Oleh Saidiman
Latar belakang Obama sebagai minoritas akan membuatnya lebih bisa menyadari akan adanya keragaman. Masing-masing orang memiliki nalar dan kebajikannya sendiri. Nilai kebenaran tidak pernah tunggal, melainkan beragam. Obama akan lebih mudah merayakan keberagaman, ketimbang mencurigainya. Inilah keistimewaan kalangan minoritas yang berhasil menjadi pemimpin.
Artikel ini telah dipublikasikan sebelumnya di Sinar Harapan, 1 Desember 2008
Pemerintah Indonesia patut mewaspadai Barack Obama yang berhasil unggul dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, 4 November 2008. Kewaspadaan itu perlu mengingat perbedaan yang mungkin muncul antara cita-cita politik Obama dan haluan kebijakan pemerintah Republik Indonesia.
Kemenangan Semua Golongan
Memang banyak warga negara Indonesia yang menginginkan senator ini memenangkan pemilihan. Para pendukungnya menganggap Obama akan menjadi presiden yang memperhatikan kepentingan Indonesia dalam politik internasional. Pengalaman pernah tinggal di Indonesia diyakini akan membuka mata Obama tentang realitas masyarakat dunia yang beragam.
Dengan pemahaman seperti itu, Obama tampil sebagai kandidat yang mengusung nilai-nilai liberalisme dan pluralisme. Dalam pidato kemenangannya, Obama tigak segan menyapa semua warga Amerika: yang berkulit putih maupun hitam, yang perempuan maupun laki-laki, para agamawan, kaum gay maupun lesbian, para difable, dan seterusnya. “Kita semua adalah warga Amerika Serikat,” tegas Obama.
Dengan cara pandang semacam ini, tampak bahwa Obama tidak akan memberi toleransi terhadap praktik-pratik diskriminasi dalam bentuk dan dengan latar belakang apapun. Dia tidak akan mudah melakukan praktik yang sebetulnya selalu menjadi ancaman bagi eksistensinya sebagai kelompok minoritas kulit hitam Amerika. Latar belakang semacam ini penting untuk membangun kesadaran mengenai pluralitas.
Yang membedalan pemerintahan Bush dan Obama adalah bahwa Bush menerapkan cara pandang dualisme: di mana dunia di luar Amerika dianggap sebagai objek yang harus diubah sesuai dengan cara pandang masyarakat Amerika. Dunia ini, bagi Bush, harus di”adab”kan, apapun caranya, dan itu adalah sesuatu yang baik.
Latar belakang Obama sebagai minoritas akan membuatnya lebih bisa menyadari akan adanya keragaman. Masing-masing orang memiliki nalar dan kebajikannya sendiri. Nilai kebenaran tidak pernah tunggal, melainkan beragam. Obama akan lebih mudah merayakan keberagaman, ketimbang mencurigainya. Inilah keistimewaan kalangan minoritas yang berhasil menjadi pemimpin.
Paradigma Diskriminatif Pemerintah Indonesia
Terlalu dini jika kemudian kita simpulkan bahwa dengan bekal pengetahuan mengenai realitas Indonesia, Obama kemudian akan mengeluarkan kebijakan yang mendukung kebijakan pemerintah negeri ini. Pemerintah Indonesia justru seharusnya waspada kepada Obama mengingat beberapa kebijakan dalam negeri yang belum sesuai dengan garis haluan cita-cita Obama untuk menghapus diskriminasi.
Dalam banyak kasus, Indonesia terlihat belum cukup memuaskan dalam penanganan isu-isu penghapusan diskriminasi. Beberapa kasus besar pelanggaran hak azasi manusia yang melibatkan rezim pemerintah masih terlalu jauh dari penyelesaian: kasus pembantaian anggota PKI 1960-an, represi Orde Baru terhadap kelompok Islam, kekerasan Timor Timur, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, penculikan dan pembunuhan aktivis di akhir 1990-an, pembunuhan aktivis HAM Munir, kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah, pemenjaraan dan kekerasan terhadap tokoh-tokoh agama minoritas seperti Lia Eden, Yusman Roy, Madi, dan sebagainya.
Pemerintah Indonesia tidak hanya lalai dalam menjamin hak warga negara minoritas untuk hidup dan berekspresi sebagaimana warga negara pada umumnya, pemerintah bahkan tidak mampu membendung semangat untuk memberlakukan pelbagai aturan diskriminatif. Pelbagai peraturan daerah silih berganti muncul untuk membatasi aktivitas warga. Tiga pembantu presiden bahkan menandatangani larangan terhadap penganut ajaran Ahmadiyah untuk menyebarkan keyakinannya. Pemerintah tampak masih sangat tunduk kepada aspirasi kelompok mayoritas tetapi mengabaikan hak-hak minoritas. Dewan Perwakilan Rakyat bahkan mensahkan Rancangan Undang-undang Pornografi yang mendeskreditkan budaya beberapa kelompok masyarakat.
Pemerintah Indonesia tidak hanya melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik diskriminasi, melainkan juga acapkali terlibat sebagai pelaku diskriminasi itu sendiri. Menangkap orang-orang yang dianggap menyimpang dalam hal keyakinan agama benar-benar adalah bentuk diskriminasi. Sebab paradigma menyimpang hanya berdasar kepada pendapat kelompok mayoritas. Sementara argumentasi dan aspirasi kelompok minoritas tidak mendapat perhatian sama sekali. Dari kacamata minoritas, yang menyimpang justru adalah kelompok mayoritas.
Pada aspek pembangunan, pemerintah Indonesia jelas melakukan diskriminasi pembangunan. Pemerintah seolah tertutup pintu hatinya untuk memfokuskan pembangunan pada masyarakat Indonesia bagian Timur yang sejak lama tidak bisa menikmati akses pembangunan. Masyarakat Indonesia bagian Timur dibiarkan tenggelam dalam keterbelakangan dan kebodohan. Akibatnya, seluruh paradigma berpikir pemerintah selalu terpaku pada cara pandang masyarakat Indonesia bagian Barat.
Pelbagai kasus diskriminasi ini terjadi karena tidak adanya kesadaran mengenai keragaman. Seolah-olah dunia ini adalah satu dan seragam. Keragaman adalah sesuatu yang benar-benar nyata dan tak mungkin dipungkiri. Adonis, pemikir besar Libanon, mengemukakan bahwa asal muasal keragaman itu ada pada penciptaan awal. Tidak benar, menurut Adonis, penciptaan ini berasal dari sesuatu yang tunggal. Fakta keragaman membuktikan bahwa semuanya berasal dari yang beragam. Keragaman adalah esensi kehidupan. Oleh karenanya, menghargai dan merayakan keragaman adalah sesuatu yang semestinya. Mereka yang ingin memberangus keragaman justru adalah mereka yang ingin keluar dari logika alamiah itu sendiri.
Paradigma diskriminatif itu pasti bertolak belakang dengan paradigma yang terus menerus dijadikan bahan utama bagi kampanye Obama. Dengan demikian, jika pemerintah Indonesia tidak mau mengubah paradigma diskriminatifnya, maka bukan simpati Obama yang akan datang, melainkan ancaman.
Selamat datang, Obama!
Minggu, 04 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk