oleh : Hans Kung University of Tubingen, Tubingen, Jerman Barat
Sajian khusus nomor perdana jurnal ini menurunkan dua artikel. Artikel pertama ditulis oleh Hans Kung berjudul "Christianity and World Religions: The Dialogue with Islam as One Model." Artikel kedua ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr berjudul "Response to Hans Kung's Paper on Christian-Muslim Dialogue." Mulanya kedua tulisan tersebut disampaikan pada pertemuan pertama Harvard Divinity School's Jerome Hall Dialogue Series, yang diadakan pada tanggal 16 0ktober 1984, yang kemudian dimuat dalam The Muslim World Vol. LXXVII, No. 2 (April 1997), h. 80-105. Kedua artikel tersebut diterjemahkan oleh Nanang Tahqiq. (Red.)
SETELAH penelitian sulit bertahun-tahun, panel World Christian Encyclopaedia (Oxford, 1982) menghitung bahwa pemeluk Buddha di dunia berjumlah 274 juta, yang hanya sedikit bermukim di India. Pemeluk Hindu berjumlah lebih dari dua kali lipat, yakni 583 juta. Tujuh ratus dua puluh tiga juta Muslim merupakan kelompok terbesar kedua setelah Kristen yang berjumlah 1400 juta. Ini mengungkapkan betapa besar dan pentingnya agama Islam, berbeda dari agama-agama mistis asal India, yang harus dilihat sebagai agama profetik bersama Yahudi dan Kristen.
Islam kini berkembang menjadi lebih dekat kepada kita ketimbang sebelumnya, dalam pengertian yang lebih luas ketimbang pengertian murni geografi dan mobilitas. Terdapat penambahan jumlah orang-orang Muslim yang berada di sekitar kita secara besar-besaran, yang kita bawa ke negara-negara kita karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Kita menginginkan tenaga kerja dan akhirnya kita pun dipertemukan dengan orang-orang yang seperti kita, yakni orang-orang yang secara tajam mendefinisikan keimanan mereka seperti kita dan kehadiran mereka menjadi tantangan bagi suatu lingkungan Kristen yang tertutup.
Saya tidak akan membicarakan sejarah abad-abad silam yang telah dihiasi konflik dan pengetahuan mengenai Kristen dan Islam, juga tak akan membahas secara mendalam sebuah tema tunggal seperti Islam dan sikap kembali kepada, atau sekularisasi dalam Islam. Begitu pun saya tidak mau mengangkat kebiasaan teror orang-orang Muslim fanatik di Iran, yang telah meremukkan rasa simpati terhadap Islam yang barangkali masih dimiliki oleh banyak orang di antara kita. Dalam situasi sekarang, persisnya yang saya rasakan penting sebagai seorang teolog untuk memilih masalah-masalah teologis yang sukar dan mengajukan sebuah pertanyaan, yakni pertanyaan lewat contoh ketimbang menyeluruh: Bagaimana umat Kristen hari ini menanggapi klaim-klaim keimanan Muslim? Dengan kata lain, saya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang akan menolong kita untuk secara penuh menguji pendirian ekumenis (bersifat mewakili umat Kristen sedunia) kita, yang berubah terhadap agama-agama dunia lain secara umum, dengan pandangan lebih luas dan terbuka; pertanyaan-pertanyaan yang mungkin membantu kita membaca kembali sejarah pemikiran teologis dan keimanan kita seperti yang diungkapkan dalam Islam.
Tak perduli dari pandangan teologis apapun kita memandang klaim-klaim Islam, satu hal tampak pasti di mata saya: terlepas dari Khomeini, tak akan ada lagi upaya untuk kembali ke kebiadaban Islam abad-abad silam, atau kebal dari citra buruk. Oleh karenanya sebagaimana dalam agama-agama yang lain, Islam kini tidak dapat lagi disepelekan oleh teologi Kristen, melainkan sudah harus dipertimbangkan baik secara politis maupun teologis sebagai sebuah realitas satu dunia, dimana kita hidup serta mewujudkan upaya-upaya teologis kita.
Orang-orang Kristen masih menganggap Islam, untuk sebagian besar, sebagai entitas yang kaku, sebagai sistem agama yang tertutup ketimbang agama hidup yang secara ajek berubah selama berabad-abad yang mengembangkan keanekaragaman inti yang besar dan dianut oleh sekelompok orang dengan spektrum yang luas dari sikap-sikap dan perasaan-perasaan. Akhir-akhir ini tentunya telah harus ada upaya berangsur-angsur untuk memahami dari dalam mengapa orang Muslim melihat Tuhan dan dunia, pengabdian kepada Tuhan dan kepada masyarakat, politik, hukum dan seni dengan pandangan berbeda, mengapa ia mengalami hal-hal itu semua dengan perasaan-perasaan yang berbeda dengan perasaan-perasaan orang-orang Kristen. Dengan memperhatikan Persia dewasa ini di benak, kita pertama-tama harus menangkap fakta bahwa malah sekarang agama Islam bukan sekadar "cabang lain" dalam kehidupan seorang Muslim, "cabang" yang telah mensekularkan masyarakat sebagaimana yang terjadi di dalam "faktor keagamaan" atau "sektor keagamaan" bersama-sama dengan "faktor-faktor kultural" atau "sektor-sektor kultural" yang lain. Kehidupan dan agama, agama dan budaya adalah saling terjalin secara dinamis. Islam berusaha menampilkan diri sebagai pandangan hidup yang serba mencakup, perspektif yang menyeluruh tentang kehidupan, dan cara yang menentukan seluruh kehidupan --dan jalan menuju kehidupan kekal di tengah-tengah mortalitas: sebuah jalan keselamatan. Keselamatan? Apa yang dapat dikatakan seorang teolog Kristen untuk klaim ini?
A. Islam - Sebuah Jalan Keselamatan?
Saya mengajukan pertanyaan ini dengan mempertimbangkan setidaknya sikap mendua dari World Council of Churches (Dewan Gereja-Gereja Sedunia) yang, disebabkan oleh konflik pandangan di antara anggota-anggota gereja sendiri, memilih, bahkan hingga akhir 1977-1979 di "Guidelines for Dialogue with People of Different Religions and Ideologies" (Petunjuk-Petunjuk untuk Dialog dengan umat yang Berbeda Agama dan Ideologi) untuk tidak menjawab pertanyaan apakah ada keselamatan di luar gereja-gereja Kristen, sebuah pertanyaan yang tak diragukan lagi sangat penting akhir-akhir ini.
Posisi Katolik tradisional, seperti dipersiapkan di abad-abad awal gereja Kristen oleh Origen, Cyprianus dan Augustinus, terkenal secara umum: extra ecclesiam nulla salus! (Tak ada keselamatan di luar Gereja). Maka untuk masa depan juga: extra ecclesiam nullus propheta! (Tak ada nabi di luar Gereja). Konsili Florensa pada 1442 mendefinisikan hal ini dengan sangat jelas:
Gereja Suci Roma ... tegas-tegas meyakini, bersaksi dan menyatakan bahwa tak seorang pun di luar gereja Katolik, baik orang kafir atau Yahudi atau orang yang tidak beriman, tidak juga orang yang terpisah dari Gereja, akan ikut bersama-sama dalam kehidupan yang kekal, tetapi akan binasa di dalam api kekal yang disediakan untuk setan dan antek-antek-anteknya, jika orang tersebut tidak bergabung dengannya [gereja Katolik] sebelum mati.1
Bukankah hal tersebut, sekurang-kurangnya bagi orang-orang Katolik, tidak mengukuhkan klaim Islam? Dan tampaknya hal ini telah berjalan selama lebih dari 1200 tahun.
Adalah benar bahwa suatu teologi Katolik dekade-dekade belakangan ini telah mencoba untuk memperoleh "pemahaman baru" terhadap "dogma tambahan" yang tidak kompromistis tadi. Untuk sebagian besar hal itu berarti mengubah interpretasi yang selama ini dipegang teguh, malah pun menghasilkan sesuatu yang bertolak belakang. Walau begitu dogma tersebut, karena kekebalannya dari kesalahan, tetap tak mungkin dikoreksi. Akan tetapi pada abad ke- 17, Roma telah didesak oleh kaum Jansenis ekstrim guna membuang pernyataan extra ecclesiam nulla gratia (Tak ada rahmat di luar Gereja).2 Jika akhirnya ada rahmat charis, karisma yang bisa didapat di luar Gereja, tidakkah bisa disana juga ada kenabian, secara jelas salah satu charismata (anugerah spiritual) di luar Gereja?
Sekarang ini, betapapun juga, posisi Katolik tradisional tidak lagi menjadi posisi Katolik resmi. Sejak awal 1952 jemaat Roma secara bertolak-belakang dengan mengucilkan pendeta mahasiswa Harvard, P.L. Feeney, yang menurut para bapak gereja dan Konsili Florensa, mempertahankan bahwa semua orang di luar gereja Katolik adalah terkutuk. Sementara Konsili Vatikan Kedua menyatakan secara gamblang dalam undang-undang yang berkaitan dengan Gereja bahwa:
mereka yang, bukan dikarenakan kesalahan mereka sendiri, tidak mengetahui Injil Kristus atau Gerejanya, namun mereka mencari Tuhan dengan hati yang jujur dan, digerakkan oleh rahmat, berusaha dalam tindakan-tindakan mereka melaksanakan kehendak-Nya sebagaimana mereka mengetahui hal itu melalui bisikan kesadaran mereka sendiri-maka mereka pun akan memperoleh keselamatan yang kekal (Art 16).
Maksud sebenarnya dari pernyataan di atas ditujukan kepada mereka yang, lantaran latar belakang mereka sendiri, memiliki kesamaan keyakinan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen dalam keesaan Tuhan dan dalam melaksanakan kehendak-Nya: orang-orang Muslim. "Tetapi rencana keselamatan juga berlaku bagi mereka yang mengakui Pencipta, yang utama dalam hal ini di sini adalah orang-orang Muslim: orang-orang yang bersiteguh mengikuti keimanan Ibrahim, dan bersama-sama kita mereka menghormati Tuhan Yang Esa, Tuhan yang Pengasih, hakim manusia di hari akhir" (Art 16). Oleh sebab itu, menurut Vatikan Kedua, bahkan orang-orang Muslim tidak perlu "binasa dalam api kekal yang dipersiapkan untuk setan dan antek-anteknya;" mereka pun bisa "memperoleh keselamatan yang kekal." Ini berarti bahwa Islam juga dapat menjadi jalan keselamatan: mungkin bukan jalan sebagaimana biasanya, jalan yang "biasa," tapi barangkali jalan yang secara historis pengecualian atau jalan "luar biasa."
Teologi Katolik kontemporer ternyata membedakan antara jalan keselamatan yang "biasa" (yaitu jalan Kristen) dan yang "luar biasa" (yakni jalan non-Kristen). Bukankah ini berarti, sebagai sesuatu yang mungkin, bahwa sangatlah mungkin membedakan antara nabi-nabi yang "biasa" (nabi-nabi Kristen) dari nabi-nabi yang "luar biasa." Selama berabad-abad Muhammad dianggap sebagai seorang nabi gadungan, nabi palsu, dukun, tukang sihir, pemalsu, dan yang agak mendingan, penyair Arab. Tidakkah seharusnya kita berpikir sebaliknya, bahwa ia adalah seorang nabi asli, bahkan seorang nabi yang sebenarnya? Tetapi kemudian, apakah Muhammad benar-benar seorang nabi asli, sungguh-sungguh seorang nabi yang sebenarnya?
Saya tidak dapat menerangkan sejarah yang umum dikenal tentang Muhammad, yang sangat berbeda dengan sejarah Yesus: Muhammad ini, putra seorang saudagar, adalah yang diminta seorang janda kaya untuk menikahi janda tersebut, dan Muhammad bertemu janda itu saat bekerja; nabi Arab ini menyampaikan pesan Tuhan Yang Esa serta keadilan-Nya, yang berbeda dengan kenyataan yang politeistik saat itu di Makkah, kemudian ia hijrah ke Madinah, sekitar 350 kilometer, tetapi pada akhirnya ia berhasil di segala hal yang ia lakukan; dialah yang menaklukkan Makkah dan mempersatukan jazirah Arab di bawah kekuasaannya --sehingga ia adalah nabi sekaligus politisi, panglima perang sekaligus negarawan. Dari sudut-pandang teologi Kristen, hanya satu pertanyaan yang relevan: Apakah ia benar-benar seorang Nabi)
B. Muhammad - Seorang Nabi?
Tentu saja banyak agama tak mempunyai nabi-nabi dalam pengertian yang paling ketat. Orang-orang Hindu memiliki guru-guru dan sadhu-sadhu, orang-orang Cina mempunyai orang-orang bijak (Inggris: sages), orang-orang Buddha mempunyai guru-guru (Inggris: masters), tetapi tak satu pun dari para penganut agama-agama tersebut, seperti orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim mempunyai nabi-nabi. Tak dapat diragukan bahwa bila seseorang di dalam seluruh sejarah keagamaan disebut sang Nabi, karena ia memang mengatakan dirinya sebagai nabi, begitu juga yang terjadi pada Muhammad. Dan apakah Muhammad memang begitu? Malah orang Kristen yang beriman, jika ia berkesempatan menyelidiki keadaaan tersebut, tidak dapat untuk tidak menyetujui bahwa:
Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad tidak bekerja melalui kekuatan sebuah jabatan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat (atau para penguasanya), melainkan melalui hubungan pribadi yang khusus dengan Tuhan.
Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad adalah seseorang yang mempunyai keinginan kuat, yang merasakan dirinya dipenuhi oleh seruan ketuhanan yang sepenuhnya ditujukan, secara eksklusif ditentukan, untuk sebuah tugas.
Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad berbicara tentang jantung krisis agama dan sosial, dan dengan kesalehan yang penuh gairah serta seruan revolusioner ia menentang kelompok penguasa kaya dan tradisi yang dipegang teguh.
Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad, yang senantiasa menyebut diri sebagai Pengingat, berusaha menunjukkan diri sebagai bukan apa-apa selain jurubicara Tuhan dan tidak mengatakan apa-apa selain kata-kata Tuhan.
Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad tak letih-letih menyatakan Tuhan Yang Esa yang tidak mentoleransi tuhan-tuhan selain diri-Nya, Pencipta yang baik dan Hakim yang Penyayang.
Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad juga menghajatkan, sebagai responsi pada Tuhan yang Satu ini, kepatuhan, penyerahan diri, ketaatan tanpa syarat, yang merupakan arti literal dari kata Islam: segala sesuatu yang meliputi syukur pada Tuhan dan kemurahan hati kepada orang-orang lain.
Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad menggabungkan monoteisme dengan humanisme, percaya kepada satu Tuhan dan pengadilan-Nya dengan seruan kepada keadilan sosial: maka pengadilan dipadukan dengan keselamatan, dan ancaman bagi yang tidak adil, yang akan masuk neraka, dengan janji-janji bagi orang-orang yang adil, yang diletakkan di surga-Nya.
Siapa pun yang membaca Bibel --sekurangnya Perjanjian Lama-- dan al-Qur'an secara bersamaan akan digiring untuk merenungkan tentang apakah ketiga agama wahyu dari asal Semitik --Yahudi, Kristen dan Islam, dan khususnya Perjanjian Lama dan al-Qur'an-- memiliki dasar yang sama. Bukankah Tuhan yang satu dan Tuhan yang itu-itu juga yang berbicara secara gamblang di dalam kedua kitab tersebut? Tidakkah selaras antara "Maka Tuhan pun berkata" dalam Perjanjian Lama dengan "Berfirman" dalam al-Qur'an, dan antara pernyataan Perjanjian Lama "Pergi dan nyatakan" dengan pernyataan al-Qur'an "Bangunlah dan peringatkan." Bahkan kenyataan membuktikan bahwa jutaan orang Kristen yang berbicara bahasa Arab tidak memiliki kata lain untuk Tuhan selain "Allah".
Karena itu, apakah mungkin prasangka yang murni dogmatik mengakui Amos dan Hosea, Isajah dan Jeremiah sebagai nabi-nabi, tetapi tidak mengakui Muhammad? Apa pun yang dituduhkan seseorang terhadap Muhammad dari sudut pandang moralitas Kristen Barat (kekerasan dengan senjata, poligami, gaya hidup penuh nafsu), tidak dapat diperselisihkan:
bahwa sekarang bahkan terdapat 800 juta orang di daerah yang membentang antara Maroko di barat dan Bangladesh di timur, dari hamparan padang rumput Asia Tengah di utara hingga dunia kepulauan Indonesia di selatan, yang direkatkan oleh kekuatan luar biasa dari sebuah keimanan yang, tidak seperti keimanan lain, membentuk orang-orang yang mengakuinya ke dalam sebuah tipe yang universal;
bahwa mereka itu diikat oleh sebuah pengakuan keimanan yang sederhana (tak ada tuhan selain Tuhan, dan Muhammad adalah utusan-Nya), diikat oleh lima kewajiban dasar (pengakuan keimanan, shalat, zakat untuk orang miskin, puasa satu bulan, haji); dan diikat oleh penyerahan total pada kehendak Tuhan, yang keputusan-Nya tidak berubah, bahkan bila menderitakan pun, harus diterima;
bahwa pada mereka itu terdapat rasa persamaan fundamental manusia di hadapan Tuhan dan rasa persaudaraan internasional yang secara dasariah mampu mengatasi persoalan ras (orang-orang Arab dan orang-orang non-Arab) dan malah kasta-kasta di India.
Saya yakin bahwa meskipun ada kekhawatiran baru terhadap Islam, terdapat juga keyakinan yang meningkat di antara orang-orang Kristen bahwa, sesuai dengan kenyataan Muhammad dalam sejarah, kita tidak dapat melarikan diri dari sebuah koreksi sudut-pandang. "Momok eksklusifitas" yang muncul dari ketidaksabaran dogmatik, yang kerap dikutuk oleh sejarawan universal Inggris Arnold Toynbee, harus disingkirkan. Adapun menyangkut tokoh Nabi Muhammad, harus diakui:
bahwa masyarakat Arab di abad ke-7 mendengar dan mengikuti seruan Muhammad;
bahwa dalam perbandingan dengan politeisme yang sangat duniawi dari agama-agama kesukuan Arab lama, agama rakyat telah dinaikkan ke tingkat yang sepenuhnya baru, tingkat suatu agama tinggi yang monoteistik;
bahwa orang-orang Muslim menerima dari Muhammad --atau, secara lebih baik, dari al-Qur'an-- inspirasi, keberanian dan kekuatan yang tak ada habis-habisnya untuk permulaan agama baru: sebuah permulaan menuju kebenaran lebih besar dan pemahaman lebih dalam, menuju sebuah terobosan kebangkitan kembali serta pembaruan agama tradisional. Islam adalah pengilham besar bagi kehidupan.
Sesungguhnya Muhammad dulu dan kini adalah untuk masyarakat dunia Arab dan bahkan lebih jauh adalah sang pembaru agama, pembentuk hukum dan pemimpin: sang Nabi, per se. Secara dasariah, Muhammad, yang tidak pernah menginginkan menjadi apa pun selain manusia biasa, bagi orang-orang yang mengikutinya (imitatio Mohahmetis) lebih dari sekadar seorang nabi bagi kita: ia adalah contoh dalam gaya hidup yang diajarkan Islam. Dan jika gereja Katolik, menurut deklarasi yang berhubungan dengan agama-agama non-Kristen versi Vatikan Kedua (1964) (saya harap anda mengizinkan saya untuk tidak hanya menggunakan kutipan-kutipan ritual), memandang "orang-orang Muslim dengan penuh hormat, menyembah hanya pada satu Tuhan... yang telah berbicara kepada manusia", maka gereja tersebut, hemat saya, harus juga menghormati --terlepas dari rasa malu-- seseorang yang namanya tidak tercantum dalam deklarasi tadi, yang justru orang itulah yang membawa orang-orang Muslim menyembah Tuhan yang satu ini, maka sekali lagi, justru lewat dia, Muhammad, Sang Nabi, Tuhan ini "telah berbicara kepada manusia". Tetapi bukankah pengakuan seperti itu mempunyai konsekuensi-konsekuensi suram dan menggelisahkan, khususnya karena pesan yang diproklamirkan oleh Muhammad dan tertera dalam al-Qur'an)
Catatan kaki:
1 Henricus Denzinger (ed. Adolfus Schonmetzer), Enchiridion symbolorum, Editio XXXIV (Freiburg: Verlag Herder KG, 1965), 714 (hal. 342).
2 Denzinger, op.cit. (1295, 1379).
C. Al-Qur'an - Firman Tuhan?
Al-Qur'an lebih dari sekedar tradisi lisan yang bisa dengan mudah diubah. Ia adalah firman yang tertulis, yang diturunkan sekali untuk selamanya, sehingga dengan sendirinya tidak dapat diubah. Dalam hal ini ia sama dengan Bibel. Melalui keberadaannya yang direkam lewat tulisan, al-Qur'an memelihara suatu kekokohan luar biasa, kendati ada perubahan dan keanekaragaman sejarah Islam dari abad ke abad, dari generasi ke generasi, dari orang ke orang. Apa yang tertulis ya tertulis. Meskipun terdapat penafsiran-penafsiran dan ulasan-ulasan yang berbeda, meskipun terdapat bentuk-bentuk yang diambil oleh hukum Islam, syari'ah, al-Qur'an tetap sebagai sebutan yang sama (the common denominator), sesuatu seperti "benang hijau" Muhammad melintasi seluruh bentuk, ritual, dan lembaga-lembaga Islam. Orang yang ingin tahu baik mengenai Islam historis maupun Islam normatif, tidak dapat mengelak untuk kembali pada asalnya, yaitu al-Qur'an abad ke-7.
Meski al-Qur'an sama sekali tidak mentakdirkan (menetapkan terlebih dahulu) perkembangan Islam, ia secara paling pasti memberi inspirasi terhadap perkembangan Islam. Ia memasuki seluruh syari'ah, mencetak sistem legal (hukum) dan mistisisme, seni, dan segenap mentalitas. Para penafsir datang dan pergi, tapi al-Qur'an tetap utuh: ia satu-satunya yang paling konstan dalam Islam di antara variabel-variabel lain yang tak terhitung. Ia memperlengkapi Islam dengan kewajiban moral, dinamisme eksternal, dan kedalaman keagamaan, di samping ajaran-ajaran abadi dan prinsip-prinsip moral yang khas: tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan, keadilan sosial dan solidaritas Muslim. Dengan begitu al-Qur'an adalah Kitab Suci Islam yang, sebagaimana dipahami dari bentuk tertulisnya, bukan firman manusia, melainkan firman Tuhan. Bagi orang-orang Muslim, oleh sebab itu, firman Tuhan dituliskan dalam sebuah kitab. Pertanyaan kita, betapa pun juga: Apakah kitab tersebut benar-benar firman Tuhan?
Selama berabad-abad, pertanyaan seperti ini dilarang diajukan. Baik orang-orang Muslim maupun orang-orang Kristen diancam pengucilan dengan segala konsekuensinya. Dan siapa yang mampu menolak bahwa pertanyaan tersebut telah menyebabkan perpecahan-perpecahan politik yang tajam di antara bangsa-banga di dunia, dari abad-abad pertama penaklukan Islam hingga Perang Salib dan perebutan Konstantinopel, hingga pengepungan Vienna dan revolusi Persia di bawah komando Khomeini? Sebagaimana biasanya, ketika orang-orang Muslim dari Afrika Barat sampai Asia tengah dan Indonesia memandang bahwa al-Qur'an adalah firman Tuhan dan mengorientasikan hidup serta mati mereka sesuai dengan al-Qur'an, orang-orang Kristen seluruh dunia mengatakan "tidak". Malah bukan saja orang-orang Kristen, melainkan juga kemudian para sarjana agama Barat yang sekular, yang menganggap pasti bahwa al-Qur'an bukan firman Tuhan, tetapi sepenuhnya perkataan Muhammad.
Pada tahun 1962, seorang sarjana agama berkebangsaan Canada, Wilfred Cantwell Smith, menjadi orang pertama yang mengajukan pertanyaan tersebut di atas secara tajam, yang mengancam kedua belah pihak, dan membedah secara tepat bentuk pertanyaan itu sendiri.3 Kita tidak dapat melakukan apa-apa selain menyetujui pandangannya bahwa dua jawaban yang mungkin tersebut, yang keduanya cukup aneh, diajukan oleh orang-orang yang cerdas, kritis dan sepenuhnya jujur, sehingga tak perlu diragukan lagi dan telah menjadi dogmatic pre-conviction (pra-keyakinan dogmatis). Pada masing-masingnya, penafsiran yang berlawanan dianggap sebagai ketiadaan iman (kata orang-orang Muslim kepada orang-orang Kristen yang menolak al-Qur'an sebagai firman Tuhan) atau takhayul (kata orang-orang Kristen kepada orang-orang Muslim yang membenarkan al-Qur'an sebagai firman Tuhan).
Lalu, tidakkah benar, sebagaimana diklaim kolega Smith yang berkebangsaan Kanada, Willard Oxtoby, dalam menyusun suatu cara yang berdasarkan pengalaman, bahwa "you get out what you put in" (anda mengeluarkan apa yang anda simpan)? Dengan kata lain, tidakkah benar bahwa siapa pun yang menganggap al-Qur'an sebagai perkataan Tuhan sejak permulaan akan melihat berulang-ulang keyakinan-keyakinannya diteguhkan dengan membaca al-Qur'an, dan juga sebaliknya?
Tetapi dapatkah kita biarkan kontradiksi ini terus berjalan, biarpun untuk masa panjang hal tersebut sangat tidak memuaskan secara intelektual? Tidakkah terjadi pertambahan jumlah dari orang-orang Kristen dan bahkan mungkin orang-orang Muslim yang kemudian mendapat informasi lebih baik mengenai keimanan serta posisi orang lain, dan lalu membuat pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap diri sendiri? Saya akan mengulas secara singkat hal ini yang berkaitan dengan kedua posisi di atas:
a. Penyangsian kritis-diri terhadap pemahaman Kristen tentang wahyu. Bersamaan dengan semua pernyataan negatif mengenai cara-cara keliru, kegelapan, dan kesalahan dunia non-Kristen berikut seluruh seruan untuk bertobat, tidakkah juga kita dapatkan banyak pernyataan positif yang menyatakan bahwa Tuhan semula menampakkan diri-Nya kepada seluruh manusia? Sungguh, menurut Perjanjian Lama dan Baru, orang-orang non-Kristen juga bisa mengetahui Tuhan yang satu dan benar. Teks-teks ini sendiri menafsirkannya sebagai wahyu Tuhan dalam penciptaan.
Dengan memperhatikan latar belakang Biblikal, dapatkah kita meniadakan kemungkinan bahwa orang-orang yang tidak terhitung jumlahnya di masa lalu dan sekarang telah dan tengah mengalami misteri Tuhan, dengan mendasarkan diri pada wahyu Tuhan dalam penciptaan, dan semuanya ini pun melibatkan rahmat Tuhan dan keimanan manusia? Dan dapatkah kita meniadakan kemungkinan bahwa beberapa orang tertentu juga, dalam ikatan agama mereka, dianugerahi penglihatan khusus, diberi tugas khusus, karisma khusus? Dan dengan memperhatikan semua yang telah kita katakan, tidakkah hal itu semua bisa terjadi terhadap Muhammad, Sang Nabi? Extra ecclesiam gratia --ada juga rahmat di luar Gereja. Kalaulah memang begitu, jika kita mengenali Muhammad sebagai seorang nabi, maka agar konsisten kita pun harus mengakui bahwa bagi orang-orang Muslim segala sesuatu tergantung pada pesan Muhammad yang bukan buatannya sendiri, bukan firmannya sendiri, tetapi firman Tuhan. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan Firman Tuhan dan dengan wahyu?
b. Penyangsian kritis terhadap penafsiran Islam tentang al-Qur'an. Apakah wahyu seperti yang sudah diduga turun secara langsung dari langit, diinspirasikan tanpa salah atau didiktekan kata per kata dari Tuhan? Perlu diingat bahwa tidak hanya orang-orang Muslim meyakini hal ini, melainkan juga beberapa orang Kristen, biasanya dalam hubungan dengan Bibel. Di sini kita telah sampai pada persoalan yang penting sekali.
Bagaimanapun seseorang ingin menyelesaikan persoalan Islam tentang asal al-Qur'an, saat ini adalah penting bahwa al-Qur'an sebagai firman Tuhan dipandang pada waktu yang sama sebagai perkataan nabi yang manusiawi. Pandangan ini juga diakui bersama oleh refleksi ilmiah Muslim (semisal karya seorang Pakistan, Fazlur Rahman). Jadi al-Qur'an menyodorkan problema yang sama dengan Bibel. Dengan kata lain, kita dihadapkan pada pertanyaan yang janggal tetapi tidak dapat dielakkan: apabila kita mempunyai kritik historis terhadap Bibel (untuk kepentingan keimanan Biblikal kontemporer), kenapa pula kita tidak mempunyai kritik historis terhadap al-Qur'an, dan hal itu untuk kepentingan keimanan Muslim yang cocok bagi masa modern? Ketimbang menafsirkan al-Qur'an sebagai sebuah kumpulan peribahasa yang tetap, ajaran-ajaran kaku, dan pernyataan-pernyataan yang tidak pernah berubah mengenai hukum yang (terlepas dari kesulitan-kesulitan nyata yang ada) dengan sangat merendahkan diri harus direproduksi dan secara harfiah ditafsirkan dalam segala hal, bahkan mengenai aturan-aturan hukum, kenapa kita tidak menerima al-Qur'an sebagai kesaksian kenabian yang tinggi terhadap Tuhan yang satu, Tuhan yang paling berkuasa dan pemurah, Pencipta dan Penyempurna, dan terhadap pengadilan serta janji-Nya?
Bagaimanapun juga, saya tidak bisa melangkah lebih jauh menuju persoalan-persoalan hermeneutis dalam makalah ini. Saya lebih baik kembali kepada persoalan-persoalan isi. Sebelum saya mengulangi lagi perbedaan-perbedaan teologis, akan saya kemukakan beberapa persoalan mendasar tentang persesuaian antara Islam dan Kristen menyangkut penafsiran keimanan, yang mana orang-orang Yahudi juga termasuk. Saya akan lakukan hal ini menurut baris-baris deklarasi Konsili Vatikan Kedua tentang agama-agama non-Kristen.
D. Apa Unsur-unsur Sama yang Utama?
Hal-hal yang sama di antara orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen dapat diringkas dalam empat aspek:
a. Hal sama yang mendasar di antara orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen terletak dalam keimanan kepada satu dan satu-satunya Tuhan, Tuhan yang memberikan makna dan hidup kepada segala sesuatu. Beriman kepada satu Tuhan bagi Islam adalah kebenaran prinsip yang ditegakkan sejak masa "Adam". Kesatuan ras manusia dan persamaan semua bangsa di muka Tuhan didasarkan pada konsep keesaan Tuhan. Dan apa pun yang mungkin dikatakan menyangkut doktrin Kristen tentang Trinitas, hal tersebut tidak untuk mempertanyakan kepercayaan pada satu dan satu-satunya Tuhan, tetapi untuk memperjelasnya secara sempurna. Ini berarti bahwa dalam menghadapi politeisme kafir, Yahudi, Kristen dan Islam adalah sama sebagaimana ketiga agama semitik ini menghadapi banyaknya tuhan-tuhan modern yang mengancam memperbudak rakyat Yahudi dan sebagai akibatnya Kristen telah menyingkirkan tuhan-tuhan lama Panteon jauh sebelum Islam.
b. Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim menyimpan kesamaan pandangan dalam beriman kepada Tuhan sejarah: kepada Tuhan yang bukan, sebagaimana diyakini orang-orang Yunani, hanya arche atau prinsip pertama alam, dasar dari segala sesuatu, tetapi yang bertindak sebagai Pencipta dunia dan manusia dalam sejarah, Tuhan Yang Esa dari Ibrahim yang berbicara melalui para nabi dan mewahyukan diri-Nya pada manusia, sekalipun terus-menerus urusan-Nya tetap menjadi rahasia yang tak terpecahkan. Dalam sejarah, Tuhan sepenuhnya transenden, tetapi pada saat yang sama juga imanen, lebih dekat daripada "urat nadi," begitu kata perumpamaan plastik al-Qur'an, yang kemudian dikembangkan secara mendalam di dalam mistisisme Islam.
c. Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim adalah satu pandangan dalam beriman kepada satu Tuhan yang --meskipun Ia gaib, mengatur dan menguasai segala sesuatu-- adalah partner yang dapat didekati. Dia dapat disapa saat shalat dan meditasi, dipuji dalam senang dan rasa syukur, tempat mengadu dalam keadaan perlu dan keputusasaan: Tuhan bagi manusia yang "bersimpuh di tumit-Nya lantaran rasa hormat dan kagum", "berdo'a dan berkurban", "bermusik dan berjoget", mengutip kata-kata berorientasi masa depan Martin Heidegger.
d. Akhirnya, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim satu pandangan dalam beriman kepada Tuhan yang pemurah dan ramah, Tuhan yang menjaga manusia. Dalam al-Qur'an sebagaimana dalam Bibel, manusia dipandang sebagai "hamba Tuhan," yang tidak mengekspresikan perbudakan manusia di bawah seorang yang lalim, melainkan sifat kemakhlukan manusia yang elementer dalam meresponsi Tuhan yang satu. Kata Arab al-Rahman, "Yang Maha Pengasih", secara etimologis berhubungan dengan bahasa Ibrani (Hebrew, Yahudi) rahamim yang, bersama dengan hen dan hosed menjelaskan bidang semantik bagi kata charis dalam Perjanjian Baru, dan kata Inggris grace (gnade dalam bahasa jerman). Menurut bagian-bagian tersendiri dalam Bibel atau dalam al-Qur'an, Tuhan bisa menampilkan diri sebagai Tuhan yang tidak dapat diduga, namun menurut keseluruhan kesaksian Bibel dan al-Qur'an, Tuhan adalah Tuhan pengasih dan pemurah.
Bersama-sama di dunia ini, Yahudi, Kristen dan Islam dengan demikian mencerminkan keimanan kepada satu Tuhan; semuanya berbagi dalam satu gerakan dunia monoteistik yang besar. Secara politis, keimanan kepada satu Tuhan ini seharusnya tidak dianggap sepele; harus dijadikan perhatian manusia. Misalnya, sebagaimana keimanan ini telah memainkan peran dalam perjanjian Camp David, tentunya ia pun penting untuk upaya-upaya perdamaian selanjutnya di Timur Tengah. Maka jangan sekali-kali kita lupakan keimanan ini tatkala kita mendekati persoalan-persoalan teologis yang rumit, khususnya persoalan-persoalan mengenai Yesus dari Nazareth, Kristus orang-orang Kristen.
E. Apakah Penggambaran al-Qur'an tentang Yesus Tepat?
Sangat masyhur diketahui bahwa dalam beberapa hal al-Qur'an membicarakan Yesus dari Nazareth, dan selalu dengan nada positif. Ini mengherankan ketika seseorang memandang sejarah berabad-abad yang dipenuhi kebencian dan kutukan antara Kristen dan Islam. Bagaimana kita bisa menilai bagian-bagian ini secara teologis? Suatu penyelidikan yang lebih teliti terhadap "teks-teks al-Qur'an yang relevan dengan Kristen", yang diterjemah-ulang dan dijelaskan secara rinci oleh Claus Schedel di bawah judul Muhammad und Jesus, menunjukkan bahwa semua bahan yang berkaitan dengan Yesus di dalam al-Qur'an terintegrasi (terpadu) dengan suatu cara yang sepenuhnya koheren secara utuh ke dalam seluruh konsepsi teologis al-Qur'an. Dari tradisi apa pun kesaksian tentang Yesus ini berasal --dan kita akan menjelaskannya lebih dekat lagi-- seluruhnya secara menyolok dipenuhi dengan pengalaman profetik hebat Muhammad dengan Tuhan Yang Esa. Dengan alasan ini, Muhammad tidak mempunyai alasan apa pun untuk menyangkal Yesus: Seruan Yesus adalah juga seruan Muhammad. Persoalan virgin birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dan mu'jizat-mu'jizat diakui al-Qur'an tanpa iri hati, dengan satu pengecualian: Yesus tidak mungkin dibuat menjadi tuhan, dan tidak mungkin diletakkan berdampingan dengan Tuhan yang esa sebagai seorang (tuhan) yang kedua. Bagi Islam, itu adalah sesuatu yang paling dibenci.
Posisi Yesus dalam al-Qur'an tidak ambigius (tidak meragukan). Dialog oleh karenanya tidak didukung secara efektif oleh orang-orang Kristen bermaksud baik masa kini yang lebih menafsirkan al-Qur'an ketimbang apa yang dikandungnya, yang mengklaim bahwa dalam al-Qur'an Yesus adalah firman Tuhan. Tetapi bukan Firman Tuhan dalam pengertian pada prolog Injil Yohanes, dimana logos ketuhanan yang pra-eksisten menjadi daging. Adapun mengenal virgin birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dalam al-Qur'an, itu adalah tanda kemahakuasaan Tuhan, bukan justru karena ketuhanan Yesus. Dengan kata lain, menurut al-Qur'an Yesus adalah seorang nabi, seorang nabi yang lebih besar daripada Ibrahim, Nuh dan Mus a --tetapi tentu saja tidak lebih daripada seorang nabi. Dan persis seperti diterangkan dalam Perjanjian Baru, Yohanes (Yahya) sang Pembaptis adalah pendahulu (pratanda) Yesus, begitupun dalam al-Qur'an Yesus adalah pendahulu (pratanda), dan tidak diragukan contoh yang memberi dorongan bagi, Muhammad. Menurut al-Qur'an Yesus diciptakan langsung dari Tuhan sebagai Adam kedua (inilah sebenarnya arti virgin birth tersebut), tak seperti Muhammad. Yesus adalah, oleh karena itu, ciptaan Tuhan yang paling hebat.
Karena alasan ini, orang-orang Kristen harus menyingkirkan keinginan untuk membuat "orang-orang Kristen anonim" dari Muhammad dan orang-orang Muslim, sebagaimana beberapa teolog, menentang keseluruhan konsepsi orang-orang Muslim tentang diri mereka sendiri, sekali-sekali berusaha melakukan itu. Pada gilirannya hal ini akan dengan segera memunculkan pertanyaan apakah orang-orang Muslim harus menciptakan "seorang Muslim anonim" dari Kristus. Apabila kita yang mewakili Kristen peduli terhadap penilaian kembali Muhammad berdasarkan sumber-sumber Islam, khususnya al-Qur'an, kita juga berharap suatu hari ada kesiapan Islam untuk memulai penilaian kembali Yesus dari Nazareth berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, berdasarkan Injil-Injil itu sendiri-sebagaimana yang telah dilakukan banyak orang dalam Yahudi. Potret Yesus dalam al-Qur'an terlalu berat sebelah, terlalu monoton, dan untuk sebagian besar kekurangan dalam isi, terlepas dari monoteisme, seruan untuk bertobat, dan berbagai cerita tentang mu'jizat-mu'jizat. Pokoknya, ini berbeda sekali dengan potret Yesus dalam sejarah, yang tidak saja menegakkan hukum, seperti direkam al-Qur'an, tetapi cenderung menentang seluruh legalisme dengan cinta radikal yang bahkan meluas untuk musuh-musuhnya sekalipun. Itulah sebabnya kenapa ia dieksekusi, walaupun Qur'an gagal mengakui hal ini. Dalam hal ini, perbedaan-perbedaan substansial muncul antara Yesus dan Muhammad. Keliru besar menganggap sepi hal-hal ini. Walau begitu, hambatan teologis utama terhadap sebuah pemahaman tidaklah untuk ditemukan di sini.
