Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan
bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis
yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama.
Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan
humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan
sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan
keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk
tersebut:
Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya.
Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau
elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang
filosofi humanisme yang antroposentrik.
Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau
dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya
dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman.
Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak
seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum,
misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus
seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis
adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan
yang sedang populer.
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana,
yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual.
Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme
kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat
pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan
percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental
sama sekali.
Rasionalis
Anaxagoras
Isaac Asimov
Sanal Edamaruku
René Descartes
Benjamin Franklin
Sigmund Freud
Paul Kurtz
Robert A. Heinlein
David Hume
Julian Huxley
Robert G. Ingersoll
Immanuel Kant
Gottfried Leibniz
John Locke
Jim Herrick
H. P. Lovecraft
Nicolas Malebranche
Thomas Paine
Plato
Karl Popper
Taslima Nasrin
Ayn Rand
Gene Roddenberry
Bertrand Russell
Abraham Kovoor
Joseph Edamaruku
Barbara Smoker
Baruch Spinoza
Elizabeth Cady Stanton
Voltaire
EMPIRISME
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua
pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa
manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.
Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George
Berkeley dan John Locke.
MATERIALISME
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat
dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas
materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah
satu-satunya substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi
monistik. Materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada
dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang
realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme
PASIFISME/PRAGMATISME
Pasifisme adalah perlawanan terhadap perang atau kekerasan sebagai sarana
untuk menyelesaikan pertikaian. Pasifisme mencakup pandangan yang berspektrum
luas yang merentang dari keyakinan bahwa pertikaian internasional dapat dan
harus diselesaikan secara damai, hingga perlawanan mutlak terhadap penggunaan
kekerasan, atau bahkan paksaan, dalam keadaan apapun.
Pasifisme dapat didasarkan pada prinsip atau pragmatisme. Pasifisme
berprinsip (atau Deontologis) didasarkan pada keyakinan bahwa baik perang,
penggunaan senjata maut, kekerasan atau kekuatan atau paksaan secara moral
adalah salah. Pasifisme pragmatis (atau Konsekuensial) tidak memegang prinsip
mutlak demikian melainkan menganggap ada cara-cara yang lebih baik untuk
memecahkan suatu pertikaian daripada perang atau menganggap manfaat-manfaat
perang tidak sebanding dengan ongkosnya.
Merpati atau kelompok garis lunak adalah istilah yang digunakan secara
informal, biasanya dalam politik, untuk orang-orang yang lebih suka
menghindari perang atau memilih perang sebagai jalan terakhir. Sebagian orang
yang disebut merpati tidak menganggap posisi mereka sebagai pasifis karena
mereka berpandangan bahwa perang dapat dibenarkan dalam keadaan-keadaan
tertentu (lihat Doktrin tentang Perang yang Sah). Deskripsi ini merujuk
kepada kisah tentang Bahtera Nuh yang melukiskan burung merpati sebagai
lambang pengharapan akan keselamatan dan perdamaian. Lawan dari merpati
adalah rajawali atau kelompok garis keras.
Sebagian orang, yang menganggap dirinya pasifis, kadang-kadang meskipun
menentang perang, kenyataannya tidak menentang semua penggunaan kekerasan,
kekuatan fisik terhadap orang lain atau perusakan terhadap harta milik. Kaum
anti-militer, misalnya, secara spesifik menenang lembaga-lembaga militer
negara kebangsaan modern ketimbang mendukung "kekerasan" pada umumnya. Kaum
pasifis lainnya mengikuti prinsip-prinsip anti-kekerasan, karena yakin bahwa
hanya tindakan anti kekerasanlah yang dapat dibenarkan.
sejarah
Anjuran pasifisme dapat ditemukan jauh di dalam sejarah dan literatur.
Misalnya kecintaan akan seluruh kehidupan, manusia maupun bukan manusia,
adalah ajaran sentral dalam Jainisme yang didirikan oleh Mahavira 599-527 SM.
Nyawa manusia dihargai sebagai suatu kesempatan yang unik dan jarang untuk
mencapai pencerahan, dan membunuh seseorang - siapapun juga - apapun juga
kejahatan yang mungkin telah dilakukannya, adalah suatu tindakan memuakkan
dan tidak dapat dibayangkan. Di Yunani kuno, dua contoh dari Perang
Peloponesos 431–404 SM adalah protes anti kekerasan dari Hegetorides yang
berasal dari Thasos, dan mogok seks kaum perempuan Athena dalam komedi
Aristophanes Lysistrata.
Banyak orang yang menganggap Yesus sebagai seorang pasifis, berdasarkan
Khotbah di Bukitnya. Di sini, Yesus mengajarkan "Janganlah kamu melawan orang
yang berbuat jahat kepadamu," dan sebaliknya "siapapun yang menampar pipi
kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak
mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu." [1]
Gereja-gereja damai, Religious Society of Friends (Quakers), Amish, Menonit
dan Gereja Brethren, telah berabad-abad menjadi gereja-gereja pasifis. Koloni
Pennsylvania yang dikuasai kaum Quaker menerapkan kebijakan publik yang
pasifis dan anti-militersitik. Provinsi koloni ini selama 75 tahun, dari 1681
hingga 1756, pada dasarnya tidak bersenjata dan sedikit saja terlibat atau
bahkan sama sekali tidak dalam peperangan selama periode itu. Pada abad ke-19
sentimen anti perang berkembang. Banyak kelompok dan gerakan Many sosialis
pada abad itu yang anti militer, dengan alasan bahwa perang pada hakikatnya
adalah sebuah bentuk paksaan pemerintah atas kelas pekerja, yang dipaksa
untuk berperang dan mati dalam perang yang tidak memberikan keuntungan apapun
kepada mereka atas perintah dari tuan-tuan politik dan ekonomi mereka yang
tidak pernah menderita di garis depan peperangan. Pembunuhan atas pemimpin
sosialis Perancis Jean Jaurès pada 31 Juli 1914 dan keputusan Internasional
Kedua untuk kemudian meninggalkan chauvinisme dan militerisme serta kegagalan
untuk berhasil menentang Perang Dunia I dianggap sebagai salah satu kegagalan
terbesar gerakan sosialis.
Tolstoy adalah penganjur pasifisme yang gigih lainnya. Dalam salah satu
karyanya yang belakangan, Kerajaan Allah ada di antara kamu, Tolstoy
memberikan sejarah, uraian, dan pembelaan terhadap pasifisme.
Di Aotearoa/Selandia Baru pada paruhan kedua dari abad ke-19, Britania dan
para pemukim kolonial, menggunakan banyak taktik untuk mendapatkan tandah
dari orang-orang Māori, termasuk peperangan. Dalam salah satu kasus, seorang
pemimpin Māori begitu meyakinkan sehingga ia mampu menganjurkan para
pejuangnya untuk mempertahankan hak-hak mereka tanpa menggunakan senjata,
dalam suasana di mana para pejuang yang sama telah mengalahkan lawan-lawan
mereka pada tahun-tahun sebelumnya,Te Whiti-o-Rongomai meyakinkan 2000 orang
untuk menyambut para pasukan yang bertekad untuk perang ke desa mereka dan
bahkan menaawrkan makanan dan minuman. Pemimpin yang penuh damai ini pula
membiarkan dirinya dan rakyatnya ditahan tanpa perlawanan.
anjuran
Kutipan“ Apa bedanya untuk yang mati, para yatim piatu, dan mereka
yang kehilangan tempat bernaung, apakah penghancuran gila itu dilakukan atas
nama totalitariansime atau nama yang suci dari kebebasan dan demokrasi? -
Mahatma Gandhi ”
“ Sepanjang sejarah tidak ada perang yang tidak dilahirkan oleh
pemerintah, pemerintah saja, terlepas dari kepentingan rakyat, yang baginya
perang selalu merugikan, meskipun misalnya berhasil dimenangkan. - Leo
Tolstoy ”
“ Membalas kekerasan dengan kekerasan akan melipatgandakan kekerasan,
menambahkan kekelaman yang lebih mendalam kepada malam yang sudah tidak
berbintang. Kekelaman tidak dapat menghalau kekelaman: hanya terang yang
dapat melakukannya. Kebencian tidak dapat menghalau kebencian: hanya cinta
kasih yang dapat melakukannya. Kebencian melipatgandakan kebencian, kekerasan
melipatgandakan kekerasan, dan ketegaran melipatgandakan ketegaran dalam
lingkaran kehancuran yang kian mendalam ... Reaksi berantai dari kuasa jahat
- kebencian melahirkan kebencian, peperangan menghasilkan lebih banyak lagi
peperangan - harus dipatahkan, atau kita akan terjerumus ke dalam liang
pemusnahan yang gelap. -Martin Luther King Jr. ”
“ Menjadi pasifis di antara peperangan sama mudahnya dengan menjadi
vegetarian di antara waktu makan. - Ammon Hennacy ”
“ Konsep anti-kekerasan adalah sebuah gagasan keliru. Ia mempradugakan
adanya cinta kasih dan rasa keadilan pada pihak lawan kita. Bila lawan ini
hanya akan kehilangan segala-galanya dan tidak akan memetik keuntungan apapun
dengan melaksanakan keadilan dan cinta kasih, reaksinya hanya mungkin
negatif. - George Jackson. ”
“ Karena kaum pasifis mempunyai lebih banyak kebebasan bertindak di
negara-negara di mana jejak demokrasi bertahan, pasifisme dapat bertindak
lebih efektif dalam merugikan demokrasi daripada menguntungkannya. Secara
obyektif, seorang pasifis adalah pro Nazi.- George Orwell. ”
“ Menjadi pasifis untuk menyelamatkan nyawa sendiri adalah normal,
menjadi pasifis demi nyawa orang lain adalah pasifisme sejati. - Jacob Borer
”
“ Nabi Muhammad datang ke dunia dan mengajarkan kepada kita - Bahwa
seorang Muslim adalah orang yang tidak pernah menyakiti siapapun juga baik
dengan perkataan maupun dengan perbuatan, melainkan yang berusaha demi
manfaat dan kebahagiaan makhluk-makhluk Allah. Percaya kepada Allah berarti
mencintai sesama kita manusia. - Khan Abdul Ghaffar Khan.
FENOMENOLOGI
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari
manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa
dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti
daripada fenomena ini.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 -
1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya
tentang ilmu yang tak nyata.
Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas
fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal
dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari
apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting
dalam pengembangan pendekatan filosofis ini.
EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada manusia
individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan
secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya
bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi
seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya
masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya
tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia,
dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang
berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah
kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin
utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk
determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.
Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat
Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be
free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian
manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi
kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau
"dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang
bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya
universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu
adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang
lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang
berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun
yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan
atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan
adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan
terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan
sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah
kita menjadi dokter atas keinginan orangtua, atau keinginan sendiri.
Minggu, 04 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
jangan menjadikan filsafat sebagai pedoman diatas segala galanya,karena filsafat hanyalah buah pemikiran seseorang yang apabila di kaji secara mendetail dari berbagai macam aspek,bisa jadi kebenarannya belum bisa di pastikan
BalasHapus