Oleh: Prof. Dr. Budi Santosa Wignyosukarto -- Ketua Kopertis V Yogyakarta, Pengajar FT-UGM Yogyakarta,
Air merupakan kebutuhan utama mahluk hidup. Air juga dibutuhkan oleh manusia tidak hanya sebagai bahan baku tetapi juga dibutuhkan sebagai media produksi, sebagai air irigasi untuk keperluan budidaya pertanian, sebagai media produksi industri dan tenaga listrik. Air yang ada dibumi ini tidak hanya dibutuhkan oleh manusia tetapi juga oleh alam guna menjaga stabilitas ekosistemnya. Dalam suatu sistem sungai, selain untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, air juga dibutuhkan untuk menjaga stabilitas sungai dengan kemampuan untuk membawa dan mengendapkan sedimen, untuk menjaga kualitas lingkungan dan lain-lain. Oleh karena itu keberadaan air dalam kuantitas, kualitas dan waktu tertentu sangat diharapkan guna menjamin kelestarian hidup manusia dan lingkungan.
Dengan semakin meningkatnya jumlah manusia, semakin berkembangnya daerah pertanian dan pemukiman, serta menurunnya daerah resapan, kualitas lingkungan dan berubahnya pola cuaca, maka mulai dirasa ketidak-seimbangan antara pemanfaatan dan ketersediaan air dalam jumlah dan kualitas yang mencukupi. Sebagian besar air hujan yang jatuh ke bumi langsung menjadi runoff (aliran permukaan), karena lahan tidak mempunyai kemampuan menyimpan air. Hal tersebut akan mengakibatkan perbedaan aliran sungai di musim hujan dan musim kemarau yang sangat besar yang dapat menjadi bencana banjir dan kekeringan bagi kita semua. Selain itu, sebagian dari kita mulai tidak peduli akan kelestarian dan kesehatan lingkungan sehingga beberapa sumber air (sungai, waduk, danau) dikotori dengan limbah rumah tangga, industri dll.
Rivalitas dalam upaya mendapatkan air guna berbagai kepentingan dengan kendala spasial dan waktu, telah mengakibatkan terjadinya upaya menjadikan air sebagai komoditas ekonomi. Agar sumberdaya air tersebut dapat dimanfaatkan guna menunjang hajat hidup orang banyak sesuai dengan harapan di dalam UUD 1945, diperlukan pola pengelolaan sumberdaya air yang komprehensif yang berkelanjutan dan terpadu.
Pengelolaan Sumberdaya Air
Menurut Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, pengelolaan sumberdaya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Konservasi sumber daya air meliputi upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Pendayagunaan sumberdaya air meliputi upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna. Pengendalian daya rusak air meliputi upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air. Pengelola sumberdaya air adalah institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air. Sesuai dengan pengertian ini, didalam pengelolaan sumberdaya air telah dikenalkan terminology pengusahaan air, yang kemudian dijamin lewat pemberian hak guna usaha air.