F. Apa Perbedaan Teologis Utama?
Perhatian utama Yesus sendiri adalah mengatasi legalisme dengan cara melaksanakan kehendak Tuhan dengan cinta, dengan mengingat kedatangan Kerajaan (Tuhan). Bagi gereja Kristen, perhatian utama secara perlahan dialihkan untuk sebagian besar kepada pribadi Yesus dan hubungannya dengan Tuhan. Perdebatan antara Kristen dan Islam kemudian tetap sepenuhnya terfokus pada masalah ini. Hingga sekarang keberatan Kristen terhadap Islam terletak pada bantahan Islam terhadap dua doktrin utama Kristen yang saling berkelindan: Trinitas dan inkarnasi. Sebenarnya, al-Qur'an berbicara kepada orang-orang Kristen sebagai berikut:
Wahai Ahl al-Kitab, janganlah kamu melampaui batas-batas agamamu. jangan katakan apa-apa tentang Allah kecuali yang benar. Al-Masih, Yesus putra Maria, tidak lebih dari rasul Allah dan Firman-Nya yang Dia sampaikan kepada Maria: ruh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan jangan katakan (tentang Allah, bahwa Dia adalah) tiga (dalam satu). Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Esa. Maha Suci Allah dari mempunyai seorang anak. (Q.S. al-Nisa/4: 171)
Apakah kenyatannya kita di sini telah, terlepas dari anggapan bahwa kita memiliki faktor-faktor yang sama dalam memahami Tuhan dan kemanusiaan, menjadi macet dalam berdialog? Tentu saja tak ada kebenaran di dalam pernyataan apologis-apologis Kristen dan banyak sarjana agama bahwa para teolog Muslim selalu keliru menafsirkan doktrin Kristen tentang Trinitas (tiga dalam satu) sebagai doktrin triteisme (tiga tuhan). (Al-Qur'an memang memuat tradisi yang keliru, boleh jadi didasarkan pada apokripa (tulisan-tulisan yang diragukan pengarangnya) tertentu, bahwa Trinitas terdiri dari Tuhan Bapak, Maria Ibu Tuhan, dan Yesus Anak Tuhan). Orang-orang Muslim semata-mata tidak dapat memahami apa yang juga selalu gagal dipahami oleh orang-orang Yahudi: bahwa kalau ada satu Ketuhanan, satu tabiat ilahi, maka mana mungkin ada asumsi tentang tiga pribadi dalam satu Tuhan yang secara otomatis tidak akan melepaskan keimanan pada satu Tuhan yang dianut Ibrahim, yang dipegang teguh oleh Musa, Yesus dan akhirnya Muhammad. Mengapa ada pula perbedaan antara tabiat dan pribadi dalam Tuhan?
Jelas bahwa perbedaan antara satu dan tiga yang dibuat oleh doktrin Kristen tentang Trinitas tidak memuaskan orang Muslim. Seluruh konsep yang berasal dari Syria, Yunani dan Latin ini lebih memusingkan ketimbang mencerahkan bagi orang Muslim, suatu permainan kata-kata dan konsep-konsep. Bagaimana mungkin satu dan satu-satunya Tuhan, tanya orang Muslim, menjadi suatu pencampuran hipostasis-hipostasis, pribadi-pribadi, prosesi-prosesi dan relasi-relasi? Kenapa semuanya menjadi trik-trik dialektis? Tidakkah Tuhan hanya Tuhan, yang tidak digabung dengan cara begini atau begitu?
Menurut al-Qur'an, "orang-orang tidak beriman adalah mereka yang mengatakan, Allah adalah salah satu dari tiga (atau berfaset-tiga dalam trinitas)." Pandangan ini, yang mentah-mentah tidak diterima Muhammad, bulat-bulat ditolak dengan pernyataan, "Tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa". (Q., s. al-Maidah/5:73).
Catatan kaki:
3 Wilfred Cantwell Smith, "Is the Qur'an the Word of God?," dalam Questions of Religious Truth (New York: Charies Schribner's Sons; and London: V. Gollanez Ltd.,1967).
G. Bagaimana Kita Menilai Perbedaan-perbedaan Teologis Utama?
Yang berlaku bagi doktrin Trinitas berlaku juga bagi Kristologi. Jika orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim saat ini ingin mencapai pemahaman lebih baik, mereka harus kembali kepada asal-usul dengan mengambil sebuah sudut pandangan kritis terhadap seluruh perkembangan kemudian. Pada titik asal-usul, kita --yakni orang-orang Yahudi, orang-orang, Kristen dan orang-orang Muslim-- satu sama lain lebih dekat.
Penelitian ilmiah terhadap Perjanjian Baru mengakui betapa besar kesenjangan antara pernyataan-pernyataan orisinal yang menyangkut Bapak, Anak dan Roh dan doktrin gerejawi tentang Trinitas yang didogmatisasi kemudian, juga betapa konsepsi-konsepsi Kristologis Perjanjian Baru berbeda satu sama lain.
Sementara misalnya kemudian, Injil Yohanes yang terpengaruhi secara Hellenistik mengutip Yesus ketika berbicara kemuliaan bahwa ia telah bersama Tuhan sebelum dunia mulai (17: 5), yang oleh para penafsir konservatif tidak dianggap sebagai kata-kata historis Yesus, Injil (-Injil) pertama tidak mengetahui apa-apa tentang seluruh virgin birth. Dan sementara dengan cerita bersemangat Injil Yohanes menggambarkan Yesus hampir secara berlebihan sebagai "seperti-tuhan" ketika ia mengembara di bumi, Injil-Injil sinoptik masih menampilkan Yesus sebagai Anak Manusia sepenuhnya yang melaluinya Tuhan bertindak. Para penafsir menunjukkan khususnya kepada monolog-monolog Kisah Para Rasul yang di dalamnya Lukas menggunakan bahan dari suatu tradisi lama yang menempatkan Yesus secara total lebih rendah dari Tuhan. Jelas Yesus dibicarakan sebagai hamba Tuhan, al-Masih, Kristus Tuhan, pilihan Tuhan: Tuhan bertindak melaluinya, Tuhan bersamanya; ia dibunuh sesuai rencana Tuhan, tetapi Tuhan mengangkatnya dari antara orang mati dan membuatnya menjadi Tuhan dan Kristus, menunjuknya sebagai Anak Tuhan. Tidakkah seluruh pernyataan Lukas ini, yang diwarnai perspektif "pungutan", masih punya tempat di dalam kerangka keimanan Yahudi dan Islam yang keras kepada satu Tuhan? Sampai sekarang, ini adalah keimanan orang-orang Kristen, orang-orang Kristen (yang) Yahudi.
Sungguh memalukan tiada terkira bahwa, menyusul penghancuran Yerusalem di bawah Kaisar Hadrianus pada tahun 132 dan mengungsinya orang-orang Kristen Yahudi ke timur, Gereja yang berkembang hampir secara sempurna tercabut dari tanah Yahudi. Gereja yang awalnya dipadati orang-orang Yahudi menjadi Gereja orang-orang Yahudi dan Gentiles (orang-orang non-Yahudi), dan ia kemudian menjadi Gereja Gentiles (Hellenistik). Orang-orang Kristen Yahudi yang tidak turut serta dalam pengembangan gereja Hellenistik dengan Kristologinya yang semakin eksesif ditolak sebagai pembuat bid'ah, seperti kasus orang-orang Ebioni, yang menerima kelahiran Yesus dari Perawan Suci menurut sejarawan gereja Eusebius tetapi menolak gagasan tentang pra-eksistensinya --sebagaimana ditolak oleh al-Qur'an.
Penelitian kami ini sekali lagi tidak dimaksudkan mencoba menelusuri jejak Islam kembali kepada Yahudi atau Kristen. Sebagai gantinya, kami berusaha keras melihat Islam secara sungguh-sungguh sebagai bentuk tantangan yang diperbarui bagi orang-orang Kristen, karena sejak masa Yohanes (Yahya) dari Damaskus, yang menyangkal Islam sebagai suatu "bid'ah Kristen", karena Islam mengingatkan orang-orang Kristen pada masa lampau Kristen Yahudi mereka sendiri. Di sini tampaknya kita mempunyai contoh penting interdependensi dan interaksi antara gerakan-gerakan agama yang berbeda dalam persoalan kemanusiaan, sebagaimana ditekankan khususnya oleh W. C. Smith. Dalam bukunya Korankunde fur Christen, Paul Schwarzenau adalah benar ketika mengatakan bahwa "adalah unsur Yahudi dalam pesan Kristen yang secara pasti memperlihatkan al-Qur'an beruntung. Orang-orang Kristen-Yahudi yang ingkar [terhadap unsur Yahudi tadi --pen] sekali lagi tampil ke muka".4 Schwarzenau menggunakan analisis cerdas ahli tafsir besar Protestan, Adolf Schlatter, yang menganalisis di awal 1926 hubungan-hubungan antara Kristen Gentile, Kristen Yahudi, dan Islam dalam buku Die Geschichte der ersten Christenheit:
Gereja Yahudi, bagaimanapun juga, mati hanya di Palestina bagian barat, Yordania. Komunitas-komunitas Kristen dengan praktek Yahudi, pada sisi lain, berlanjut ada di daerah-daerah bagian timur, di Decapolis, di Batanea, di antara orang-orang Nabatia, di tepi gurun Syria dan ke Arabia, mereka benar-benar terputus sama sekali dari sisa Umat Kristen dan tanpa persahabatan dengan sisa [Umat Kristen tersebut] ... Bagi orang Kristen, orang Yahudi semata-mata musuh, dan akhirnya pandangan Yunani pun --yang melihat sebelah mata kepada pembunuhan oleh jenderal-jenderal Troya dan Hadrianus dan kepada takdir orang-orang Yahudi jahat dan merendahkan-- mencapai Gereja. Bahkan orang-orang terkemuka Kristen seperti Origen dan Eusebius, dengan sangat mencengangkan tidak peduli pada kehancuran Yerusalem dan gereja di sana. Demikian pula informasi yang mereka tinggalkan untuk kita mengenai gereja Yahudi dalam keberadaannya yang kemudian hanya sedikit. Mereka, orang-orang Kristen Yahudi [sic] adalah pembawa bid'ah lantaran tidak tunduk pada hukum yang berlaku bagi Umat Kristen yang lain dan karena itu mereka pun terceraikan dari Umat Kristen yang lain itu. Tak satu pun dari para pemimpin gereja Kekaisaran mengira bahwa Umat Kristen yang mereka anggap rendah itu suatu saat akan menyaksikan betapa kehadirannya akan mengguncangkan dunia dan membelah-belah wilayah gereja yang telah mereka bangun. Saat itu pun tiba, yaitu ketika Muhammad mengambil alih kekayaan yang dikembangkan oleh orang-orang Kristen Yahudi, kesadaran mereka terhadap Tuhan, eskatologi mereka dengan pernyataannya tentang Hari Pengadilan, adat dan legenda-legenda mereka, dan ketika Muhammad memulai kerasulan baru sebagai orang yang dikirim Tuhan.5
Lalu, apakah Muhammad, kata Schlatter, adalah seorang "rasul Judaeo Kristen" berbaju Arab? Ini merupakan bagian pandangan mencengangkan, yang oleh Schlatter secara kebetulan diperkuat lebih mendalam di awal 1918 lewat sebuah esei berjudul "Die Entwicklung des judischen Christentums zum Islam."6 Bagaimanapun, bahkan empat puluh tahun sebelum Schlatter, Adolf von Harnack telah memperhatikan efek terluas dari Kristen Yahudi terhadap Islam, atau secara lebih tepat Kristen Yahudi Gnostik, dan khususnya orang-orang Elkesi, terlepas dari keimanan mereka, yang mempertahankan monoteisme keras dan menolak ajaran gerejawi tentang hipostasis dan Anak Tuhan. Ini terdokumentasi di dalam sejarah dogmatika Harnack.
Mengingat keadaan penelitian sekarang ini, segala ketergantungan langsung Islam apa saja yang dibuktikan lewat bahan-bahan asal akan terus menjadi perdebatan, tetapi analogi-analoginya senantiasa mengagumkan. Muhammad menolak Kristologi Anak Tuhan (monofisitik) yang sangat ortodoks, tapi menerima Yesus sebagai rasul yang besar, sebagai al-Masih yang membawa Injil. Sarjana Yahudi Hans-Joachim Schoeps dengan benar mengatakan dalam Theologie und Geschichte des Jundenchristentums (Tubingen, 1949) bahwa
Walaupun tidak mungkin membuktikan hubungan yang pasti sekali, tentu saja ada hal yang tidak dapat diragukan tentang ketergantungan langsung Muhammad pada Kristen Yahudi sektarian. Dengan demikian fakta bahwa Kristen Yahudi telah lenyap dari Gereja tetapi terpelihara di dalam Islam dan berlanjut bahkan hingga saat ini di dalam beberapa gerakan hati Islam yang utama, merupakan sebuah paradoks yang luar biasa besar dalam sejarah dunia.7
Cukup mengherankan, bagian-bagian pandangan historis ini hampir tidak diketahui dalam teologi Kristen sampai sekarang ini, apalagi diterima dengan sungguh-sungguh. Banyak yang perlu diteliti dalam hal ini, seperti sejarah sepupu istri Muhammad (sepupu Khadijah), Waraqah, yang sebagai seorang Kristen (yang hampir tidak kena pengaruh Yunani) menarik perhatian Muhammad mula-mula kepada hubungan antara pengalaman-pengalaman wahyu Muhammad dan pengalaman-pengalaman wahyu Musa. Dengan kemungkinan seperti itu, siapa yang bisa mengabaikan kenyataan bahwa di sini terdapat kemungkinan-kemungkinan tak terbayangkan bagi dialog segitiga yang sangat penting, "trialog", antara orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim? Apa pun keputusan menyangkut persoalan ketergantungan genetik, dalam interpretasi Muhammad tentang Yesus, tradisi-tradisi Kristen Yahudi yang dihapuskan, disingkirkan dan dilupakan di dalam gereja Hellenistik muncul kembali dalam sejarah; dan Kristen Yahudi ini untuk sebagiannya telah mempertahankan perhatian Yahudi yang utama terhadap Kristen awal.
Harus dilupakan bahwa dalam perjuangannya untuk tetap bertahan menolak politeisme Arab kuno, yang meyakini Allah mempunyai anak-anak lelaki dan perempuan yang semuanya dapat dibayangkan, Muhammad tidak mempunyai pilihan selain menolak istilah "Anak Tuhan." Pada saat yang sama, betapapun juga, Muhammad mengambil cerita Yesus sebagaimana yang beredar saat itu di Arab dan memberinya arti dari pikirannya sendiri. Apa yang terjadi begitu sering di dalam Bibel sekarang terjadi juga di dalam al-Qur'an: suatu tradisi tua tidak semata-mata diteruskan, tetapi ditafsirkan agar relevan dengan sudut pandang pengalaman kontemporer. Ini pula yang terjadi dengan Perjanjian Baru. Persis seperti orang-orang Kristen telah menggunakan banyak ungkapan ("kenabian-kenabian") Perjanjian Lama untuk merujuk pada Yesus, walaupun ungkapan-ungkapan tersebut dimaksudkan untuk arti yang berbeda, maka Muhammad pun menggunakan banyak hal yang telah ia dengar tentang Yesus untuk merujuk pada dirinya sendiri. Bagi Muhammad, kebesaran Yesus disebabkan oleh kenyataan bahwa di dalam dan melalui diri Yesus sebagai hamba Tuhan, Tuhan sendiri telah berkarya. Dengan demikian, "Kristologi" Muhammad tidak terlalu jauh bergeser dari Kristologi gereja Kristen Yahudi. Apa konsekuensi-konsekuensi dari semua penemuan baru ini?
H. Apa yang Harus Kita Katakan?
Kita dihadapkan pada suatu problema momen yang luar biasa, konsekuensi-konsekuensi yang belum tampak. Melihat bahwa penemuan-penemuan tafsir dan sejarah yang telah kami urai di atas adalah akurat dan dapat dijelaskan lebih jauh lagi, maka penemuan-penemuan tersebut merupakan tantangan bagi kedua belah pihak untuk menghentikan berpikir perihal alternatif-alternatif, Yesus atau Muhammad. Sebaliknya kedua belah pihak harus berpikir mengenai sintesis Yesus dan Muhammad, terlepas dari semua keterbatasan dan perbedaan. Muhammad bertindak sebagai saksi bagi Yesus, bukan bagi seorang Yesus sebagaimana yang dapat dipandang oleh orang-orang Kristen non-Yahudi Hellenistik, tapi bagi seorang Yesus sebagaimana dipandang oleh murid-murid pertamanya, yang adalah orang-orang Yahudi seperti Yesus itu sendiri. Untuk menghindari kesalahpahaman sejak permulaan dalam mendekati masalah ini, yang sangat sulit bagi orang-orang Muslim dan orang-orang Kristen, kita harus memperhatikan hal berikut. Sebagai seorang Kristen non-Yahudi Eropa, saya dapat sepenuhnya memahami perkembangan Hellenistik dari Kristologi dan dapat menerima kebenaran konsili-konsili Kristologis besar dari Nicaea hingga Khalcedon: dipandang dari sudut Perjanjian Baru, maksud-maksud dan isi konsili-konsili tersebut tentu saja bisa diperkokoh. Saya tidak percaya bahwa seorang Kristen hari ini dapat atau harus secara naif memulai lagi semuanya dan menjadi seorang Kristen Yahudi, katakanlah begitu. Tetapi dalam konteks ekumenis (dalam hubungan dengan orang-orang Muslim dan orang-orang Yahudi), saya dibayangi sebuah pertanyaan, bagaimana saya dapat membuat seorang Muslim (atau seorang Yahudi) memahami kenapa orang-orang Kristen mempercayai Yesus sebagai Kristus, Firman dan wahyu Tuhan? Yang menjadi niat saya kini, saya mempunyai hak penuh menarik perhatian kepada pilihan Kristologis yang orisinal dan sepenuhnya sah yang, walaupun ditepikan dan disembunyikan, dimulai didalam komunitas gereja Kristen Yahudi paling tertua dan diteruskan selama berabad-abad oleh komunitas-komunitas gereja Kristen Yahudi yang terpencar-pencar dari timur Yordania hingga Arabia, dan dengan demikian pada akhirnya beralih kepada Muhammad. Saya juga masih bertanya-tanya apakah mungkin terdapat kategori yang sudah ada yang dengan lebih mudah memungkinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Muslim mengerti Yesus ini sebagai wahyu Tuhan daripada sebagai ajaran Helienistik tentang dua tabiat, yang ilahi dan yang manusiawi dalam pribadi ilahi yang satu. Lalu, bagaimana seorang Muslim, mungkin dengan melihat dari suatu perspektif ekumenis seperti itu, mencoba melihat Yesus ini, dan demikian juga bagaimana seorang Kristen mungkin melihat Muhammad?
a. Dengan cara apa orang-orang Muslim dapat memandang Yesus? Saya akan meringkas pikiran-pikiran saya di sini secara sangat singkat:
Orang-orang Muslim melihat Yesus sebagai nabi besar dan utusan Tuhan Yang Esa, sosok yang secara khusus diangkat untuk menjadi "Hamba Tuhan" oleh Tuhan sendiri, sejak dari kelahirannya hingga pemuliaannya ke hadirat Tuhan-orang yang, bersama dengan pesan yang ia sampaikan adalah penting selama-lamanya bagi Muhammad. Tentu saja bagi orang-orang Muslim, Muhammad dan al-Qur'an yang diterimanya akan tetap menjadi, seperti sebelumnya, petunjuk yang menentukan bagi keimanan dan tingkah laku, kehidupan dan kematian. Betapapun juga, jika di dalam al-Qur'an Yesus diistilahkan sebagai "Firman" Tuhan dan pembawa "Injil", bukankah orang-orang Muslim harus mencoba memperoleh suatu pemahaman lebih luas tentang Injil ini dan menerimanya secara sungguh-sungguh? Hukum Islam, yang kerap dicirikan oleh penindasan, dari perspektif pesan dan tingkah laku Yesus, dapat dilihat dalam suatu pengetahuan yang lebih relatif (berkaitan), demi Tuhan dan kemanusiaan. Dan manusia, meski tidak terbebas dari hukum itu sendiri, akan terbebas dari legalisme --sama halnya dengan kasus orang-orang Kristen Yahudi.
Dengan cara ini, akan diperoleh suatu pemahaman baru dan lebih mendalam tentang Tuhan yang mencintai dan menderita bersama rakyat, yang mempertimbangkan kehidupan Yesus, kematiannya --yang tidak bisa ditolak-- dan kehidupan barunya. Maka kematian Yesus atas nama Tuhan ini dapat memberikan makna penderitaan dan kegagalan, dan tidak mempunyai arti apa-apa bila dipahami di permukaan saja.
b. Dengan cara apa orang-orang Kristen dapat memandang Muhammad? Banyak orang Kristen dengan jelas memandangnya sebagai nabi yang penting bagi banyak bangsa di bumi, seorang yang telah diberkahi dengan kesuksesan yang luar biasa seumur hidupnya.
Tentu saja bagi orang-orang Kristen, Yesus Kristus dan berita baik yang ia sampaikan merupakan ukuran yang menentukan bagi keimanan dan tingkah laku, hidup dan mati, Firman Tuhan yang definitif (Ibrani 1:1ff). Oleh sebab itu, Kristus adalah dan tetap merupakan faktor pengatur yang menentukan bagi orang-orang Kristen, demi Tuhan dan kemanusiaan. Bagaimanapun juga, tidakkah orang-orang Kristen harus, sesuai dengan ajaran Perjanjian Baru bahwa mereka masih mengakui kehadiran nabi-nabi bahkan setelah Kristus, menerima Muhammad ini, yang mengambil tradisi Kristen Yahudi, dan nasihat-nasihatnya dengan lebih sungguh-sungguh? Hal ini tak lain agar:
Tuhan yang tak terbandingkan dan yang esa ditempatkan sepenuhnya di pusat keimanan;
persekutuan tuhan-tuhan lain adalah mustahil;
iman dan hidup, ortodoksi dan ortopraksis bersama-sama bahkan menjadi bagian politik.
Oleh karenanya, Muhammad akan berulang-ulang memberikan koreksi profetik kepada orang-orang Kristen atas nama Tuhan yang esa dan sama; "Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan" (Q., s. 46:9)
Saya bertanya-tanya kepada diri sendiri: Jika seorang Muslim atau Yahudi dapat diharapkan mengakui Konsili-konsili Hellenis dari Nicea hingga Khalcedon, apa yang akan dilakukan oleh Yesus dari Nazareth, orang Yahudi? Pertanyaan ini penting tidak hanya terbatas untuk seorang Kristen Arab saja, melainkan juga bagi seorang Kristen Afrika, India, Indonesia, Cina atau jepang.
Akhirnya --dan akan saya tutup di sini-- Islam dan Kristen terlibat dalam sebuah keputusan keimanan yang harus diciptakan secara rasional dan bertanggungjawab baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Sebagai seorang Kristen saya bisa yakin bahwa, sejauh saya telah memilih Yesus ini sebagai Kristus untuk hidup dan mati saya, saya juga telah memilih pengikutnya, yaitu Muhammad, lantaran Muhammad juga berseru kepada Tuhan yang sama dan satu, dan kepada Yesus.
Di dalam buku pedoman anjuran-anjuran bermanfaat yang dipesan oleh Gereja Protestan di Jerman yang berjudul Christen and Muslime im Gespruch (diterbitkan oleh J. Micksch dan M. Mildenberger,1982), perhatian diminta dengan adil, paling tidak secara singkat, untuk hubungan yang mungkin antara Islam dan Kristen Yahudi:
Hal yang paling penting ialah bahwa orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim tinggal di dunia yang sama dan harus membuktikan keimanan mereka. Mereka tidak selalu bereaksi dengan cara yang sama terhadap seluruh tantangan dunia ini. Walau pun begitu, terlepas dari semua perbedaan, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim diwajibkan oleh keimanan mereka hidup dengan tanggung jawab di hadapan Tuhan dan melayani masyarakat manusia. Dengan penuh penghormatan satu sama lain, mereka tidak boleh gagal untuk saling memberikan bukti keimanan mereka satu sama lain (edisi Jerman hal.12ff.).
Catatan kaki:
4 Paul Schwarzenau, Korankunde fur Christen (Stuttgart: Kreuz-Verlag, 1982), hal.124.
5 Adolf Schlatter, Die Geschichte der ersten Christenheit (Stuttgart: Calwer Verlag, 1983; edisi pertana Aufl. Gutersloh, 1926), hal. 376-77 (terj.)
6 Adolf Schlatter, "Die Entwicklung des judischen Christentums zum Islam," Eyangelisches Missionsmagazin, N.S. LXII (1918), 251-64.
7 Hans-Joachim Schoeps, Theologie and Geschichte des Jundenchristentums (Tubingen: Mohr, 1949), hal. 342.
II. Dialog Kristen-Islam
Suatu Tanggapan Terhadap Hans Kung
oleh Seyyed Hossein Nasr
George Washington University, Washington D.C.
SUNGGUH merupakan kebahagiaan bagi saya untuk dapat menanggapi makalah Professor Hans Kung tentang hubungan-hubungan Islam Kristen. Sudah barang tentu sangat terlambat sekali di masa sejarah manusia ini semata-mata mengabaikan penyajiannya yang sarat dengan kata-kata basi dan diplomasi ini. Saya ingin, oleh karenanya, mencermati isu-isu penting sekali yang telah dikemukakan dengan penuh kesadaran pada kesulitan-kesulitan yang ada di wilayah ini dan dengan keberanian yang dibutuhkan untuk secara langsung mengkonfrontasikan halangan-halangan yang ada dan yang telah digarisbawahi Kung. Betapapun juga, ada perbedaan-perbedaan amat penting yang terdapat di dalam interpretasi Islam tentang beberapa hal ini. Hans Kung telah memulai pagi hari ini dengan suatu silogisme Aristotelian, bahwa tidak mungkin ada kedamaian tanpa kedamaian di antara agama-agama, bahwa kedamaian tidak mungkin ada tanpa dialog, dan bahwa dialog tidak mungkin ada tanpa pemahaman. Dan karena itu, saya akan mulai catatan-catatan saya dengan mengupas hal ini.
Jika kedamaian merupakan tujuan dialog keagamaan --sebuah tesis yang tentu saja dapat diperdebatkan karena kebenaran datang sebelum kedamaian dan kedamaian mengikuti kebenaran-- maka kita harus membicarakan Islam apa adanya, sebagaimana yang diterima oleh hampir satu milyar pemeluknya, bukan sebagaimana yang kita maui agar kita meneruskan dialog dengannya.
Saya menempatkan diri saya pada posisi ini hari ini sebagaimana saya selalu dan berbicara dari perspektif Islam tradisional. Seluruh pertanyaan yang akan saya jawab, yakni pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan al-Qur'an, tabiat Nabi Muhammad dan sebagainya, akan dijawab dengan cara seperti itu yang merupakan tanggapan-tanggapan saya yang telah disampaikan di Lahore, Kairo, Marakesy, atau beberapa tempat lain di dunia Muslim. Jawaban-jawaban tersebut cukup menarik perhatian orang-orang terpelajar di kota-kota tersebut dan kebanyakan mereka membela posisi-posisi yang ditawarkan di dalam tanggapan-tanggapan ini.
Tidak diragukan bahwa Kung telah mengambil sebuah langkah menuju pemahaman tentang Islam. Langkah Kung ini jauh dari posisi yang menunjukkan sikap-sikap Katolik dan sebagian besar Protestan terhadap Islam sejak John dari Segovia dan Nicholas Cusanus, kardinal-kardinal besar abad kelima belas, yang dibalas (dijawab) dengan kekecewaan menyusul Konsili Florensa. Sikap itu tidak lain dari semacam diplomasi yang santun vis-a-vis (berhadapan dengan) Islam, sebuah sikap yang terus dijalankan selama hampir lima ratus tahun, dan meski menghasilkan persahabatan-persahabatan, toh tidak pernah memecahkan problema-problema teologis mendalam yang diciptakan oleh pertemuan Kristen dan Islam. Saya teringat bahwa persis sembilan tahun lalu di musim gugur yang indah, saya berbahagia sekali memimpin sekelompok teolog Muslim ke Roma untuk sebuah dialog Kristen-Islam. Kami bahkan saat itu dibawa ke Assisi. Saya diperkenankan menunaikan shalat zhuhur dengan dua orang lain di tempat St. Francis yang agung itu memperoleh stigmata (tanda yang ditorehkan dengan paku ke badan orang-orang suci-pen.). Itu adalah tindakan yang luar biasa dari tuan rumah kami, tetapi tetap tidak memecahkan masalah-masalah teologis Kristen-Islam. Dan masalah-masalah yang tidak terpecahkan itu adalah masalah-masalah yang sebenarnya disinggung Kung sekarang ini.
Perkenankan saya memulai, pertama-pertama, dengan menyatakan bahwa sebagai seorang Muslim saya senang Kung telah menampilkan Islam dengan serius secara teologis. Tetapi dengan mengemukakan fakta ini tentang perhatiannya terhadap realitas Islam, saya memiliki beberapa kritik terhadap upayanya yang sejak awal mendefinisikan Islam sebagai "suatu unsur yang terus menerus berubah sepanjang abad." Adalah sangat penting untuk tidak menyamakan pengertian dewasa ini tenting perubahan menurut orang-orang Kristen dalam tradisi mereka sendiri dengan cara orang-orang Muslim membayangkan Islam yang sesungguhnya, tidak jadi soal bagaimana para sarjana Barat modern memandang sejarah Islam.
Apa yang dibayangkan kesarjanaan Barat mengenai dunia Islam yang sesungguhnya tidaklah sepenuhnya sama dengan konsepsi orang-orang Muslim sendiri tentang tradisi mereka dan perkembangan historisnya, dan karena itu demikian pula dengan apa yang menjadi landasan penting untuk sebuah dialog yang berhasil. Bagi Islam, bukti kuat adalah bukti kepermanenan, yang meliputi realitas pusat Islam. Ka'bah masih tetap Ka'bah, haji adalah apa yang ditunaikan Nabi Muhammad, salat lima kali sehari ya seperti yang dilakukan Sang Nabi, dan syari'ah sebagaimana dikodifikasi atas dasar al-Qur'an dan Sunnah Nabi masih menentukan realitas kehidupan keagamaan orang-orang Muslim. Malah rincian-rincian lebih kecil tentang kehidupan sehari-hari yang diatur oleh Hukum Suci, yang lebih sentral daripada formulasi-formulasi teologis dalam Islam, tetap ada untuk sebagian besar sepanjang zaman. Saya tidak ingin menyatakan bahwa ada suatu Islam monolitik; tesis yang selalu saya tentang. Semakin banyak kita mempelajari interpretasi-interpretasi dan madzhab-madzhab yang aneka ragam semakin baik, sehingga setidaknya kita tidak akan melakukan lagi kesalahan seorang mahasiswa tingkat sarjana dari Sekolah Tinggi Teologi ini lima tahun lalu, yang terbang ke Teheran tiap dua pekan dan kembali dengan "pengetahuan yang mendalam" mengenai Syi'ah dan kesatuan Islam revivalis. Saya tidak mengatakan bahwa ada sebuah Islam monolitik, melainkan apa yang ingin saya katakan adalah bahwa ide kepermanenan dalam Islam merembes ke seantero kesadaran Islam tentang dirinya sendiri, meskipun terdapat keanekaan interpretasi. Inilah yang harus dihadapi setiap orang dan bukan semata-mata mengharap agar orang-orang Muslim secara berangsur-angsur akan memperoleh sebuah konsep historis atau historistik tenting perkembangan teologia dan keagamaan mereka sendiri dari sudut pandang Barat modern supaya memungkinkan dialog. Kalaulah hal seperti ini yang dilakukan, maka sama dengan membiarkan dialog mati sejak permulaan karena kesalahan.
Saya gembira Kung menegaskan bahwa Islam adalah sebuah cara hidup yang total. Pernyataan ini lagi-lagi sudah terlalu terlambat untuk diulang-ulang dan pada dasarnya merupakan semacam tautologi [penambahan kata-kata tetapi tak memberi arti yang baru, alias pengulangan saja] yang kosong bagi banyak orang Muslim. Bahkan orang-orang yang tidak begitu taat dan tidak tahu tradisi mereka sendiri dengan baik mempertegas pernyataan tersebut yang fundamental bagi pemahaman tentang Islam. Kritik Kung terhadap extra ecclesiam nulla salus [tak ada keselamatan di luar Gereja], yang kini menjadi perdebatan sejumlah teolog Kristen, sangat penting, tetapi manakala ia memasuki persoalan jalan-jalan keselamatan yang biasa dan luar biasa kita pun tenggelam di dalam air yang sangat dalam. Saya pikir bahwa sejak Jacques Maritain, salah seorang pemikir Katolik yang lebih kontemporer, mulai berusaha menerima Islam dan agama-agama non-Kristen lain "dengan serius" dengan menyebutkan mistisisme natural dan super-natural (mystique naturelle et mystique supernaturelle) dan juga mengenai keselamatan biasa dan luar biasa, sebuah jenis baru "diplomasi" yang mungkin cocok bagi orang-orang yang disibukkan dengan urusan-urusan luar tetapi bukan bagi para teolog bergerak pelan-pelan kepada diskusi-diskusi ekumenis. Saya pikir kita harus menyingkirkan jenis "diplomasi" sopan-santun ini yang sebenarnya justru mengelak dari isu-isu dasariah tentang kebenaran dan kepalsuan jika memang ada perjalanan menuju suatu dialog serius. Baik lelaki maupun perempuan diselamatkan Tuhan dan itu adalah luar biasa --dalam semua hal menjadi manusia sebenarnya adalah luar biasa-- atau mereka tidak diselamatkan sama sekali. Islam, sudah barang tentu, menolak dalam suatu bentuk kategoris perlawanan antara cara-cara keselamatan biasa dan luar biasa.
Untungnya, Hans Kung mempunyai keberanian untuk mengajukan persoalan kepribadian Nabi Muhammad. Apa yang dalam jantung kesalahpahaman Islam-Kristen bukan hanya doktrin-doktrin, yang secara teologis dan metafisis, dapat diperhatikan, adalah warisan kebencian ribuan tahun dari orang-orang Kristen terhadap pendiri Islam ini. Seseorang dari negeri yang sama dengan Kung, Enrico dari Meinz, yang pada tahun 1142 menulis Vita Mahometi dalam bahasa Latin, sebuah karya yang sudah dibaca di seluruh Eropa, menampilkan semacam sikap polemis yang menyerang Nabi Muhammad, yang dominan di Barat selama sembilan ratus tahun. Malah sekarang, dengan segala kata-kata hambar dan deklarasi-deklarasi diplomatik, dan bahkan isyarat-isyarat kemanusiaan terhadap Islam, dan bahkan di dalam deklarasi Vatikan 1962, Nabi Islam tetap saja selalu dipinggirkan, sebagaimana telah ditegaskan oleh Kung tadi. Bagaimanapun juga tidak ada kemungkinan bagi dialog jika kepribadian Nabi Muhammad tidak dimengerti. Di bagian pertama esainya, Kung rnembuka pintu, tetapi di bagian kedua ia menutupnya bagi orang-orang Muslim.
Sebelum mengupas masalah tersebut, izinkan saya kembali sejenak kepada al-Qur'an dan lalu kepada Nabi Muhammad. Kung mengatakan bahwa al-Qur'an sama sekali tidak menentukan lebih dahulu perkembangan Islam. Saya katakan bahwa al-Qur'an menentukan lebih dahulu perkembangan Islam dalam setiap arah. Yaitu bagaimana orang-orang Muslim selalu mempertimbangkan realitas Firman Ilahi. Segala hal yang timbul dari al-Qur'an dalam bentuk ulasan-ulasan, yang barangkali dari titik pandang sarjana Barat modern muncul menjadi tambahan-tambahan luar dan penambahan-penambahan selanjutnya yang asing bagi nash yang diwahyukan, dilihat dari titik pandang Islam sebagai yang tumbuh dari substansi al-Qur'an itu sendiri, dari akar-akar wahyu al-Qur'an yang daripadanya itu adalah suatu perluasan. Oleh sebab itu, jika kita ingin memahami peran sentral al-Qur'an, maka penting memahami bagaimana orang-orang Muslim melihat al-Qur'an sebagai yang menentukan seluruh kehidupan Islam. Saya kembali lagi ke isu ini: analisis Barat non-Islam yang selama berabad-abad didasarkan pada pemisahan antara al-Qur'an dan ulasan-ulasannya (interpretasi-interpretasinya) yang tradisional, tidak akan menolong dialog dengan orang-orang Muslim, sebab dalam perspektif Islam, perkembangan seluruh aspek tradisi yang berbeda selama berabad-abad didasarkan pada al-Qur'an, Dan hal ini membawa saya pada isu lain yang sangat signifikan dalam konteks ini, yakni: persoalan peran Nabi Muhammad dalam hubungannya dengan al-Qur'an.
Adalah mungkin untuk mengatakan bahwa seluruh cara dari orang-orang Syi'ah ekstrim hingga orang-orang Hanbaliyyah di Damaskus, dari para Sufi yang paling esoterik hingga ahli-ahli fiqh yang paling eksoterik, yang meliputi spektrum teologi dan pemikiran Islam orthodoks, tak satu pun dari mereka itu pernah menerima pandangan selain bahwa Nabi Islam menerima wahyu al-Qur'an kata demi kata dari langit. Al-Qur'an adalah Firman Tuhan dan bukan firman Nabi. Ada baiknya saya tidak menyebut nama-nama tertentu, khususnya teman dekat saya, Fazlur Rahman, tetapi karena Kung menyebutnya, maka menjadi penting untuk menanggapi hal ini dengan kembali kepada sarjana Muslim yang termasyhur itu. Saya kutipkan dari Kung,
Bagaimanapun seseorang ingin menyelesaikan persoalan Islam tentang asal al-Qur'an, saat ini adalah penting bahwa al-Qur'an sebagai firman Tuhan dipandang pada saat yang sama sebagai firman Nabi yang manusiawi. Pandangan ini juga diakui bersama oleh refleksi ilmiah Muslim (semisal karya seorang Pakistan, Fazlur Rahman).
Sungguh benar-benar menyedihkan untuk merujuk kepada sebuah kasus yang berdiri sendiri, sekalipun ia seorang sarjana terkenal, dan memandang sebelah mata kepada kepercayaan-kepercayaan satu milyar orang Muslim yang menyangkut tabiat al-Qur'an dan hubungannya dengan Nabi. Ini menyedihkan karena hal itu menghancurkan, sejak permulaan, kemungkinan memahami dan menciptakan kedamaian. Pada sisi lain sebuah dialog, seseorang tidak dapat mengambil sudut pandang yang tak bisa diterima oleh pihak yang diajak berdialog, sudut pandang yang ganjil dan hampir tidak diterima oleh setiap otoritas yang serius di dunia Islam, tanpa pandang bulu; apapun warna politik atau teologi yang ia punyai. Oleh karena itu, mengambil pandangan seperti itu sebagai sebuah kemungkinan untuk memudahkan dialog dengan dunia Kristen atau dengan dunia Barat pada umumnya tidak memberikan jawaban kepada realitas situasi yang sesungguhnya.
Saya tidak ingin sama sekali membawa sebuah wacana berdasarkan kata-kata hambar diplomatis tetapi lebih baik membawa masalah-masalah teologis esensial yang berkaitan. Saya tahu bahwa tak seorang Muslim pun, bahkan tidak juga seorang yang sudah tak lagi tinggal di dunia Islam (dar al-Islam), yang mempunyai tulisan-tulisan yang dapat diterima di setiap negara Islam, yang tidak menyatakan bahwa al-Qur'an adalah Firman Tuhan. Seseorang harus mengerti dengan sangat jelas tentang hal ini dan tentang peran Nabi dalam proses pewahyuan Teks Suci. Itu adalah karena kepercayaan Islam pada al-Qur'an sebagai Firman Tuhan yang langsung bahwa setiap anggapan tentang Nabi Islam sebagai yang mempelajari pandangannya tentang sejarah suci dan Kristologi dari sumber-sumber Yahudi dan Kristen merupakan penghujatan terbesar di mata orang-orang Muslim. Izinkanlah saya mengupas isu ini dengan sangat jelas. Semoga hari ini menjadi saat yang tepat untuk mengangkat kembali unsur non-Arya, Semitik, dari Kristen yang jelas secara perlahan-lahan dipudarkan di Barat karena Kristen telah ditakdirkan untuk menyelamatkan keseluruhan benua (Eropa) yang dikuasai orang-orang non-Semitik. Meskipun kenyataan bahwa kita menemukan orang-orang Swedia dan Jerman yang mempunyai nama David, Eropa Kristen jauh kurang Semitik dalam orientasi ketimbang bagian dunia Islam non-Arab. Seorang Persia lebih dekat kepada dunia Ibrahim daripada seorang Swedia, biarpun keduanya adalah Indo-Eropa, keduanya juga orang Arya, dan keduanya sama-sama memiliki rumpun bahasa dan latar belakang etnik yang sama. Kalau anda ingin menghancurkan proses Eropanisasi Kristen, itu hal lain; hal tersebut tetap merupakan urusan para teolog Kristen, dan saya tak akan membahasnya di sini. Tetapi itu tidak ada hubungannya dengan merelatifkan Kristologi al-Qur'an, seakan-akan itu adalah sebuah kebetulan historis. Ini tidak mungkin bisa diterima oleh seorang Muslim. Harus selalu diingat bahwa menurut ajaran Islam tentang kenabian, seorang nabi tidak berhutang-budi apa-apa kepada siapapun; Tuhan mengajar nabi-nabi-Nya tentang segala sesuatu, dan bagi Tuhan mungkin mengajar dua versi yang berbeda tentang realitas yang sama dalam konteks dua agama yang berbeda.
Seluruh persoalan Kristologi yang menjadi inti makalah Hans Kung, dari sudut pandang Muslim akan menjadi isu ini: Apakah mungkin atau tidak bagi Tuhan untuk menginginkan dua kemanusiaan (sifat manusia) di bumi memahami sebuah peristiwa yang sangat penting dengan dua cara yang berbeda? Itulah persoalan krusial. Apakah Kristus disalib atau tidak? Al-Qur'an mengatakan tidak; ia mengatakan bahwa Yesus tidak disalib. Dan dengan penolakan tersebut maka bermunculanlah semua persoalan lain dan semua problema yang terjadi karena kepercayaan kepada penyaliban, seperti mengenai dua tabiat Kristus sebagaimana diinterpretasikan oleh teologi Barat dan yang semacamnya. Bila kita menerima versi al-Qur'an, versi Kristen tentang Yesus harus ditolak. Bila kita menerima versi Kristen, bahkan versi Kristen-Yahudi, versi al-Qur'an tidak bisa diterima. Lebih jauh, membayangkan bahwa al-Qur'an mempunyai Kristologi yang salah sama sekali memustahilkan dialog apapun dengan Islam. Itu sama dengan mengatakan bahwa sebagian dari Kristus dilahirkan dari Maria sang perawan dan adalah Logos, dan sebagian lain adalah suatu "tambahan." Perlu senantiasa diingat bahwa bagi orang-orang Muslim al-Qur'an, keseluruhan al-Qur'an, bukan hanya bagian-bagiannya, adalah Firman Tuhan. Orang-orang Muslim tidak akan pernah bisa menerima pandangan bahwa bagian-bagian dari al-Qur'an diilhami secara tak langsung dan sangat mulia, sementara bagian-bagian lain merupakan penambahan-penambahan dari pandangan-pandangan yang lazim dalam masyarakat Makkah atau di antara para peziarah (haji) yang datang dari utara, atau dari Waraqah, sepupu Nabi, yang berbicara dengan Nabi.
Sangat penting membahas isu ini, dan saya pikir di masa depan bila ada sebuah dialog yang sungguh-sungguh tentang Islam-Kristen dalam masalah Kristologi, dialog itu harus berkenaan dengan isu tentang apakah epistemologi modern dan filsafat modern memperkenankan sebuah realitas tunggal dilihat dengan dua cara yang berbeda tanpa menyebabkan apa yang tampak kepada pikiran modern sebagai kontradiksi-kontradiksi logis. Dari sudut pandang filsafat tradisional, adalah mungkin bahwa sebuah realitas tunggal --khususnya tatanan tujuan akhir Kristus-- dilihat dengan dua cara oleh dua dunia yang berbeda, atau dari dua perspektif agama yang berbeda, tanpa suatu kontradiksi inti (batini). Filsafat Barat modern lah yang tidak memperkenankan hal seperti itu. Dengan menciptakan suatu persesuaian yang tepat antara realitas yang dipahami dan pengetahuan tentangnya, sementara menegasikan tingkatan-tingkatan yang terdiri dari banyak bagian atau hirarki wujud yang bermacam-macam, filsafat Barat modern menolak kemungkinan bahwa Tuhan didalam kekuatan dan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas bisa menciptakan dua komunitas dunia besar yang memeluk dua pandangan yang berbeda tentang tujuan duniawi Kristus. Seseorang dapat menafsirkan Trinitas Kristen sebagai ketentuan Keesaan Ilahi, atau sebagai Nama-Nama Ilahi dalam bentuk trinitarian, atau menawarkan interpretasi-interpretasi teologis lain agar memuaskan orang-orang Muslim dan orang-orang Kristen, sekurangnya orang-orang yang memahami perspektif metafisis dan yang memahami sudut pandang esoterik. Tetapi ketika muncul pertanyaan tentang kehidupan Kristus, kehidupan historisnya, pada tingkat fakta versi Kristen atau Islam lah yang dipegang. Pada tingkat empiris orang tidak bisa memegang keduanya sekaligus, paling tidak menurut kerangka epistemologi modern.
Sekarang, Islam tidak akan pernah menerima bahwa Kristologi Islam adalah palsu. Dan dengan mengatakan itu, orang dengan tegas menyatakan bahwa orang-orang Muslim dengan demikian sangat berbeda dengan orang-orang Kristen anonim, yang dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang Kristen oleh teolog-teolog Kristen tertentu. Saya akan menjawab pertanyaan yang diajukan Hans Kung untuk orang Muslim, jika secara rendah-hati saya dapat berbicara atas nama teman-teman yang seagama dengan saya, dengan mengatakan bahwa teolog-teolog Kristen tertentu menggolongkan orang-orang Muslim ke dalam orang-orang Kristen anonim tidak sama dengan mengatakan bahwa orang-orang Muslim juga menggolongkan Kristus ke dalam seorang Muslim anonim. jawaban Islam ialah bahwa orang-orang Muslim tidak melakukan itu, Tuhanlah yang telah melakukannya (menjadikan Kristus sebagai seorang Muslim). Adalah Dia yang mewahyukan kepada orang-orang Muslim sebuah doktrin Islam tentang Kristus. jika ayat-ayat tertentu al-Qur'an seperti ayat-ayat Surat Maryam adalah tidak benar, maka dengan kriteria apa, orang-orang Muslim harus menerima ayat-ayat lain al-Qur'an? Jika ayat-ayat tertentu al-Qur'an ditolak dengan cara argumen atau alasan ekstrinsik seperti berteman dengan orang-orang Kristen, atau mencapai kedamaian dunia atau masuk ke dalam Persatuan Bangsa-Bangsa, atau alasan-alasan duniawi lain walaupun itu terpuji, maka sisa (ayat-ayat lain) al-Qur'an harus juga ditolak sebagai Firman Tuhan. Saya amat keras dalam kritik ini karena hal tersebut sangat esensial. Apa kebaikan yang akan dilakukan jika seorang pribadi seperti Hans Kung akan menggunakan usaha-usahanya selama sepuluh tahun yang akan datang dengan mencoba mengembangkan sebuah model untuk dialog dengan Islam yang tidak sesuai dengan realitas apa pun pada sisi Islam?
Seluruh persoalan tentang peranan Nabi dalam agama, oleh sebab itu, berhubungan dengan pemahaman Islam tentang Tuhan sebagai kebenaran keagamaan langsung, yang mengajar dan memerintah sendiri nabi-nabi-Nya. Jadi, adalah mungkin bahwa sebuah realitas duniawi yang tunggal tidak menghabiskan seluruh realitas prototipe Ilahi atau samawinya dan bahwa realitas duniawi yang lain dapat merefleksikan aspek lain dari realitas model asli esensial yang tengah dipersoalkan. Di sini saya akan menanggung risiko kritik dan ejekan sebagai seorang Muslim, dan mengatakan bahwa manakala al-Qur'an menyatakan bahwa Kristus tidak disalib, ini tidak harus berarti bahwa Tuhan tidak menginginkan segmen kemanusiaan lain melihat realitas ini juga dengan suatu cara yang berbeda. Apa yang dimaksudkan ialah bahwa cara pandang Islam terhadap Kristus meniadakan kemungkinan penyalibannya. Fakta ini telah didiskusikan dan diperdebatkan secara teologis selama berabad-abad. Sebuah tragedi besar bahwa tradisi Islam dalam perbandingan agama sangat sedikit diketahui di dunia Barat. Teman saya dari India, Veena Das, pernah menyinggung sesuatu seperti masalah ini yang berkaitan dengan hubungan antara Islam dan Hinduisme.
Dalam konfrontasi antara Islam dan Kristen, isu bahwa apa yang dikatakan Tuhan dalam al-Qur'an mengenai Kristus diterima oleh orang-orang Muslim biasa sebagai satu-satunya cara melihat Kristus, harus diberikan pertimbangan pertama, sebagaimana fakta bahwa perkataan "Aku adalah jalan, kehidupan, dan kebenaran" diterima oleh orang-orang Kristen biasa dengan makna bahwa Kristus Kristen adalah satu-satunya jalan, satu-satunya kehidupan, dan satu-satunya kebenaran. Harus disadari bahwa pandangan Islam atau Kristen tidak menghabiskan kemungkinan-kemungkinan realitas "Kristik" ("Kekristusan") di alam semesta yang lain seperti yang dikehendaki Tuhan. Persoalan di sini bukanlah menerima bahwa Kristologi Islam diciptakan dari sisa-sisa pandangan dari sejumlah kecil komunitas Timur yang oleh Nabi Muhammad dipilih, dikumpulkan dan selanjutnya dibuat sebagai Kristologi al-Qur'an. Kristologi al-Qur'an, sebagaimana dikatakan Kung dengan cukup benar, sesuai. sepenuhnya dengan seluruh teologi Islam dan itu sebenarnya adalah bagaimana Tuhan menginginkan orang-orang Muslim melihat Kristus. jadi, sederhana saja. Apakah lalu Kristologi al-Qur'an ini menghabiskan realitas Kristus atau tidak, al-Qur'an tidak menerangkan-nya, tetapi al-Qur'an meninggalkan pintu terbuka sedemikian rupa agar memungkinkan suatu persesuaian antara dua agama ini tanpa merusak arti teks pesan tertulis al-Qur'an itu.
Ini sama dengan persoalan al-Qur'an sebagai Firman Tuhan. Artikel terkenal Wilfred Cantwell Smith, "Is the Koran the Word of God?", tentu saja merupakan esei yang sangat menantang bagi standar karya akademis Barat dan bagi para teolog Barat yang menyibukkan diri dengan isu utama ini. Tetapi sebenarnya persoalan ini adalah bahwa orang tidak dapat menyamakan dua sisi keseimbangan. Cantwell Smith mengatakan bahwa sarjana Barat harus memberi sedikit dan sarjana Muslim harus memberi sedikit, sehingga dalam suatu keadaan mereka berdua bisa bertemu. Sarjana Barat akan mengatakan bahwa al-Qur'an boleh jadi merupakan Firman Tuhan, dan orang Muslim akan mengatakan bahwa al-Qur'an diilhami tanpa semuanya merupakan Firman Tuhan kata demi kata. Ini bukanlah cara yang akan dilakukan. Persoalannya adalah apakah al-Qur'an itu Firman Tuhan atau bukan Firman Tuhan. Dalam dialog yang manapun saya pikir sungguh penting membawa sikap Muslim kepada persoalan ini. Apakah seseorang adalah Sunni atau Syi'i, Wahhabi atau Sufi, atau bahkan anggota kelompok kecil seperti cabang Isma'iliyah, tentang isu ini sebenarnya tidak ada perbedaan di antara orang-orang Muslim sama sekali.
Sekarang izinkan saya kembali kepada pembicaraan Kung tentang unsur-unsur yang sama antara Islam dan Kristen. Meskipun tidak sepenuhnya menuruti susunan yang logis, saya harus kembali pada persoalan Kristus dan Qur'an karena persoalan ini sesuai dengan apa yang telah saya katakan mengenal al-Qur'an. Kung menyebut empat hal dasar. Pertama, ia mengatakan bahwa Islam dan Kristen sama-sama mempunyai ide keesaan Tuhan. Saya sepenuhnya setuju, terlepas dari fakta masih ada teolog-teolog Islam, bahkan pembawaan agung al-Ghazali dalam sebuah bukunya yang termasyhur tentang Injil-Injil, yang telah menginterpretasikan Trinitas Kristen sebagai tiga tuhan Orang-orang Muslim biasanya tidak mempercayai bahwa Tuhan Kristen terdiri dari Tuhan, Maria dan Kristus. Saya tidak tahu siapa di antara para sarjana Muslim yang bilang begitu itu pada Kung. Bagaimanapun juga, ini sebenarnya adalah pendapat minoritas tentang tatslits atau Trinitas, ini bukanlah interpretasi Muslim yang umum tentang Trinitas Kristen dan bukan begitu secara historis. Tetapi Trinitas Kristen sebagaimana biasanya dipahami, yang terdiri dari Bapak, Anak dan Roh Kudus, meski dikritik oleh seorang manusia seperti al-Ghazali yang adalah teolog dan Sufi, dipahami oleh banyak ahli metafisika Sufi sebagai tiga hipostasis yang tidak merusak keesaan Tuhan. Isu ini, bagaimanapun juga, bukan problema besar antara Islam dan Kristen. Banyak sekali rujukan yang bisa diperoleh dari pemikir-pemikir terbesar baik madzhab Sunni maupun Syi'i yang berhubungan dengan isu ini. Dan banyak puisi berbahasa Persia dan Arab yang menunjukkan, lewat bahasa puitik yang indah, fakta bahwa Trinitas Kristen selamanya sama dengan tiga aspek ilahi yang berbeda. Saya tidak mengatakan bahwa penjelasan-penjelasan ini tentang Trinitas secara sempurna sesuai dengan, katakan saja, interpretasi-interpretasi Augustinian maupun Thomistik tentang Trinitas. Tetapi saya setuju dengan Kung bahwa pendapat mengenai Tuhan yang esa merupakan titik persesuaian yang mendominasi dan sentral antara kedua agama ini, Islam dan Kristen.
Terhadap klaim Kung bahwa orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim percaya kepada Tuhan sebagai Tuhan historis, saya tanggapi dengan ungkapan negatif. Banyak sarjana Barat terus menulis bahwa Islam, seperti Yahudi dan Kristen, adalah sebuah agama historis. jika seseorang memaksudkan hal tersebut adalah bahwa Islam mempunyai permulaan dalam sejarah, ya; bahwa Islam sendiri tertarik pada sejarah keagamaan, ya; bahwa apa yang kita lakukan dalam sejarah mempengaruhi entelechry kita, tujuan akhir kita, ya; karena setiap orang Muslim meyakini bahwa apa pun yang kita lakukan di sini akan mempengaruhi kita di saat kematian, dan di akhirat.
Tapi, tentang semua yang telah dikatakan tadi, harus diingat bahwa masih terdapat perbedaan yang sangat besar. Pertama, di dalam Islam, sejarah tidak dipandang sebagai yang mempengaruhi sifat Tuhan. Tuhan tidak menginkarnasi dalam sejarah. Allah tidak berubah. Apa yang terjadi dalam sejarah adalah karena Kehendak Tuhan dan tidak mempengaruhi Sifat-Nya. Dengan begitu, makna sejarah dalam Islam sama sekali tidak sama dengan makna sejarah sebagaimana dalam Kristen. Bahkan sejarah suci yang lazim dalam Islam, Kristen dan Yahudi, diperlakukan dengan cara yang sepenuhnya berbeda di dalam al-Qur'an. Al-Qur'an lebih tidak peduli pada signifikansi historis sejarah suci ketimbang Bibel, dan lebih tertarik pada signifikansi moral peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sejarah. Al-Qur'an menceritakan kisah-kisah para nabi agar kita memetik pelajaran moral. Ia amat tidak tertarik pada persoalan siapa yang datang sebelum siapa, atau siapa yang datang sesudah siapa. Ini adalah sebuah hal penting dalam dialog sekarang ini antara Islam dan Kristen. Sementara Kristen, paling tidak Kristen Barat sekarang, mempunyai sebuah kesadaran kuat terhadap momen tertentu dalam sejarahnya sendiri, dan mengambil "waktunya" dengan serius sekali, Islam sama sekali tidak mengambil hal itu dengan serius, sejauh menyangkut signifikansi teologis sejarah. Inilah salah satu alasan kenapa begitu banyak prediksi yang dibuat di universitas [Harvard] yang termasyhur ini tiga puluh tahun lalu saat saya sebagai mahasiswa di sini dengan beberapa sarjana Islam lain yang terkemuka di dunia Barat yang tertarik pada masa depan Islam semuanya menjadi salah, masing-masingnya salah. Prediksi-prediksi seperti itu didasarkan pada semacam penjelasan historis yang sama sekali tidak bertalian dengan realitas waktu dan sejarah bagi dunia Islam. Oleh sebab itu, saya harus menyatakan dengan tegas berkenaan dengan isu kedua ini bahwa terdapat perbedaan-perbedaan besar dalam arti "historis" di dalam konteks Islam dan Kristen Barat.
Menyangkut hal ketiga, yaitu bahwa baik dalam Islam maupun Kristen, Tuhan adalah wujud yang kepadanya manusia berdo'a (tentu saja di sini dengan "manusia" saya maksudkan homo dan bukan vir [lelaki], karena itu, lelaki atau perempuan berdo'a), saya sependapat sepenuhnya dengan Kung dengan satu kualifikasi. Dalam konteks sekarang dua agama ini, mengingat adanya fakta bahwa orang-orang Muslim dan orang-orang Kristen berdo'a, jika anda, bertanya pada saya apakah perbedaan dalam sikap, saya akan menjawab bahwa pada tingkat do'a individual mereka (orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim) adalah sama. Orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim berdo'a dan kedua agama ini menekankan do'a individual kepada Tuhan sebagai Tuhan yang mendengar do'a kita. Mengenai do'a Kanonikal (resmi, menurut undang-undang gereja), ia mempunyai peranan yang sama bagi orang-orang Muslim sebagaimana misa bagi orang-orang Kristen. Sebenarnya kedua do'a itu adalah upacara keagamaan ekstra individual yang melampaui tingkat do'a individual terhadap Tuhan. Bagaimanapun, ada sebuah tipe do'a yang tidak sama-sama dimiliki oleh kedua agama ini pada momen sekarang dari sejarah keduanya, meskipun pada suatu waktu (di masa lalu) tipe do'a itu adalah lazim baik di Barat maupun di Timur. Itulah yang disebut do'a interior, do'a hati, atau do'a inti yang penting dalam Islam. Itulah.yang membuat banyak perbedaan dalam sikap terhadap do'a, dan arah do'a diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Saya hanya ingin mengatakan hal ini sambil lalu saja.
Akhirnya, ada isu tentang Tuhan sebagai kasih, dan saya senang sekali Kung telah mengungkap isu ini. Penting diingat bahwa Tuhan dalam Islam bukan hanya Tuhan keadilan, sebagaimana cukup kerap dikatakan, tetapi juga Tuhan kasih. Dalam konteks ini, hal yang telah disebut, yaitu bahwa orang-orang Kristen yang berbahasa Arab juga menggunakan nama Allah, adalah penting. Nama Allah adalah nama yang disucikan oleh wahyu al-Qur'an, tetapi tidak mentiadakan konsepsi Kristen tentang Tuhan, seperti diceritakan oleh setiap orang Arab Kristen kepada anda. Buku-buku tebal penuh pengetahuan yang telah ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa tentang Islam mengakui bahwa Islam hanya menekankan keadilan Tuhan. Sebenarnya orang-orang Muslim menekankan bahwa Allah adalah kasih dan bahkan pengasih sebelum menjadi adil, dan Dia adalah sumber semua cinta sehingga orang-orang Kristen dapat mengatakan "Allah" dan memikirkan ajaran-ajaran Kristus tentang Tuhan.
Sebelum mengakhiri pembicaraan ini, saya ingin kembali pada isu penting lain. Ada banyak hal menjelang akhir esai Kung yang menurut hemat saya tak ada orang Muslim yang pernah menerimanya, dan karena saya telah berjanji menjadi seksama, maka saya harus menyebut hanya beberapa saja. Salah satu dari hal ini perlu ditekankan secara khusus, dan itu adalah persoalan tentang al-Qur'an yang mengandung tradisi-tradisi yang menyesatkan. Dari sudut pandang apa yang saya katakan tentang makna al-Qur'an bagi orang-orang Muslim, tak seorang Muslim pun akan menerima pernyataan seperti itu dan dapat mengadakan sebuah dialog. Seseorang mungkin menginterpretasikan suatu bagian tertentu al-Qur'an dengan cara-cara yang berbeda. Al-Qur'an mempunyai banyak tingkat makna. Itulah kenapa menjadi mungkin bagi filsuf Peripatetik terbesar pada Abad Pertengahan, yaitu Ibn Sina, menulis sebuah tafsir tentang ayat yang sama (Ayat Cahaya [ayat al-Nur] yang pertama kali ditafsirkan oleh Ibn Sina) seperti al-Ghazali, pengkritik Ibn Sina yang mengikuti model Ibn Sina tapi menentangnya. Realitas yang mereka miliki bersama adalah ayat al-Qur'an tadi (Ayat Cahaya). Persoalan tentang tradisi-tradisi yang menyesatkan dalam al-Qur'an adalah palsu dan tidak ada orang Muslim, apa pun madzhabnya, yang akan menerima pernyataan seperti itu.
Hal kedua berkaitan dengan ide penolakan terhadap Kristus yang telah ada sejak azali dan keseluruhan ide Logos yang telah ada sejak azali dalam Injil Keempat Johanes. Itu hanyalah menafsirkan aspek-aspek tertentu dari pemikiran Islam. Doktrin bahwa segala sesuatu telah ada sejak azali di "tangan" Tuhan diteguhkan oleh ayat al-Qur'an bi yadih-i malakut-u kulh syay' (di tangan Tuhan realitas arketipal segala sesuatu), bagaimanapun anda ingin menterjemahkan malakut sebagai arketip-arketip, akar-akar, atau asal-usul segala sesuatu. Doktrin ini diambil alih kemudian oleh metafisika Islam seperti dikembangkan khususnya oleh Sufisme yang menekankan ide tentang Logos yang telah ada sejak azali. Tentu saja ide ini tidak asing bagi pemikiran Islam, secara tulus ikhlas. Kung menekankan unsur-unsur Kristen-Yahudi dalam Kristen perlu dalam dialog mana saja dengan bentuk Arab-Semitik-Ibrahimiyah dalam Islam. Tetapi keseluruhan perkembangan Kristen Eropa, baik Jerman maupun Latin, dan teologi yang jelas-jelas mesti bersesuaian dengan suatu kebutuhan (bagi yang lain, ia tidak berkembang dan orang-orang Kristen tidak menerimanya selama dua ribu tahun) mempunyai kesesuaian dengan perkembangan teologis Islam yang luas pada kasus orang-orang Arab dan Indo-Eropa lain. Secara khusus itu jelas pada kasus orang-orang Persia dan India yang termasuk keturunan etnik yang sama dengan orang-orang Eropa, dan mempunyai jenis kekuatan-kekuatan spekulatif sama yang terlihat dalam filsafat dan teologi Islam. Kita menginginkan separuh lain dari Kristen yang diidentifikasi Kung dengan dirinya dapat sebenarnya berdialog dengan Islam, termasuk dialog tentang pra-eksistensi (keazalian) Kristus sebagai Logos dan juga Realitas Muhammad (al-haqiqah al-muhammadiyyah) dari para Sufi.
Akhirnya, saya ingin mengakhiri pembicaraan ini dengan persoalan legalisme dan hukum yang dibicarakan Kung. Islam telah mengakui Kristus sebagai nabi cinta, seorang nabi yang menentang legalisme. Ini bukanlah tidak diketahui dalam Islam. Siapa pun yang mempunyai sedikit saja kontak dengan, misalnya, Diwan Hafiz yang dimiliki oleh setiap ahli pidato Persia di setiap rumah, mengetahui semua ayat Diwan tentang Kristus sebagai nabi Spirit (Roh), sebagai nabi Jalan (Tarekat, Tasawuf), karena ia memecahkan cetakan legal (hukum). Ini bukan sesuatu yang asing bagi orang-orang Muslim. Bagaimanapun juga, kebenaran itu di mata Muslim tidak meniadakan signifikansi hukum pada tingkatnya sendiri. Salah satu problema utama dialog antara Kristen dan Islam tepatnya adalah kesulitan besar yang dimiliki oleh banyak sarjana Kristen dalam memahami fakta bahwa hukum tidak hanya formalisme yang diserang Kristus dan bahwa dalam suatu pengertian Islam memadukan (menggabungkan) formalisme Musa terhadap hukum dengan sikap "Kristik" ("Kekristusan") dalam menghancurkan kerangka hukum "dari atas" ketika memuji-muji hukum sebagai yang amat suci dan abadi pada tingkatnya sendiri. Kemungkinan-kemungkinan dialog sangat dirasakan di sini. Tetapi serangan melawan syari'ah , melawan formalismenya, bahkan melawan keputusan-keputusannya, adalah benar-benar sulit diterima oleh seorang Muslim sebagaimana sulit diterima oleh seorang Yahudi ortodoks bila seorang menyerang keputusan-keputusan hukum yang dia anggap suci. Sebenarnya ketiadaan pemahaman tentang realitas Taurat sebagai Taurat abadi dan tentang hukum abadi Yahudi ortodoks hampir sama besarnya (seperti) dengan yang terjadi bagi Islam.
Waktu saya habis. Seluruh kritik ini telah dikemukakan, namun saya ingin berterima kasih pada Hans Kung, meskipun masih banyak ketidaksetujuan saya dengan dia, atas isu-isu krusial yang dikemukakannya. Saya berharap pertemuan ini menjadi langkah awal yang diambil untuk keluar dari formalisme pertukaran-pertukaran dan kata-kata hambar diplomatis dan untuk mempunyai pertukaran-pertukaran serius yang saya harap akan membawa isu-isu yang harus dihadapi secara terbuka dan dipecahkan. Saya ingin mengakhiri pembicaraan ini dengan pernyataan yang saya dengar dari seorang teman Kristen yang terhormat, ketika gerakan ekumenis sekarang ini dimulai. Ia mengatakan, "Mari kita berkumpul dan membuat motto 'Wahai, seluruh kekuatan dunia anti-ekumenis, bersatulah'." Satu-satunya dialog keagamaan yang berharga di mata Tuhan ialah dialog yang tidak mengorbankan atas nama kebijakan pada tingkat kemanusiaan, meskipun itu kedamaian duniawi, yang dinyatakan-Nya dalam setiap agama.
III. Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan
Nurcholish Madjid
Ketua Yayasan Paramadina
A. Mukadimah
Untuk kesekian kalinya kita akan coba bahas hubungan agama dan politik dalam Islam. Ibaratkan menimba air Zamzam di Tanah Suci, pembicaraan tentang masalah ini tidak akan ada habis-habisnya. Pertama, disebabkan kekayaan sumber bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas. Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke dalam reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan. Ketiga, pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau-tak-mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim sendiri.
Sekali pun begitu, dorongan untuk terus melakukan pembahasan tentang masalah ini tetap dirasakan penting dan punya relevansi dengan perkembangan zaman. Tidak saja Dunia Islam sekarang mengenal berbagai sistem politik yang berbeda-beda, jika tidak malah bertentangan, satu sama lain. Lebih penting lagi, seperti tercermin dalam berbagai tema pembicaraan pertemuan internasional Islam, baik swasta maupun pemerintah, kaum Muslim kini semakin sadar diri tentang perlunya memberi jawaban yang benar dan konstruktif terhadap tantangan zaman mutakhir. Harapan untuk dapat melakukannya dengan baik antara lain akan tumbuh jika ada kejelasan tentang persoalan yang amat prinsipil, yaitu persoalan hubungan yang benar antara agama dan politik dalam Islam.
Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shahib al-syari'ah (pemilik syari'ah), yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan prosedural. Dalam hal ini, besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia.
Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang kehidupan "duniawi" mana pun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan "untuk apa" tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang sebagai suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).
Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad s.a.w. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau melakukan musyawarah --sesuai dengan perintah Allah-- yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di pihak lain telah membuat Nabi Muhammad s.a.w. seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia.8
B. Tinjauan Sekilas atas Masyarakat Madinah
Pembicaraan tentang agama dan politik dalam Islam tidak sepenuhnya absah tanpa pembicaraan tentang masyarakat Madinah, khususnya di masa Nabi. Ini pun bukanlah suatu pembicaraan baru, meskipun di sini akan dicoba tekankan segi-segi tertentu yang dirasa paling relevan dengan persoalan kontemporer Islam dan politik.
Sejarah mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur sekitar empatratus kilometer sebelah utara Makkah. Kota itu dihuni orang-orang Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-suku utama Bani Nazhir, Bani Qaynuqa' dan Bani Qurayzhah. Kota oase itu agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup jauh, dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Ptolemius, Yethroba.
Yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan Nabi s.a.w. untuk mengganti nama kota itu menjadi Madinah. Tindakan Nabi itu bukanlah perkara kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik jazirah
Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara peristilahan atau semantis, perkataan Arab "madinah" berarti kota. Pengertian itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat ditelusuri kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu "d-y-n" (dal-ya'-nun), dengan makna dasar "patuh", sebagaimana dinyatakan dalam tasrif dana-yadinu. Dan situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk "agama" ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut "agama" itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup. Agama dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang benar dan yang palsu. Sebagian manusia menganut agama yang benar, sebagian lagi tidak.9 Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kepatuhan penuh pasrah kepada-Nya itu disebut, dalam Bahasa Arab, Islam, yang makna asasinya terkait dengan kata-kata salam (damai), salamah atau salamat-un (selamat) dan salim (utuh, integral, sound). Karena itu kepatuhan atau dan yang benar ialah Islam, dan yang merupakan pola hidup (mode of life) penghuni seluruh alam raya,10 bahkan alam raya itu sendiri juga,11 yang seharusnya juga merupakan sikap hidup yang benar-benar bagi manusia sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul sepanjang masa.12 Karena kepatuhan serupa itu merupakan "hukum alam" (lebih tepatnya, ketentuan atau taqdir Tuhan bagi seluruh alam, ciptaan-Nya), maka tidak melaksanakan islam adalah sikap tidak alamiah dan tidak wajar dengan segala akibatnya atas orang bersangkutan. Karena itu dengan sendirinya tertolak.13
Sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab "din" itu sama prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta "agama". Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian "a-gama" yang berarti. "tidak kacau", yakni, teratur atau berperaturan. ("Agama" dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal, Negara Kertagama).
Kembali ke perkataan "madinah" yang digunakan Nabi s.a.w. untuk menukar nama kota hijrah beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat. Maka sebuah konsep, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.
Karena itu perkataan Arab untuk peradaban ialah madaniyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae (juga "polisi"). Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut "kota" (city, polis). Dalam konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadlarah) di tempat itu. Maka, masih dalam peristilahan Arab, tsaqafah menjadi berarti "kebudayaan", dan hadlarah menjadi berarti "peradaban", sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah dan hadlarah ialah badawah yang mempunyai makna peristilahan "hidup berpindah-pindah" (nomadism) dan makna kebahasaan "(tingkat) permulaan" (bidayah, alis "primitif''). Karena itu "orang kota" disebut ahl al-hadlar atau hadlari dan "orang kampung" disebut ahl al-badawah atau badawi, juga badwi (badui). Kaum "badui" Juga sering disebut al-A'rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-'Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama. Dalam al-Qur'an mereka yang disebut al-A'rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan.14 Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi s.a.w. hanya sampai kepada batas kepatuhan lahiriah, tanpa kedalaman iman. Dalam al-Qur'an terbaca firman yang memerintahkan Nabi untuk mengingatkan bahwa mereka itu baru "berislam" (secara lahiriah), karena iman belum masuk ke dalam hati mereka.15
C. Hukum dan Keadilan sebagai Sokoguru Peradaban
Pendekatan kebahasaan yang cukup jauh di atas itu kiranya dapat membantu memperjelas pandangan-pandangan dasar masyarakat yang dijiwai oleh semangat ajaran agama. Sebab banyak sekali kejelasan tentang suatu sistem konsepsual yang dapat diperoleh dari pemahaman yang tepat terhadap kata-kata kunci jaringan peristilahannya. Pengetahuan tentang sesuatu didapatkan antara lain dengan memahami secara baik deretan nomenklaturnya.
Dari uraian di atas itu telah tampak hubungan antara agama dan politik, yaitu hubungan pengawasan dari atas oleh agama terhadap wilayah kehidupan sosial-politik di bawahnya, sehingga tetap dibimbing oleh pertimbangan akhlak yang mulia. Dengan demikian kegiatan duniawi itu memiliki pijakan etis yang kukuh, karena dikaitkan dengan pandangan hidup yang paling mendasar, yaitu keimanan.
Pembahasan kebahasaan di atas juga menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat beradab. Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon, al-insanu madaniyun bi al-thab'i), sehingga tidak mungkin hidup dengan baik dalam isolasi. Dan persyaratan kehidupan sosial ialah adanya peraturan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Peraturan itu dapat berupa ajaran keagamaan yang bersumber dari wahyu Ilahi, dapat pula dari hasil perjanjian antara sesama anggota masyarakat. Masyarakat beradab harus menghormati dan menaati perjanjian-perjanjian itu,16 sama dengan keharusan menghormati dan mentaati perjanjian antara manusia dengan Tuhan, yaitu ajaran agama.17 Itu sebabnya dalam al-Qur'an ada peringatan bahwa kezhaliman tiranik akan muncul dari orang yang gaya hidupnya egoistis, kehilangan kesadaran sosial karena merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak perlu kepada orang lain.18 Sikap-sikap mengabaikan dan melanggar hukum serta aturan adalah tiranisme (thughyan) yang dalam berbagai kisah dalam al-Qur'an digambarkan sebagai permusuhan kepadaAllah.19
Dalam hal keteguhan berpegang kepada hukum dan aturan itu masyarakat Madinah pimpinan Nabi s.a.w. telah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada siapa pun agar menunaikan amanat-amanat yang diterima dan menjalankan hukum aturan manusia dengan asli,20 masyarakat Madinah adalah masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Kepastian itu melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap, tanpa kuatir akan berakhir dengan hasil yang berbeda dari harapan secara merugikan. Kepastian hukum itu pangkal dari paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama dalam kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu, satu dari yang lain.
Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil "tanpa pandang bulu" banyak ditegaskan dalam Kitab Suci, bahkan, disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat.21 Dan Nabi juga menegaskan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika "orang kecil" melanggar pasti dihukum, sedangkan bila yang melanggar itu "orang penting" maka dibiarkan berlalu.22
Dalam rangka menegakkan aturan dan hukum atas semua warga masyarakat Madinah itu, Nabi s.a.w. juga diperintahkan Allah untuk mendorong dan mewajibkan kelompok-kelompok non-Muslim melaksanakan ajaran hukum mereka, sesuai dengan prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial yang beliau kembangkan. Maka kaum Yahudi warga Madinah diwajibkan menegakkan hukum Taurat, demikian pula kaum Nasrani dengan Injil mereka, disertai penegasan bahwa jika mereka tidak melakukan hal itu, mereka tidaklah beriman (kepada agama mereka sendiri).23 Berkenaan dengan ini menurut Ibn Taymiyah, kaum Salaf bahkan berpendapat bahwa ketentuan hukum dan ajaran dalam kitab-kitab suci yang terdahulu tetap berlaku untuk umat Islam, selama tidak jelas-jelas ketentuan-ketentuan itu telah diganti atau dihapus oleh ajaran berikutnya.24 Bahkan konsep tentang "hapus-menghapuskan" ini, menurut Ibn Taymiyah, tidak hanya terjadi dalam konteks deretan datangnya agama-agama, tapi juga dalam konteks perkembangan dalam agama itu sendiri.
D. Islam dan Politik Modern
Salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Dalam konteks pengalaman negara-negara Eropa, ide itu merupakan pembalikan dan perlawanan terhadap kecenderungan dan pola yang sangat umum di sana sebelum zaman modern, berupa kekuasaan absolut raja-raja dan para penguasa agama. Seperti halnya dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan yang lebih rasional dan manusiawi (seperti ilmu pengetahuan dan wawasan kemanusiaan atau humanisme), bangsa-bangsa Barat baru mulai benar-benar mengenal ide dan praktek tentang negara hukum dari pengetahuan mereka tentang Dunia Islam. Saat akhir-akhir ini bermunculan berbagai tulisan hasil kajian ilmiah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban Islam merembes dan mempengaruhi Barat, yang kemudian berhasil menerobos zaman, memasuki sejarah modern.
Beberapa kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan perbedaan antara "modernisme" dan "modernitas". Yang pertama berkonotasi kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir ini sebagai "kebijakan final" umat manusia, perwujudan terakhir proses panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban. jadi "modernisme", sebagai "isme", mendekati ketentuan tentang sebuah ideologi tertutup, sama dengan sekularisme, rasionalisme, dan lain-lairi.
Sedangkan "modernitas" adalah suatu ungkapan tentang kenyataan mengenai hidup zaman mutakhir ini, dalam pengertian positif dan negatif yang campur aduk, dengan pendekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik. Misalnya, dalam bidang-bidang yang menyangkut masalah teknikalitas, pengorganisasian, pengelolaan dan produksi, zaman sekarang adalah benar-benar puncak kemampuan umat manusia yang tingkat peradabannya dengan zaman-zaman sebelumnya tidak lagi terlukiskan menurut deret hitung, melainkan menurut deret ukur dengan angka faktor yang sangat besar. Tetapi, tentang kesadaran moral dan rasa kesucian yang benar (yang bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak menunjukkan tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman sebelumnya. Kesadaran moral dan rasa kesucian, dalam maknanya yang paling hakiki, merupakan masalah kemanusiaan yang abadi dan perennial. Dalam beberapa hal, zaman modern sekarang menunjukkan segi-segi pelaksanaan yang lebih baik daripada zaman sebelumnya, tapi dalam beberapa hal lain justru lebih buruk. Penampilan kemanusiaan yang paling kejam dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa modern (Barat), berupa pemerosotan harkat dan martabat kemanusiaan orang-orang Afrika menjadi budak-budak yang hanya sedikit sekali berada di atas binatang (Portugis punya peranan besar sekali di bidang ini), pemburuan dan pembunuhan orang-orang Aborigines untuk kesenangan dan cendera mata orang-orang kaya Eropa (!) dan pengisi museum antropologi mereka (Republika, 19 Maret 1998), pembersihan etnis dan genosida oleh bangsa-bangsa ("modern") Jerman dan Serbia, pendirian dan penegakan sebuah negara atas dasar mitos dan dongeng keagamaan (oleh kaum Yahudi) dengan merampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan seterusnya. Dalam masalah-masalah ini, reputasi bangsa-bangsa Muslim adalah supreme, amat jauh mengatasi bangsa-bangsa "modern" tersebut, biar pun dalam fase sejarah Dunia Islam yang paling rendah.
Oleh karena itu sebenarnya posisi umat Islam menghadapi modernitas itu tidaklah terlampau sulit. Di luar masalah kejiwaan (orang Islam cenderung merasa minder, kemudian menutup diri dan menjadi agresif, karena secara keliru merasa terkalahkan oleh orang Barat), yang dihadapi umat Islam tidak lain ialah, tantangan bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai keislaman klasik (salaf) yang murni dan menterjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sebab, seperti diamati dan telah menjadi pengakuan kesarjanaan mutakhir, dari semua sistem ajaran, khususnya agama, yang secara sejati dilihat dari sudut semangat dan jiwa ajaran itu sendiri, Islam adalah yang paling dekat dengan segi-segi positif zaman modern. Ernest Gellner, misalnya, mengatakan bahwa hanya Islamlah dari semua agama yang ada yang esensi ajarannya tetap relevan dengan tuntutan segi positif modernitas, dan yang proses ke arah itu tidak harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada desakan-desakan luar, tetapi justru dengan kembali ke asal dan mengembangkan nilai-nilai asasinya sendiri.25 Di sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi.
Wa 'l-Lah-u a'lam.
Catatan kaki:
8 Misalnya, sebagaimana ditulis oleh Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh dunia, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
9 Lihat Q., s. al-Tawbah/9:29.
10 Lihat Q., s. Alu' Imran/3:83.
11 Lihat Q., s. Fushshilat/41:11.
12 Lihat Q., s. Alu' Imran/3:84.
13 Lihat Q., s. Alu' Imran/3:85.
14 Lihat Q., s. al-Tawbah/9:97.
15 Lihat Q., s. al-Hujurat/49:14.
16 Lihat Q., s. al-Baqarah/2:177.
17 Lihat Q., s. al-Nahl/16:91.
18 Lihat Q., s. al-'Alaq/96:6-7.
19 Prototipe tokoh tiran (thaghut) yang memusuhi Tuhan ialah Fir'awn, yang ceritanya dituturkan berulang kali dalam al-Qur'an.
20 Lihat Q., s. al-Nisa'/4:85.
21 Lihat Q., s. al-Nis'a'/4:135.
22 Hadits yang artinya: "Sebenarnya hancur mereka sebelum kamu karena mereka menegakkan hukum atas rakyat jelata dan meninggalkan hukum atas orang besar. Demi Dia -Allah- jiwaku ada di Tangan-Nya, seandainya Fathimah berbuat jahat maka pasti aku potong tangannya". (Hadits Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Nasa'i, Ahmad, dan Darimi).
23 Prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial keagamaan yang berbeda-beda (non-Muslim) itu dibeberkan dalam deretan ayat-ayat suci Q., s. al-Ma'idah/5:42-49.
24 Penegasan yang amat menarik dari Ibn Taymiyah itu dapat dibaca dalam beberapa tulisannya, antara lain, dapat dilihat dalam Ibn Taymiyah, al-Jawab al-Shahih li man Baddala Din al-Masih (Beirut: Mathabi' al-Majd al-Tijariyah, tth.), juz 1, h. 37l-375). Lihat juga Ibn Taymiyah, al-Furqan bayn-a 'l-Haqq wa 'l-Bathil (Damsyiq: Maktabah Dar al-Bayan, 1405 H/1985 M), h. 67-69.
25 "... Only Islam survives as a serious faith pervading both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition is modernisable; and the operation can be presented, not as an innovation or concession to outsiders, but rather as the continuation and completion of an old dialogue within Islam ... Thus in Islam, and only in Islam, purification/modernization on the one hand, and the reaffirmation of a putative old local identity on the other, can be done in one and the same language and set of symbols." (Ernest Gellner, Muslim Society, [Cambridge: Cambridge University Press, 1981], h. 4).
IV. Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer (1/4)
oleh A. Luthfi Assyaukanie
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Malaysia,
sekarang menjadi Staf Redaksi Majalah Ummat
SEJARAH pemikiran adalah sejarah para pemikir, sejarah kaum elit yang dengan kepandaiannya, mampu mengabstraksikan fenomena sosial dan gejala lainnya ke dalam bahasa intelektual dan ilmiah. Para pemikir atau kaum cendekia dianggap elit karena keterasingan mereka dari dunia umum. Istilah "pemikir" itu sendiri agak kabur, bisa diterapkan kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia bisa diterapkan sebagai panggilan lain untuk "intelektual" dan scholar (sarjana), atau pada konteks yang lebih keren kepada filsuf. Dalam bahasa Inggris, kata-kata seperti philosopher, thinker, scholar dan intellectual merujuk kepada figur terpelajar (learned man) yang sebenarnya tidak mempunyai batasan yang jelas satu dengan yang lainnya. Hanya agaknya disepakati bahwa philosopher --karena faktor sejarahnya-- adalah istilah yang paling signifikan untuk mengekspresikan tingkat kejeniusan seseorang. Karenanya, filsuf adalah orang yang paling elit di antara deretan kaum terpelajar tersebut. Untuk seorang filsuf seperti Ibn Sina misalnya, derajat keelitan seorang filsuf dapat dillhat pada cara mempersepsikan kebenaran. Menurut filsuf Muslim asal Parsi ini, kebenaran yang dicapai oleh para filsuf berbeda dengan kebenaran yang dicapai oleh orang awam atau orang biasa, karena cara dan metode pemahaman yang dipakai oleh kedua kelompok tersebut berbeda. Inilah dikotomi yang paling jelas antara kelompok elit dengan massa.
"Filsuf" adalah istilah klasik untuk menunjukkan kelompok pemikir yang tidak mempunyai massa, tidak terlibat dengan massa dan hanya berbicara dan mendiskusikan masalah-masalah filosofis secara terbatas. Dalam bahasa modernnya, setelah mengalami reduksi tentunya, filsuf adalah scholar (sarjana) yang bergelut dalam bidang pemikiran tertentu dengan tidak melibatkan massa didalamnya. Seorang sarjana yang telah mencapai jenjang pendidikan tertinggi diberi gelar Ph.D. (Doctor of Philosophy), tidak peduli apakah ia menekuni kajian filsafat, sosiologi, politik, ekonomi, sains atau lainnya.
Pembedaan seperti di atas juga dilakukan oleh 'Ali Syari'ati, pemikir asal Iran. Menurutnya, tokoh pintar yang mewakili dan memiliki massa adalah bukan pemikir, bukan filsuf, bukan ideolog, dan bukan pula saintis, tapi ia adalah pemikir tercerahkan. Dalam bahasa Parsi, Syari'ati menyebutnya rushanfekr. Istilah rushanfekr tidak mempunyai padanan yang tepat dalam bahasa lain, tapi mungkin bisa diterjemahkan secara sederhana sebagai "intelektual", karena istilah tersebut biasa merujuk kepada para pemikir atau tokoh terpelajar yang memiliki dan berafiliasi kepada massa. Karena itu tepat sekali jika Ikatan Cendekia Muslim se-Indonesia (ICMI) merupakan organisasi yang mengumpulkan para cendekia yang berorientasi kepada masyarakat. Itu karena cendekia dalam bahasa Inggris disebut intellectual. Seorang intelektual biasanya tidak hanya berpikir untuk bidangnya, ia melibatkan diri dengan masyarakat dan berinteraksi dengan mereka. Dalam kerangka ini, bisa kita katakan bahwa figur seperti 'Ali Syari'ati adalah intelektual, begitu juga Muththahhari, Mawdudi dan al-Afghani. Tapi para pemikir seperti Bassam Tibi, Abdurrahman Badawi dan Majid Fakhri lebih sarjana ketimbang intelektual. Di Barat, Bertrand Russel selalu dianggap sebagai "thinker", "philosopher" dan "reformer", padahal ia adalah intelektual. Namun, nama-nama seperti Kant, Hegel dan Heidegger lebih filsuf ketimbang intelektual. Dalam hubungan ini, para orientalis seperti Brocklemann, Goldziher, Gibb dan Watt adalah sarjana-sarjana (scholars) yang hanya menguasai ilmu tertentu saja. Mereka tidak disebut sebagai filsuf, tidak juga intelektual.
Pembedaan seperti di atas mungkin tidak selalu akurat, karena, seperti telah saya katakan, istilah "pemikir" itu sendiri ambigious, bisa diterapkan di mana-mana, tentu dengan intensitas keintelektualan yang berbeda-beda.
Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir, percaya bahwa ada dikotomi yang jelas antara "pemikir elit" (mufakkir nukhbah) dengan "pemikir massa" (mufakkir jamahir). Menurutnya, mufakkir nukhbah adalah para pemikir (filsuf, intelektual, sarjana) yang terasing dari massa dan hidup dalam dunia intelektual yang eksklusif, dan mereka adalah para pemikir elit. Sementara mufakkir jamahir adalah para pemikir (filsuf, intelektual, sarjana) yang berinteraksi dan terlibat dengan masyarakat, dan mereka adalah milik massa.26 Dalam tulisannya yang lain,27 walau ia mengakui sulitnya membuat perbedaan antara "pemikir" (mufakkir) dengan "intelektual" (mutsaqqaf), tak pelak, ia juga membuat perbedaan tersebut. Tak jauh berbeda dengan batasan-batasan seperti yang saya untuk di atas, Hanafi menganggap pemikir sebagai genus, sedangkan intelektual sebagai species. Karena itu, "seluruh pemikir adalah intelektual, tetapi tidak seluruh intelektual adalah pemikir.28
Ilustrasi singkat tentang pemikir dan segala cognate-nya yang saya berikan di atas, dimaksudkan untuk memberikan acuan dan batasan tentang pemikir dan pemikiran serta aplikasinya dalam tulisan ini. Dalam galeri pemikiran Arab kontemporer seperti yang akan diperlihatkan dalam tulisan ini, ada sekelompok pemikir yang berpengaruh hanya karena tulisan-tulisannya, ada yang namanya lebih terkenal dari pemikirannya, dan ada pemikir yang hanya terkenal sebatas dunia akademis.
Pemikiran Arab pasca kebangkitan ('ashr al-nahdlah) biasanya selalu dibedakan antara "modern" dan "kontemporer". Istilah modern-kontemporer merujuk kepada dua era yang tidak mempunyai penggalan pasti. Kontemporer, seperti yang pernah dikatakan oleh Qunstantine Zurayq --tokoh modernis Arab ternama-- adalah lahir dari modernitas (al-'ashriyah walladat al-hadatsah).29 "Kontemporer" adalah kekinian atau kini, sementara modern adalah "kini" yang sudah lewat tapi masih mempunyai citra modern. Karena tidak ada kepermanenan dalam kekontemporeran, modern yang telah lewat dari kekinian tidak lagi disebut kontemporer. Dalam hubungannya dengan pemikiran Arab, istilah modern-kontemporer merujuk kepada pemikiran Arab modern sejak masa kebangkitan, dimulai dengan invasi Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798, kemudian dalam berdirinya negeri-negeri independen dengan mengatasnamakan nasionalisme, dan sejak runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul, sampai sekarang. Perbedaan paling jelas antara yang modern dengan yang kontemporer adalah bahwa yang pertama merujuk kepada era modernisasi secara umum, sedangkan kontemporer merujuk kepada era sekarang atau yang berlaku kini. Oleh karenanya, kontemporer adalah kelanjutan modernitas dan pada saat yang sama adalah modernitas itu sendiri. Batasan sejarah pemikiran Arab modern adalah dari tahun 1798 hingga sekarang. Sedangkan batasan pemikiran Arab kontemporer, tidak diketahui secara pasti. Hanya kebanyakan para pemikir Arab sendiri menganggap waktu kontemporer (mu'ashirah) bermula sejak kekalahan Arab oleh Israel tahun 1967, karena kekalahan tersebut merupakan titik yang menentukan (watershed) dalam sejarah politik dan pemikiran Arab modern,30 di mana sejak saat itulah --seperti yang dikatakan Issa J. Boullata-- orang Arab sadar akan dirinya dan kemudian kritik-diri (naqd dzati) mulai bermunculan di sana-sini.31
A. Tiga Tipologi Dominan
Tahun 1967 dianggap sebagai "penggalan" (qathi'ah) dari keseluruhan wacana Arab modern, karena masa itulah yang mengubah cara pandang bangsa Arab terhadap beberapa problem sosial-budaya yang dihadapinya. Pukulan telak Israel membuat mereka bertanya-tanya what's wrong dengan sekumpulan negara besar yang mempunyai jumlah tentara dan peralatan yang cukup memadai dipaksa kalah oleh Israel --negara kecil dengan tidak lebih dari tiga juta penduduknya? Inilah awal mula apa yang dinamakan kritik-diri yang kemudian direfleksikan dalam wacana-wacana keilmiahan, baik dalam fora akademis maupun literatur-literatur ilmiah lainnya.
Langkah pertama yang dilakukan oleh para intelektual Arab adalah menjelaskan sebab-sebab kekalahan (tafsir al-azmah) tersebut. Di antara sebab-sebab yang paling signifikan adalah masalah cara pandang orang Arab kepada budaya sendiri dan kepada capaian modernitas. Karena itu, pertanyaan yang mereka ajukan adalah; bagaimana seharusnya sikap bangsa Arab dalam menghadapi tantangan modernitas dan tuntutan tradisi?
Telah lebih dari dua dekade, masalah tersebut terus dibicarakan dan didiskusikan dalam seminar-seminar, dalam bentuk buku, artikel dan publikasi lainnya. Dan masalah tersebut kemudian menjadi common denominator untuk setiap intelektual Arab yang peduli terhadap masalah kearaban dan keislaman. Persoalan itu sebenarnya bukan tidak pernah dibahas oleh pemikir-pemikir Arab sebelumnya (era modern). Secara implisit, topik semacam itu pernah dilontarkan oleh Muhammad 'Abduh dan 'Abd al-Rahman Kawakibi. Namun sebagai satu wacana epistemik32 masalah tersebut baru mendapat sambutan luas pada dua dekade terakhir. Lebih dari itu semua, masalah tradisi dan modernitas telah menjadi agenda penting untuk proyek peradaban pemikiran Arab kontemporer.
Istilah "tradisi dan modernitas" yang digunakan dalam diskursus pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada terma idiomatik yang bervarian, terkadang digunakan al-turats wa al-hadatsah,33 al-turats wa al-hadatsah,34 al-Ashlah wa al-hadatsah,35 al-turats wa al-mu'ashirah,36 dan dalam bentuk yang tidak konsisten digunakan juga al-qadim wa al jadid.37 Seluruh istilah tersebut berarti tradisi dan modernitas dengan seluas-luas maknanya. Akan tetapi istilah turats paling sering digunakan dan paling sering disebut, bahkan istilah itu kini menjadi kata kunci untuk memasuki diskursus pemikiran Arab kontemporer. Secara literal, turats berarti warisan atau peninggalan (heritage, legacy), yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan/diwariskan oleh orang-orang terdahulu (al-qudama). Istilah tersebut merupakan produk asli wacana Arab kontemporer, dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut. Istilah-istilah seperti al-'adah (kebiasaan), 'urf (adat) dan sunnah (etos Rasul) meskipun mengandung makna tradisi, tetapi tidak mewakili apa yang dimaksud dengan istilah turats. Begitu juga dalam literatur bahasa-bahasa Eropa, tidak ada variabel yang tepat. Menurut Jabiri, kata legacy dan heritage dalam bahasa Inggris, atau patrimonie dan legs dalam bahasa Perancis tidak mewakill apa yang dipikirkan oleh orang Arab tentang turats.38
Al-hadatsah, sebagai istilah yang paling umum digunakan untuk mewakili kata "modernitas" merujuk kepada era modern yang dilewati bangsa Arab sejak masa kebangkitan dua abad yang lalu. Tidak seperti turats, hadatsah merupakan konsep pinjaman yang diambil dan ditransliterasikan dari bahasa Barat. Muatan dan ciri-cirinya pun olahan Barat. Qustantine Zurayq melihat modernitas sebagai satu konsep yang memiliki dua aspek utama; pertama kontinuitas dan perubahan, dan kedua revolusi dan aksi sosial.39 Modernitas oleh bangsa Arab lebih dilihat sebagai tantangan identitas kultural daripada sebuah konsep budaya yang harus diterima dengan senang. Ini, sebagaimana ditafsirkan oleh Hassan Hanafi, karena bangsa Arab lebih merasa at home dengan turats ketimbang hadatsah, karena turats telah menyatu dalam kesadaran bangsa Arab (wa'y al-'Arabi) sejak empat belas abad lalu, sementara hadatsah baru datang tidak lebih dari dua ratus tahun lalu.40
Sejauh yang menyangkut pandangan-pandangan para pemikir Arab kontemporer (pasca'67) tentang tradisi dan modernitas, secara umum ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai wacana pemikiran Arab kontemporer.
Pertama, tipologi transformatik. Tipologi ini mewakili para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang. Karena itu, harus ditinggalkan. Kelompok ini diwakili pertama kali oleh pemikir-pemikir Arab dari kalangan Kristen, seperti Shibli Shumayl, Farah Antun dan Salamah Musa. Kini, kelompok itu diteruskan oleh pemikir-pemikir yang kebanyakan berorientasi pada Marxisme seperti Thayyib Tayzini, Abdullah Laroui dan Mahdi Amil, disamping pemikir-pemikir liberal lainnya seperti Fuad Zakariyya, Adonis, Zaki Nadjib Mahmud, Adil Daher dan Qunstantine Zurayq.
Yang kedua adalah tipologi reformistik. Jika pada kelompok pertama metode yang diajukan adalah transformasi sosial, pada kelompok ini, proyek yang hendak digarap adalah reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Kelompok ini lebih spesifik lagi dibagi kepada dua kecenderungan. Pertama, para pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu, melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali. Maksudnya, agar tradisi suatu masyarakat (agama) tetap hidup dan bisa terus diterima, maka ia harus dibangun kembali secara baru (i'adah buniyat min jadid) dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Perspektif ini berbeda dengan kelompok tradisionalis yang lebih memprioritaskan metode "pernyataan ulang" (restatement,41 reiteration42) atas tradisi masa lalu. Menurut yang terakhir ini, seluruh persoalan umat Islam sebenarnya pernah dibicarakan oleh para ulama dulu, karena itu, tugas kaum Muslim sekarang hanyalah menyatakan kembali apa-apa yang pernah dikerjakan oleh pendahulu mereka.
Pada akhir abad kesembilan belas dan awal-awal abad kedua puluh, kecenderungan berpikir rekonstruktif diwakili oleh para reformer seperti al-Afghani, 'Abduh dan Kawakibi. Pada era sekarang, kecenderungan tersebut dapat dijumpai pada pemikir-pemikir reformis seperti Hassan Hanafi, Muhammad Imarah, Muhammad Ahmad Khalafallah, Hasan Saab dan Muhammad Nuwayhi.
Kecenderungan kedua dari tipologi pemikiran reformistik adalah penggunaan metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi merupakan fenomena baru untuk pemikiran Arab kontemporer. Para pemikir dekonstruktif terdiri dari para pemikir Arab yang dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis dan beberapa tokoh post-modernisme lainnya, seperti Levi-Strauss, Lacan, Barthes, Foucault, Derrida dan Gadamer. Pemikir garda depan kelompok ini adalah Mohammed Arkoun dan Mohammed Abid Jabiri. Pemikir lain yang sejalan dengan Arkoun dan Jabiri adalah M. Bennis, Abdul Kebir Khetibi, Salim Yafut, Aziz Azmeh dan Hashim Shaleh. Kedua kecenderungan dari tipologi reformistik ini mempunyai tujuan dan cita-cita yang sama, hanya saja metode penyampaian dan pendekatan masalah mereka yang berbeda. Tidak seperti kelompok transformatik yang sangat radikal, para pemikir dari kalangan reformistik masih percaya dan menaruh harapan penuh kepada turats. Tradisi atau turats menurut mereka tetap relevan untuk era modern selama ia dibaca, diinterpretasi dan dipahami dengan standar modernitas.
Kelompok ketiga adalah tipologi pemikiran ideal-totalistik. Ciri utama dari tipologi ini adalah sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat totalistik. Kelompok ini sangat committed dengan aspek religius budaya Islam. Proyek peradaban yang hendak mereka garap adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya dan peradaban. Mereka menolak unsur-unsur asing yang datang dari Barat, karena Islam sendiri sudah cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi. Menurut kelompok pemikir dari tipologi ini, Islam tidak butuh lagi kepada metode dan teori-teori import dari Barat. Mereka menyeru kepada keaslian Islam (al-ashlah), yaitu Islam yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan keempat Khalifahnya. Para pemikir yang mewakili tipologi ideal-totalistik ini, tidak percaya baik kepada metode transformasi maupun reformasi, karena yang dituntut oleh Islam --menurut mereka--adalah kembali kepada sumber asal (al-awdah ila al-manba) yaitu al-Qur'an dan Hadits. Dalam banyak hal, metode pendekatan mereka kepada turats dapat disamakan dengan kaum tradisionalis. Kendati demikian, mereka tidak menolak pencapaian modernitas, karena apa yang telah diproduksi oleh modernitas (sains dan teknologi) tidak lebih dari apa yang pernah dicapai oleh kaum Muslim pada era kejayaan dulu. Para pemikir yang mempunyai kecenderungan berpikir ideal-totalistik adalah para pemikir-ulama seperti M. Ghazali, Sayyid Quthb, Anwar Jundi, Muhammad Quthb, Said Hawwa dan beberapa pemikir Muslim yang berorientasi pada gerakan Islam politik.
Ketiga tipologi ini telah meramaikan wacana pemikiran Arab kontemporer. Meskipun kategori tipologi semacam ini tidak sepenuhnya mempunyai batasan yang clear-cut, tapi secara umum substansi setiap ide para pemikir Arab dapat dijelaskan melalui salah satu tipologi tersebut. Berikut ini, dengan singkat, akan digambarkan beberapa pandangan penting para pemikir dari ketiga kelompok tersebut.
1. Transformatik
Para pemikir Arab yang mempunyai kecenderungan transformatik kebanyakan berorientasi kepada Marxisme. Afiliasi mereka kepada Marxisme bukan pada dimensi ideologi politik, tetapi lebih pada aspek intelektualnya. Dan berikut ini akan kita simak pandangan-pandangan dua pemikir Marxis Arab, Thayyib Tayzini dan Abdullah Laroui43 tentang problem dunia Arab kontemporer. Agar kelihatan adil, seorang pemikir yang non-Marxis juga akan kita soroti, yaitu seorang filsuf dan budayawan serba bisa -Adonis.
Thayyib Tayzini adalah seorang profesor ternama di universitas Damaskus, Syria. Gelar doktor filsafat diraihnya dari universitas Karl Marx, Leipzig, Jerman. Ia dikenal dengan proyek peradabannya, Masyru Ru'yah Jadidah li al-Fikr al-Arabi min al-'Ashr al-Jahili hatta al-Marhalah al-Mu'ashirah (Proyek Visi Baru Pemikiran Arab dari Era Jahiliyyah Hingga Modern). Proyek ini akan ditulisnya dalam dua belas jilid buku, dua di antaranya telah diterbitkan, yaitu Min al-Turats ila al-Tsawrah: Hawla Nazhariyyat al-Muqtarahah fi Qadiyah al-Turats al-Arabi,44 dan Al-Fikr al-Arabi fi Bawakirih wa Afaqih al-Ula.45 Proyek besar Tayzini ini mungkin hanya bisa disejajarkan dengan proyek Hassan Hanafi (al-Turats wa al-Tajdid) dan Mohammed Abid Jabiri (Naqd al-'Aql al-'Arabi).
Tampaknya tidak perlu susah-susah menunggu sepuluh jilid yang lain dalam membaca karya Tayzini ini. Teori, metode dan aplikasi telah dengan sistematis dan sangat jelas dielaborasi Tayzini dalam Jilid pertamanya. Buku tersebut direncanakan sebagai pengantar untuk kajian metodis atas warisan budaya Arab yang biasa disebut turats. Judul yang diberikan oleh Tayzini untuk bukunya yang pertama tersebut merefleksikan pandangan-pandangan Marxismenya, sekaligus memberi pesan transformatif dari turats kepada revolusi. Revolusi yang dimaksudkan di sini tentulah revolusi ala Marx. Ia mengkritik para pemikir Arab lain yang membaca turats secara tidak proporsional, menurut istilahnya, tidak historis (ahistoris/la tarikhi) dan tidak turatsi (aheritagial/la turdatsi).46 Turats, menurut Tayzini, harus didekati secara historis dan harus dilihat dalam konteks hubungan dialektis antara masalah sosio-ekonomi dengan kondisi politik dalam sebuah masyarakat. Unsur seperti ini, terutama yang disebutkan terakhir sangat berperan dalam membentuk turats manusia, yang kemudian --disadari atau tidak-mendapat justifikasi ontologis. Karenanya, untuk membebaskan turats dari penafsiran-penafsiran subjektif, ia harus diletakkan dalam kerangka historisisme, "karena sebenarnya, turats itu sendiri adalah sejarah".47
Warna Marxisme Tayzini terasa sangat kental ketika ia menghubungkan turats dengan revolusi buruh. Tanpa ragu-ragu ia namakan teorinya al-jadaliyah al-tarikhiyah al-turatsiyah (dialektiko histo-turatsi,-sic.), yang bertujuan menciptakan revolusi turats dalam bentuk sosialisme ilmiah. Teori ini menegaskan bahwa revolusi budaya tidak mungkin terjadi dalam kekosongan relasi sosial (a vacuum of social relations), seperti yang kini melanda bangsa Arab. Seperti diketahui, bangsa Arab dikuasai oleh kelas borjuis-feodalis yang secara ekonomi tidak mampu berdiri sendiri. Mereka sangat bergantung kepada kekuatan kapitalis Barat. Secara ideologis, hal tersebut menjadikan para borjuis itu malas atau enggan untuk menciptakan revolusi sosial. Inilah kekosongan relasi itu, bukan hanya antara kelas, tetapi juga antara pemilik modal dengan peninggalan turats. Sementara kaum buruh (baca: massa) mempunyai keterkaitan emosional yang erat dengan turats mereka.48
Masih dalam paradigma Marxisme tetapi berbeda sudut pandang, Abdullah Laroui membuat sintesa yang hampir mirip dengan Tayzini. Pemikir Maroko ini yang di dunia Arab dikenal sebagai 'Abdullah al-Arwi (dalam bahasa Perancis "al" menjadi "la"), percaya penuh dengan metode historisisme. Dua buah bukunya la crise des intellectuels arabes: traditionalisme ou historicisme,49 dan L'ideologie arabe contemporaine50 adalah kritik historis atas tradisi dan diskursus intelektual Arab tentang turats. Berbeda dengan Tayzini yang tidak membedakan antara turats dengan sejarah, Laroui melihat turats sebagai satu bentuk tradisionalisme yang harus dilampaui. Masyarakat Arab tidak akan berubah selama golongan penguasa dan intelektualnya belum mengubah cara pandang mereka terhadap turats. Mereka tidak akan maju selama cara berpikir dan orientasi mereka ke masa lalu.51
Laroui menolak pendekatan yang dilakukan baik oleh kaum tradisionalis (salafi) maupun modernis (sekular). Menurutnya, kelompok tradisionalis melihat turats secara ahistoris (la tarikhi). Kesalahan mereka adalah menganggap turats sesuatu yang suci, yang cocok untuk setiap zaman dan segala kondisi. Padahal jelas-jelas bahwa kondisi kini dan masa lalu berbeda. Begitu juga kaum modernis, dalam pandangan Laroui, mereka hanyalah penganut eklektis yang memilih-milih elemen dan unsur tertentu dari budaya Barat --budaya orang lain. Sikap seperti ini tidak akan memperbaiki kondisi bangsa Arab, malah akan menjadikan bangsa itu terus bergantung kepada Barat. Kedua kelompok tersebut, menurut Laroui, tidak mengerti kondisi sosial bangsa Arab, sehingga mereka hidup terpisah dari lingkungan dan masyarakat. Satu ekstrim ingin menjadikan masa lalu sebagai model kemajuan, sementara ekstrim lainnya ingin menjadikan orang lain (Barat) sebagai model yang lain. Kedua-duanya --mengambil masa lalu atau mengambil orang lain-- adalah tindakan yang tidak kreatif.
Persoalan tersebut, menurut Laroui, hanya dapat diatasi dengan memperkaya diri berpikir kritis dan historis. Ia melihat, metode berpikir historis (historisisme) hanya dapat dijumpai pada Marxisme dengan teori dialektika historisnya. Karena itu, mempelajari Marxisme demi mencapai level berpikir kritis dan historis harus diberi prioritas. Bukan hanya itu, Marxisme telah dengan rapi menghubungkan masalah-masalah tersebut dengan persoalan ekonomi, sosial dan politik. Ini sangat cocok dan sejalan dengan dunia Arab kontemporer.52
Kritik Tayzini dan Laroui dalam beberapa hal adalah juga kritik para intelektual Arab lainnya. Masalahnya bagaimana memberikan metode dan pendekatan yang baik dalam menyampaikan kritik tersebut. Alternatif Marxisme yang diajukan keduanya bukan tidak mendapat kritik dari kalangan pemikir lain. Di samping polanya yang sudah usang, metode Marxisme, dipandang oleh para kritikus Tayzini dan Laroui, sebagai contoh sederhana kegagalan sebuah metode. Apalagi dengan melihat kasus Uni Soviet dan negara-negara yang mempraktekkan sistem itu. Teori Tayzini dan Laroui tampak tidak mempunyai tempat di banyak hati intelektual Arab.
Pemikir lainnya dari kecenderungan berpikir transformatik adalah Adonis Akra. Ia seorang pemikir serba bisa yang "nyentrik"; menulis puisi, main teater, menulis buku filsafat, seminar ilmiah dan sejumlah kegiatan yang digelutinya. Nama sebenarnya adalah Ali Ahmad Sa'id, tetapi nama Adonis --nama salah seorang tokoh legendaris Yunani-- yang dipujanya, lebih melekat pada dirinya. Di antara kegiatannya yang segudang, ia memimpin dua jurnal terkenal Syi'r dan Mawaqif. Karya pentingnya adalah Al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ittiba wa al-Ibda' 'inda al-'Arab (Yang Tetap dan Yang Berubah: Kajian Tentang Imitasi dan Kreatifitas Bangsa Arab). Ditulis dalam tiga jilid, yang menurut Boullata "the most daring indictments of Arab culture in modern times."53 Buku tersebut direncanakan oleh Adonis sebagai bacaan ulang atas sejarah Arab-Islam, khususnya dalam pencarian makna keotentikan (al-ashlah). Dengan kritis ia menulis;
Apakah keotentikan itu? Bagaimana kita mendefinisikan sesuatu yang otentik? Bagaimana hubungannya dengan masa lalu, sekarang dan akan datang, bagaimana menafsirkannya? Mengapa bangsa Arab harus mengalami kemunduran dan stagnasi yang begitu pahit? Apakah masalahnya cuma disintegrasi politik atau pengaruh asing? Bagaimana kita menafsirkan dan memahami hubungan antara bangsa, agama dan politik. Lalu, apakah signifikansi modernitas ditengah semuanya ini?"54
Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang dicoba jawab oleh Adonis. Dalam eksplorasinya itu, ia menyimpulkan ada empat karakteristik mentalitas bangsa Arab. Pertama, pada level ontologis, bangsa Arab berorientasi pada teologisme (lahutaniyah), yaitu satu kecenderungan yang berlebihan dalam melihat Tuhan sebagai pusat dari segalanya --sebagai inspirasi ontologis untuk setiap wujud. Sikap dalam memandang Tuhan ini kemudian direfleksikan dalam kehidupan realitas bangsa Arab --hubungan masyarakat dengan negara dan negara dengan setiap individu adalah hubungan teologis. "Sebagaimana manusia tidak bisa hidup kecuali lewat Tuhan, di dunia nyata ia pun tidak hidup kecuali oleh agama, komunitas, negara, keluarga, dan seterusnya. Ia tidak bisa hidup sendiri, karena ia tidak mempunyai kebebasan untuk itu." Kedua, pada level psikologis, bangsa Arab berorientasi pada masa lalu (madlawiyah). Maksudnya, bangsa Arab selalu melihat masa lalu sebagai simbol kemajuan, dan berkeyakinan bahwa jika ingin maju harus beremulasi dengan masa lalu itu. Bagi mereka hal-hal baru yang tidak jelas adalah spekulatif, maka tidak perlu dikejar. Ketiga, pada level ekspresi bahasa, nalar bangsa Arab selalu membedakan antara yang bersifat "ide" dengan "ucapan". Pemisahan semacam ini, menurut Adonis, hanya akan memasung kreatifitas jiwa, karena ide selalu dianggap sebagai sesuatu yang permanen sebelum adanya ucapan. Dengan kata lain, ucapan hanyalah pembungkus simbolis dari sesuatu yang sudah ada. Keempat, pada level peradaban, bangsa Arab hidup dalam keadaan terasing (ightirab) dan penuh dengan kontradiksi, terutama dalam menghadapi modernitas. Itu, karena mereka selalu berpikir dalam paradigma masa lalu dan hidup dalam bayang-bayang turats.55
Kesimpulan yang diberikan oleh Adonis memang cukup radikal. Dalam pandangannya, bangsa Arab tidak realistis, karena apa yang dipikirkan dan apa yang dihadapi berlainan. Begitu juga bangsa Arab tidak akan bisa maju karena mereka berpikir dalam kungkungan logosentris yang dilapisi sekat-sekat ideologi. Kondisi bangsa Arab, menurut Adonis, tidak akan berubah selama sekat itu belum disingkirkan. Bagi Adonis, yang dibutuhkan bukan hanya perombakan (dekonstruksi) nalar Arab. Tapi, lebih dari itu, adalah penghancuran (destruksi), sehingga transformasi yang diharapkan akan tercapai.56
2. Reformistik
Secara umum, tipologi reformistik adalah kecenderungan yang meyakini bahwa antara turats dan modernitas kedua-duanya adalah baik. Masalahnya, bagaimana menyikapi keduanya dengan adil dan bijak. Adalah salah memprioritaskan satu hal dan merendahkan yang lain, karena, kalau mau jujur, kedua-duanya bukan milik kita; turats milik orang lampau dan modernitas milik Barat. Mengambil satu dan membuang yang lain adalah gegabah, dan membuang kedua-duanya adalah konyol. Yang adil dan bijak adalah bagaimana mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi akal sehat dan standar rasional, inilah inti dari reformasi itu.
Gerakan reformistik dalam dunia Arab modern telah dimulai dan disemai oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa'at Tahtawi dan al-Tunisi. Puncaknya dalam diri Muhammad 'Abduh. 'Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi "kiri" atau "kanan" dalam madzhab 'Abduh semakin intens. Kelompok kiri penerus 'Abduh semakin lama semakin kiri (menjadi sekular), dan kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali dari kerangka ajaran sang imam --menjadi fundamentalis.
Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah 'Abduh yang beraliran kiri; pada mulanya adalah 'Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian 'Ali 'Abd al-Raziq, kemudian Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Semakin kemari semakin kiri, dan semakin jauh dari kerangka berpikir sang Imam. Kasusnya sama dengan kelompok kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan mata-rantainya: dari 'Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid Quthb).
Untuk lebih jelas lagi kita akan lihat berikut ini, bagaimana sisa-sisa spirit 'Abduh masih kelihatan dalam pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan para reformis kontemporer. Tentu, dibandingkan dengan aspek keseluruhan dari identitas mereka, spirit ini bukanlah apa-apa. Pada kelompok pertama kita akan melihat dua pemikir kontemporer yang berorientasi kepada pembangunan kembali (rekonstruksi) budaya dan warisan peradaban Arab-Islam; pertama, Dr. M. Imarah, sisa-sisa pengikut setia 'Abduh yang pernah berguru pada 'Ali 'Abd al-Raziq, dan kedua, Dr. Hassan Hanafi, mantan anggota Ikhwan yang pernah teriak-teriak bersama Sayyid Quthb dan kemudian hengkang ke Sorbonne untuk belajar filsafat.
M. Imarah atau kadang diucapkan M. Amarah adalah pemikir Mesir ternama yang mengkonsentrasikan dirinya dalam kajian historis ajaran dan doktrin Islam, terutama yang berhubungan dengan ketatanegaraan dan politik. Bukunya Al-Islam wa al-Wahdah al-Qawmiyah (Islam dan Persatuan Nasional) yang dicetak 11.000 eksemplar habis terjual hanya dalam masa sepuluh hari. Bukunya yang kedua, Al-Islam wa al-Sulthah al-Diniyah (Islam dan Otoritas Agama) sempat menggoncangkan dan meresahkan masyarakat karena membahas isu sensitif tentang Islam dan permasalahan politik. Meski ia kritis terhadap 'Ali 'Abd al-Raziq, gurunya, sebenarnya, ide-ide Muhammad Imarah, khususnya tentang konsep kenegaraan, adalah perpanjangan dari pandangan gurunya tersebut. Ia --juga seperti 'Abd al-Raziq-- menganggap isu negara Islam dan usaha pencarian sistem Islam melalui teks-teks agama adalah masalah ijtihadi.
Dalam Islam sendiri, menurut Imarah, tidak ada satu kelompok pun --kecuali Syi'ah mungkin-- yang mengklaim dirinya sebagai orang suci, utusan Tuhan dan ma'shum dari kesalahan. Padahal, Imarah berargumen, Nabi saja dalam masalah-masalah keduniaan bisa salah, dengan kata lain, ia tidak ma'shum. Karena itu, selama masalah kenegaraan adalah masalah ijtihadi (penafsiran manusia) dan urusan duniawi, boleh-boleh saja konsep tersebut dipersalahkan.
Jika sekelompok Muslim masa lalu memilih khilafah sebagai satu alternatif sistem politik yang kemudian menjadi mapan, menurut Imarah, bukanlah pilihan teologis. Dengan kata lain, masalah itu hanyalah didorong unsur-unsur kebutuhan mendesak kaum Muslim masa itu yang basis teologisnya --paling kuat-- cuma penafsiran. Islam tidak pernah menganjurkan teokrasi. Kalaupun bentuk teokrasi itu kemudian terwujud, sebagaimana klaim sebagian orang, itu hanyalah pengada-adaan sejarah.57 Ini bukan berarti Imarah berpendapat adanya pemisahan dalam Islam antara yang ukhrawi (masalah akhirat) dan yang duniawi (masalah keduniaan). Tetapi, masalah keduanya itu sangat kompleks, sementara Islam hanya memberikan panduan-panduan dan garis besar-garis besarnya saja.58
Dengan penjelasan itu, sebenarnya Imarah ingin menegaskan bahwa persoalan politik dalam Islam harus ditangani secara serius. Keinginan-keinginan sementara kelompok Muslim untuk mendirikan negara Islam bersumber dari tekanan psikologis "orang-orang kalah". Jika tekanan psikologis itu hilang, dengan sendirinya, tuntutan untuk mendirikan negara Islam semacam itu, nantinya akan turut menghilang. Sisi reformistik dari pandangan Imarah ini adalah keinginan untuk menafsirkan kembali soal-soal yang bersangkutan dengan sistem kenegaraan Islam, tanpa harus membuang otoritas tradisi yang ada.
Hassan Hanafi adalah figur dari kecenderungan yang sama dengan Muhammad Imarah, bedanya pada penekanan. Kalau kepedulian Imarah adalah masalah Islam dan politik, Hanafi mempunyai persoalan yang sangat luas. Dengan idiom populer ia menamakan proyeknya, al-Turats wa al-Tajdid (masalah tradisi dan pembaharuan). Dalam soal pamor, Hanafi lebih dikenal dan lebih banyak disimak pemikirannya ketimbang Imarah, bahkan di antara pemikir-pemikir Arab kontemporer, barangkali hanya Hanafi yang paling luas dikaji pemikirannya secara ilmiah, kecuali Arkoun mungkin. Ide-ide pemikiran intelektual kelahiran Mesir ini sudah banyak dikaji kalangan akademis. Sekurangnya ada dua tesis master yang mengkaji pemikiran dan pandangan-pandangan teoretisnya,59 di samping buku-buku dan artikel dalam bahasa nonArab lainnya.60
Hassan Hanafi sangat sistematis dalam membahas dan mendiskusikan proyek yang dibinanya, dengan tidak ragu-ragu ia mengklaim proyeknya sebagai proyek peradaban (masyru 'nahdlawi) umat Islam. Seperti yang dielaborasi dalam sebuah tulisannya, Mawqifuna al-Hadlari, ia membagi tiga sikap seorang (Arab Muslim) modern; pertama, sikap terhadap masa lalu, yaitu kepedulian diri terhadap tradisi dan warisan lama. Kedua, sikap terhadap Barat, dan ketiga, sikap terhadap realitas dan kondisi Muslim kontemporer. Setiap dari ketiga sikap itu dielaborasi oleh Hanafi dalam masing-masing tulisan dan buku yang berbeda. Untuk pengantar umum proyeknya, ia menulis Al-Turats wa al-Tajdid;61 untuk sikap yang pertama ia menulis Min al-Aqidah ila al-Tsawrah;62 untuk sikap terhadap Barat, ia menulis karya tebal Muqaddimah fi 'Ilm al-Istighrab;63 dan untuk sikap terhadap realitas, tesis dan disertasi doktoralnya telah ia jadikan sebagai referensi utama, l'exegese de la phenomenologie, l'etat actuel de la methode phenomenologique et son application au phenomene religieux,64 dan la phenomenologie de l'exegese, essei d'une hermeneutique existentielle a partir du nouveau Testament.65
Hanafi mengklaim dirinya sebagai penerus ide rekonstruksi Muhammad Iqbal --filsuf asal Pakistan, model reformasi 'Abduh, dan konsep revolusi al-Afghani dan Syari'ati. Bagi Hanafi, rekonstruksi adalah pembangunan kembali (i'adah buniyat min jadid) warisan Arab-Islam dengan melihat kepada spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Teologi yang dianggap Hanafi sebagai ilmu yang paling fundamental dalam tradisi Islam harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif dan standar modernitas. Untuk itu, ia mengajukan ide neo-kalam (ilmu kalam baru). Apa yang dimaksudnya dengan ilmu tersebut bukan hanya ideologi doktrinal sebagaimana yang pernah dipahami oleh al-Asy'ari, Baqillani dan al-Ghazali. Tetapi ilmu itu lebih merupakan ideologi revolusi atau revolusi ideologis yang dapat memotivasi kaum Muslim Modern untuk beraksi melawan despotisme dan penguasa otoriter.66 Dalam bentuk yang beragam, Hanafi selalu mengaitkan teologi ini dengan teologi tanah, teologi kaum tertindas, dan teologi pembebasan ala Amerika Latin. Pandangan rekonstruktif Hanafi lainnya adalah tentang Sufisme atau tasawuf. Dalam banyak tulisannya, ia mengajak kita untuk melihat kembali konsep tasawuf yang ada. Menurutnya, pengertian tasawuf yang ada sudah tidak relevan lagi untuk konteks sekarang. Tasawuf klasik penuh dengan nilai-nilai negatif-pasif dan atribusi kelemahan, karena ia dibentuk dari reaksi oleh sebagian orang yang tidak puas kepada penguasa Muslim saat itu. Para Sufi dahulu adalah orang yang melarikan dan menghindar diri dari keramaian dan kemewahan hidup, singkatnya, mereka menjadi zuhud. Karena itulah kemudian tasawuf melahirkan nilai-nilai negatif (pasif) dalam beberapa praktek dan sikap hidupnya, seperti berpuas diri (ridla), penyerahan diri (tawakkal), penahanan diri (shabr) dan rendah hati (wara'). Atribut-atribut pasif ini, menurut Hanafi harus diubah dan harus disesuaikan dengan kondisi Muslim sekarang. Kaum Muslim kontemporer terus tertekan oleh penguasa dan hegemoni model kapitalisme. Karenanya, nilai-nilai pasif itu harus diganti dengan spirit yang lebih positif, seperti revolusi (tsawrah), penolakan (rafdl), kemarahan (ghadlab) dan oposisi (mu'aradlah).
Untuk sikap terhadap Barat, Hanafi telah menciptakan ilmu baru: oksidentalisme. Dengan oksidentalisme, ia ingin menciptakan pendekatan baru terhadap kajian dan studi Barat dan kebaratan. Seperti yang ditulisnya, oksidentalisme bertujuan:
...membunuh Eurosentrisme dan mengembalikan budaya Barat kepada batasannya yang normal. Sejak era kolonialisme dan kemudian dilanjutkan oleh kekuatan dan penguasaan agen-agen berita di dunia internasional, budaya Barat telah merebak ke setiap pelosok negeri-negeri non-Barat. jadi, signifikansi oksidentalisme, sekali lagi, adalah untuk menghapuskan mitos budaya universal yang dicetuskan Barat.67
Oksidentalisme untuk Hanafi adalah alternatif untuk kaum Muslim modern dalam memandang Barat dengan perspektif baru. Kalau selama ini, umat Islam telah menjadi obyek kajian lewat wacana orientalisme yang diciptakan Barat, sudah seharusnya kini umat Islam membangun ilmu dengan berlandaskan epistemologi baru lewat diskursus oksidentalisme.
Kelompok kedua yang berafiliasi kepada tipologi reformistik adalah para intelektual yang cenderung memakai metode pendekatan dekonstruktif. Para pemikir dekonstruksionis Arab kebanyakan datang dari daerah Maghribi (Maroko, al-Jazair, Tunis dan Libia). Tampaknya unsur bahasa Perancis warisan kolonialisme yang tersisa di negeri-negeri tersebut menyebabkan kalangan akademisnya lebih menyerap literatur berbahasa Perancis, ketimbang bahasa-bahasa Eropa lainnya. Keterikatan intelektual para pemikir Arab Maghribi dengan Perancis bukan hanya sebatas bahasanya, mereka juga terpengaruh oleh gerakan-gerakan pemikiran dan filsafat Perancis kontemporer, khususnya gerakan (post) strukturalisme. Bahkan tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa hampir seluruh pemikir Muslim Maghribi yang concern terhadap keislaman dan kearaban adalah penganut paham strukturalisme; itu karena problem yang mereka hadapi kebetulan sama, yaitu masalah bacaan atas tradisi, baik yang berbentuk teks maupun realitas. Dan menurut mereka, metode yang paling modern dan paling ampuh untuk membaca tradisi (turats) adalah dekonstruksi.
Berikut, kita akan melihat dua figur utama dalam kelompok ini; pertama, Mohammed Arkoun, pemikir kelahiran al-Jazair yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Perancis. Kedua, Mohammed Abid Jabiri, pemikir dari Maroko yang cukup produktif dalam menuliskan masalah-masalah yang menyangkut pemikiran Arab-Islam.
Ada titik kesamaan antara Mohammed Arkoun dan Mohammed Abid Jabiri, bukan hanya karena keduanya berasal dari daerah Arab Maghribi. Lebih dari itu, Arkoun dan Jabiri memiliki kecenderungan intelektualisme yang sama, yaitu, kedua-duanya melihat perlunya metode kritik untuk membaca sejarah-sejarah pemikiran Arab-Islam. Pada tahun 1984, dengan tidak disengaja dan di luar perencanaan, kedua-duanya menerbitkan buku kritis: Arkoun menerbitkan Pour une critique de la reason Islamique (Kritik nalar Islam) dalam bahasa Perancis, dan Jabiri menerbitkan Naqd al-Aql al-Arabi (Kritik nalar Arab) dalam bahasa Arab. Kedua-duanya memfokuskan pada problem yang sama; bacaan terhadap tradisi Arab-Islam. Tesis Mohammed Arkoun --seperti juga tesis Jabiri yang akan kita lihat kemudian-- berangkat dari masalah bacaan sejarah atau problem historisisme dan masalah interpretasi (hermeneutis). Karena pertimbangan inilah mungkin judul buku Mohammed Arkoun tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi Tarikhiyah al-Fikr al-Arabi al-Islami (Historisisme pemikiran Arab-Islam). Dengan historisisme, Arkoun bermaksud hendak melihat seluruh fenomena sosial-budaya lewat perspektif historis, bahwa masa lalu harus dilihat menurut strata historikalnya. Carian historis harus dibatasi menurut runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata. Ini artinya, historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dengan konteks. Jika metode ini diaplikasikan ke atas teks-teks agama, apa yang dibutuhkan, menurut Arkoun, adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.68
Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah salah satu formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern yang direkayasa oleh pemikir-pemikir (post) strukturalis Perancis. Referensi utamanya adalah De Saussure (linguistic), Levi Strauss (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucault (epistemologi) dan Derrida (grammatologi). Semua unsur tersebut diramunya sedemikian rupa menjadi "kritik nalar Islam". Studinya atas teks-teks klasik adalah untuk mencari makna lain yang tersembunyi di sana. Dengan kata lain, untuk menuju rekonstruksi (konteks), harus ada dekonstruksi (teks). Arkoun tidak hanya berhenti pada teks-teks klasik peninggalan ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Muslim. Lebih dari itu, teks-teks suci juga tidak lepas dari bacaannya.
Bagaimana Arkoun melihat tradisi atau turats? Secara umum, Arkoun membedakan antara dua bentuk tradisi. Dalam karya-karya yang ditulisnya dalam bahasa Perancis, ia secara bersamaan menggunakan dua kata "tradition" dan turats, dan membagi keduanya kepada dua jenis: pertama, Tradisi atau Turats dengan T besar, yaitu tradisi yang transenden yang selalu dipahami dan dipersepsi sebagai tradisi ideal, yang datang dari Tuhan dan tidak dapat diubah-ubah oleh kejadian historis. Tradisi semacam ini adalah abadi dan absolut.69 Tradisi Jenis kedua ditulis dengan T kecil (tradition/turats). Tradisi ini dibentuk oleh sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun temurun sepanjang sejarah kehidupan, atau penafsiran manusia atas wahyu Tuhan lewat teks-teks kitab suci.70 Antara dua jenis tradisi ini, Arkoun mengesampingkan jenis yang pertama, karena menurutnya, tradisi tersebut berada di luar pengetahuan dan kapasitas akal manusia. Dengan begitu, target dan objek kajian yang akan dilakukannya adalah turats jenis yang kedua; turats yang dibentuk oleh kondisi sejarah (kondisi ruang-waktu).
Membaca turats adalah membaca teks, seluruh jenis teks. Karena turats tersebut dibentuk dan dibakukan dalam sejarah, ia pun harus dibaca lewat kerangka sejarah, inilah historisisme itu. Menurut Arkoun, salah satu tujuan membaca teks, teks suci khususnya, adalah untuk mengapresiasi teks tersebut di tengah-tengah perubahan yang terus terjadi. Dengan kata lain, ajaran-ajaran agama yang berasal dari teks suci tersebut harus selalu sesuai dan tidak bertentangan dengan segala keadaan, inilah salah satu inti pesan ajaran Islam itu; al-Islam yashluh li kulli zaman wa makan. Dari sini, apa yang sedang diusahakan Arkoun, seperti para reformer lainnya, adalah pengharmonisasian tradisi dengan modernitas lewat metode terbaru.
Sejalan dengan M. Arkoun, Mohammed Abid Jabiri menganggap penting kajian historisisrne, dan lebih jauh lagi menekankan keharusan menghadirkan tradisi atau turats dalam kemasan yang lebih cocok untuk modernitas. Usaha pengemasannya ini telah diformulasikan dalam tiga jilid karya monumentalnya, yang ia namakan "Proyek Kritik Akal Arab" (Masyru 'Naqd Aql al-'Arabi). Proyek ilmiah tersebut banyak mendapat sambutan dari kalangan akademis Arab kontemporer. Jurnal ilmiah berbahasa Arab Al-Mustaqbal al-'Arabi menganggap karya Jabiri tersebut sebagai Perestroika dan Glasnost-nya Arab, karena keberaniannya dalam membongkar struktur epistemologi Arab (juga Islam) yang sudah mapan. Jabiri berangkat dari pertanyaan metodologis "Bagaimana Berinteraksi dengan Turats?"71 Untuk menjawab pertanyaannya itu, Jabiri merasa perlu mendefinisikan kembali makna turats. Menurutnya, turats adalah warisan masa lalu dalam sejarah satu bangsa berupa tingkah laku, etos kerja, pencapaian budaya dan karya-karya ilmiah. Di antara peninggalan klasik yang dirangkum dalam turats ini, menurut Jabiri, peninggalan ilmiahlah yang paling penting dan paling berpengaruh dalam menentukan budaya dan peradaban suatu bangsa. Selama warisan ilmiah menjadi unsur yang terpenting, dan warisan tersebut tertulis dalam bentuk teks, pertanyaan yang diajukan oleh Jabiri adalah, "bagaimana membaca teks-teks tersebut?" Menurut Jabiri, masalah tersebut pada akhirnya terbentur pada persoalan otoritas (sulthah), yaitu siapakah yang memiliki otoritas dalam menentukan bacaan; pembaca atau bacaan, kita atau turats? Di sini, jelas Jabiri, turats harus dilihat sebagai satu struktur mapan, yaitu "sebagai sistem dari hubungan-hubungan tetap dalam kerangka seluruh perubahan dan transformasi"72 Karenanya, tambah Jabiri, dalam dialektika pembaca dan bacaan dan soal siapa pemegang otoritas, ada tiga model bagaimana turats itu harus disikapi; pertama membaca turats dengan kerangka modernitas, kedua membaca turats dengan kerangka turats dan ketiga membaca modernitas dengan kerangka turats. Di antara tiga pillhan ini, Jabiri mengambil yang pertama, dengan alasan bahwa jika ini tidak cepat dipilihnya, maka otoritas akan berpindah kepada kedua dan ketiga, dan itu --terutama yang ketiga-- sangat berbahaya. Dengan kata lain, masalah otoritas ini bukan hanya sebatas turats membaca turats, tetapi yang lebih berbahaya, mengukur segala sesuatu termasuk modernitas dengan kerangka turats.73
Jabiri, lebih jauh lagi, memandang bahwa tawaran "tradisi" dengan "modernitas" bukan soal pilihan, bahwa dalam menghadapi keduanya kita harus mengambil sikap tegas. Dengan tegas ia mengkritik adanya pengklasifikasian intelektual sehubungan dengan masalah dikotomis "tradisi dan modernitas", yaitu klasifikasi kaum modernis, kaum tradisionalis dan kaum selektifis. Menurutnya, yang pertama, cenderung menafikan turats dan menerima bulat-bulat modernitas, yang kedua sebaliknya, dan ketiga mengklaim menyatukan keduanya dengan bersikap, lebih adil kepada turats dan modernitas. Bagi Jabiri, tradisi dan modernitas datang begitu saja di hadapan kita, tanpa ada kuasa kita untuk memilihnya. Keduanya datang dengan kekuatan diskursusnya masing-masing, sebagai tawaran ideals yang otoriter. Turats datang dari masa lalu lewat pewarisan turun temurun, tak seorang pun yang mampu menolak warisan dan masa lalu yang tumbuh bersama dalam dirinya. Begitu juga modernitas, ia datang dipaksakan tanpa bisa kita menolaknya. Kita tidak pernah diberi kebebasan untuk memilih salah satu keduanya atau meninggalkannya.74 Lalu bagaimana sikap kita? Menurut Jabiri, selama kita tidak pernah disuruh memilih (salah satu dari) keduanya, atau juga menolak keduanya, maka, yang diperlukan adalah bersikap kritis terhadap keduanya; kepada turats dan modernitas dengan seluruh makna kritik.
Di tengah-tengah kritisisme inilah Jabiri menerapkan metode dekonstruksinya. Buatnya, yang pertama sekali adalah dekonstruksi turats, selama turats tersebut dianggap yang paling lama melekat dan menyatu dalam akal Arab. Metode dekonstruksi yang dipakai Jabiri --sebagaimana diakuinya-- pada mulanya adalah penganalisaan. Maksudnya, tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang intelektual Arab adalah menganalisa struktur bangunan yang mapan dengan cara mempelajari hubungan antara elemen-clemen yang membuat dan menyatukan bangunan tersebut. Setelah analisa struktural ini baru diadakan perombakan atau pembongkaran atas struktur tersebut. Dari sini, usaha dekonstruksi dimaksudkan untuk mengubah yang tetap kepada perubahan, yang absolut kepada yang relatif, dan yang a-historis kepada historis.75
Baik Arkoun maupun Jabiri sama-sama berangkat dan memandang dari kerangka epistemologis yang sama. Keduanya menggunakan metode pendekatan dekonstruksi. Dan nalar Arab-Islam merupakan tema sentral pendekatan tersebut. Sayangnya, seperti yang banyak dikritik orang, proses dekonstruksi yang mereka tawarkan tidak memberikan alternatif apa-apa. Baik Arkoun maupun Jabiri berhenti pada perombakan struktur nalar, tanpa dilanjuti konstruksi baru sebagai tawaran perubahan.
Tampaknya, memang itulah tujuan akhir yang hendak dicapai Arkoun, Jabiri dan pemikir-pemikir lain dari kecenderungan dekonstruksionis. "Jangan memberikan sebuah struktur tertentu jika tidak ingin generasi selanjutnya merombak struktur yang Anda untuk itu". Demikian kira-kira ungkapan metode dekonstruksi itu. Tetapi Arkoun dan Jabiri tetap seperti Derrida dan penglkutpengikutnya di Perancis yang berhasil keluar dari tradisi strukturalisme tapi tidak pernah selamat dari)aring-jaring dekonstruksi yang dirajutnya. Dan mereka pun mati di sana.
3. Ideal-Totalistik
Tipologi ideal-totalistik diwakili oleh mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai doktrin seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan kembali sejarah kegemilangan kaum Muslim. Menurut kelompok ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran asli Islam, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Usaha penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing baik yang berasal dari dalam (bid'ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan modernitas) menjadi agenda utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlah al-Islamiyah). Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini disebabkan jauhnya mereka dari ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan Muslim menjadi agenda utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara individu maupun sosial, hingga ilmu dan landasan epistemologi yang akan diserap oleh mereka, harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak dilakukan oleh kaum Muslim adalah Islamis. Sejarah Islam yang panjang terlalu suram untuk dijadikan model emulasi. Pemimpin dan khalifah pada zaman yang disebut era kegemilangan Islam tidak lebih dari kaum hedonistik yang identik dengan wanita, minuman keras dan cerita 1001 malam. Kalaupun ada jasa mereka, tidak lebih dari memasukkan unsur kebid'ahan Yunani lewat apa yang dinamakan falsafah. Dan kaum Muslim semakin menjauh saja dari ajaran asli Islam.
Begitulah kira-kira gambaran umum pandangan kelompok ideal-totalistik dalam melihat kondisi kaum Muslim dan sejarah mereka. Tidak ada batasan yang jelas mana yang historis dan mana yang cuma sebagai doktrin. Kebanyakan dari kelompok pemikiran ini menafikan Islam sebagai peradaban dan akumulasi sejarah kaum Muslim. Kalaupun ada, masanya singkat sekali, yaitu zaman Rasul, atau jika mau diperluas sedikit, zaman Khalifah yang empat dengan sikap yang ketat pada era dua Khalifah yang terakhir. Islam adalah doktrin aqidah sebelum sebagai doktrin peradaban. Nabi adalah sebagai figur terakhir untuk panutan seluruh kerja yang dilakukan kaum Muslim, termasuk di zaman modern ini. Dengan kata lain, sunnah-sunnah Rasul harus dihidupkan untuk era modern. Inilah inti dari kebangkitan Islam.
Figur-figur yang mewakili kelompok ini untuk masa sekarang banyak datang dari Islam Gerakan (Islam haraki) atau para pemikir keagamaan yang memiliki dan berafiliasi kepada massa Muslim. Berikut ini, kita akan melihat tiga orang figur ternama yang semuanya secara kebetulan datang dari latar belakang yang sama; pertama Muhammad Quthb, adik kandung Sayyid Quthb yang banyak menulis karya-karya dengan model Islam haraki. Kedua, Anwar Jundi, seorang aktifis yang banyak menuliskan masalah-masalah keislaman dalam jurnal-jurnal berbahasa Arab, dan ketiga, Shaykh Muhammad Ghazali, seorang 'alim al-Azhar yang akhir-akhir ini berusaha mencoba menjembatani antara "fundamentalisme" dengan "intelektualisme".
Muhammad Quthb banyak memiliki kesamaan dengan kakak kandungnya Sayyid Quthb. Bukan hanya karena hubungan darah. Lebih dari itu, dari soal model tulisan hingga cara dan sikap intelektualnya, tidak berbeda dengan Sayyid. Pendeknya, M. Quthb adalah perpanjangan dari figur S. Quthb. Dari karya awal-awalnya al-Insan bayna al-Maddiyyah wa al-Islam, hingga Jahiliyah al-Qarn al-'Isyrin, M. Quthb --seperti juga S. Quthb-- menyatakan perang terhadap ideologi-ideologi dan pandangan-pandangan asing. Dalam kamus intelektualnya, hanya ada dua entry: pertama, Islam (jund Allah, ahbab al-Rasul, al-Muslimun) dan kedua, Jahiliyyah (kuffar, thaghut, al-'ilmaniyyah wa al-maddiyyah). Dua terma dialektis tersebut mengisi hampir seluruh karya-karya Quthb. Dan dua terma tersebut --menurutnya-- ada dalam sepanjang sejarah manusia. Pada masa lampau, Jahiliyyah diwakili oleh kaum Musyrik Makkah dan Yahudi Madinah. Pada era sekarang, ada Jahiliyah al-Qarn al-'Isyrin (Jahiliyyah abad 20/modern).76 Konsep jahiliyyah yang dipakai M. Quthb adalah terma Qur'ani yang juga sering dipakai oleh Sayyid Quthb dan Abu al-A'la al-Mawdudi'. Muhammad Quthb mendefinisikan jahiliyyah sebagai "kondisi psikologis di mana jiwa menolak petunjuk Tuhan".77 Penolakan jiwa atas kebenaran selalu ada di mana-mana dan kapan saja, karena itu jahiliyyah selalu ada sepanjang sejarah. Dalam bentuknya yang paling jelas, Jahiliyyah modern adalah Barat dan para pemimpin thaghut negeri-negeri Muslim yang mengadopsi sistem Barat.78
Sejalan dengan Muhammad Quthb, Anwar Jundi meyakini pentingnya dikotomi istilah Islam dan non-Islam. Tekanan yang diberikan Jundi lebih pada aspek intelektual, berbeda dengan Quthb yang lebih menekankan perbedaan Islam-Barat (non-Islam) pada aspek ideologis. Jundi selalu menggunakan istilah pemikiran Islam (al-fikr al-Islami) vis a vis pemikiran Barat (al-fikr al-Gharbi). Pemikiran dan budaya Islam adalah pencapaian Muslim yang digali dari al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Ia disebut Islami karena seluruhnya berlandaskan Islam, dari sinilah istilah budaya dan peradaban Islam kemudian digunakan. Pandangan Jundi ini, khususnya sikap kepada pemikiran Islam, jauh berbeda dengan Quthb yang berusaha mereduksi segala jenis pemikiran Islam kepada "Islam". Untuk yang terakhir ini, Islam adalah alternatif par excellent, sementara pemikiran Islam hanyalah pelengkap yang terkadang banyak membuat distorsi kepada makna Islam. Dalam kumpulan artikelnya, Ithar al Islam li al-Fikr al-Mu'ashir,79 Jundi meyakini adanya pluralitas budaya dan juga peradaban. Setiap budaya sebuah bangsa berbeda dengan budaya bangsa lainnya, karena itu tidak ada yang namanya budaya universal (al-tsaqafah al-alamiyyah).80
Sedikit agak berbeda dengan Quthb dan Jundi, Muhammad Ghazali adalah intellektual-'alim Arab kontemporer yang mampu berinteraksi dan berantisipasi dengan gerakan-gerakan pemikiran modern dengan pendekatan da'wah bi al-hal fikran wa manhajan (pemikiran dan metode). Ia banyak menulis buku-buku bersifat da'wah dengan tujuan pokok menjembatani kaum salafi yang "tertutup" dengan kaum modernis yang "terbuka". Karya pentingnya yang mendapat sambutan luar biasa adalah al-Sunnah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits,81 di mana, ia mendemonstrasikan keluwesannya dalam memahami warisan hukum Islam. Untuk Ghazali, pemahaman hukum Islam haruslah dilihat secara kontekstual lewat pemahaman universal. Menurutnya, teks-teks agama, Hadits khususnya, bukan hanya milik pakar Hadis yang mempunyai 1001 macam persyaratan penyeleksian satu riwayat, yang juga terlampau tekstual dan terikat pada makna literal sebuah teks. Di lain pihak, para fuqaha telah terperangkap ke dalam terma-terma fiqh yang hanya berkonotasi kepada masalah legalitas hukum saja, padahal istilah fiqh itu sendiri berarti pemahaman, dengan seluas-luas maknanya.
Dalam bersikap, Ghazali tampak lebih moderat dan sedikit banyak lebih akomodatif dengan perkembangan pemikiran kontemporer dibanding dengan pemikir-pemikir sealiran dengannya. Kendati demikian, pada skala besar, program yang dicanangkan Ghazali dalam proyek peradabannya adalah juga program yang direalisasi oleh kelompok pemiikir yang berkecenderungan ideal-totalistik.
Demikianlah ketiga trend atau kecenderungan pemikiran Arab yang mewarnai wacana ilmiah Arab kontemporer. Kesemuanya berperan dalam menentukan harapan dan obsesi bangsa Arab di masa mendatang. Ketiga tipologi tersebut, secara kasar, bisa dilihat dalam perspektif paradigmatis, dimana antara masing-masing kelompok mempunyai bahasa khusus yang berbeda-beda, yang tidak dipahami satu sama lain. Kalaupun bisa dikomunikasikan, dialog antara mereka sulit untuk saling dimengerti. Itu terjadi misalnya bagaimana usaha kaum liberal dari kalangan transformatik menyatukan kelompok-kelompok yang sekular dengan kelompok religius, atau antara kelompok modernis dengan kelompok tradisionalis. Tak pelak, mereka pun menciptakan paradigma ketiga yang juga memiliki kosa kata tersendiri. Begitu juga dengan kelompok-kelompok lain, meski mereka mengklaim dengan proyek peradabannya, bahwa merekalah yang paling compatable dengan kondisi duniaArab kontemporer, sebenarnya mereka telah terperangkap ke dalam kerangka epistemik yang pada akhirnya mengarah pada dogmatisme (untuk menghindari istilah sektarianisme).
Tipologi pemikiran Arab kontemporer seperti yang diilustrasikan di atas, adalah refleksi dari interaksi dan sikap para intelektual Arab terhadap isu di sekitar tradisi dan modernitas. Sikap tersebut kemudian memunculkan --di samping discourse baru menyangkut isu tradisi dan modernitas-- idiom-idiom dan istilah baru dalam kamus pemikiran Arab yang sebelumnya tidak begitu menyita perhatian. Isu seperti feminisme meskipun secara khusus telah dibicarakan oleh Qasim Amin --pemikir di era modern-- mendapat porsi perhatian yang cukup banyak dalam diskursus kontemporer. Begitu juga isu-isu rekonstruksi disiplin Islam --seperti filsafat-- menjadi agenda penting dalam diskursus tersebut.
B. Gerakan Feminisme Arab
Dalam salah satu tulisannya tentang trend pemikiran Arab kontemporer, Issa J. Boullata mengatakan, "Mengkaji pemikiran Arab kontemporer tanpa memasukkan penukiran-pemikiran para wanitanya adalah pekerjaan yang tidak lengkap."82 Pendapat itu sepenuhnya benar, karena peran wanita dalam membentuk diskursus baru pemikiran Arab kontemporer tidak sedikit. Bukan hanya melulu soal perempuan dan keperempuanan yang diangkat para pemikir Arab, meskipun penekanan ekstra yang diberikan oleh para feminis tersebut adalah kedua masalah tadi. Tidak sedikit para feminis Arab yang mencoba mengaitkan persoalan perempuan dengan persoalan utama yang dihadapi bangsa Arab. Pada era-era awal kebangkitan Arab, persoalan perempuan dan statusnya di dunia Arab pernah dilakukan oleh Qasim Amin, "feminis" pertama. Bagaimanapun, dalam banyak hal, Amin berbeda dengan para feminis yang akan kita diskusikan berikut ini, sekurangnya dalam hal perspektif. Jika Amin melihat masalah wanita adalah juga bagian yang tak terpisah, dari doktrin agama, para feminis kontemporer melihat problem wanita lebih dari perspektif sosial budaya: wanita sebagai objek diskriminasi gender yang dibentuk oleh masyarakat dan tradisi.
Kaum feminis kontemporer, meskipun mereka kerap mencari-cari justifikasi teologis dalam menyokong beberapa pernyataan interpretisnya terhadap masalah perempuan dan peran sosialnya, secara umum mereka "bukanlah ahli" soal agama, katakanlah seperti Qasim Amin yang pengetahuan agamanya tidak disangsikan lagi. Kaum feminis kontemporer melihat faktor agama hanya sebagai elemen kecil dari seluruh permasalahan wanita yang dihadapi bangsa Arab.
Berikut ini, kita akan menyoroti tiga figur utama dalam gerakan feminis Arab kontemporer. Ketiga feminis ini datang dari latar belakang akademis yang berbeda; pertama Dr. Nawal Sa'dawi berasal dari Mesir yang menggeluti dunia psikologi klinik, kedua, Fatima Mernissi, ahli sosiologi dari Maroko, dan ketiga Khalida Sa'id, budayawati yang banyak menuliskan ide-ide kritisnya dalain jurnal-jurnal ilmiah berbahasa Arab.
Nawal Sa'dawi melihat problem diskriminasi wanita sebagai masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah negara. Dalam buku terkenalnya al-Mar'ah wa al-Jins (Perempuan dan Masalah Sex),83 Sa'dawi memberikan potret sosial bangsa Arab yang lusuh dan cara pandang negatif kaum lelakinya tentang perempuan dan sex. Dalam bukunya yang lain Woman at Point Zero, dengan bahasa novel yang menarik, ia memberikan pandangannya tentang nasib wanita Arab yang mengalami tekanan-tekanan. Dengan tanpa ragu-ragu, ia menyamakan status para istri di dunia Arab dengan para pelacur, bahkan lebih buruk: "Karena, pelacur mempunyai kebebasan untuk memilih 'suami'."84
Masalah diskriminasi wanita, menurut Sa'dawi tidak bisa diselesaikan lewat persamaan sex atau --apa lagi-- lewat agama. Persoalan wanita sangat kompleks, erat kaitannya dengan masalah global ekonomi dan politik sebuah negara. Wanita tertindas karena struktur patriarkal sosial Arab yang terwarisi turun-temurun. Tradisi Arab cenderung merendahkan wanita. Dalam tradisi agama, wanita dihargai setengah, dan yang setengah itupun selalu dihalang-halangi untuk berperan dalam masyarakat secara bebas.85 Dalam artikel khusus yang disiapkan untuk pembaca berbahasa Inggris, Women and Islam, Sa'dawi menyamakan persoalan wanita dengan masalah keterbelakangan. Menurut Sa'dawi: "Keduanya bukan masalah agama sebagaimana yang selalu dikatakan oleh kalangan fundamentalis, tetapi masalahnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan politik negara."86
Sedikit berbeda dengan Sa'dawi, Fatima Mernissi tidak menafikan pentingnya faktor ekonomi dan politik dalam sebuah negara --untuk menentukan nasib kaum wanita khususnya. Tetapi, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu "discourse tentang wanita" yang telah diciptakan oleh sosio-budaya Arab. Menurut Mernissi, diskursus wanita yang berlaku dalam komunitas Arab telah dibentuk sedemikian rupa oleh budaya dominasi lelaki. Dan dengan dominasi itu, perempuan selalu ditempatkan dan dipandang negatif --dari perspektif apa saja.87 Mernissi tidak meletakkan seluruh beban pada negara. Ia lebih menyalahkan struktur sosial yang telah menyengsarakan nasib wanita. Yang dimaksud dengan struktur sosial, menurutnya, juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah masyarakat. Mernissi tidak sepenuhnya percaya dengan sekelompok elit pemikir (kaum tradisionalis?) yang turut membicarakan persoalan perempuan. Bahkan ia menganggap diskusi-diskusi di sekitar turats sebagai omong kosong. Menurutnya, "perdebatan di sekitar turats tidak lebih dari cara baru kaum lelaki meraih kembali dominasinya atas wanita".88
Mernissi memandang turats secara negatif. Ia percaya bahwa model masa lalu (al-madli) tidak lagi memadai untuk konteks modern. Itu karena ia meyakini bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat Arab sekarang sangat kompleks.89 Kendati demikian, bukan berarti Mernissi sepenuhnya berpegang pada capaian modernitas. Dalam banyak tulisannya, dengan keras ia mengecam Barat. Model feminisme yang dikembangkan Barat, menurutnya, hanya melahirkan diskriminasi terhadap perempuan dengan bentuk lain.90
Berbeda dengan Sa'dawi yang lebih menekankan pada peran dan faktor ekonomi-politik, atau Mernissi yang lebih melihat permasalahan pada level ideologi sosial, Khalida Sa'id menganjurkan komitmen kebersamaan mutlak (total societal commitment). Yang dimaksud Khalida dengan jargon ini adalah pembebasan wanita lewat kebersamaan sosial, termasuk lewat jalur radikal --revolusi atau oposisi. Tesis Khalida ini berangkat dari premis fenomenologis komunitas Arab yang menurutnya, sedang mengalami alienasi ganda, yaitu, di satu pihak kepada kelas sosial dan di lain pihak kepada keluarga. Pada alienasi jenis kedua, menurut Khafida, wanita Arab tidak akan pernah bisa independen, karena mereka selalu mengaitkan atau dikaitkan oleh kaum lelaki. Ia memberikan contoh sehari-hari bagaimana perempuan selalu dikaitkan kepada lelaki agar eksistensinya ada, seperti mengidentifikasikan istri dengan suami (istrinya si A), mengidentifikasikan anak gadis dengan ayahnya (puterinya si A), seorang ibu dengan anak lelakinya (ibunya si A) dan lain-lain.91 Menurut Khalida, identifikasi semacam ini bersumber dari fermentasi sosial yang sudah berlaku sejak berabad-abad. Solusinya, ya itu tadi: perlawanan bersama terhadap sistem yang berlaku.92
Ketiga feminis kontemporer Arab tersebut tampaknya mempunyai kesamaan beban psikologis tentang asumsi berlebihan atas permasalahan dominasi dan otoritas gender. Ketiga-tiganya sama-sama ingin berontak dari sebuah sistem patriarkal mapan, meski dengan cara dan metode yang berbeda. Yang menarik, dan merisihkan mungkin, adanya personalitas ganda dalam memandang kaum lelaki. Pada satu segi, lelaki dilihat dan digambarkan sebagai penguasa dan penyebab diskriminasi seksual, di sini, pemberontakan wanita dilihat sebagai pemberontakan terhadap kuasa pria. Pada sisi lain, lelaki dilihat juga sebagai korban "imaginasi social", yang selanjutnya, dalam hal ini, ia menjadi rekan senasib wanita; adanya eksploitasi kelas (Sa'dawi) dan diskursus distortif tentang wanita (Mernissi dan Khalida). Lelaki, dalam wacana feminisme Arab tidak ubahnya dengan otoritas agama, pada satu pihak sebagai justifikasi untuk perlawanan terhadap sebuah sistem, dan pada pihak lain sebagai penghalang untuk kebebasan wanita.
C. Peran dan Posisi Filsafat
Tampaknya gerakan kebangkitan filsafat dalam diskursus intelektual Arab kontemporer (dan juga modern) berada pada margin pembahasan. Padahal topik yang satu ini begitu penting porsinya dalam mengilhami isu-isu intelektual dan ilmiah dalam keseluruhan wacana Arab kontemporer. Bisa dipastikan hampir seluruh pemikir modern Arab yang mempunyai ide-ide cemerlang berlatar belakang akademis filsafat yang kuat, lihatlah Rifa'ah Tahtawi dan Mushthafa 'Abd al-Raziq di masa awal kebangkitan Arab, dan pada era sekarang Hassan Hanafi, Mohammed Arkoun dan Mohammed Abid Jabiri, semuanya jebolan fakultas filsafat. Kalau kemudian filsafat begitu dianaktirikan atau tidak menjadi mainstream seperti pada masa kejayaan bangsa Arab dulu itu disebabkan banyak faktor. Di antaranya, tradisi filsafat dalam dunia Islam --setelah mengalami pertarungan panjang dengan otoritas agama-- mengalami stagnasi yang serius. Sudah lumrah diketahui bahwa dalam masa yang lumayan panjang, tradisi filsafat tidak lagi diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Bahkan di banyak tempat, filsafat diharamkan untuk dipelajari. Implikasi dari pengharaman itu, menjadikan berkurangnya konsumen filsafat. Tidaklah heran kalau kemudian mereka yang kembali dari belajar filsafat di Barat lebih senang untuk memprioritaskan pembahasan-pembahasan yang lebih empiris yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan.
Bagaimanapun, itu tidak berarti tradisi filsafat dalam diskursus intelektual Arab kontemporer menjadi tidak penting. Usaha-usaha menghidupkan kembali tradisi filsafat telah dilakukan sejak kurang dari satu abad setelah kembalinya Tahtawi dari Paris. Dimulai oleh Mushthafa 'Abd al-Raziq (1885-1946) --kakak kandung 'Ali 'Abd al-Raziq-- dengan usaha gigihnya menghidupkan kembali tradisi filsafat Islam, kemudian Yusuf Karam (w.1955) yang seluruh hidupnya dicurahkan untuk mengenalkan filsafat Barat modern ke dalam masyarakat Arab. Lewat kedua tokoh ini tradisi filsafat kemudian berkembang dan hidup kembali meski tidak secemerlang era kejayaan Arab dulu. Munculnya sikap positif dan akomodatif terhadap tradisi filsafat (filsafat Islam khususnya), baik dari individu masyarakat atau penguasa-penguasa Arab, didorong oleh beberapa faktor, diantaranya, adanya slogan dan kampanye untuk menghidupkan kembali tradisi dan nilai-nilai budaya Arab klasik, di mana pencapaian filsafat merupakan elemen penting dalam budaya tersebut. Disamping itu, sejalan dengan spirit modernisme yang sedang digemborkan di negeri-negeri Arab, aspek rasionalitas merupakan bagian penting dari modernitas. Usaha untuk mencari contoh dari tradisi sendiri yang memuat pesan rasionalitas hanya dapat dijumpai dalam tradisi filsafat, seperti yang pernah dicontohkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Faktor lain adalah adanya kontak baik secara langsung ataupun tidak dengan peradaban Barat modern. Orang-orang Arab sekarang selalu menyamakan posisi mereka dengan zaman kejayaan mereka dulu, ketika mereka berinteraksi dengan peradaban dan pencapaian Yunani. Terlebih kini, ketika mereka --sadar atau tidak--dikejutkan oleh banyaknya studi tentang filsafat Islam yang dilakukan oleh orang Barat. Hal ini, untuk selanjutnya menjadi cambuk untuk mereka untuk mengkaji sendiri tradisi dan warisan intelektual mereka, karena seharusnya merekalah yang lebih mengetahui tradisi sendiri.
Usaha-usaha menghidupkan kembali tradisi filsafat dalam masyarakat Arab modern dilakukan dengan berbagai cara. Dr. Syukri Najjar memberikan tiga jenis model yang ditempuh oleh para penulis dan sarjana Arab modern dalam usaha mereka menghidupkan kembali tradisi filsafat di dunia Arab:93 pertama, usaha menghidupkan filsafat Islam klasik lewat penyuntingan (tahqiq) buku-buku filsafat yang ditulis oleh para filsuf Muslim klasik. Kemudian memberikan kajian singkat dan mendalam tentang karya-karya tersebut. Jika diperlukan, menterjemahkannya kedalam bahasa-bahasa asing --bahasa Inggris terutama. Kedua, memperkenalkan filsafat Barat modern lewat penterjemahan karya-karya filsuf Barat ke dalam bahasa Arab, serta mengusahakan kajian dan studi-studi detail atas karya-karya tersebut. Ketiga, menulis dan menciptakan sendiri isyu-isyu filsafat yang berhubungan dengan realitas kontemporer ataupun sebagai reaksi dari isyu-isyu filsafat yang sudah ada.
Lewat ketiga model tersebut, tradisi filsafat dalam dunia Arab modern terus berkembang. Model pertama misalnya, banyak dilakukan oleh para mahasiswa Arab yang sedang merampungkan program pasca-sarjana mereka, baik sebagai persyaratan untuk merampungkan program MA (sebagai tesis) atau Ph.D. (sebagai disertasi). Beberapa institusi ilmiah baik swasta maupun milik pemerintah juga turut ambil bagian dalam menghidupkan warisan filsafat Islam. Al-Amiriyah contohnya, sebuah penerbitan di Cairo-Mesir yang bekerjasama dengan kementerian kebudayaan, di bawah pengawasan Dr. Ibrahim Madkour, telah mengerjakan karya besar Ibn Sina, al-Syifa. Secara perorangan, usaha-usaha menghidupkan tradisi intelektual Islam dengan gairah terus dilakukan, contohnya Abu al-A'la Afifi telah mengkhususkan dirinya dalam bidang kajian pemikiran Ibn'Arabi, Musthafa Hilmi dan 'Abd al-Halim Mahmud dalam bidang kajian tasawuf, Muhammad al-Bahi dan Abu Riddah mendalami tradisi ilmu kalam, dan Albert Nadir secara khusus mendalami teologi spekulatif Mu'tazilah. Jamil Shaliba, F. Anawati dan Fuad al-Ahwani adalah para eksponen dalam studi tentang Ibn Sina. Farid Jabr dan Sulayman Dunya adalah ahli-ahli dalam Abu Hamid al-Ghazali. M.Yusuf Musa, Amirah Mathar dan Mahmud Qasim ahli tentang Ibn Rusyd, dan Abd Rahman Badawi ahli tentang pengaruh Yunani terhadap filsafat Islam.
Yang menyangkut usaha pengenalan filsafat Barat modern, telah dilakukan oleh sarjana-sarjana seperti Usman Amin (Descartes), Najib Baladi (Berkeley), Fuad Zakariya (Spinoza), Zaki Najib Mahmud (Russel), Abd Rahman Badawi (Eksistensialisme), dan Adel Daher (filsafat Anglo-Saxon). Buku-buku tematis tentang isyu-isyu filsafat tidak kalah banyaknya, seperti studi tentang problem "kebebasan" (freedom), "manusia" (man), "penciptaan" (creation) dan sejenisnya telah ditulis secara serius oleh Zakariya Ibrahim dan problem tentang moral dan etika secara luas dibahas oleh Dr. Adel Daher.
Dari penulisan secara deskriptif, para filsuf Arab modern berusaha menciptakan madzhab-madzhab dan kelompok pemikiran sendiri. Tidak hanya kritis terhadap pencapaian filsafat baik Islam maupun Barat, mereka mulai membangun aliran filsafat baru, meski basis metafisisnya masih belum bisa dipisahkan dari kedua sistem tersebut. Kelompok pertama yang muncul di panggung intelektualisme Arab modern adalah pemikiran filsafat yang beraliran materialisme (ittijah maddi). Dimotori oleh dua filsuf Kristen Arab; Shibli Shumayl dan Farah Antun. Shibli Shumayl dikenal dengan usahanya mengembangkan teori evolusi Darwin, karena itu ia kondang dengan sebutan Darwinnya Arab. Teori filsafatnya berangkat dari pandangan dunianya tentang alam. Menurutnya, alam adalah gabungan dari materi (maddah) dan energi (quwwah), sedangkan materi sendiri merupakan satu tahapan kondisi energi. Materialisme kosmik membawa kepada prinsip penyatuan alam yang pada gilirannya, prinsip ini mengubah materi dan energinya kepada satu kesatuan; benda, tumbuhan, hewan, manusia, atau apa saja. Semuanya adalah satu substansi yang berbeda fenomenanya.94 Keyakinan Shumayl akan materi mendorongnya untuk mengesampingkan agama. Sebagai gantinya, ia percaya seratus persen akan keabsolutan sains, dan ia menulis;
Agama manusia yang agung adalah sains. Kelebihannya dari agama-agama lain adalah bahwa sains mengajarkan manusia apa yang diajarkan agama, tetapi lebih dari itu, sains tidak pernah memberi larangan pada manusia atau aturan-aturan yang membelenggu kebebasan manusia. Agama yang benar adalah sains yang benar.95
Kelompok kedua adalah aliran rasionalisme (ittijah 'aqli), biasa dikaitkan kepada Muhammad 'Abduh dan Farid Wajdi. Kedua tokoh reformer itu menyeru akan kebebasan akal. Meskipun keduanya selalu dikaitkan dengan madzhab neo-rasionalisme dalam filsafat Arab modern, mereka lebih akrab dikenal sebagai pemikir sosial atau "reformer" ketimbang "filsuf". 'Abduh tidak mempunyai karya tulis khusus tentang filsafat rasionalismenya, tetapi secara keseluruhan, 'Abduh adalah seorang rasionalis.
Rasionalis Arab dengan artian filosofis yang sesungguhnya adalah Yusuf Karam. Ia banyak menulis tentang terra-terra rasionalisme filsafat seperti al-Aql wa al-Wujud (Akal dan Wujud) dan al-Thabi'ah wa ma ba'da Thabi'ah (Fisika dan Metafisika). Dalam dua karyanya ini, Karam mencoba membuktikan bahwa manusia mempunyai daya rasional yang dapat menangkap makna-makna abstrak, dan dari makna-makna itu tersusun hukum-hukum dan aturan-aturan yang dengannya persoalan-persoalan metafisis dapat dipahami secara sistematis. Lewat metode rasionalisme, masalah-masalah supra-natural didiskusikan, seperti tentang problem esensi, substansi, eksistensi Tuhan, dan lain-lain.96 Di sini, tampak Yusuf Karam ingin menghidupkan rasionalisme Ibn Sina, Ibn Rusyd dan para filsuf Muslim Aristotelian lainnya. Tentu, dengan begini tidak ada yang baru dari madzhab neo-rasionalisme. Yang baru adalah justru sikap untuk kembali kepada spirit filsafat klasik dan penolakan terhadap filsafat materialisme modern.
Kelompok ketiga adalah aliran filsafat spiritualisme (ittijah ruhi). Dalam dunia intelektualisme Muslim klasik, kelompok ini sejajar dengan kaum Sufi dan "pemabuk-pemabuk Tuhan". Dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para mistikus Muslim seperti al-Ghazali, Ibn 'Arabi dan Rumi dengan pengaruh yang cukup intens dari Plato, Kant dan Bergson. Aliran filsafat ini telah membangun madzhab filsafat baru dengan nama baru; Akkad mendirikan Wijdaniyah, Rene Habsyi membangun Syahsyaniyah, Usman Amin menciptakan Jawwaniyah dan Zaki al-Arsuazi memprakarsai al-Rahmaniyyah. Akkad dengan Wijdaniyah-nya berpendapat bahwa hakekat alam semesta tidak mungkin dapat dipersepsi kecuali dengan intuisi (wijdan). Intuisi menurut Akkad adalah kesadaran kosmik (wa'y al-kawni) yang serupa dengan ilham, ia lebih tinggi dari persepsi indera dan akal.97 Syahsyaniyah Habsyi lebih diilhami oleh mistik Barat modern. Seperti diakuinya, ia dipengaruhi oleh Bergson, Rafson, Heidegger, Kierkegaard dan Gabriel Marcel. Syahsyaniyah, menurut Habsyi, adalah madzhab filsafat yang hendak menyatukan filsafat klasik dengan filsafat modern, yaitu dengan cara mengembalikan modernitas kepada masa lalu melewati filsafat abad tengah hingga filsafat Yunani. Usman Amin menamakan madzhab filsafatnya "Jawwaniyah". Istilah Jawwaniyah diambil dari bahasa Arab klasik yang kini banyak digunakan dalam bahasa amiyah, yaitu kata "jawwa" (di dalam) sebagai lawan kata "barra" (di luar). Jawwaniyah dalam konsepsi Amin artinya esoterisme, yaitu aliran yang memandang kekuatan alam yang sebenarnya adalah kekuatan spirit (al-ruh). Amin ingin mentransendensikan seluruh materi lewat kontemplasi spiritual demi mencapai kebebasan jiwa-karena kebebasan yang sebenarnya adalah kebebasan spirit. Dalam membangun filsafatnya ini, Amin banyak dipengaruhi oleh Descartes dan Bergson, terutama yang menyangkut perbedaan ruh dan badan.98 Al-Rahmaniyah Zaki al-Arsuazi diilhami oleh ide korelasi antara hamba dengan Tuhannya. Istilah "al-Rahmaniyah" berasal dari akar kata R-H-M yang merujuk kepada dua makna; pertama, Rahman sebagai pencipta, dan yang kedua rahim, di mana janin ciptaan pertama kali ditempatkan. Hubungan antara Rahman dan rahim adalah hubungan kesinambungan dan saling melengkapi dan menyem-purnakan. Hamba tanpa Tuhan adalah mustahil, dan Tuhan tanpa hamba tidak akan diketahui wujud-Nya.
Di samping madzhab-madzhab dan aliran-aliran filsafat yang disebutkan di atas, ada banyak lagi kelompok lain yang kebanyakan berafiliasi kepada sistem filsafat Barat modern. Yusuf Murad misalnya, mencoba membangun sistem filsafat yang berlandaskan penggabungan psikologi (psychology) dengan fisikologi (physicology) seperti yang dikembangkan di Barat. Ia menamakan filsafatnya dengan aliran al-takammuli (perfectionism). 'Abd al-Rahman Badawi dikenal sebagai eksistensialis Arab nomor wahid, tulisan-tulisannya berkisar sekitar etika eksistensialisme seperti yang dikembangkan oleh Gabriel Marcel dan Sartre. Nama-nama lain yang turut memberikan kontribusi dalam menghidupkan tradisi filsafat di dunia Arab modern adalah Ya'qub Sharruf, Majid Fakhri, Zaki Najib Mahmud, Ma'an Ziyadeh, Sulayman Dunya, Muhsin Mahdi dan seorang wanita, Dr. Amirah Mathar.
D. Penutup
Wacana pemikiran Arab kontemporer telah berjalan lebih dari dua dekade, dengan berbagai corak aliran pemikiran yang mewarnainya. jika melihat perkembangan dan pasang-surutnya, ada beberapa nuktah dan kesimpulan yang dapat ditarik: Pertama, tipologi pemikiran seperti yang dikategorikan dalam tulisan ini, sedikit banyak telah mengalami pergeseran. Hal tersebut diakibatkan adanya dialog dan interaksi antara pemikir yang mewakili setiap tipologi tersebut. Kendati demikian, tipologi itu masih relevan untuk mengukur sikap intelektual setiap pemikir Arab, terutama yang berhubungan dengan isyu tradisi dan modernitas (al-turats wa al-hadatsah). Tipologi tersebut berdasarkan kategorisasi ide (idea based categorization) dan bukan berdasarkan kategorisasi peran sosial-politik (social political based categorization). Itu artinya, tidak semua pemikir atau intelektual Arab yang dimasukkan dalam satu tipologi adalah secara ketat tidak bisa keluar dari kerangka tipologis berpikimya.
Kedua, persoalan besar yang dihadapi intelektual Arab masih berkisar soal penentuan sikap budaya kepada dua isyu besar: tradisi dan modernitas. Dan perbedaan pengambilan sikap terhadap dua isyu tersebut yang menyebabkan terjadinya fragmentasi isyu dan juga tipe pemikiran di kalangan pemikir Arab. Latar belakang pendidikan tetap merupakan faktor penting dalam membentuk para pemikir tersebut mengartikulasikan gagasan-gagasan pembaharuan mereka.
Ketiga, seiring dengan semakin banyaknya kaum terpelajar lulusan luar negeri (Barat), model artikulatif yang diterapkan oleh para pemikir itu pun mengalami perkembangan, seperti yang dapat kita lihat pada pemikir asal Maghribi yang menggunakan metode yang dikembangkan oleh gerakan strukturalis di Eropa. Usaha untuk memahami sosio-budaya Arab pun bukan hanya ditempuh lewat perspektif subjektif (al-ana), tapi juga lewat perspektif orang lain (al-akhar). Menurut para pemikir itu, perspektif seperti ini penting, bukan hanya untuk perbandingan, tapi juga untuk mencari solusi yang terbaik untuk komunitas bangsa Arab.
Keempat, di luar kategorisasi tipologis yang hanya peduli dengan tema-tema tradisi dan modernitas, ada beberapa pemikir atau sarjana yang kepeduliannya lebih pada persoalan-persoalan yang bersifat murni akademis (filsafat). Para pemikir jenis ini menganggap letak kegemilangan peradaban bangsa Arab adalah pada pencapaian ilmiahnya, dan filsafat merupakan inti dari itu semua. Karena itu, concern terhadap warisan filsafat merupakan kunci utama untuk memasuki kegemilangan tersebut.
Catatan kaki:
26 Hassan Hanafi, Azmah al-Fikr al-Arabi al-Mu'ashir. Ceramah ilmiah di gedung 'Abd al-Hamid Syamman, Amman-Jordan, tanggal 19 Juli 1992.
27 "Dawr al-Mufakkir fi al-Bilad al-Namiyyah: Isykal Ta'bir," dalam jurnal al-Katib, No. 115, Oktober 1970.
28 Ibid., hal. 26
29 Qustantine Zurayq, "al-Nahj al-'Ashri; Muhtawah wa Huwiyyatuh, Ijabiyyatuh wa Salbiyyatuh," dalam jurnal al-Mustaqbal al-'Arabi, No. 69, November 1984, hal.105.
30 Kemal. K. Karpat, Political and Social Thought in the Contemporary Middle East. New York, 1982, hal.13.
31 Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought. SUNY,1990, hal. x.
32 Saya merujuk kepada konsep yang dikembangkan oleh Michel Foucault dan Gaston Bachelard.
33 Mohammed Abid Jabiri, Al-Turats wa al-Hadatsah. Beirut, 1991.
34 Hassan Hanafi, Al-Turats wa al-Tajdid: Mawqifuna min al-Turats al-Qadim. Beirut, 1981.
35 A.H. Jidah, Al-Ashlah wa al-Hadatsah fi Takwin al-Fikr al-Arab al-Naqd al-Hadits. Lebanon, 1985.
36 A.D. Umari. Al-Turats wa al-Mu'ashirah. Qatar, 1985.
37 Istilah ini digunakan khususnya oleh Hassan Hanafi.
38 M. Abid Jabiri, "Al-Turats wa al-Musykil al-Manhaj," dalam jurnal Mustaqbal al-Arabi, No. 83, Januari 1986, hal. 6.
39 Q. Zurayq, Al-Nahj al- Ashri, hal.106.
40 Hassan Hanafi, Muqaddimah fi 'Ilm al-Istighrah. Cairo, 1991, hal 15.
41 Lihat misalnya tulisan S.M.N. al-Attas, khususnya, a Commentary on the Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniri. Kuala Lumpur, 1986, hal. 465.
42 Istilah ini digunakan oleh S.H. Nasr dalam bukunya Traditional Islam in the Modern World. London, 1987, lihat khususnya hal.15.
43 Abdullah Laroui tidak pernah terang-terangan mengakui dirinya sebagai Marxis, tetapi, tidak disangsikan lagi, dari tulisan-tulisannya ia adalah penganut Marxis, atau paling kurang sebagai simpatisan Marxisme.
44 Beirut, 1978.
45 Damaskus, 1982.
46 Thayyib Tayzini, Min al-Turats ila al-Tsawrah. Beirut, 1978, hal. 21.
47 Ibid., hal. 243.
48 Boullata, hal. 34.
49 Paris, 1974. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Diarmid Cammell sebagai the Crisis of the Arab Intellectual: Traditionalism or Historicism. Berkeley, 1976, dan dengan judul yang berbeda diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Al-'Arab wa al-Fikr al-Tarikhi. Beirut, 1973.
50 Paris, 1976, terjemahan bahasa Arab dengan judul Al-Idyulujiyah al- Arabiyah al-Mu'ashirah. Beirut, 1983.
51 Abdullah Laroui, Al-'Arab wa al-Fikr al-Tarikhi, hal. 77-79.
52 Ibid., hal. 147-153.
53 Boullata, hal. 27.
54 Adonis, Al-Tadbit wa al-Mutahawwil, Beirut, 1974, jilid 1, hal.19; dalam Hisham Sharabi (ed.) Theory, Politics and the Arab World. New York, 1990, hal. 23
55 Adonis, Al-Tsabit wa al-Mutahawwil. hal. 27-31; dalam Boullata, hal. 27-28.
56 Ibid., hal. 29.
57 M. Imarah, Al-Islam wa Sulthah al-Diniyyah. Beirut, 1980, hal.102.
58 Ibid.
59 Nahid Hattar dari departemen filsafat universitas Jordan, Amman, menulis tesis Al-Ashlah wa al-Mu'ashirah fi fikr Hassan Hanafi, Amman, 1984; dan K. Shimogaki dengan bahasa Inggris juga menjadikan Hanafi sebagai topik tesisnya, Between Modernity and Post-Modernity, the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi Thought: a Critical Reading. Nigata Institute of Middle-Eastern Studies, IUJ, 1988.
60 Bisa dilihat misalnya dalam Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought; Marcia K. Hermansen, "the Challenge of Classical Islamic Religious Thought for Contemporary Muslim Intellectuals," kertas kerja seminar ISTAC 1-5 Agustus 1994, jurnal Islamika, No. 1, Juli-September 1993, (Indonesia); dan Dr. Ilhami Gular dengan judul "Hassan Hanafi nin Tecdid Projesi: Tantim ve bir Degerlendirme" (Proyek Reformasi Hassan Hanafi: Pengenalan dan Evaluasi), dalam jurnal Islamic Aristirmalar, No. 2 vol. 7, Spring 1994.
61 Cairo, 1980.
62 Maktabah Madbuli, Cairo 1988. Buku ini hanyalah satu dari tujuh judul yang direncanakannya; judul lain yang akan ditulisnya adalah, Min al-Naql ila al-Ibda (untuk rekonstruksi filsafat), Min al-Fana ila al-Baqa' (untuk rekonstruksi sufisme), Min al-Nash ila al-Waqi' (rekonstruksi ushul fiqh), Min al-Naql ila al-'Aql (rekonstruksi ilmu-ilmu tradisional), Al-Aql wa al-Thabi'ah (rekonstruksi ilmu-ilmu rasional) dan Al-insan wa al- Tarikh (tentang humaniora).
63 Cairo, 1991. Buku ini direncanakan sebagai ilmu baru sebagai saingan Orientalisme.
64 Paris, 1965.
65 Paris, 1966.
66 Untuk lebih detail lihat bukunya Min al-'Aqidah ila al-Tsawrah. Cairo, 1988, khususnya jilid pertama.
67 Muqaddimah, hal. 36.
68 Tarikhiyah al-Fikr al-Islami. Beirut, 1986. hal.14.
69 Dalam bahasan S.H. Nasr, tradisi semacam ini adalah tradisi perennial, kira-kira seperti inilah tradisi yang selalu dibicarakan oleh Arkoun.
70 M. Arkoun, Al-Fikr al-Islami: Qira'at al- 'Ilmiyyah, terjemahan Hashim Shaleh. Beirut, 1987, hal. 17-24.
71 M.A. Jabiri, Al-Turats wa al-Hadatsah. Beirut, 1991, hal.11.
72 Ibid., hal. 50.
73 Ibid.
74 M.A. Jabiri, "Isykaliyyat al-Ashlah wa al-Mu'ashirah fi al-Fikr al-'Arabi al-Hadits wa al-Mu'ashir: Sirah Thabaqi am Musykil al-Tsaqafi," dalam al-Turats wa al-Tahaddiyat al-'Ashr, Markaz Dirasat Wihdat al-'Arabiyyah, Beirut 1987, hal. 31.
75 M.A. Jabiri, Al-Turats wa al-Hadatsah, hal, 48.
76 Ia menulis sebuah buku tentang kesamaan-kesamaan dua jahiliyyah tersebut dalam bukunya, Jahiliyah al-Qarn al-'Isyrin. Maktabah Wahbah, 1964.
77 Ibid., hal. 9.
78 Ibid., hal.11.
79 Beirut, 1980.
80 Hal. 105.
81 Beirut, 1989.
82 Trends and Issues in ContemporaryArab Thought. SUNY,1990.
83 Diterbitkan oleh Al-Mu'assasah al-'Arabiyah li al-Dirisah wa al-Nashr, Beirut, 1972.
84 Woman at Point Zero, terj. Sherif Hetata. London 1983.
85 Al-Wajh al-'Arri al-Mar'ah al-'Arabiyyah. Beirut, 1977, hal.167; lihat juga Al-Tahaddiyah allati Tuwajjih al-Mar'ah al-Arabiyyah fi Nihayat al-Qarn al-'Isyrin. Cairo, 1917, hal. 40.
86 Azizah al-Hibri (ed.), Woman and Islam. Pergamon press, 1982, hal. 202-203.
87 F. Mernissi, Al-Dimuqratiyyah ka Inhilal Khuluqi, hal. 57; Hisham Sharabi, Theory, Politics and the Arab World. New York, 1990, hal. 41.
88 Dalam H. Sharabi, hal. 4.
89 Ibid.
90 Dalam Boullata, hal.132.
91 H. Sharabi, hal. 42.
92 Ibid.
93 Dr. Syukri Najjar, "al-Nahdlah al-Falsafiyyah fi al-'Alam al-'Arabi al-Hadits", dalam jurnal Al-Fikr al-Arabi, No. 41, Maret 1986, hal.114.
94 Shibli Shumayl, Falsafah Nusyi' wa al-Irttiqa', hal. 30; dalam Dr. Syukri Najjar, hal. 120.
95 Ibid.
96 Ibid., hal.122.
97 Dr. Suykri Najjar, hal.122.
98 Ibid., hal.123.
V. Perspektif Jender Dalam Islam (1/4)
oleh Nasaruddin Umar
Dosen IAIN Jakarta
Redaktur Pelaksana Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
A. Pendahuluan
Isu jender akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan, walaupun jender itu sendiri tidak jarang diartikan secara keliru. Jender adalah suatu istilah yang relatif masih baru. Menurut Shorwalter, wacana jender mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu Jender (gender discourse).99 Sebelumnya istilah sex dan gender digunakan secara rancu.
Dimensi teologi jender masih belum banyak dibicarakan, padahal persepsi masyarakat terhadap jender banyak bersumber dari tradisi keagamaan. Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender (gender inequality) dianggap sebagai divine creation, segalanya bersumber dari Tuhan. Berbeda dengan persepsi para feminis yang menganggap ketimpangan itu semata-mata sebagai konstruksi masyarakat (social construction).
Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif, yang biasa juga disebut dengan masyarakat liar (savage society) sekitar sejuta tahun lalu, menganut pola keibuan (maternal system). Perempuan lebih dominan dari pada laki-laki di dalam pembentukan suku dan ikatan kekeluargaan. Pada masa ini terjadi keadilan sosial dan kesetaraan jender.100
Proses peralihan masyarakat dari matriarchal dan ke patriarchal family telah dijelaskan oleh beberapa teori. Satu di antara teori itu ialah teori Marxis yang dilanjutkan oleh Engels yang mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke private property dan sistem exchange yang semakin berkembang, menyebabkan perempuan tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan diperhadapkan dengan faktor produksi.101
Ada suatu pendekatan lain yang menganggap agama, khususnya agama-agama Ibrahimiah (Abrahamic religions) sebagai salah satu faktor menancapnya faham patriarki di dalam masyarakat, karena agama-agama itu memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Lebih dari itu, agama Yahudi dan Kristen dianggap mentolerir faham misogyny, suatu faham yang menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka, bermula ketika Adam jatuh dari sorga karena rayuan Hawa. Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses peralihan The Mother God ke The Father God di dalam mitologi Yunani.
Kajian-kajian tentang jender memang tidak bisa dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex, dan kalau agama mempersepsikan sesuatu biasanya dianggap sebagai "as it should be" (keadaan sebenarnya), bukannya "as it is" (apa adanya).
Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki. Tidak mustahil di balik "kesadaran" teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.
Pandangan di sekitar teologi jender berkisar pada tiga hal pokok: pertama, asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, kedua, fungsi keberadaan laki-laki dan perempuan, ketiga, persoalan perempuan dan dosa warisan. Ketiga hal ini memang dibahas secara panjang lebar dalam Kitab Suci beberapa agama. Mitos-mitos tentang asal-usul kejadian perempuan yang berkembang dalam sejarah umat manusia sejalan dengan apa yang tertera di dalam Kitab Suci tersebut. Mungkin itulah sebabnya kaum perempuan kebanyakan menerima kenyataan dirinya sebagai given dari Tuhan. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa happy jika mengabdi sepenuhnya tanpa reserve kepada suami.
Tidaklah heran jika para feminis --sebagaimana dapat dilihat dalam buku-buku yang bercorak feminis-- memulai pembahasan dan kajiannya dengan menyorot aspek-aspek teologi, seperti cerita tentang tulang rusuk, perempuan sebagai helper Adam, dan pelanggaran Hawa dihubungkan dengan dosa warisan (original sin).
1. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin".102 Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.103
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.104
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).105 Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).106
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan.107 Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).108
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan".109
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
2. Perbedaan Sex dengan Gender
Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.
Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti "jenis kelamin") lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.
Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang laki-laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a woman), lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (love-making activities), selebihnya digunakan istilah gender.
B. Pangkal Stereotip Jender: Asal-usul Kejadian Manusia
Hampir semua agama dan kepercayaan membedakan asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan. Agama-agama yang termasuk di dalam kelompok Abrahamic religions, yaitu Agama Yahudi, Agama Kristen, dan Agama Islam menyatakan bahwa laki-laki (Adam) diciptakan lebih awal dari pada perempuan. Di Dalam Bibel ditegaskan bahwa perempuan (Hawwa/Eva)110 diciptakan dari tulang rusuk Adam,111 seperti dapat dilihat pada Kitab Kejadian (Genesis) 1:26-27, 2:18-24, Tradisi Imamat 2:7, 5:1-2. Tradisi Yahwis 2:18-24. Di antaranya yang paling jelas ialah Kitab Kejadian 2:21-23:
"21 Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 22 Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu".112
Berbeda dengan Bibel, al-Qur'an menerangkan asal-usul kejadian tersebut di dalam satu ayat pendek (Q., s. al-Nisa'/4: 1) sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut. Cerita tentang asal-usul kejadian itu hanya ditemukan di dalam beberapa hadits.
Keterangan dari Bibel dan hadits-hadits mengilhami para exegesist, mufassir, penyair, dan novelis menerbitkan berbagai karya. Karya-karya tersebut dapat mengalihkan pandangan bahwa seolah-olah manusia, terutama laki-laki, secara biologis adalah makhluk supernatural, terlepas sama sekali dengan makhluk biologis lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Tidak heran kalau Darwin dengan teori evolusinya dianggap "murtad" di kalangan kaum agamawan, karena mengembangkan faham yang bertentangan dengan teks Kitab Suci.
1. Hawa dan Lillith
Ada informasi menarik dalam literatur Yahudi bahwa Hawwa (Eva) adalah pasangan kedua (the second wive). Pasangan pertama Adam ialah Lillith.113 Ia diciptakan dari tanah bersama-sama dengan Adam dalam waktu bersamaan. Lillith tidak mau menjadi pelayan (helper) Adam lalu ia meninggalkan Adam. Adam kemudian merasa sepi di sorga lalu Tuhan menciptakan pasangan barunya, Hawa dari tulang rusuknya sebagai pelayan baru (the new helper).114
Makhluk misterius Lillith juga dihubungkan dengan salah satu pasal dalam Kitab Perjanjian Lama (Issalah/34:14).115
Dalam literatur klasik Islam, Lillith atau nama-nama lainnya tidak pernah dikenal. Dalam hadits hanya dikenal nama Hawa sebagai satu-satunya isteri Adam. Dari pasangan Adam dan Hawa lahir beberapa putra-putri yang kemudian dikawinkan secara silang. Dari pasangan-pasangan baru inilah populasi manusia menjadi berkembang.
Dalam al-Qur'an memang diisyaratkan kemungkinan adanya makhluk sebangsa manusia pra Adam, sebagaimana yang akan diuraikan nanti, tetapi makhluk itu tidak dihubungkan dengan pribadi Adam, melainkan Adam sebagai species manusia. Lagi pula, kalau makhluk yang bernama Lillith itu diciptakan untuk menjadi pelayan Adam lalu menolak untuk menjalankan tugasnya, berarti ada makhluk pembangkang lain selain Iblis. Padahal dikenal sebagai pembangkang selama ini hanya Iblis.
2. Misteri Nafs al-Wahidah
Dalam al-Qur'an tidak dijumpai ayat-ayat secara rinci menceritakan asal-usul kejadian perempuan. Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi isteri Adam sama sekali tidak pernah ditemukan dalam al-Qur'an, bahkan keberadaan Adam sebagai manusia pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih dipermasalahkan.116
Satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian perempuan yaitu Q., s. al-Nisa'/4:1 sebagai berikut:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari "diri" yang satu (a single self), dan dari padanya Allah menciptakan pasangan (pair)-nya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.
Akan tetapi maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk didiskusikan, karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap. Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan "diri yang satu" (nafs al-wahidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) "dari padanya" (minha), dan apa yang dimaksud "pasangan" (zawy) pada ayat tersebut?
Kitab-kitab tafsir mu'tabar dari kalangan jumhur seperti Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Mizan, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa'ud, Tafsir Jami al-Bayan an Tafsir al-Maraghi, semuanya menafsirkan kata nafs al-wahidah dengan Adam, dan dhamir minha ditafsirkan dengan "dari bagian tubuh Adam", dan kata zawj ditafsirkan dengan Hawa, isteri Adam. Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfahani, sebagaimana dikutip al-Razi dalam tafsirnya (Tafsir al-Razi), mengatakan bahwa dlamir "ha" pada kata minha bukan dari bagian tubuh Adam tetapi "dari jins (gen), unsur pembentuk Adam".117 Pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi'ah yang mengartikan al-nafs al-wahidah dengan "roh" (soul).118
Kedua pendapat terakhir yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama cukup beralasan pula. Jika diteliti secara cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur'an, tidak satupun dengan tegas menunjuk kepada Adam. Kata nafs kadang-kadang berarti "jiwa" (Q., s. al-Ma'idah/5:32), "nafsu" (Q., s. al-Fajr/89:27), "nyawa/roh" (Q., s. al-'Ankabut/29:57). Kata al-nafs al-wahidah sebagai "asal-usul kejadian" terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti berarti Adam, karena pada ayat lain, seperti Q., s. al-Syu'ra/42:11, nafs itu juga menjadi asal-usul binatang.119 Kalau dikatakan al-nafs al-wahidah ialah Adam, berarti Adam juga menjadi asal-usul kejadian hewan dan tumbuh-tumbuhan?
Perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan bentuk nakirah/indefinite "dari satu diri" (min nafsin), bukan dalam bentuk ma'rifah/definite (min al-nafs), berarti menunjukkan kekhususan (yufid al-takhshish) lalu diperkuat (ta'kid) dengan kata "yang satu" (wahidah) sebagai shifat dari min nafsin. Semuanya ini menunjukkan kepada substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan Adam-nya sendiri sebagai secondary resources. Di samping itu, seandainya yang dimaksud pada kata nafs ialah Adam, mengapa tidak digunakan kata wahidin dengan bentuk gender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata wahidah dalam bentuk perempuan (mu'annats). Walaupun kita tahu bahwa kata nafs120 masuk kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism 'alam lainnya tetapi dalam al-Qur'an sering dijumpai shifat itu menyalahi bentuk mawshuf-nya kemudian merujuk ke hakekat yang di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh Si Pembicara (Mukhathab).121
Kata al-nafs al-wahidah dalam ayat itu boleh jadi suatu genus dan salah satu speciesnya ialah Adam dan pasangannya (pair/zawj-nya) (Q., s. al-A'raf/7:189), sedangkan species lainnya ialah binatang dan pasangannya (Q., s. al-Syura/42:11) serta tumbuh-tumbuhan dan pasangannya (Q., s. Thaha/20:53).
Surah al-Nisa' di atas agaknya kurang relevan dijadikan dasar dalam menerangkan asal-usul kejadian manusia secara biologis, karena dilihat dari konteks (munasabah), ayat itu berbicara tentang tanggung jawab para wali terhadap orang di bawah perwaliannya. Ada ayat-ayat lain lebih khusus berbicara tentang asal-usul kejadian, seperti asal-usul manusia dari "air"/al-ma' (Q., s. al-Furqan/25:54), "air hina"/ma'in mahin (Q., s. al-Mursalat/77:20), dan "air yang terpancar"/ma'in dafiq (Q., s. al-Thariq/86:6), "darah"/'alaq (Q., s. al-'Alaq/96:2), "saripati tanah"/sulalatin min thin (Q., s. al-Mu'minun/23:12), "tanah liat yang kering"/shalshalin min hama'in mahan (Q., s. al--Hijr/ 15:28), "tanah yang kering seperti tembikar"/shalshalin ka 'l-fakhkhar (Q., s. al-Rahman/55:15), "dari tanah"/min thin (Q., s. al-Sajdah/32:7), dan "diri yang satu" (nafs al-Wahidah (Q., s. al-Nisa'/4: 1). Akan tetapi asal-usul kejadian manusia masih perlu diteliti lebih lanjut, yang mana asal-usul dalam arti ciptaan awal (production) dan mana asal-usul dalam arti ciptaan lanjutan (reproduction).
Ada kesulitan dalam memahami kisah asal-usul kejadian manusia dalam al-Qur'an karena ada loncatan atau semacam missing link dalam kisah-kisah tersebut. Al-Qur'an tidak menerangkan secara runtut dari A sampai Z, tetapi dari A meloncat ke X dan Z. Apa yang terjadi antara A dan X atau Z tidak dijelaskan. Al-Qur'an bercerita tentang asal-usul sumber manusia pertama dari "gen yang satu" (nafs al-wahidah), Gen yang melahirkan species makhluk biologis seperti jenis manusia, jenis binatang, dan jenis tumbuh-tumbuhan. Dalam komponen lain ayat-ayat berbicara tentang asal-usul manusia dalam konteks reproduksi, seperti pada Q., s. al-Mu'minun/23:12-14.
Ayat-ayat kejadian manusia dalam al-Qur'an tidak cukup kuat dijadikan alasan untuk menolak atau mendukung teori evolusi dan untuk hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Terdapat beberapa ayat mengisyaratkan adanya makhluk sejenis manusia selain dan sebelum Adam; seperti pertanyaan malaikat yang bernada protes terhadap keinginan Tuhan untuk menciptakan khalifah di bumi yang mengkhawatirkan terjadinya pengulangan sejarah pertumpahan darah (Q.,s. al-Baqarah/2:30) dan penggunaan dlamir plural (khalaqa-kum) pada penciptaan manusia awal (Q., s. al-A'raf/7:11). Ayat-ayat itu dapat dihubungkan dengan kemungkinan adanya makhluk sejenis Adam pra Adam. Sementara banyak ayat mengisyaratkan manusia sebagai ciptaan yang unik the unical creation, sebagaimana diuraikan terdahulu.
Konsep teologi yang menganggap Hawa/Eva berasal usul dari tulang rusuk Adam membawa implikasi psikologis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Informasi dari sumber-sumber ajaran agama mengenai asal usul kejadian wanita belum bisa dijelaskan secara tuntas oleh ilmu pengetahuan. Kalangan feminis Yahudi dan Kristen cenderung mengartikan kisah-kisah itu sebagai simbolis yang perlu diberikan muatan makna lain.122 Sedangkan Feminis Muslimah seperti Mernissi123 cenderung melakukan kritik terhadap jalur riwayat (sanad), materi hadits (matan), asal-usul (sabab wurud) terhadap beberapa hadits yang memojokkan kaum perempuan, yang diistilahkannya dengan hadits-hadits misogyny, disamping melakukan kajian semantik dan sabab nuzul terhadap beberapa ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan perempuan.
Pemahaman yang keliru mengenai asal-usul kejadian tersebut bisa melahirkan sikap ambivalensi di kalangan perempuan; di satu pihak ditantang untuk berprestasi dan mengembangkan karier agar tidak selalu menjadi beban laki-laki tetapi di lain pihak, ketika seorang perempuan mencapai karier puncak, keberadaannya sebagai perempuan shaleh dipertanyakan. Seolah-olah keberhasilan dan prestasi perempuan tidak cukup hanya diukur oleh suatu standar profesional tetapi juga seberapa jauh hal itu direlakan kaum laki-laki. Kondisi yang demikian ini tidak mendukung terwujudnya khalifat-un fi 'l-ardl yang ideal, karena itu persoalan ini perlu diadakan klarifikasi.
C. Fungsi Keberadaan Laki-laki dan Perempuan
Keberadaan Hawa untuk melengkapi salah satu hasrat Adam. Anggapan seperti ini dapat dilihat dalam Kitab Tawrat dan Kitab Injil, seperti dalam Genesis/2:18-19 ditegaskan bahwa tidak baik seorang laki-laki sendirian dan karenanya Eva diciptakan sebagai pelayan yang tepat untuk Adam (a helper suitable for him).124
Dari pasal-pasal tersebut secara teologis mengesankan kedudukan perempuan, bukan saja sebagai subordinasi laki-laki, tetapi juga memberikan kedudukan yang inferior di dalam masyarakat. Dalam sumber Yahudi, yakni dalam Midras dijelaskan bahwa secara substansial penciptaan perempuan dibedakan dengan laki-laki. Laki-laki diciptakan dengan kognitif intelektual (cognition-by-intellect/hokhmah), sedangkan perempuan diciptakan dengan kognitif instink (cognition-by-instinct/ binah).125 Jika diperhatikan secara cermat beberapa pernyataan dalam Bible, terutama dalam Kitab Kejadian, pernyataan-pernyataan itu dengan jelas menunjukkan bahwa kedudukan perempuan sangat timpang dibanding kedudukan laki-laki. Persoalan ini menjadi sangat fundamental karena tersurat di dalam Kitab Suci yang harus diyakini oleh pemeluknya. Hal yang seperti ini sering dijumpai dalam masyarakat, misalnya beberapa mitos destruktif tetap lestari hingga sekarang karena dianggap sebagai bagian dari doktrin agama.
Problem teologis seperti ini menjadi hambatan terberat dialami kalangan feminis. Carmody mengungkapkan bahwa, sejumlah mitos tidak dapat ditolak karena sudah menjadi bagian dari kepercayaan berbagai agama, misalnya tidak bisa menolak mitos di sekitar Mary (Maryam) tanpa melepaskan kepercayaan, karena dalam kepercayaan Kristen, cerita tentang Jesus dan Mary dianggap sebagai nonmythologual aspects.126
Dalam al-Qur'an, tidak ditemukan suatu ayat yang menyebutkan cerita tentang asal-usul kejadian perempuan. Yang ada hanya cerita tentang kesombongan Iblis yang berdampak pada Adam dan pasangannya, harus meninggalkan sorga.127 Hanya ada beberapa riwayat yang kontroversi menceritakan asal-usul keberadaan kejadian perempuan, yang redaksinya hampir sama dengan cerita yang ada dalam Kitab Kejadian, seperti dalam hadits:
"Ketika Allah mengusir Iblis keluar dari Taman lalu di dalamnya ditempatkan Adam. Karena ia tidak mempunyai teman bermain maka Allah menidurkannya kemudian mengambil unsur dari tulang rusuk kirinya lalu Ia mengganti daging di tempat semula kemudian Ia menciptakan Hawa dari padanya. Ketika bangun, Adam menemukan seorang perempuan duduk di dekat kepalanya. Adam bertanya: Siapa anda? Hawa menjawab: perempuan. Adam kembali bertanya: Kenapa engkau diciptakan? Hawa menjawab: Supaya engkau mendapatkan kesenangan dari diri saya. Para malaikat berkata: Siapa namanya? Dijawab: Hawwa. Mereka bertanya: mengapa dipanggil Hawa? dijawab: Karena diciptakan dari sebuah benda hidup".128
Redaksi riwayat di atas sangat mirip dengan redaksi Kitab Genesis, khususnya Pasal 21-23. Riwayat-riwayat semacam ini diragukan keabsahannya oleh, bukan saja dari kalangan feminis muslimah seperti Riffat Hasan tetapi juga kalangan ulama seperti Muhammad Rasyid Ridla. Dalam Tafsir al-Manar, Rasyid Ridla mengesankan bahwa tradisi pemahaman yang mempersepsikan Hawa dari tulang rusuk kiri Adam, bukan bersumber dari al-Qur'an tetapi pengaruh ajaran Kitab Suci sebelumnya, "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalamKitab Perjanjian Lama (Kejadian 2:21) niscaya pendapat yang keliru tidak pernah terlintas dalam benak seorang muslim".129
Wibke Walther mendukung pendapat tersebut dengan mengemukakan beberapa bukti sejarah bahwa pada era awal Islam, yakni pada masa Nabi, kaum perempuan mendapatkan kemerdekaan sangat berbeda dengan yang pernah membudaya sebelumnya. Belakangan setelah wilayah Islam meluas dan bersentuhan dengan budaya lain, khususnya faham asketisme Kristen kedudukan perempuan dalam dunia Islam mengalami dekadensi.130 Pendapat yang sama juga diungkapkan Fatima Mernissi dan Muhammad Iqbal.
1. Konsep Kesetaraan Jender dalam al-Qur'an
Al-Qur'an memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q., s. al-A'rif/7:20), sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling melengkapi, "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi mereka" (Q., s. al-Baqarah/2:187).
Secara ontologis, masalah-masalah substansial manusia tidak diuraikan panjang lebar di dalam al-Qur'an. Seperti mengenai roh, tidak dijelaskan karena hal itu dianggap "urusan Tuhan" (Q., s. al-Isr'a'/17:85). Yang ditekankan ialah eksistensi manusia sebagai hamba/'abid (Q., s. al-Dzariyat/51:56) dan sebagai wakil Tuhan di bumi/khalifah fi al-ardl (Q., s. al-An'am/6:165). Manusia adalah satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim/Q., s. al-Thin/95:4) tetapi tidak mustahil akan turun ke derajat "paling rendah" (asfala safilin/Q., s. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah dari pada binatang (Q., s. al-A'raf/7:179).
Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (Q., s. al-Hujurat/49:13). Al-Qur'an tidak menganut faham the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau the first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu. Pria dan wanita dan suku bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi 'abid dan khalifah (Q., s. al-Nisa'/4:124 dan s. al-Nahl/16:97).
Sosok ideal, perempuan muslimah (syakhshiyah al-ma'rah) digambarkan sebagai kaum yang memiliki kemandirian politik/al-istiqlal al-siyasah (Q., s. al-Mumtahanah/60:12), seperti sosok Ratu Balqis yang mempunyai kerajaan "superpower"/'arsyun 'azhim (Q., s. al-Naml/27:23); memiliki kemandirian ekonomi/al-istiqlal al-iqtishadi (Q., s. al-Nahl/16:97), seperti pemandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, wanita mengelola peternakan (Q., s. al-Qashash/28:23), kemandirian di dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi/al-istiqlal al-syakhshi yang diyakini kebenarannya, sekalipun harus berhadapan dengan suami bagi wanita yang sudah kawin (Q., s. al-Tahrim/66:11) atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum kawin (Q., s. al-Tahrim/66:12). Al-Qur'an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan "oposisi" terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran (Q., s. al-Tawbah/9:71). Bahkan al-Qur'an menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Q., s. al-Nisa'/4:75).
Gambaran yang sedemikian ini tidak ditemukan di dalam kitab-kitab suci lain. Tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi ditemukan sejumlah perempuan memiliki kemampuan dan prestasi besar sebagaimana layaknya kaum laki-laki.
2. Penafsiran Berwawasan Jender
Hampir semua tafsir yang ada mengalami gender bias. Hal itu antara lain disebabkan karena pengaruh budaya Timur-Tengah yang androcentris. Bukan hanya kitab-kitab Tafsir tetapi juga kamus. Sebagai salah satu contoh, al-dzakar/mudzakkar (laki-laki) seakar kata dengan al-dzikr berarti mengingat. Kata khalifah di dalam kamus Arab paling standar, Lisan al-Arab, menyatakan bahwa: "khalifah hanya digunakan di dalam bentuk maskulin" (al-khalifah la yakun illa al-dzakar).
Ada beberapa ayat sering dipermasalahkan karena cenderung memberikan keutamaan kepada laki-laki, seperti dalam ayat warisan (Q., s. al-Nis'a'/4: 11), persaksian (Q., s. al-Baqarah/2:228, s. al-Nisa'/4:34), dan laki-laki sebagai "pemimpin"/qawwamah (Q., s. al-Nisa'/4:34), akan tetapi ayat-ayat itu tidak bermaksud merendahkan kaum perempuan. Ayat-ayat itu boleh jadi merujuk kepada fungsi dan peran sosial berdasarkan jenis kelamin (gender roles) ketika itu. Seperti diketahui ayat-ayat mengenai perempuan umumnya mempunyai riwayat sabab nuzul jadi sifatnya sangat historical. Lagi pula ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan detail (muayyidat). Umumnya ayat-ayat seperti itu dimaksudkan untuk mendukung dan mewujudkan tujuan umum (maqashid) ayat-ayat essensial,131 yang juga menjadi tema sentral al-Qur'an.
Ayat-ayat yang diturunkan dalam suatu sebab khusus (sabab nuzul) terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, a) apakah ayat-ayat itu berlaku secara universal tanpa memperhatikan kasus turunnya (yufid al-'alm), atau b) berlaku universal dengan syarat memperhatikan persamaan karakteristik illat (khushush al-'illah), yang meliputi empat unsur yaitu peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu, atau c) hanya mengikat peristiwa khusus yang menjadi sebab (khushush al-sabab) turunnya ayat, dengan demikian ayat-ayat tersebut tidak mengcover secara langsung peristiwa-peristiwa lain.132
Al-Qur'an dan Nabi Muhammad telah melakukan proses awal dalam membebaskan manusia, khususnya kaum perempuan, dari cengkeraman teologi, mitos, dan budaya jahiliyah. Al-Qur'an dan hadits yang berbicara tentang beberapa kasus tertentu, hendaknya dilihat sebagi suatu proses yang mengarah kepada suatu tujuan umum (maqashid al-syari'ah). Al-Qur'an mempunyai seni tersendiri dalam memperkenalkan dan menyampaikan ide-idenya, misalnya dengan: a) disampaikan secara bertahap (al-tadrij fi al-tasyri), b) berangsur (taqlil al-taklif), dan c) tanpa memberatkan (a'dam al-haraj). Sebagai contoh, upaya menghapuskan minuman yang memabukkan (iskar), diperlukan empat ayat turun secara bertahap. Jika kita perhatikan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan persoalan perbudakan, kewarisan, dan poligami, runtut turunnya ayat-ayat tersebut mengarah kepada suatu tujuan, yaitu mewujudkan keadilan dan menegakkan amanah dalam masyarakat.133
Dalam melihat hak asasi perempuan dalam Islam, kiranya kita tidak hanya memusatkan perhatian kepada peraturan-peraturan yang ada dalam kitab-kitab Fiqh. Mestinya juga dilihat dan dibandingkan bagaimana status dan kedudukan perempuan sebelum Islam. Misalnya dalam soal warisan; anak perempuan mendapat separoh bagian dari yang didapat anak laki-laki (Q., s. al-Nisa'/4:11). Ketika ayat ini memberikan bagian kepada anak perempuan, meskipun itu hanya separoh, tanggapan masyarakat ketika itu sama ketika ayat haid diturunkan (akan diuraikan tersendiri), yaitu menimbulkan kekagetan (shock) dalam masyarakat, karena ketentuan baru itu dianggap menyimpang dari tradisi besar (great tradition) mereka. Ketentuan sebelumnya harta warisan itu jatuh kepada anggota keluarga yang bisa mempertahankan clan atau qabilah, dalam hal ini menjadi tugas laki-laki. Sekalipun laki-laki tetapi belum dewasa maka dihukum sama dengan perempuan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad tidak memperoleh harta warisan dari bapak dan neneknya karena ia masih belum dewasa.
Bagaimana jadinya seandainya pembagian warisan ketika itu ditetapkan sama rata kepada anggota keluarga tanpa membedakan peran jenis kelamin (gender role), sementara peran sosial berdasarkan peran jenis kelamin ketika itu sangat menentukan. Mencari titik temu antara wahyu (revelation) dan budaya lokal adalah tugas para ulama. Para ulama berusaha merumuskan suatu pranata --kemudian lebih dikenal dengan Fiqh Islam-- dengan melakukan sintesa antara kultur Arab dan prinsip-prinsip dasar al-Qur'an.
Meskipun laki-laki dalam Fiqh Islam masih terkesan dominan tetapi martabat perempuan sudah diakui, bahkan perempuan selalu di bawah perlindungan laki-laki. Kalau ia sebagai isteri dipertanggung jawabkan oleh suami, sebagai anak dipertanggung jawabkan oleh Bapak, sebagai saudara dipertanggungjawabkan oleh saudara laki-laki, meskipun ia lebih tua, dan menerima mahar dari laki-laki. Kaum laki-lakilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga clan dan/kabilah yang ketika itu sangat rawan.
Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para fuqaha', memang ada beberapa hal dalam kitab Fiqh dinilai telah selesai memenuhi tugas historisnya. Jika kita konsisten terhadap kaidah al-hukmu yadur ma'a al-illah (hukum mengikuti perkembangan zamannya) maka fiqh Islam sudah semestinya diadakan berbagai penyesuaian.
Salah satu upaya al-Qur'an dalam menghilangkan ketimpangan peran jender tersebut ialah dengan merombak struktur masyarat qabilah yang berciri patriarki paternalistik menjadi masyarakat ummah yang berciri bilateral-demokratis. Promosi karier kelompok masyarakat qabilah hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan kelompok masyarakat ummah ukurannya adalah prestasi dan kualitas, tanpa membedakan jenis kelamin dan suku bangsa. Itulah sebabnya Rasulullah sejak awal mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah,134 karena Yatsrib terlalu berbau etnik (syu'ubiyah), sedangkan Madinah terkesan lebih kosmopolitan.
3. Praktek Kesetaraan Jender pada Masa Nabi
Kehidupan perempuan di masa Nabi perlahan-lahan sudah mengarah kepada keadilan jender. Akan tetapi setelah beliau wafat dan wilayah Islam semakin meluas, kondisi ideal yang mulai diterapkan Nabi kembali mengalami kemunduran. Dunia Islam mengalami enkulturasi dengan mengadopsi kultur-kultur androsentris (untuk tidak menyebut kultur misogyny). Wilayah Islam bertambah luas ke bekas wilayah jajahan Persia di Timur, bekas jajahan Romawi dengan pengaruh kebudayaan Yunaninya di Barat, dan ke Afrika, seperti Mesir dengan sisa-sisa kebudayaan Mesir Kunonya di bagian Selatan. Pusat-pusat kebudayaan tua tersebut memperlakukan kaum perempuan sebagai the second sex. Para ulama yang berasal dari wilayah tersebut sulit melepaskan diri dari kebudayaan lokalnya di dalam menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam. Akibatnya, fiqh yang berkembang di dalam sejarah Islam adalah fiqh patriarki. Dapat dimaklumi, komunitas Islam yang semakin jauh dari pusat kotanya (heartland), akan semakin kuat mengalami proses enkulturasi.
Di dalam memposisikan keberadaan perempuan, kita tidak bisa sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi. Meskipun Nabi telah berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender equality, tetapi kultur masyarakat belum kondusif untuk mewujudkan hal itu. Seperti diketahui bahwa wahyu baru saja selesai turun Nabi keburu wafat, maka wajar kalau Nabi tidak sempat menyaksikan blueprint ajaran itu sepenuhnya terwujud didalam masyarakat. Terlebih kedudukan perempuan yang berkembang dalam dunia Islam pasca Nabi tidak bisa dijadikan rujukan, karena bukannya semakin mendekati kondisi ideal tetapi malah semakin jauh.
Jika dilihat sejarah perkembangan karier kenabian Muhammad, maka kebijakan rekayasa sosialnya semakin mengarah kepada prinsip-prinsip kesetaraan gender (gender equality/al-musawa al-jinsi). Perempuan dan anak-anak di bawah umur semula tidak bisa mendapatkan harta warisan atau hak-hak kebendaan, karena yang bersangkutan oleh hukum adat jahiliyah dianggap tidak cakap untuk mempertahankan qabilah, kemudian al-Qur'an secara bertahap memberikan hak-hak kebendaan kepada mereka (Q., s. al-Nisa'/4:12). Semula laki-laki bebas mengawini perempuan tanpa batas, kemudian dibatasi menjadi empat, itupun dengan syarat yang sangat ketat (Q., s. al-Nisa'/4:3). Semula perempuan tidak boleh menjadi saksi kemudian diberikan kesempatan untuk itu, meskipun dalam beberapa kasus masih dibatasi satu berbanding dua dengan laki-laki (Q., s. al-Baqarah/2:228 dan s. al-Nisa'/4:34).
Pola dialektis ajaran Islam menganut asas penerapan bertahap (relatifering process/al-tadrij fi al-tasyri). Di sinilah perlunya mengkaji al-Qur'an secara hermeneutik, guna memahami suasana psikologis latar belakang turunnya sebuah ayat (sabab nuzul) atau munculnya sebuah hadis (sabab wurud).
Kedudukan perempuan pada masa Nabi sering dilukiskan dalam syair sebagai dunia mimpi (the dream of woman). Kaum perempuan dalam semua kelas sama-sama mempunyai hak dalam mengembangkan profesinya. Seperti dalam karier politik, ekonomi, dan pendidikan, suatu kejadian yang sangat langka sebelum Islam.
Tidak ditemukan ayat atau hadits yang melarang kaum perempuan aktif dalam dunia politik. Sebaliknya al-Qur'an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.
Dalam Q., s. al-Tawbah/9:71 dinyatakan:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Kata awliya' dalam ayat tersebut di atas menurut Quraish Shihab mencakup kerjasama, bantuan, dari penguasaan; sedangkan "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.135
Dalam beberapa riwayat disebutkan betapa kaum perempuan dipermulaan Islam memegang peranan penting dalam kegiatan politik. Q., s. al-Mumtahanah/60:12 melegalisir kegiatan politik kaum wanita:
"Wahai Nabi, jika datang kepadamu kaum wanita beriman untuk melakukan bai'at dari mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dari kaki mereka dari tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia (bay'at) mereka dari mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Istri-istri Nabi terutama 'A'isyah telah menjalankan peran politik penting. Selain 'A'isyah, juga banyak wanita lain yang terlibat dalam urusan politik, mereka banyak terlibat dalam medan perang, dari tidak sedikit di antara mereka gugur di medan perang, seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyyah, Laylah al-Ghaffariyah, Ummu Sinam al-Aslamiyah.
Sedangkan kaum perempuan yang aktif di dunia politik dikenal misalnya: Fathimah binti Rasulullah, 'A'isyah binti Abu Bakar, 'Atika binti Yazid ibn Mu"awiyah, Ummu Salamah binti Ya'qub, Al-Khayzaran binti 'Athok, dan lain sebagainya.
Dalam bidang ekonomi wanita bebas memilih pekerjaan yang halal, baik di dalam atau di luar rumah, mandiri atau kolektif, di lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dari tetap menghormati ajaran agamanya. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah nama penting seperti Khadijah binti Khuwaylid (istri Nabi) yang dikenal sebagai komisaris perusahaan, Zaynab binti Jahsy, profesinya sebagai penyamak kulit binatang, Ummu Salim binti Malhan yang berprofesi sebagai tukang rias pengantin, istri Abdullah ibn Mas'ud dan Qilat Ummi Bani Anmar dikenal sebagai wiraswastawan yang sukses, al-Syifa' yang berprofesi sebagai sekretaris dan pernah ditugasi oleh Khalifah 'Umar sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah. Begitu aktif kaum wanita pada masa Nabi, maka 'A'isyah pernah mengemukakan suatu riwayat "Alat pemintal di tangan wanita lebih baik dari pada tombak di tangan kaum laki-laki." Dalam riwayat lain Nabi pernah mengatakan "Sebaik-baik permainan seorang wanita muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun."136
Jabatan kontroversi bagi kaum wanita adalah menjadi Kepala Negara. Sebagian ulama masih menganggap jabatan ini tidak layak bagi seorang wanita, namun perkembangan masyarakat dari zaman ke zaman pendukung pendapat ini mulai berkurang. Bahkan al-Mawdudi yang dikenal sebagai ulama yang secara lebih tekstual mempertahankan ajaran Islam sudah memberikan dukungan kepada Fatimah Jinnah sebagai orang nomor satu di Pakistan.137
Dalam bidang pendidikan tidak perlu diragukan lagi, Al-Qur'an dan Hadits banyak memberikan pujian kepada perempuan yang mempunyai prestasi dalam ilmu pengetahuan. Al-Qur'an menyinggung sejumlah tokoh perempuan yang berprestasi tinggi, seperti Ratu Balqis, Maryam, istri Fir'awn, dari sejumlah istri Nabi.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah didatangi kelompok kaum perempuan yang memohon kesediaan Nabi untuk menyisihkan waktunya guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam klasik ditemukan beberapa nama perempuan menguasai ilmu pengetahuan penting seperti 'A'isyah isteri Nabi, Sayyidah Sakinah, putri Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib, Al-Syekhah Syuhrah yang digelari dengan "Fikhr al-Nisa" (kebanggaan kaum perempuan), adalah salah seorang guru Imam Syafi'i, Mu'nisat al-Ayyubi (saudara Salahuddin al-Ayyubi), Syamiyat al-Taymi'yah, Zaynab, putri sejarawan al-Bagdadi, Rabi'ah al-Adaw'iyah, dan lain sebagainya.
Kemerdekaan perempuan dalam menuntut ilmu pengetahuan banyak dijelaskan dalam beberapa hadits, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Rasulullah melaknat wanita yang membuat keserupaan diri dengan kaum laki-laki, demikian pula sebaliknya, tetapi tidak dilarang mengadakan perserupaan dalam hal kecerdasan dan amal ma'ruf.138
Peran sosial perempuan dalam lintasan sejarah Islam mengalami kemerosotan di abad kedua, setelah para penguasa muslim kembali mengintrodusir tradisi hellenistik di dalam dunia politik. Tradisi hellenistik banyak mengakomodir ajaran Yahudi yang menempatkan kedudukan perempuan hampir tidak ada perannya dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, para ulama --diantaranya dengan sponsor pemerintah-- sedang giat-giatnya melakukan standarisasi hukum dengan melaksanakan kodifikasi kitab-kitab fiqh dan kitab-kitab hadits. Apakah ada kaitan antara pembukuan dan pembakuan kitab fiqh dan proses penurunan peran perempuan, masih perlu diteliti lebih jauh.
D. Perempuan dan Dosa Warisan
Konsep teologi yang juga memberikan citra negatif kepada kaum perempuan ialah anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab tergelincirnya Adam dari Sorga ke planet bumi. Karena rayuannya, Adam lengah lalu memakan buah terlarang menyebabkannya terlempar ke bumi. Akhirnya, kaum perempuan harus menanggung akibat lebih besar, seperti yang dapat dilihat dalam Kitab Talmud dan Bibel.
Dalam Agama Yahudi, asal-usul terjadinya dosa asal (original sin) juga lebih banyak dipersalahkan kaum perempuan. Bahkan kalangan misogyny menganggap perempuan sebagai "setan betina" (female demon) yang harus selalu diwaspadai.
1. Kutukan terhadap Hawa dan Adam
Dalam Kitab Talmud (Eruvin 100b) disebutkan bahwa akibat pelanggaran Hawa/Eva di Sorga maka kaum perempuan secara keseluruhan akan menanggung 10 beban penderitaan:
1.Perempuan akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya Hawa/ Eva tidak pernah mengalaminya.
2.Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit.
3.Perempuan akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Anak-anak membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan sampai dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti yang diharapkan.
4.Perempuan akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri.
5.Perempuan akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua.
6.Perempuan akan merasa sakit pada waktu melahirkan.
7.Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki.
8.Perempuan masih akan merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi.
9.Perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya.
10.Perempuan lebih suka tinggal di rumah.139
Mungkin banyak kaum perempuan dewasa ini tidak sadar kalau poin pertama sampai terakhir bukan sekedar peristiwa alami, tetapi oleh orang-orang yang mempercayai kitab itu diyakini sebagai bagian dari "kutukan" Tuhan terhadap kesalahan Hawa.
Sedangkan kutukan yang ditimpakan kepada laki-laki, dan ini menarik untuk diperhatikan, adalah sebagai berikut:
1.Sebelum terjadi kasus pelanggaran (spiritual decline) postur tubuh laki-laki lebih tinggi dari pada bentuk normal sesudahnya.
2.Laki-laki akan merasa lemah ketika ejakulasi.
3.Bumi akan ditumbuhi banyak pohon berduri.
4.Laki-laki akan merasa susah dalam memperoleh mata pencaharian.
5.Laki-laki pernah makan rumput di lapangan rumput bersama binatang ternak, tetapi Adam memohon kepada Tuhan agar kutukan yang satu ini dihilangkan.
6.Laki-laki akan makan makanan dengan mengeluarkan keringat di alisnya.
7.Adam kehilangan ketampanan menakjubkan yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya.
8.Ditinggalkan oleh ular yang sebelumnya telah menjadi pembantu setia laki-laki.
9.Adam dibuang dari taman sorga dan kehilangan status sebagai penguasa jagat raya.
10.Laki-laki diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu. Ia ditakdirkan untuk mati dan dikubur.140
Kutukan yang ditimpakan kepada kaum laki-laki, selain lebih lunak kutukan itu juga langsung atau tidak langsung menimpa kaum perempuan. Sebaliknya, kutukan terhadap perempuan lebih berat dan monumental serta hanya dialaminya sendiri, tidak dialami kaum laki-laki.
Dalam Bibel juga dipersepsikan bahwa kaum laki-laki pantas memiliki superioritas di atas perempuan, sebaliknya kaum perempuan pada tempatnyalah mengabdikan diri kepada kaum laki-laki, karena selain diciptakan dari tulang rusuk Adam dan untuk melengkapi kesenangan Adam, juga dianggap penyebab langsung jatuhnya Adam dari syorga, seperti diungkapkan dalam Kitab Kejadian (3:12):
"Manusia itu menjawab: "Perempuan yang kamu tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan".141
Sebagai sanksi terhadap kaum perempuan antara lain dikatakan dalam Kitab Kejadian (3:16)
"FirmanNya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan kubuat sangat banyak, dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu."142
Jika doktrin-doktrin tersebut dilihat dalam perspektif sejarah, maka Islam adalah suatu sistem nilai yang progressif pada zamannya. Ajaran-ajarannya yang kontroversi ketika itu tidak hanya dapat ditawarkan (accessible) tetapi juga dapat diterima (acceptable) dalam kurun waktu yang singkat. Dapat dibandingkan ajaran Bibel baru populer setelah 'Isa/Yesus meninggal, sedangkan Nabi Muhammad sempat menyaksikan ajarannya dianut di sekitar Timur-Tengah.
2. Menstrual Taboo
Di antara kutukan perempuan yang paling monumental ialah menstruasi. Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan berbagai mitos yang berkembang dari mulut ke mulut (oral tradition) ke berbagai belahan bumi.
Teologi menstruasi dianggap berkaitan dengan pandangan kosmopolitan terhadap tubuh wanita yang sedang menstruasi. Perilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri perempuan.
Darah menstruasi (menstrual blood) dianggap darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus (menstrual huts), suatu gubuk khusus dirancang untuk tempat hunian para perempuan menstruasi atau mengasingkan diri di dalam goa-goa, tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu. Yang lebih penting ialah tatapan mata (menstrual gaze) dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan "mata iblis" (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana. Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.143 Dari sinilah asal-usul penggunaan kosmetik144 yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan sedang menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung, giwang, anting-anting, sandal, selop, lipstik, shadow, celak, termasuk cadar/jilbab ternyata adalah menstrual creations.145
Upaya lain dalam mengamankan tatapan "mata iblis" ialah dengan menggunakan kerudung/cadar (hoods/veils) yang dapat menghalangi tatapan mata tersebut. Kalangan antropolog berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi asal-usul penggunaan kerudung atau cadar. Cadar atau semacamnya bukan berawal dan diperkenalkan oleh Agama Islam dengan mengutip "ayat-ayat jilbab"146 dan hadits-hadits tentang aurat. Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang diperkenalkan dalam Kitab Tawrat147 dan Kitab Injil.148 Bahkan menurut Epstein, ketentuan penggunaan cadar sudah dikenal dalam Hukum Kekeluargaan Asyiria (Assyrian Code):
The tradition that women veil themselves when they go out in public a very old in the orient. Probably the first reference is to be found in the Assyirian Code, where it a ruled that wives, daughters, widows, when, going out in public, must be veiled.149
(Tradisi penggunaan kerudung ke tempat-tempat umum sudah berlangsung sejak dahulu kala di Timur. Kemungkinan referensi paling pertama ditemukan ialah di dalam hukum Asyiria, yang mengatur bahwa: isteri, anak perempuan, janda, bilamana pergi ke tempat-tempat umum harus menggunakan kerudung).
Asal-usul penggunaan cadar atau kerudung dan berbagai macam kosmetik lainnya, menurut kalangan antropologis, berawal dari mitos menstrual taboo, yaitu untuk mencegah "si mata Iblis" dalam melakukan aksinya.150
Penggunaan cadar/kerudung (hood)151 pertama kali dikenal sebagai pakaian perempuan menstruasi. Kerudung dan semacamnya semula bertujuan untuk menutupi tatapan mata terhadap cahaya matahari dan sinar bulan, karena hal itu dianggap tabu dan dapat menimbulkan bencana di dalam masyarakat dan lingkungan alam.
Kerudung dari semacamnya semula dimaksudkan sebagai pengganti "gubuk pengasingan" bagi keluarga raja atau bangsawan. Keluarga bangsawan tidak perlu lagi mengasingan diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badan yang dianggap sensitif. Dahulu kala perempuan yang menggunakan cadar hanya dari keluarga bangsawan atau orang-orang yang terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non-bangsawan. Peralihan dan modifikasi dari gubuk pengasingan menstrual hut menjadi cadar (menstrual hood) juga dilakukan di New Guinea, British Columbia, Asia, dan Afrika bagian Tengah, Amerika bagian Tengah, dan lain sebagainya. Bentuk dan bahan cadar juga berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Bentuk cadar di Asia agak lonjong menutupi kepala sampai pinggang dan bahannya juga bermacam-macam; ada yang dari serat kayu yang ditenun khusus dan ada yang dari wol yang berasal dari bulu domba.152
Selain mengenakan cadar perempuan haid juga menggunakan cat pewarna hitam (cilla') di daerah sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan matanya. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai kalung dari bahan-bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik, dan bahan dari tengkorak kepala manusia.
Diskursus mengenai cadar, jilbab, kerudung dan semacamnya, sesungguhnya bukan persoalan baru dalam sejarah kaum perempuan. Masyarakat tradisional dahulu kala sudah pernah muncul perdebatan seru. Apakah boleh perempuan yang bukan bangsawan menggunakan cadar/kerudung sebagai pengganti pengasingan di gubuk menstruasi. Agama Yahudi dan selanjutnya dalam agama Kristen, dua agama besar sebelum Islam juga telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum perempuan. Yang jelas tradisi penggunaan kerudung, jilbab, dan cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan.
3. Haydl dalam Islam
Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haydl.153 Dalam al-Qur'an hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat; sekali dalam bentuk fi'l mudlari/present and future (yahidl) dan tiga kali dalam bentuk ism mashdar (al-mahidl).154
Dari segi penamaan saja, kata haydl sudah lepas dari konotasi teologis seperti agama-agama dan kepercayaan sebelumnya. Masalah haydl dijelaskan dalam Q., s. al-Baqarah/1:222:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah: "Haydl itu adalah 'kotoran' oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haydl; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Ahmad dari Anas, bahwa bilamana perempuan Yahudi sedang haydl, masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya. Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat tersebut di atas. Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda "lakukanlah segala sesuatu (kepada isteri yang sedang haydl) kecuali bersetubuh". Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi seperti shock mendengarkan pernyataan tersebut. Apa yang selama ini dianggap tabu tiba-tiba dianggap sebagai "hal yang alami" (adzan). Kalangan mereka bereaksi dengan mengatakan apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Rasulullah) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita. Usayd ibn Hudlayr dan Ubbad ibn Basyr melaporkan reaksi tersebut kepada Rasulullah; lalu wajah Rasulullah berubah karena merasa kurang enak terhadap reaksi tersebut.155
Rasulullah dalam banyak kesempatan menegaskan kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita haid. Rasulullah kembali menegaskan bahwa: "Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj)", "Segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (al-jima')". Bahkan Rasulullah seringkali mengamalkan kebolehan itu dalam bentuk praktek. Riwayat lain yang secara demonstratif disampaikan 'A'isyah, antara lain, 'A'isyah pernah minum dalam satu bejana yang sama dalam keadaan haydl, juga pernah menceritakan Rasulullah melakukan segala sesuatu selain bersetubuh (jima') sementara dirinya dalam keadaan haid, juga darah haydl dan bekasnya yang terdapat dalam pakaian 'A'isyah; sama sekali Rasulullah tidak memperlihatkan perlakuan taboo terhadapnya.156 Jika diteliti lebih cermat, meanstream ayat di atas sesungguhnya bukan lagi haydl-nya itu sendiri tetapi pada al-mahidl-nya atau "tempat" keluarnya darah itu (mawdhi 'al-haydl), karena Tuhan menggunakan kata al-mahidl, bukan al-haydl. Walaupun kedua kata itu sama-sama dalam bentuk mashdar/verbal noun tetapi yang pertama menekankan "tempat" haid (mawdhi 'al-haydl) sedangkan yang kedua menekankan "waktu" dan "zat" haid ('ayn al-haydl) itu sendiri.
Banyak mufassir menyamakan atau tidak menegaskan perbedaan pengertian kedua istilah tersebut. Pada hal menyamakan atau membedakan pengertian tersebut masing-masing mempunyai makna yang berbeda, bahkan lebih jauh akan berimplementasi kepada persoalan hukum. Kalau al-mahidl diartikan sama dengan al-haydl, maka ayat tersebut berarti jauhilah perempuan itu pada waktu haydl artinya dilarang bergaul dan bersenang-senang, dan ini jelas menyalahi struktur makna yang dikehendaki Sang Mukhathab. Akan tetapi kalau yang dimaksud ayat itu ialah al-mahidl dalam arti mawdhi 'al-haydl, maka ayat itu berarti jauhilah tempat haydl dari perempuan itu. Penggunaan logika yang kedua ini menjadi jelas tanpa harus lagi ada "penghapusan" (nasakh) atau pengkhususan (takhshish). Kalau yang dimaksud al-mahidl yakni al-haydl maka akan menimbulkan kejanggalan dalam pengertian, karena yang bermasalah (adzan)157 dalam lanjutan ayat itu ialah waktu haid (zaman al-haydl), bukan tempat haid (mawdhi' al-haydl), jadinya tidak logis dalam pengertian (ghayr ma'qul al-ma'na) karena sesungguhnya yang bermasalah (adzan) ialah mawdhu'-nya. Haydl itu sendiri bukan adzan karena haydl hanya di-'ibirah-kan dengan darah yang khusus.
Al-Razi dalam tafsirnya memberikan alternatif lain dengan mengatakan bahwa kalimat al-mahidl yang pertama berarti al-haydl, sedangkan yang kedua berarti tempat haid.158 Implementasi dari pengertian ini ialah persoalan haid sebagaimana yang ditanyakan sahabat Nabi dan sekaligus menjadi sabab nuzul ayat itu hanyalah persoalan fisik-biologis, tempat keluarnya darah haidh itu bukan persoalan tabunya darah haid seperti yang dipersepsikan oleh umat-umat terdahulu.
Perintah untuk "menjauhi" (fa'tazilu) dalam ayat di atas bukan berarti menjauhi secara fisik (li al-tab'id) tetapi memisahkan atau menghindarkan diri untuk tidak berhubungan langsung (i'tizal). Sedangkan darah haid disebut al-adzan karena darah tersebut adalah darah tidak sehat dan tidak diperlukan lagi oleh organ tubuh wanita. Bahkan kalau darah itu tinggal di dalam perut akan menimbulkan masalah, karena itulah disebut adzan.
Mengenai pembersihan diri (thaharah)159 dari haydl, dalam Islam tidak pula dikenal adanya upacara ritual khusus seperti dalam agama Yahudi dan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa sesudah hari ketujuh160 ia sudah dapat dianggap bersih setelah mandi, kecuali Abu Hanifah berpendapat tidak harus mandi tapi cukup membersihkan tempat keluarnya darah haid dan juga tidak perlu menunggu tujuh hari. Sekalipun kurang tujuh hari kalau sudah merasa bersih sudah dapat melakukan ibadah secara rutin.161 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Auza'i dan Ibn Hazm.162
Dari gambaran tersebut di atas dapat dipahami bahwa ajaran Islam tidak menganut faham menstrual taboo, sebaliknya berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat sebelumnya yang memberikan beban berat terhadap kaum wanita. Seperti mitos tentang wanita haid seolah-olah ia tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain harus diasingkan juga harus melakukan berbagai kegiatan ritual yang berat.
E. Penutup
Banyak hal yang perlu diluruskan dalam persepsi masyarakat tentang perempuan. Terutama anggapan sadar dan bawah sadar bahwa kaum laki-laki lebih utama dari pada kaum prempuan. Semenjak dahulu kala, orang banyak berbicara tentang ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin tetapi hasilnya belum banyak mengalami kemajuan. Persepsi itu memang sulit dihilangkan karena berakar dari atau didukung oleh ajaran teologi. Padahal Max Weber pernah menegaskan bahwa tidak mungkin mengubah perilaku masyarakat tanpa mengubah sistem etika, dan tidak mungkin mengubah etika tanpa meninjau sistem teologi dalam masyarakat.
Diskursus mengenai perempuan seringkali terlalu tematis, sehingga dilupakan persoalan asasinya. Para feminis telah banyak mencurahkan perhatian untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, tetapi tidak sedikit perempuan merasa enjoy di atas keprihatinan para feminis tersebut. Mereka percaya bahwa perempuan ideal ialah mereka yang bisa hidup di atas kodratnya sebagai perempuan, dan kodrat itu dipahami sebagai takdir (divine creation), bukan konstruksi masyarakat (social consttuction).
Dalam praktek terkadang sulit dibedakan mana pesan yang bersumber dari doktrin agama dan mana yang bersumber dari mitos. Agama pada hakekatnya menjadikan manusia sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek. Pesan-pesan agama untuk kemaslahatan manusia mestinya dapat dijangkau oleh umat (mukallaf). Sedangkan pesan yang lahir dari mitos seringkali memberikan muatan lebih (over loads). Untuk itu, perlu adanya reidentifikasi masalah dan reinterpretasi sumber-sumber ajaran agama.
Islam tidak sejalan dengan faham patriarki mutlak, yang tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkarya lebih besar, baik di dalam maupun di luar rumah. Al-Qur'an tidak memberikan penegasan tentang unsur dan asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, tidak juga mengenal konsep dosa warisan, dan skandal buah terlarang adalah tanggung jawab bersama Adam dan Hawa. Perbedaan anatomi fisik-biologis antara laki-laki dan perempuan tidak mengharuskan adanya perbedaan status dan kedudukan.
Catatan kaki:
99 Elaine Showalter (Ed.), Speaking of Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3.
100 Evelyn Reed, Woman's Evolution, From Matriarchal Clan to Patriarchal Family, New York, London, Montreal, Sydney: Tathefinder, 1993, h. IV.
101 Lihat misaslnya Frederick Engels, The Origin of Family Private Property and State, New York: International Publisher Company, 1976. Buku ini banyak mengilhami para feminis marxis dan sosialis di dalam memberikan solusi terhadap gender stereotyping di dalam masyarakat.
102 John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983, h. 265.
103 Victoria Neufeldt (ed.), Webster's New World Dictionary, New York: Webster's New World Cleveland,1984, h.561. Bandingkan dengan kamus Oxford yang mendefinisikan gender sebagai a grammatical classification of objects roughly corresponding to the two sexes and sexlessness, property of belonging to such a class. (Lihat C.T. Onionss (ed.), The Word Dictionary of English Etymology, Oxford: Oxford at the Clarendon Press, 1979, h.).
104 Helen Tierney (Ed.), Women's Studies Encyclopedia, Vol. I, NewYork: Green Wood Press, h. 153.
105 Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction, California, London, Toronto: Mayfield Publishing Company, 1993, h. 4.
106 Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990, h.2.
107 H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Leiden, New York, Kobenhavn, Koln: EJ. Brill, 1989, h. 2.
108 Elaine Showalter (Ed.), Speaking of Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3.
109 Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992, h. 3.
110 Dalam literatur Arab disebut Hawwa dan literatur Inggris disebut Eva. Dalam sumber-sumber Yahudi sering dikatakan Ha-ishah secara literal berarti "wanita" tetapi sesungguhnya yang dimaksud ialah "pelayan" (ezer/belper) Adam. Seperti dalam Islam, literatur Yahudi mempunyai beberapa istilah terhadap wanita (female), yaitu almah untuk wanita usia kawin, betulah untuk gadis perawan, bachurah untuk wanita remaja, naarah wanita antara 12 sampai 12,5 tahun, dan nikevah untuk wanita usia dewasa, serta yaldah untuk wanita yang belum dewasa. (Lihat Lisa Aiken, To be Jewish Woman, Northvale, New Jersey, London: Janson Aronson INC., 1992, h.12).
111 Kata Adam bersumber dari bahasa Hebrew Adamah berarti bumi (earth). Dapat berasal dari akar kata alef (yang satu) dan dom (sunyi, diam, bisu). Lihat Ibid, h. 6-7.
112 Dikutip dari Kitab Bibel edisi Indonesia.
113 Lillith digambarkan sebagai "setan betina" (female demon) yang berwajah manusia, berambut panjang, dan mempunyai sayap, gentayangan di malam hari. Lihat Lisa Aiken, op. cit., h. 23., Monica Sjoor dan Barbara Mor, The Great Cosmic Mother, Rediscovering the Religion of the Earth, San Fransisco: Harper and Row Publishers, 1985, h. 276-277.
114 Sumber ini tidak terlalu populer di kalangan Yahudi karena dianggap kepercayaan sempalan, namun demikian cerita ini ditemukan dalam Talmud, seperti dalam Erubin 1006, Bava Batra 736, Niddah 246, Sabbat 1516. Lihat dalam Rabbi DR I. Epstein (Editorship), Hebrew-English Edition of the Babilonia Talmud, Vol. I (Erubin), London; Jerusalem: The Sonicino Press, 1976, h. 73a-73b. Juga dalam Vol. 6 (Niddah), h. 246.
115 Lisa Aiken, loc. cit. dan dalam Holy Bible, Guelp, Ontario: The Gideons International in Canada, h. 516, diistilahkan dengan The Night Monster.
116 Riffat Hasan memparmasalahkan, mengapa selalu dikatakan Adam wa zawj, sekiranya Adam laki-laki maka kata paling tepat digunakan ialah kata zawjah. (Lihat Riffat Hasan, "Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam," dalam Ulumul Qur'an, Vol.1, 1990/1410 H., h. 51). Akan tetapi alasan ini lemah, karena kata zawj tidak mesti berarti isteri, dan tidak mesti memakai huruf ta marbutah (zawjah) sebagai simbol perempuan (muannats) untuk menunjukkan makna isteri, karena yang ditekankan pada ayat ini ialah pasangan (pair), seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berpasang-pasangan (Q., s. Thaha/20:53 dan s. al-Syura/42:11). Lagi pula kata ganti (dlamir) yang merujuk ke Adam semuanya menggunakan dhamir mudzakkar, di antaranya paling tegas ialah uskun anta wa zawjuk-a 'l-jannah (Q., s. al-Baqarah/2:35 dan s. al-A'raf/7:19). Kata uskun sudah cukup mengisyaratkan Adam sebagai mudzakkar tetapi diperkuat (ta'kid) dengan kata anta, kata ganti untuk orang pertama tunggal laki-laki.
117 Muhammad al-Razi Fakhr-u 'l-Din al-'Allamah Shaba'-u 'l-Din 'Umar, Tafsir al-Razi, Juz 9, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., h.179. Dengan begitu, kata min dari kata al-nafs al-wahidah bukan menunjuk kepada penciptaan awal (ibtida' al-takhliq) tetapi hanya sebagai ibtida' al-ghayah. Jadi asal-usul Hawa bukan dari Adam tetapi dari unsur "Gen Yang Tunggal" dari mana seluruh makhluk hidup berasal. Sedikit koreksi kepada Komentar Yusuf Ali dalam The Holy Quran-nya bahwa tidak benar al-Razi yang berpendapat bahwa dhamir "ha" bukan Adam tetapi dari nafs. Hanya al-Razi mengungkapkan pendapat ulama lain (al-Ishfahani), sebagaimana ciri tafsir al-Razi selalu mengungkapkan pendapat lain sebagai perbandingan.
118 Lihat S.V. Mir Ahmed Ali dengan special notes/musyarrih, Hujjatul Islam Ayatullah Haji Mirza Mahdi Pooya Yazdi, The Holy Qur'an, Karachi, Pakistan: Muhammad Khaleel Shirazi, 1964, h. 359.
119 "(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dan jenis binatang ternak pasang-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
120 Menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengapa bahasa Arab, bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an, beberapa benda alam atau nama-nama benda yang menakjubkan seperti matahari (al-syams), bulan (al-qamar), langit (al-sama'), angin (al-rih), tanah, bumi (al-ardl), jiwa (al-nafs), dan lain sebagainya dikategorikan dalam bentuk (bahasa) perempuan (mu'annats)? Boleh jadi ini berkaitan dengan mitologi Mesir Kuno dan Asia Tengah pada umumnyayang menganut faham The Mother God. Bulan misalnya dianggap sebagai "Ibu Alam Semesta" (The Mother, of Universe) karena mempunyai cahaya yang membawa kesuburan dan sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Bangsa Arab sebelum datangnya Islam, masih banyak menganggap bulan sebagai dewi yang sangat berpengaruh, dan menurut Owen, dari sinilah sebabnya mengapa umat Islam sejak awal sampai sekarang menjadikan bulan sebagai simbol dan Bulan Sabit menjadi semacam lambang "Palang Merah" dunia Islam. (Lihat Barbra Walker, The Women's Encyclopaedia of Myths and Sacrets, San Fransisco, Harper & Row, 1983, h. 669. Lihat pula Lara Owen, Her Blood is Gold, Celebrating the Power of Menstruation, San Francisco: Harper San Francisco, 1993, h. 30-31.
Proses peralihan The Mother God ke The Father God membawa implikasi sosial. Beralihnya masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki dinilai mempunyai hubungan dengan,peralihan itu. Agama-agama Semit (Yahudi, Kristen, dan Islam) dianggap merombak sistem dan struktur masyarakat matriarki yang pernah dibangun oleh mitologi sebelumnya ke sistem patriarki. (Lihat misalnya Merlin Stone, When God was a Woman, New York, London: A Havest/HBJ Book Harcourt Brace Jovaniche, 1976., dan J. Edgar Bruns, God as Woman, Woman as God, New York, Paramus, Toronto: Paulist Press,1973. Akan tetapi Susan Starr Scred tidak setuju membesar-besarkan agama sebagai faktor paling dominan dalam pembentukan suatu sistem masyarakat seperti masyarakat matrifocal atau patrifocal, matriarcal atau patriarcal, dan matrilineal atau patrilineal, karena faktor ekologi dan budaya juga sangat menentukan. Lihat Susan Starr Scred, Priestess, Mother, Sacred Sister Religious Dominated by Women, NewYork, Oxford. Oxford University Press, 1984, h, 284.
121 Misalnya dalam Q., s. al-A'rif/7:56 (In-na rahmat-a 'l-Lah-i qarib-un min al-muhsinin), mestinya dikatakan qaribah sebagai sifat dari rahmah yang berbentuk mu'annats, akan tetapi karena shifat men-shifat-i hakekat maushuf yakni al-ihsan yang berbentuk mudzakkar maka shifat pun harus mudzakkar lalu digunakanlah kata qarib.
122 Lihat misalnya Susan Weidman Schneider,Jewish and Female; Choices and Changes in Our Lives Today, New York: Simon and Schuster,1984, dan Philip Culbertston, The Future of Male Spirituality, New Adam, Minneapolis: Foetress Press, 1992.
123 Di antara karya Fatima Mernissi yang paling populer ialah The Veil and the Male Elite, a Feminist Interpretation of Women's Right in Islam, yang edisi Inggrisnya diterbitkan di 21 kota Dalam buku ini Mernissi antara lain seolah menggugat kalangan Penguasa dan ulama memberikan muatan kultur Arab berlebihan terhadap beberapa Ayat dan Hadits, terutama sesudah Rasulullah wafat.
124 Holy Bible, op. cit, h. 2.
125 Lihat Judith R Baskin (Ed.), Jewish Woman Historical Prospective Detroit: Wayne State University Press, 1991, h. 79. Bandingkan dengan kedudukan perempuan dalam pandangan gereja yang diilustrasikan oleh Nelle Morton sebagai berikut:
GOD
MAN
WOMAN
CHILD
EARTH
Perempuan ditempatkan di bawah Tuhan dan laki-laki dan di atas anak-anak dan bumi. (Nelle Morton, Preaching the Word, dalam Alice L. Hageman (Ed)., Sexist Religion and Women in the Church, New York: Assosiation Press, 1974, h. 42).
126 Denise Lardner Carmody, Mythological Woman, Contemporary Reflections on Ancient Religious Stories, New York: Crossroad, 1992, h. 154-155.
127 Lihat misalnya kisah-kisah Adam dan pasangannya dalam Q., s. al-Baqarah/2:34-38, s. al-A'raf/7:11-27, s. Thaha/20:115-123.
128 Dikutip dari al-Razi, op: cit., Juz III, h. 2.
129 Muhammad Rasyid Ridla', Tafsir al-Manar, juz IV, Kairo: Dar al-Manar, 1367 H., h. 330.
130 Wiebke Walther, Women in Islam, from Mediaeval to Modern Time, New York: Markus Wiener Publishing Princeton, 1993, h. 51.
131 Yang dimaksud ayat-ayat essensial di sini ialah ayat-ayat yang menjadi tema pokok dalam al-Qur'an, seperti melaksanakan amanah (Q., s. al-Nisa'/4:58), mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q., s. al-Nahl/16:90), menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (Q., s. Alu 'Imran/ 3:104), dan men-tawhid-kan Tuhan (Q., s. al-Ikhlash/112:1-40).
132 Pendapat pertama dipegang oleh jumhur Ulama dengan alasan bahwa meskipun ayat-ayat itu diturunkan dalam suatu sebab khusus tetapi menggunakan redaksi umum (am), jadi mereka mengutamakan bunyi teks dari pada konteks, lagi pula menurut mereka, al-Qur'an tidak hanya untuk dijadikan petunjuk oleh masyarakat tempat dan waktu di mana al-Qur'an diturunkan tetapi juga untuk masyarakat sampai akhir zaman. Fungsi sabab nuzul lebih banyak merupakan penguat penjelasan (bayan ta'kid), dan sangat terbatas yang sampai ke bayan takhshish, yang berfungsi untuk mengkhushushkan jangkauan ayat, sebagai konsekuensi pada kaidah pertama (al-'ibrah bi 'umu-m al-lafdh, la-bi khushu-sh al-sabab), bahkan ada yang mengatakan ayat-ayat tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan riwayat sabab nuzul, karena ayat-ayat itu turun kebetulan pada saat terjadinya sebab itu. Pendapat yang kedua cenderung dipegang oleh al-Syathibi yang terkenal dengan kitabnyaAl-Muwafaqat-nya. Kalau jumhur penekanannya pada analisa teks maka Syathibi lebih berorientasi kepada tujuan umum (maqashid al-syari'ah) dan dengan demikian selain mengandalkan teknik analogi (qiyas) dengan memperhatikan secara cermat semua unsur qiyas, juga lebih berkonsentrasi kepada kajian konteks dari pada detail teks. Orisinalitas pendapat al-Syathibi terletak di antara dua kaidah (pertama dan ketiga) di atas, dan seolah-olah ingin mengembangkan kaidah lain bahwa yang dijadikan pegangan ('ibarah) ialah yang lebih dekat mengantar kepada tujuan umum (maqashid al-syari'ah). Kedudukan teks (lafzh) ditempatkan sejajar dengan sabab nuzul sambil melakukan penelitian kritis (istiqra') terhadap dalil-lalil lain, kemudian dipilih atau dibentuk suatu bentuk solusi. Sedangkan pendapat ketiga berpegang kepada kaidah al-'ibrah bi khushush al-sabab la-bi 'umum al-lafzh, pendapat ini tidak umum di kalangan ulama.
133 Lihat kembali catatan kaki nomor 131.
134 Konsep Madinah (kota) diuraikan dengan menarik oleh Nurcholish Madjid bahwa Madinah berasal dari akar kata yang sama dengan madaniyah atau tamaddun yang berarti "peradaban" (civilization). Secara literal madinah adalah "tempat peradaban", atau suatu lingkungan hidup yang ber-"adab" (kesopanan, "civility"), yakni tidak "liar". Padanannya dalam bahasa Arab ialah al-hadlarah, satu akar kata dengan hadlir (Indonesia: "hadir") yang menunjuk kepada pengertian "pola hidup menetap di suatu tempat" (sedentary). Pengertian tersebut erat kaitannya dengan tsaqafah (budaya/culture). Lawan dari kata konsep tersebut ialah badawah, badiyah, atau badw, yang mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah (nomad), terkesan primitif, seperti pola kehidupan padang pasir. Kata badawah seakar kata dengan ibtida', seperti dimaksud pada "madrasah ibtidaiyyah" (sekolah tingkat permulaan), artinya orang-orang yang berpola kehidupan berpindah-pindah (bedouin). Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadma, 1992, h. 312-313.
135 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992, h. 271.
136 Ibid, h. 278.
137 Lihat Masdud Hasan, Sayyid Abul A'la Al-Mawdudi and His Thought, Vol. II, Lahore Pakistan: Islamic Publication (Pvt) Ltd., t.th, h. 493. Lihat pula Farhat Haq, Islamic Reformism and the State: The Case of the Jammiat-i-Islami at Pakistan, (Dissertation), Ithaca: Cornell University, 1988, h. 280.
138 Lihat Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Manthur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, Juz XI, Beirut: Dar Shadir, h, 67.
139 Lihat Talmud op. cit, Vol. II (Erubin) h. 100b.
140 Lihat Lisa Aiken op. cit., h. 21, yang mengutipnya dari Me'am Loez on Genesis 3:17-19.
141 Bible, op. cit., h. 2.
142 Ibid.
143 Lihat Thomas Buckley and Alma Gottlies (Ed.), Blood Magic, the Antropology of Menstruation, Berkeley, Los Angeles, London: University ff California Press, 1988, h. 6-7. Lihat Pula PaulaWeidger, Menstrual and Menopause, The Physiology and Psychology, The Myth and Reality, New York: Alfred. A. Knoft., 1976, h. 85.
144 Kata kosmetic itu sendiri berasal dari bahasa Greek, cosmetikos yang arti dan konotasinya berhubungan erat dengan kata cosmos yaitu perihal keteraturan bumi. Juga berhubungan dengan kata cosmology, yang menunjuk kepada kajian astronomi tentang keserasian antara ruang dan waktu (space-time relationship) yang juga menjadi sasaran kajian metafisik. Istilah lain yang erat hubungannya kata tersebut ialah kata cosmogony yang berarti deskripsi tentang asal-usul alam semesta (description of the origin of the universe). Juga dengan kata cosmography berarti deskripsi tentang keserasian lmgkungan alam (description of the order of nature). Akan tetapi istilah "kosmetik" yang sekarang menjadi alat kecantikan wanita lebih dekat kepada kata cosmetikos tadi, berarti sesuatu yang harus diletakkan pada anggota badan wanita guna menjaga terpeliharanya keutuhan lingkungan alam. (Lihat Judi Grahn, Blood, Bread, and Roses, How Menstruation Created the World, Bostom: Beacon Press, 1993, h. 72-73).
145 Lihat ibid., h. 89-95.
146 Misalnya dalam Q., s. al-Ahzab/33:59 dan s. al-Nur/24:31.
147 Ada beberapa istilah yang semakna dengan jilbab (veil) dalam Kitab Tawrat, antara lain tif'eret. (Isaiah: 3:19-20). Diskursus mengenai jilbab dalam agama Yahudi pernah lebih seru dari pada yang belum lama ini diributkan dalam dunia Islam. Dalam Agama Yahudi pernah ditetapkan bahwa membuka jilbab (uncovered) dianggap sebagai suatu pelanggaran yang dapat berakibat jatuhnya talak karena hal tersebut dianggap suatu ketidaksetiaan terhadap suami. ...the woman going out in public pleaces with uncovered constituted legitimate cause for divorce, as through it were synonimous with unfaitfullness. Lihat Louis M. Epstein, Sex Laws and Customs in Judaism, New York: Ktav Publishing House, INC., 1967, h. 41.
148 Istilah yang sepadan dengan cadar atau kerudung dalam Bible ialah: redid zammah, re'alah, za'if, mitpahat. Lihat ibid. h. 37.
149 Ibid, h. 36.
150 Ibid.
151 Penggunaan kata "hood" dalam bahasa Inggris yang berarti "kerudung/cadar yang menutup bagian kepala sampai ke leher" dan kata hat berarti "topi" mempunyai kedekatan makna -dan boleh jadi berasal dari akar kata yang sama-- dengan kata hut berarti "bangunan sementara (temporary wooden house) bagi wanita yang sedang menstruasi. Secara etimologis makna kata hut berkonotasi negatif, karena bisa juga berarti bangunan yang jelek (the house of rude construction). Sama dengan kata "hood" selain berarti kerudung/cadar, juga berarti "penjahat" dan "buaya darat". Karena itu, penggunaan dua kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks yang negatif pula.
152 Judi Grahn, op. cit., h. 91-92.
153 Kata haydl adalah istilah khusus digunakan dalam al-Qur'an istilah ini tidak ditemukan dalam teks Tawrat dan Injil. Dalam Al-Munjid fi al-Lughah kata haydl, tanpa menjelaskan asal-usul dan padanannya, dari kata hadla-hadlan yang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis tertentu. Lihat Louis Ma'luf, Al-Munjid fi- al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1987, h.164. Hanya dalam Lisan al- Arab dikemukakan pendapat lain mengenai asal-usul kata tersebut. Menurut Al-Lihyani, Abu Sa'd, dan Abu Sukait, kata hadla dan hasha mempunyai arti yang sama yaitu "mengalir, menampal". Lihat Lisan al-Arab al-Muhith, Beirut: Dar Lisan al-'Arab, Juz 1, t.t., h.770. Hanya ada kesulitan kalau kedua kata itu diartikan sama, karena keduanya masing-masing mempunyai konteks penggunaan dalam al-Qur'an. Walaupun keduanya hanya disebutkan empat dan lima kali dalam bentuk mashdar dalam al-Qur an tetapi kata mahish lebih banyak berarti "jalan keluar" terhadap berbagai masalah, sedangkan mahidl dipakai dalam konteks darah haid.
154 Q., s. al-Thalaq/65:4 dan s. al-Baqarah/2:222.
155 Lihat Tafsir Al-Qur'an al-Azhim, Juz 1, h. 258.
156 Banyak lagi riwayat yang serupa disampaikan oleh isteri-isteri Nabi yang lain. Lihat ibid., h. 259-260.
157 Kata adzan menurut bahasa berarti sesuatu yang keji dan tidak diinginkan (ma yukrihu min kulli syay'), karena itu kata adzan dalam tafsir yang berbahasa Indonesia sering diartikan dengan penyakit dan juga sering pula dengan kotoran. Bahkan menurut Thabathaba'i darah haid itu sendiri bukan dzat ('ayn)-nya yang darurat melainkan sesuatu yang dari luar (dlarurah lighayrih) kemudian memberi nilai tersendiri, seperti firman Allah dalam s. al-Ahzab/33:57: "Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Maksudnya bukan menyakiti Allah dan Rasul-Nya secara fisik melainkan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula dalam ayat haydl tadi, bukan haydl-nya ansich yang adzan tetapi karena kedatangan darah haid itu setiap bulan dan membawa masalah bagi wanita. Lihat Thabathaba'i; Tafsir al-Mizan, Juz 2, h. 207.
158 Al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz h. 64.
159 Kata thaharah termasuk kata yang sering muncul dalam kitab suci terdahulu, seperti dalam kitab Taurat sering dihubungkan dengan mikvah/family purity yaitu melakukan mandi secara ritual dengan air yang telah diberkahi, biasanya pada petang hari ketujuh masa menstruasi. Lihat Lisa Aiken, ibid, h. 164-165. Makna thaharah tersebut mempunyai kemiripan fungsi dalam Islam, yaitu melakukan pembersihan sesudah melakukan persetubuhan atau seusai menjalani menstnrasi. Hanya dalam Tafsir al-Alusi memberikan komentar bahwa yang dimaksud bersih dari ayat tersebut ialah pembersihan secara hakiki, yakni melakukan pembersihan diri secara sempurna (al-thaharah al-kamilah) dengan mandi, maksudnya berhentinya haid tidak bisa dijadikan ukuran tetapi mandi wajib sesudah haid itulah yang dijadikan 'ibarah. Al-Alusi cenderung sependapat dengan 'Ashim yang membaca yaththahharna (dengan tasdiq) yang memfaedahkan upaya intensif untuk membersihkan diri. Lihat Tafsir al-Alusi, Juz 2.: h.123. Imam Syafi'i cukup dengan mandi seperti mandi janabah, yakni menbasahi seluruh anggota badan, sebagian ulama lain seperti 'Atha' dan Thawus berpendapat bahwa wanita pasca haid mesti mandi dan berwudlu. Lihat al-Razi dalam op. cit" h. 69.
160 Angka tujuh di sini semata-mata berdasar pada kebiasaan wanita bahwa umumnya mereka menjalani masa haid selama tujuh hari, tidak ada hubungannya sama sekali dengan angka tujuh seperti yang dianut dalam agama Yahudi. Ini bisa dilihat dalam diskursus empat imam madzhab: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, sama sekali tidak pernah ada yang menyinggung hubungan antara angka tujuh hari dengan penciptaan dan perilaku makrokosmos.
161 Lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, Juz 1, ...h.258.
162 Lihat Tafsir al-Nahr al-Mad, Juz 1, h. 216.
VI. Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya (1/2)
oleh Kautsar Azhari Noer
Ketua Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Jakarta,
Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
PADA suatu hari di penghujung 1970-an (saya tidak ingat lagi tahun berapa persisnya) di Direktorat Urusan Agama Hindu dan Buddha, Departemen Agama Republik Indonesia, yang pada waktu itu berlokasi di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, seorang pegawai Direktorat itu yang menganut Buddhisme dan saya sempat berdiskusi secara singkat sekitar konsep tentang Tuhan. Saya memulai diskusi itu dengan mengkritik ketidakjelasan konsep Buddhis tentang Tuhan. Saya mengatakan kepadanya bahwa konsep Buddhis tentang Tuhan tidak jelas. Buku-buku tentang Buddhisme, pada umumnya, tidak memuat uraian dan pembahasan tentang Tuhan. Siddharta Gautama tidak memberikan penjelasan dan doktrin tentang Tuhan. Penolakan Gautama terhadap pembicaraan tentang Tuhan telah "memiskinkan" Buddhisme dalam pembicaraan tentang Tuhan. Buddisme tidak mempunyai konsep yang jelas tentang Tuhan.
Pegawai yang cerdas itu berbalik mengkritik konsep Islam (atau orang-orang Muslim). tentang Tuhan. Ia mengatakan bahwa orang-orang Muslim membuat suatu kesalahan besar dalam memahami Tuhan. Kesalahan itu, menurutnya, terletak pada pemahaman dan kepercayaan orang-orang Muslim bahwa Tuhan adalah "begini" dan "begitu". Orang-orang Muslim mengatakan bahwa Tuhan mempunyai 20 sifat, atau mempunyai 99 nama. Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci, Pemberi bentuk, Pencipta, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan banyak lagi nama-nama atau sifat-sifat lain. Ini berarti bahwa orang-orang Muslim membuat konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan. Mereka mengungkapkan Tuhan yang tidak terbatas dengan kata-kata dan bahasa manusia yang terbatas.
Pegawai itu mengatakan bahwa Tuhan dalam konsep, ide, atau gagasan bukanlah Tuhan yang sebenarnya karena Tuhan yang sebenarnya di luar konsep, ide, atau gagasan. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan yang sebenarnya. Tuhan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa. Tuhan adalah misteri yang tidak dapat diketahui, tidak dapat dipahami, dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia. Karena itu, Tuhan tidak dapat dikatakan "begini" dan "begitu".
Mendengar kritiknya itu, saya terdiam karena saya tidak dapat membantahnya. Waktu itu saya memang masih menjadi mahasiswa S1 yang sedang merampungkan penulisan skripsi tentang konsep monoteisme dalam agama-agama besar (Yudaisme, Kristen, Islam, Hinduisme, dan Buddhisme), belum menjadi sarjana. Tetapi itu tidak boleh menjadi alasan. Pokoknya, saya tidak berkutik terhadap "pukulan keras" itu. Saya hanya dapat berharap agar saya dapat lebih banyak lagi mempelajari dan memahami persoalan yang saya diskusikan dengan orang itu.
Tulisan yang Anda baca ini ingin mendiskusikan kembali persoalan tersebut. Maka pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah; Sejauh mana manusia dapat mengetahui Tuhan yang transenden dan absolut itu? Bagaimana pengetahuan manusia yang benar tentang Tuhan? Jika Tuhan tidak dapat dinamai, dibicarakan, dan diungkapkan, bagaimana mungkin manusia dapat mengetahui dan berhubungan dengan-Nya?
A. Tuhan yang Diciptakan
Ibn al-'Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar, mengkritik orang yang memutlakkan, atau, jika boleh, "menuhankan", kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-'Arabi menyebut Tuhan yang dipercayai manusia
"Tuhan kepercayaan" (ilah al-mu'taqad), "Tuhan yang dipercayai" (al-ilah al-mu'taqad), "Tuhan dalam kepercayaan" (al-ilah fi al-i'tiqad), "Tuhan kepercayaan" (al-haqq al-i'tiqadi), "Tuhan yang dalam kepercayaan" (al-haqq al-ladzi fi al-mu'taqad), dan "Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan" (al-haqq al-makhluq fi al-i'tiqad).
Kata i'tiqad data mu'taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan "kepercayaan", berasal dari akar '-q-d, yang berarti merajut, membuhul, mengikat; mengikatkan dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan, menggabungkan, mengunci; mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan; mengarahkan, memusatkan; melengkungkan, melekukkan; bertemu, berkumpul; mengadakan pertemuan, mengadakan rapat, mengumpulkan; membuat perjanjian, mengikat kontrak. Kata i'tiqad sendiri, secara literal (harfiah) atau figuratif (majazi), berarti menjadi terikat atau tersusun dengan kuat. Maka i'tiqad, "kepercayaan", adalah suatu "ikatan" yang diikat dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah benar. Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah sebuah (peng)ikatan (binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek manusiawi.
Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan diwarnai oleh kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada "kesiapan partikular" (al-isti'dad al-juz'i) masing-masing individu hamba sebagai bentuk penampakan "kesiapan universal" (al-isti'dad al-kulli) atau "kesiapan azali" (al-isti'dad al-azali) yang telah ada sejak azali dalam "entitas-entitas permanen" (al-a'yan al-tsabitah), yang merupakan bentuk penampakan diri (tajalli) al-Haqq (yaitu Tuhan). Tuhan menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan kesiapan sang hamba untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya "diikat" atau "dibatasi" oleh dan dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang dicapainya. Dengan demikian, Tuhan yang diketahui oleh sang hamba adalah identik dengan Tuhan dalam kepercayaannya. Dapat pula dikatakan bahwa Tuhan yang diketahuinya adalah identik dengan kepercayaannya.
Tuhan memberikan kesiapan (al-isti'dad), sesuai dengan firman-Nya, "Dia memberi segala sesuatu ciptaannya" [Q. s.Thaha/20:50]. Maka Dia mengangkat hijab antara Dia dan hamba-Nya. Sang hamba melihat-Nya dalam bentuk kepercayaannya; jadi Tuhan adalah identik dengan kepercayaannya sendiri. Baik kalbu maupun mata tidak pernah melihat sesuatu kecuali bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan yang ada dalam kepercayaan itu adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh kalbu; itulah Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia dikenal. Maka mata tidak melihat selain Tuhan kepercayaan.163
"Tuhan kepercayaan" adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang "ditempatkan" oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan "diikat"-nya dalam dan dengan kepercayaannya. "Bentuk", "gambar", atau "wajah" Tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui diwarnai oleh apa yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-'Arabi berkata: "Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya" (Lawn al ma' lawn ina'ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits qudsi berkata: "Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku" (Ana 'inda zhann 'abdi bi).164 Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.
Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadits qudsi yang dikutip ini, yaitu: "Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku" (Fal-yazhunn bi khayran).
Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan melarang kita bersangka buruk tentang Dia.165 Kita harus menjadikan sangkaan kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh bersangka bahwa Tuhan adalah "pengawas yang selalu mencari kesalahan", "petugas keamanan yang kasar dan galak", atau "tuan besar yang bengis". Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong kita untuk mendekati dan mencintai-Nya agar kita mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w. berkata: "Rahmat Tuhan mendahului (mengalahkan) murka-Nya". Sangkaan buruk tentang Tuhan membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya berputus asa. Tuhan tidak menyenangi orang-orang yang berputus asa.
Kritik Ibn al-'Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengikatkan kita kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh dari Kolophon, Asia Kecil, ini berbunyi sebagai berikut:
Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.166
Sebagaimana dikatakan di atas, "Tuhan kepercayaan" adalah Tuhan ciptaan manusia. Barangsiapa yang memuji ciptaannya memuji dirinya sendiri. Ibn al-'Arabi berkata:
Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsinya. Dia adalah ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya adalah pujiannya kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia mencela kepercayaan orang lain. Jika ia menyadari [persoalan yang sebenarnya], tentu ia tidak akan berbuat demikian itu. Tidak diragukan bahwa pemilik obyek penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu karena penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh orang lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd, "Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya", ia akan memperkenankan apa yang dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan.167
Teori Ibn al-'Arabi tentang "Tuhan kepercayaan" didasarkan pula kepada sebuah hadits Nabi s.a.w. tentang penampakan diri Tuhan (tajalli al-haqq) pada hari kiamat.168 Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan diri-Nya kepada umat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa sebenarnya Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga, tidak lain.
Pandangan Ibn al-'Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi s.a.w. agar para sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Para sahabat mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena Tuhan berada di mana saja, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa "sangkaan" orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri pernah berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit" (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man fi al-sama'). Yang dimaksud dengan "siapayang di langit" dalam hadits ini adalah Tuhan. Tuhan berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah "Tuhan Langit" ("the Sky God"), "Tuhan Surgawi" [karena surga berada di langit] ("the Heavenly God"), atau "Wujud Tertinggi Samawi" ("the Celestial Supreme Being"). Langit adalah simbol ketinggian, keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan. Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang "laki-laki", atau, lebih tepatnya, disimbolkan dengan seorang "laki-laki". Tuhan dalam kepercayaan Islam, seperti Tuhan dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa ("He"), bukan Hiya ("She"). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu dipahami dengan kata-kata maskulin. (Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai "Tuhan Laki-Laki" seperti ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang Tuhan sebagai "Tuhan Perempuan"). Dengan demikian, Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang "person," seorang "pribadi". Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan agama-agama monoteistik atau teistik, termasuk Islam, adalah "personal", "berpribadi". Tuhan dalam arti ini bukan "impersonal", bukan "tak-berpribadi", dan, karena itu, Dia bukan "Itu" ("It").
Pengaruh kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan, terhadap "Tuhan kepercayaan", dibuktikan oleh sejarah agama agama. Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi adalah Tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak mereka; kawanan ternak itu hidup di padang rumput, dan pada gilirannya padang rumput tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah Tuhan tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi.169 Dalam kebudayaan patriarkal pastoral, biasanya bapa dan langit dijadikan sebagai simbol Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu dan bumi sering dijadikan sebagai simbol Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung kepada kebudayaan tipe pertama. Bukankah agama-agama Semitik, karena diturunkan dari langit, sering disebut "agama-agama samawi", "agama-agama langit?" Dalam ketiga agama ini, karena "Tuhan berada di langit", maka ungkapan-ungkapan simbolis, seperti "turun dari langit", "naik ke langit", dan "berada di langit", lazim digunakan untuk melukiskan peristiwa-peristiwa sakral dan pengalaman-pengalaman spritual.
Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol seperti langit, matahari, bulan, dan bumi. Kaum politeis tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol.
Di mata Ibn al-'Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-'Arabi ini, jika harus konsisten, tertuju kepada setiap orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain yang berbeda dengan kepercayaannya tentang Tuhan, baik dalam lingkungan orang-orang yang seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang berbeda agama.
Ibn al-'Arabi memperingatkan kita sebagai berikut:
Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) [yaitu kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan arah tertentu mana pun.170
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Inilah pengetahuan yang dimiliki oleh "para gnostik" (al- 'arifun). Karena itu, "para gnostik", yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam kepercayaan, sekte, aliran, atau agama apa pun. Ini berarti bahwa Tuhan, bagi mereka, dalam semua kepercayaan, sekte, aliran, atau agama, adalah satu dan sama. Kata Ibn al-'Arabi, "Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya."171
B. Tuhan Yang Sebenarnya
Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Tuhan dalam arti ini oleh Ibn al-'Arabi disebut "Tuhan Yang Sebenarnya", "the Real God" (al-ilah al-haqq) "Tuhan Yang Absolut", "the Absolute God" (al-ilah al-muthlaq); dan "Tuhan Yang Tidak Diketahui", "the Unknown God" (al-ilah al-majhul). Tuhan dalam arti ini adalah munazzah (tidak dapat dibandingkan [dengan alam], sama sekali berbeda dengan alam, transenden terhadap alam. "Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya" (Q., s. al-Syura/42:11). "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya, tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan" (Q., s. al-An'am/6: 103). Itulah Tuhan yang tidak bisa dipahami dan dihampiri secara absolut, yang sering disebut Dzat Tuhan. Itulah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya yang terlepas dari semua sifat dan relasi yang dapat dipahami manusia. Dia adalah "yang paling tidak tentu dari semua yang tidak tentu", "yang palingtidak diketahui dari semua yang tidak diketahui" (ankar al-nakirat). Dia adalah selama-lamanya suatu misteri, yang oleh Ibn al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" (al-ghayb al-muthlaq) atau "Misteri Yang Paling Suci" (al-ghayb al-aqdas). Dilihat dari sudut penampakan diri (tajalli) Tuhan, dikatakan bahwa Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya adalah pada tingkat "keesaan" (ahadiyah).
Karena Tuhan, yaitu Dzat Tuhan, tidak dapat diketahui oleh siapa pun, maka Nabi s.a.w. melarang orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Beliau bersabda: "Berpikirlah, tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Dzat Allah." Hadits ini cukup terkenal di kalangan orang-orang yang mempelajari ilmu tawhid. Larangan ini diperkuat oleh Ibn al-'Arabi dengan firman Tuhan yang berbunyi: "Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya" (Q., s. Alu 'Imran/3:28). Ibn al-'Arabi menegaskan sebagai berikut:
Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum dan daerah kekuasaan dalam [mengetahui, atau memahami] Zat al-Haqq, baik secara rasional maupun menurut Syara'. Syara' telah melarang berpikir tentang Zat Allah. Inilah yang disinggung oleh firman-Nya, "Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya," [Q., s. Alu 'Imran/3: 28] yaitu "Jangan kamu berpikir tentang-Nya [Zat-Nya)!" Larangan ini ditetapkan karena tidak ada hubungan antara Zat al-Haqq dan zat al-khalq.172
Dari segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Dzat itu bukanlah lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan, tetapi pintu [untuk mengetahui Zat Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain Allah, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.173
Ibn al-'Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir tentang Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan al-khawdl (melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia memandang bahwa upaya mereka itu adalah sia-sia.
Pandangan bahwa Tuhan tidak dapat diketahui ditemukan pula dalam Bibel. Salah satu bagian Kitab Suci ini mengatakan bahwa Tuhan, meskipun hadir dalam alam dan manusia, adalah misteri yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Ketika Nabi Musa berada di Gunung Sinai, ia melihat dan menyaksikan dalam semak-semak yang menyala (tetapi tidak dimakan api) Kehadiran Tuhan yang memerintahkannya untuk menghadapi Fir'awn dan membebaskan bangsa Israel dari raja yang zalim itu. Lalu, Musa bertanya kepada Tuhan tentang nama-Nya untuk mengetahui siapa diri-Nya, Tuhan menjawab:
"Ehyeh asyer Ehyeh" (Keluaran 3:14). Terjemahan yang biasa dari ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh adalah "Aku adalah Aku" ("I am that I am") atau "Aku akan jadi Aku" ("I will be that I will be"). Leo Schaya, seorang sarjana terkemuka tentang Kabbalisme (mistisisme Yahudi), menafsirkan bahwa Kehadiran Zat yang esa itu menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai Ehyeh, "Wujud ('Being') yang esa dan universal," sebagai "Wujud yang adalah Wujud" ("Being that is Being' (Ehyeh asyer Ehyeh), di luar dan di dalam seluruh eksistensi. Tetapi Ia juga menyatakan kepadanya [yaitu Musa] bahwa Ia bukan hanya Zat dan Prinsip eksistensi, tetapi secara serentak tetap dalam keadaan pada diri-Nya, dalam Supra-Wujud atau Bukan-Wujud Nya --yang dalam Kabbalah disebut Ain, "Ketiadaan" ilahi (the divine "Nothingness").174
Kaum Kabbalis, dalam keinginan besar mereka untuk menekankan ketakterpahaman (incomprehensibilty) Tuhan pergi begitu jauh sehingga mereka berbicara tentang Tuhan sebagai 'Ayn --"Dia Yang Bukanlah", "Dia Yang adalah Bukan" ("He Who is Not")-- yaitu untuk mengatakan bahwa sesungguhnya orang tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan ada [dan tentu pula sebaliknya tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak ada], karena mengatakan demikian adalah juga suatu deskripsi tentang yang tidak dapat dideskripsikan.175
Jawaban Tuhan tersebut, Ehyeh asyer Ehyeh, menunjukkan bahwa diri-Nya tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Musa diperingatkan oleh Tuhan agar tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.
Catatan kaki:
163 Ibn al-'Arabi, Fushush al-Hikam, diedit oleh Abu al-'Ali' Afifi, 2 bagian (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1980), 1:121.
164 Fushush, 1:225-226.
165 Ibn al-'Arabi, al-Futhuhat al-Makkiyah, 4 vol. (Beirut: Daral-Fikr, t.th.), 4:446.
166 H. Diels W. Kram, Die Fragmente der Vorsokratiker, Griechisch und Deutsch, 3 vol. (Berlin, 1934-1937), fr. 15-16. Kedua fragmen ini dikutip oleh K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius,1989), h. 40.
167 Fushush,1:226.
168 Lihat Muslim, al-Shahih, Kitab al-Imam, no. 302 (Kairo: Muhammad 'Ali Shabih,1334/1916), 1:114-117. Bandingkan dengan Ibn al-'Arabi, Futuhat, 1:314; 2:311; idem, Fushush, 1:184.
169 Raffaele Pettazzoni, "The Supreme Being: Phenomenological Structure and Historical Development," dalam Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa, eds.., The History of Religion: Essays in Methodology (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1959, Seventh Impression, 1974), h. 64-65; Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama (Jakarta: Leppenas,1982), h. 36-37; idem, Psikologi Agama: Bapa & Ibu sebagai Simbol Allah (Yogyakarta & Jakarta: Gunung Mulia & Kanisius,1983), h. 43-45.
170 Fushush,1:113.
171 Fushush, 1:121.
172 Futuhat, 2:30.
173 Futuhat, 2:69.
174 Leo Schaya, "Contemplation and Action in Judaism and Islam," dalam Yusuf Ibish and Ileana Marculescu, eds., Contemplation and Action in World Religions (Seattle and London: Rothko Chapel, 1978), h.165.
175 Rabbi Louis Jacobs, We Have Reason to Believe (London: Vallentine, Mitchell, 1965), h.14.
Yang diketahui oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan atau karya-karya Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan hanya bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui sebagai Dia pada diri-Nya. Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar memperlihatkan kemuliaanNya, Dia berfirman:
"Engkau tidak akan bisa memandang wajah-Ku, karena tidak ada orang yang bisa memandang wajah-Ku dan bisa hidup." Tuhan berfirman: "Ada suatu tempat dekat-Ku, tempat engkau dapat berdiri di atas batu. Apabila kemuliaanKu lewat, maka Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk batu itu dan Aku akan menutupi engkau dengan tangan-Ku sehingga Aku lewat. Lalu, Aku akan menarik tangan-Ku, dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak akan terlihat" (Keluaran 33:20-23).
Dalam Perjanjian Baru, tradisi mistis ini, meskipun tidak begitu tegas, mempunyai akar yang dapat tumbuh dengan subur dan kuat. St. Yohanes mengatakan: "Tidak seorang pun melihat Tuhan kapan saja" (Yohanes 1:18). Surat Paulus kepada Timotius membicarakan Tuhan "yang bersemayam dalam cahaya yang tak terhampiri. Tidak seorang pun pernah melihat-Nya; dan memang tidak seorang pun bisa pernah melihat-Nya" (1 Timotius 6:16). Ungkapan Paulus kepada Timotius ini, yang ditemukan menjelang akhir periode Perjanjian Baru dan menunjukkan pengaruh pemikiran Yunani, seperti dikatakan Bede Griffiths, menyatakan transendensi absolut Ketuhanan (Godhead). Ini telah dikembangkan oleh para bapa Yunani dalam konteks konsep tentang ketakterpahaman (incomprhensibility) Tuhan.176
Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan tentang Tuhan dikenal dalam, bahkan sangat akrab dengan, tradisi-tradisi keagamaan Timur, seperti Hinduisme dan Taoisme. Upanisad, