersebut telah kehilangan kemampuannya untuk menentukan prioritas bagi dirinya sendiri. Upaya penanggulangan kemiskinan menjadi sangat tergantung pada rekomendasi para donor dan kreditor itu.

Nilai Dasar Strategi Melawan Pemiskinan
Telah menjadi pemahaman umum bahwa program dan strategi penanggulangan kemiskinan akan lebih berhasil maksimal jika melibatkan simiskin itu sendiri sebagai bagian dari seluruh proses. Namun tekanan sistem dan struktur yang dipelihara oleh pemerintah selama bertahun-tahun telah memaksa mereka kehilangan kepercayaan akan diri dan potensi dirinya. Kapabilitasnya dihancurkan sehingga mereka betul yakin bahwa mereka tiada hak dan berhak atas kehidupan yang lebih baik. Dengar pernyataan mereka: “mimpi untuk hidup lebih baik pun, takut.” Realitas kemiskinan saat ini sesungguhnya memberi kenyataan yang sangat dalam dari proses penghancuran martabat manusia. Kapabilitas manusia yang bebas adalah peluang satu-satunya bagi manusia untuk mengekspresikan potensi dirinya sebagai manusia bermartabat. Jika kapabilitas inipun dikhianati oleh cara-cara pembangunan yang salah, maka hancurlah martabat manusia itu. Dan pada titik itu, sesungguhnya pembangunan tidak memberi makna apa-apa bagi kemanjuan kemanusiaan di bumi ini. Pembangunan seharusnya adalah ruang bagi setiap manusia untuk berekspresi, menyatakan kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya menjadi lebih baik. Kebebasan manusia akan memberi jaminan bagi pencapaian tujuan sejati pembangunan.
Yang menjadi soal, kenapa kemiskinan terus mengakar? Karena kaum miskin tidak memiliki kemampuan menghadapi perubahan yang cepat dan radikal itu. Pembangunan harus dimaknakan sebagai saling berbagi pengetahuan. Para agen perubahan harus berbagi pengetahuan dengan rakyat, terutama simiskin, sehingga proses dan dampak pembangunan dapat diantisipasi. Maknanya kita tidak usah berlelah-lelah mempersoalkan perubahan sosial atau pembangunan yang ada selama ini, yang diperlukan adalah penyesuaian terhadapnya. Dalam proses penyesuaian itu, kaum miskin harus memperoleh tempat untuk mengambil putusan bagi dirinya sendiri. Mempromosikan kaum miskin untuk mengatasi masalah mereka sendiri adalah gagasan bagus, tapi menjadi kurang bermakna jika diawali dengan menyalahkan kaum miskin. Sementara itu sudah menjadi paham umum juga bahwa empati terhadap atau kerjasama dengan kaum miskin yang diawali dan diikuti dengan keraguan, ketidakpercayaan atau menyalahkan kaum miskin adalah politik ilmu pengetahuan yang membius. Karena yang terjadi tidak lagi berbagi ilmu pengetahuan, tapi pemilik ilmu pengetahuan akan mendominasi yang dianggap tidak memiliki ilmu pengetahuan. Terlebih lagi, pertanyaan tentang sistem dan struktur yang memperkokoh akar kemiskinan dan telah menjadi karakteristik internal bagaimana negara ditegakkan juga tidak dipersoalkan.
Lalu bagaimana dengan gagasan perspektif hak. Adakah ia memiliki kemampuan untuk menjadi paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan? Strategi yang dapat dikembangkan dalam paradigma perspektif hak ini adalah: Pertama, memastikan hak-hak dasar kaum miskin diakui. Tidak cukup hanya dengan dinyatakan dalam konstitusi (secara hukum), tapi ia harus dipastikan dalam setiap tindakan bahwa hak-hak dasar kaum miskin tidak akan dikhianati. Pengkhianatan terhadap hak-hak dasar kaum miskin itu biasanya terjadi dalam akvitas yang menolak ekspresi kaum miskin yang menyatakan kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri, atau: dalam aktivitas yang diskriminatif. Pengakuan terhadap hak-hak dasar kaum miskin ini akan mengarah pada pembentukan relasi baru tentang bagaimana kebijakan penanggulangan kemiskinan diputuskan. Kedua, hak-hak dasar kaum miskin itu tidak dapat diberikan atau dicabut. Maka peran Negara disini menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar kaum miskin itu. Aktualisasi hak-hak dasar kaum miskin itu tidak perlu menunggu atau tergantung pada kemampuan atau kemauan politik Negara untuk berpihak pada kaum miskin. Masalah dalam kemampuan atau kemauan politik Negara tidak boleh membuat kaum miskin kehilangan hak-hak dasarnya. Dan terlepas dari masalah kemampuan dan kemauan politik Negara, kaum miskin harus tetap memiliki hak-hak dasarnya secara utuh. Ketiga, dalam kerangka Negara melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak kaum miskin, maka Negara harus peka dan aktif untuk melakukan tindakan politik tanpa diskriminasi. Keempat, wilayah strategis dalam penanggulangan kemiskinan sangat bergantung pada konteks wilayah dan sector. Kenyatan kemiskinan di perdesaan adalah karena ketiadaan akses terhadap sumber daya yang memberi keamanan bagi keberlanjutan hidup. Pada kasus tertentu, yang diperlukan adalah penciptaan keadilan sosial bagi pemilikan dan penguasaan sumber daya tanah pertanian. Pada kasus lain, adalah penciptaan keadilan dalam relasi penggarapan tanah pertanian. Namun yang pasti, langkah-langkah kearah sana harus terjamin secara hukum dan memberi keamanan bagi keberlanjutannya. Di mana “hukum” itu juga memastikan bahwa kaum petani miskin terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Dan “hukum” itu juga memastikan akan menghukum pejabat publik yang menolak keterlibatan kaum petani miskin itu untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Sementara itu, wilayah dan sektor kemiskinan di perkotaan juga menampakkan wajah yang beda. Maksud dari bagian ini adalah: kebijakan penanggulangan kemiskinan tidaklah tunggal dan seragam, ia sangat tergantung pada kepentingan dan kebutuhan kaum miskin di mana ia tinggal dan bekerja.



Empat Pilar Demokratisasi Melawan Pemiskinan
Kekayaan yang melimpah ditengah ketimpangan dan kemelaratan adalah tidak bermoral dan tidak adil. Dalam konteks ini, restrukturisasi relasi politik dan redistribusi kekayaan adalah penting jawaban atas ketimpangan dan pemiskinan. Restrukturisasi bisa menjadi menjadi jalan bagi penerjemahan kembali hubungan rakyat dengan negaranya yang lebih adil. Dan sementara itu, redistribusi atas kuasa, aset, kesempatan ekonomi dan sosial dapat dijadikan sebagai jawaban atas marjinalisasi, ekslusi dan diskiriminasi.

a. Restrukturisasi Pelasi Politik
Sejak 1999, Indonesia memiliki demokrasi multi partai dan kebebasan pers. Namun demokrasi yang subtantif dan partisipatori masih belum jalan. Masih terlalu banyak masalah yang belum diproses, diolah dan apalagi dipecahkan. Agar demokrasi menjadi demokrasi yang subtantif, mampu mendukung perang melawan pemiskinan dan kemiskinan, maka parlemen dan pemerintah wajib memulai menata ulang relasi politik dimana sistem dan kelembagaan politik dapat disediakan dan bertanggung jawab untuk memecahkan soal-soal yang menjadi hajat hidup orang banyak, pemiskinan dan kemiskinan.
Penataan ulang relasi politik diatas haruslah memberi porsi yang sah dan layan bagi penguatan hak­hak asasi rakyat. Di sini redistribusi kuasa rakyat dapat diwujudkan dalam (a) Memasukan pasal­pasal hak asasi manusia dalam amandemen UUD 45 secara utuh untuk jaminan kebebasan dan perlindungan hak sipil, politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya. (b) Perlunya dukungan yang kuat terhadap reformasi sistem hukum yang kuat dalam konstitusi, pengadilan korupsi dan sistem perlindungan saksi. (c) Perlunya kebebasan informasi bagi warga negara, termasuk kebebasan pers dimasukkan dalam revisi konstitusi. (d) Perlu adanya yang menjamin hak-hak rakyat dalam kebebasan politik, jaminan layanan kesehatan dan pendidikan, jaminan memperoleh kerja dan sumber daya. (e) Perlunya ormas Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, serikat buruh, serikat petani, organisasi sosial lainnya untuk dilibatkan dalam komisi penanggulangan kemiskinan yang independen.

b. Redistribusi kekayaan
Redistribusi kekayaan ini meliputi: (a) pembaruan agraria; (b) pajak dan anggaran yang prorakyat; (c) pendidikan dan kesehatan. Ketiga hal utama ini merupakan wilayah penting bagi redistribusi kekayaan.

c. Reorientasi Pengelolaan Ekonomi: Menuju Ekonomi Kerakyatan
Tujuan ekonomi kerakyatan adalah memandirikan ekonomi nasional, membuka kesempatan ekonomi bagi semua rakyat, perimbangan pengelolaan keuangan negara, baik dalam konteks antara usaha kecil, menengah dan besar, ataupun antara pusat dan daerah, mengadilkan pemilikan dan menghapuskan ketimpangan pemilikan aset negara, memperkuat peranan negara dalam mengendalikan atau mengatur pasar.
Ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk memiliki akses sebesar-besarnya terhadap asset modal: tanah, kredit, keuangan, mapun dan produksi, tanah, teknologi, sumber daya alam, dan lain-lain yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan. Kebijakan-kebijakan tersebut akan menghindari penumpukan modal dan aset produksi pada segilintir orang, serta sentralisasi pengelolaan keuangan negara (penghisapan daerah oleh pusat) yang tidak memberikan perlindungan terhadap hal-hal diatas, akan menyebabkan masyarakat miskin akan terus termarginalisasi, terampas dayanya.
Strategi ekonomi kerakyatan dapat dicirikan sebagai berikut: (a) peningkatan disiplin pengelolaan keuangan negara dengan sasaran utama penanggulangan KKN dalam segala bentuknya, (b) penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme persaingan yang berkeadilan. (c) peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah. Hal ini terutama harus diselenggarakan dengan melakukan pembagian pendapatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan dengan mengikutsertakan pemerintah daerah sebagai pemilik saham perusahaan-perusahaan eksplorasi sumberdaya alam yang terdapat di daerah. (d) pembaharuan UU koperasi dan pendirian koperasi-koperasi sejati dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan. Koperasi sejati tidak sama dengan koperasi 'persekutuan majikan' yang keanggotaannya bersifat tertutup dan dibatasi pada segelintir pemilik modal kecil sebagaimana saat ini banyak terdapat di Indonesia.


“Wes sakmunu wae yo”


Bahan : Koran dan TV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masuk