Pengelolaan sumberdaya air di Indonesia menghadapi problema yang sangat kompleks, mengingat air mempunyai beberapa fungsi baik fungsi sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan yang masing dapat saling bertentangan. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas kegiatan ekonomi, telah terjadi perubahan sumberdaya alam yang sangat cepat. Pembukaan lahan guna keperluan perluasan daerah pertanian, pemukiman dan industri, yang tidak terkoordinasi dengan baik dalam suatu kerangka pengembangan tata ruang, telah mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, erosi, tanah longsor, banjir. Di Pulau Jawa, yang hanya mempunyai 4,5% potensi air tawar nasional, harus menopang kebutuhan 60% jumlah penduduk Indonesia, hampir 70% daerah irigasi Indonesia, dan harus melayani 70% kebutuhan air industri nasional. Hal itu telah mengakibatkan terjadinya peningkatan konflik antara para pengguna air baik untuk kepentingan rumah tangga, pertanian dan industri, termasuk penggunaan air permukaan dan air bawah tanah di perkotaan. Saat ini sektor pertanian menggunakan hampir 80% kebutuhan air total, sedangkan kebutuhan untuk industri dan rumah tangga hanya 20%. Pada tahun 2020, diperkirakan akan terjadi kenaikan kebutuhan air untuk rumah tangga dan industri sebesar 25% - 30%. Selain itu, beberapa daerah aliran sungai di Pulau Jawa telah mengalami degradasi yang sangat memprihatinkan, erosi yang berlebihan telah mengakibatkan terjadinya sedimentasi di beberapa waduk yang telah dibangun di sungai Citarum, Brantas, Serayu-Bogowonto dan Bengawan Solo. Sedimentasi tersebut akan mengurangi usia tampung waduk, usia tampung beberapa waduk tersebut diperkirakan hanya akan mampu memenuhi kebutuhan air baku hingga tahun 2010 saja. Pengambilan air tanah yang berlebihan di beberapa akuifer di kota-kota besar di Pulau Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya) telah mengakibatkan terjadi intrusi air laut dan penurunan elevasi muka tanah. Ketidaktersediaan sistem sanitasi dan pengolah limbah industri yang baik, juga telah mengakibatkan terjadinya pencemaran air tanah dan sungai oleh buangan air rumah tangga dan industri, terutama di musim kemarau. Di saat lain, dimusim hujan, banjir terjadi di mana-mana, akibat karena semakin kecilnya daerah resapan, turunnya kapasitas sungai dan rusaknya sistem drainasi internal.
Upaya konservasi air guna menjaga keberlanjutan ketersediaan air menjadi tuntutan utama. Beberapa konsep konservasi telah dikemukakan, mulai dari sumur resapan, lobang biopori, embung, penghijauan, prokasih, namun hingga saat ini hasilnya tidak/belum terlihat dengan nyata, bahkan sebagian kegiatan tersebut hanya bersifat seremonial saja. Problema pengelolaan air di Indonesia tidak hanya tergantung pada masalah teknis, banyak masalah social, ekonomi dan lingkungan yang saling berinteraksi, yang pada ujungnya keputusan politis menjadi sangat penting dalam memecahkan masalah ini. Banyak keputusan politis yang tidak memihak pada konsep konservasi air. Sebagai contoh Peraturan Pemerintah no 43/2008 tentang air tanah, pada pasal 55 ayat 2 (c) dikatakan bahwa hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah, diperoleh tanpa izin, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan apabila kurang dari 100 m3/bulan per kepala keluarga dengan tidak menggunakan system distribusi terpusat. Jumlah 100 m3/bulan/kk merupakan jumlah yang sangat besar, mengingat rerata pemakaian air kita saat ini masih 100 liter/orang/hari, sedangkan di Negara maju hanya 200 liter/orang/hari. Katakan dalam satu KK terdapat 5 orang, maka kebutuhan air untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari satu KK hanya 5 x 30 x 100 liter = 15.000 liter/bulan/kk = 15 m3/bulan/kk. Apabila aturan ini diterapkan, maka ekstraksi air tanah akan meningkat dan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi. Demikian pula standar penggunaan air tanah untuk kepentingan pertanian. Di dalam pasal 55 ayat 3 (b) dinyatakan pembatasan pemakaian tidak lebih dari 2 (dua) liter per detik per kepala keluarga dalam hal air permukaan tidak mencukupi. Angka pemberian air irigasi yang ditetapkan berdasar kepala keluarga, bukan berdasar areal pertanian yang diberi air irigasi, menunjukkan ketidak-tepatan peraturan ini dalam penentuan pemberian hak guna air. Seharusnya peraturan perundangan yang ada lebih memperhatikan kelangkaan air yang saat ini menjadi isu internasional. Peningkatan konversi hutan di lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit sangat terlihat nyata pada beberapa tahun terakhir ini, jutaan hectare hutan gambut telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Telah terjadi peningkatan produksi dari tahun 1995 sebesar 5 juta ton menjadi 15 juta ton pada tahun 2005. Konversi lahan gambut ini telah mengakibatkan perubahan sifat fisik tanah gambut yang tadinya mampu menyimpan air pada saat musim hujan sehingga dapat meredam banjir dan melepas air saat musim kemarau guna keberlanjutan aliran air sungai, menjadi tanah gambut kering yang hilang kemampuan menyimpan air nya lagi. Peningkatan produksi kelapa sawit didorong oleh keinginan untuk memproduksi bio-fuel sebagai pengganti bahan bakar fosil, namun akibatnya kerusakan lingkungan yang terjadi lebih mahal dari pada penghematan yang akan dicapai. Konsep kali bersih sudah hilang dari peredaran, pencemaran dari rumah penduduk sering dipakai sebagai alasan, padahal pencemaran dari industry belum dapat dikontrol oleh peraturan yang ada. Perluasan pemukiman yang mengubah tata ruang tidak diikuti oleh upaya penggantian daerah resapan air yang memadai dan pengolahan limbah yang terkoordinasi, karena ijin perluasan pemukiman hanya diberikan oleh instansi yang berwenang mengatur ruang tanpa koordinasi dengan instansi yang mengatur lingkungan dan sumberdaya air. Upaya konservasi air sangat diperlukan mengingat kejadian kelangkaan air sudah semakin sering terjadi di Indonesia. Hampir 25 juta kepala keluarga hidupnya tergantung pada pertanian yang membutuhkan hampir 80% air yang tersedia. Peningkatan penduduk perkotaan membutuhkan air bersih yang cukup dan layak untuk kepentingan hidup mereka. Semangat masyarakat untuk mencapai cita-cita itu telah banyak disampaikan, namun kegagalan-kegagalan sering menurunkan semangat tersebut. Salah satu hal yang menjadi kendala adalah kemauan politis yang tidak sesuai dengan niat baik itu.
Pengusahaan Air
Terminologi pengusahaan air dalam pendayagunaan sumberdaya air, seperti yang ada pada Undang-Undang No 7/2004 ini, telah mengundang kritik banyak pihak, terutama sejak didengungkan dalam Dublin Principle (1992), dimana salah satu prinsip yang dikenalkan menyatakan bahwa air mempunyai nilai ekonomi dan harus dikenal sebagai barang ekonomi. Sebagai barang ekonomi, harga air dapat ditentukan oleh pasar, yang ditentukan kemampuan membeli dan kemampuan menjual. Terminology pengusahaan air ini juga ada di Pasal 45 ayat (3) UU No 7/2004, yang menyatakan bahwa pengusahaan sumber daya air, selain pengusahaan sumber daya air permukaan dalam satu wilayah sungai yang dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara badan usaha milik negara dengan badan usaha milik daerah, dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Pengusahaan tersebut dapat berbentuk:
a) penggunaan air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan;
b) pemanfaatan wadah air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan; dan/atau
c) pemanfaatan daya air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan dalam perizinan.
Selain itu, peluang untuk menjual air bagi Negara lain pun dikenal dalam Undang-Undang Sumberdaya Air tersebut. Menurut pasal 49 ayat (1) Pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan, kecuali apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) telah dapat terpenuhi.
Terminologi Pengusahaan air ini menjadi perdebatan yang cukup ramai saat penyusunan undang-undang sumberdaya air, saat sebelum pengesahan hingga saat perdebatan di Mahkamah Konstitusi. Ada seorang ekonom yang mengatakan bahwa menurut Pasal 33 Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, menurut pendapatnya, air dapat juga diperlakukan seperti sumberdaya alam lainnya (bahan bakar minyak, batu bara) yang dapat diperdagangkan sebagai barang ekonomi dan hasilnya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Saat air dianggap sebagai barang ekonomi maka untuk mendapatkannya akan terjadi kompetisi, persaingan untuk mendapatkannya, mengabaikan orang lain yang tidak mampu membeli, dan menghalangi orang lain yang tidak berhak. Air harus menjadi barang public, karena air adalah kebutuhan dasar hidup manusia, dan menurut Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28A, Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, Pasal 28C Ayat (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu air harus dianggap sebagai barang public/barang sosial, karena air diharapkan dapat dikonsumsi oleh umum dan konsumen tidak bersaing untuk menggunakannya (non rivalry in consumption), air tidak hanya digunakan bagi seseorang dan mengabaikan yang lainnya (non-exclusive) dan orang lain tidak dapat menghalangi (mengecualikan) pihak atau orang tertentu untuk menggunakannya (low excludability).
Selain itu, kalau ditinjau dari aspek spasial, air tidak dapat dipisahkan begitu saja menjadi beberapa jenis air, karena pada keadaan alaminya, air mengalir dari hulu ke hilir, sehingga setiap kegiatan di hulu akan berpengaruh pada ketersediaan air di bagian hilir, air pada suatu saat dapat berupa air tanah, suatu saat lain dapat berubah menjadi air permukaan. Saat terjadi pemanfaatan kadar lengas air akan mengurangi jumlah air tanah, pemanfaatan air tanah akan mempengaruhi ketersediaan air permukaan. Sehingga setiap penggunaan air/sumberdaya air akan mempengaruhi keseluruhan siklus air. Ketersediaan air juga dipengaruhi oleh perubahan iklim, tata guna lahan, campurtangan manusia yang dapat berjarak ratusan kilometer. Kebutuhan air pun dapat berbeda dalam dimensi waktu, tergantung peningkatan populasi penduduk, dan struktur ekonomi masyarakat. Semua itu akan menimbulkan kesulitan untuk menentukan nilai pengaruh pihak ketiga pada pemanfaatan setiap jenis air. Selain itu, “pasar” air pun sangat heterogen. Pemakai air untuk keperluan pertanian, industry, listrik tenga air, penanggulangan bahaya banjir, mempunyai karakteristik yang berbeda. Pemakai air untuk keperluan pertanian, mempunyai tingkat relevansi social yang lebih tinggi, tetapi mempunyai kemampuan “membayar” rendah, demikian pula untuk kepentingan lingkungan, social dan budaya. Di sisi lain, air tidak dapat digantikan oleh zat lainnya, air menjadi bahan yang sangat penting bagi kehidupan mahluk hidup, tidak seperti pangan yang dapat mempunyai alternative beras, gandum, jagung, sagu; atau bahan bakar yang mempunyai pilihan antara batubara, kayu, minyak, biofuel. Oleh karena itu air tidak dapat dijadikan barang ekonomi. Seharusnya nilai “ekonomi” air lebih ditentukan pada nilai manfaat air dipandang dari tingkat kepentingan untuk peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia.
Oleh karena itu, terminology pengusahaan air untuk kepentingan public di dalam perundangan harus dicermati lagi, sehingga upaya komodifikasi air sebagai barang ekonomi dapat dicegah, agar air betul-betul dapat menjadi sumberdaya dasar bagi pengembangan kesehatan dan kesejahteraan manusia Indonesia.
Pemenuhan Kebutuhan Air Minum
Kebutuhan air minum dapat dicukupi dari sumber air (sumur, sungai, mata air, hujan) dan dari jaringan distribusi. Pemenuhan air minum lewat jaringan distribusi biasanya diusahakan oleh PDAM, dan saat ini sebagian telah dikonsesikan kepada perusahaan asing, sebagai contoh air minum DKI Jakarta yang dikelola oleh PALYJA lewat kontrak konsesi. Upaya memberikan konsesi kepada pihak swasta didasarkan alasan keterbatasan pemerintah dalam peningkatan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan air minum yang kerkualitas. Seperti kita ketahui, cakupan pelayanan air minum, saat ini, baru mencapai 24% populasi nasional, yang terdiri atas 45% daerah perkotaan dan 10% daerah pedesaan. Cakupan layanan ini masih jauh dari target MDG (Millenium Development Goal) sebesar 80% hingga tahun 2015 nanti. Bagaimana upaya kita mencapai tujuan MDG tersebut? Apakah kita akan memperbesar jumlah kontak konsesi kepada swasta asing atau kita tingkatkan kemampuan PDAM. Yang sangat penting adalah pemahaman makna Pasal 33 UUD 1945 Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan pasal 34 ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Penguasaan oleh Negara diartikan bahwa penyediaan air minum itu tidak akan membuat air menjadi barang privat yang mempunyai sifat excludability dan rivalry yang tinggi, Negara harus bertindak sebagai regulator bukan hanya fasilitator, yang menentukan kelayakan dan kualitas penyediaan air minum bagi warga negaranya. Negara lewat badan regulator harus memiliki hak untuk menentukan tariff, menentukan keputusan2 penting dalam pengelolan air, menguasai asset. Jangan seperti saat ini, PALYJA berhak mendapatkan kenaikan harga air otomatis, walaupun kualitas pelayanan dan kualitas airnya tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Disisi perundangan masih terjadi kerancuan pemaknaan air sebagai kebutuhan dasar hajat hidup orang banyak. Kebutuhan atas air minum ini sering dikatakan sebagai kebutuhan pokok sehari-hari. Namun pada kenyataannya terjadi kerancuan atas makna kebutuhan pokok sehari-hari ini. Pada pasal 6 UU Sumberdaya Air, yang dimaksud dengan kebutuhan pokok sehari-hari adalah air untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang digunakan pada atau diambil dari sumber air (bukan dari saluran distribusi) untuk keperluan sendiri guna mencapai kehidupan yang sehat, bersih dan produktif, misalnya untuk keperluan ibadah, minum, masak, mandi, cuci dan, peturasan. Padahal menurut pasal 5 UU Sumberdaya Air, Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif. Apakah masyarakat perkotaan yang setiap harinya menggantungkan pemenuhan kebutuhan air minumnya dari jaringan distribusi tidak termasuk sebagai warga Negara yang dijamin oleh pemerintah untuk hidup? Dikuatirkan kerancuan makna kebutuhan pokok sehari-hari ini hanya disebabkan oleh keinginan untuk membuka peluang pengusahaan air minum bagi swasta.
Ada yang berpendapat bahwa pada jaringan distribusi, seseorang akan mendapatkan air lewat pipa “privat” yang langsung masuk ke rumah, sehingga pada keadaan seperti itu air dapat dikatakan sebagai barang privat yang mempunyai excludability (orang yang tidak membayar tidak akan mendapat air) dan high rivalry ( pemakai dibedakan dari pemakai lainnya). Pendapat ini menjadikan jaringan air minum sebagai fasilitas layanan public menjadi bias. Apabila asset jaringan pipa dimiliki oleh publik, bukan dimiliki oleh provider dan tariff air ditentukan oleh regulator, maka sifat excludability dan rivalry tersebut tidak akan dapat diterapkan kepada air minum yang didapat dari saluran distribusi. Sehingga sifatnya sebagai kebutuhan utama manusia untuk hidup, maka air dari saluran distribusi air minum tetap dapat dianggap sebagai kebutuhan pokok sehari-hari. Dan sesuai pasal 29 UU Sumberdaya Air, penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari merupakan prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan, sehingga setiap orang di pedesaan dan diperkotaan mendapat jaminan untuk mendapatkan kebutuhan pokok sehari-hari.
Alokasi Air dan Hak Guna Air
Karena adanya terminology pengusahaan air, maka di dalam UU No 7/2004, dikenal adanya hak guna air (Pasal 6) yang berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Pembagian hak guna air ini menunjukkan bahwa peraturan ini membedakan beberapa jenis pemakaian air, yang sebetulnya, seperti disampaikan di atas, air tidak dapat dipisah-pisahkan dari siklus hidrologinya. Apabila konsep hak guna usaha ini diterapkan, dan swasta diberikan izin pengusahaan sumberdaya air, siapakah pemegang hak guna usaha tersebut? Sebagai contoh, sesuai dengan pasal 45 UU No 7/2004, sebuah institusi swasta dapat memperoleh izin pengusahaan air pada suatu lokasi tertentu dan pemanfaatan wadah air pada suatu lokasi tertentu. Dengan mendapatkan hak guna usaha atas penguasaan air pada lokasi tertentu dan wadah air tertentu, maka institusi swasta tersebut dapat mempengaruhi suatu siklus hidologi hulu – hilir. Memang air hujan yang jatuh ke bumi, tanpa upaya untuk menangkapnya, air akan mengalir terbuang ke laut, namun intervensi perseorangan terhadap siklus ini dapat mempengaruhi system pengelolaan sumberdaya terpadu. Palyja sebagai institusi swasta yang mengusahakan air minum di DKI, tentunya mendapatkan alokasi air untuk memenuhi kebutuhan produksinya. Apabila Palyja mendapatkan alokasi air, hak guna air seperti apa yang akan diberikan kepada Palyja, Hak Guna Pakai Air atau Hak Guna Usaha Air? Apabila diberikan Hak Guna Usaha, siapakah pemegang Hak Guna Usaha Air tersebut? Memang dalam pasal 7 UU No 7/2004, Hak guna air tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya, namun apabila kepemilikan saham PALYJA berubah dipasar saham, apakah pemegang Hak Guna Usaha tersebut tidak dapat diartikan dipindahtangankan kepemilikannya? Seperti diketahui kepemilikan saham PALYJA saat terdiri atas Suez Environnement sebesar 51%, PT Astratel Nusantara sebesar 30% dan Citigroup Financial Product Inc sebesar 19%. Untuk melindungi public yang mendapatkan layanan dari institusi swasta ini, seharusnya hak guna usaha ini dipegang oleh pemerintah. Hak Guna Air bagi semua pemanfaatan air untuk kepentingan public, tetap harus dipegang oleh pemerintah, sehingga negara dapat menjamin penyediaan pelayanan public yang layak.
Upaya melindungi kebutuhan orang banyak terhadap kebutuhan utama hajat hidup manusia memerlukan pemikiran yang komprehensif. Air merupakan kebutuhan utama manusia untuk hidup dan tidak dapat digantikan oleh barang lain, sehingga air harus diberlakukan sebagai barang public. Upaya komodifikasi sumberdaya air dapat menghambat upaya pengelolaan sumberdaya air terpadu, karena komodifikasi ini telah memisah-misahkan sumberdaya air dalam beberapa jenis yang dapat memutus siklus hidrologi alami sumberdaya air.
Pustaka
B. Wignyosukarto, 2007, Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu dalam Upaya Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium 2015, Pidato Pengukuhan Guru Besar FT UGM.
Director General of Human Settlement, 2009, Indonesian Water Supply Highlight and Challenges, Seminaire des Gestion des Ressources en Eau, 27 May 2009, Departemen Pekerjaan Umum dan Ambassade de France.
P. van der Zaag, H.H.G. Savenije, 2006, Water as an economic good: the value of pricing and the failure of markets, Research Report Series No. 19, Unesco-IHE, Delft, Nederland.
PALYJA, 2009, Public Private Partnership (PPP) PALYJA’s Example, Seminaire des Gestion des Ressources en Eau, 27 May 2009, Departemen Pekerjaan Umum dan Ambassade de France.
Minggu, 01 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk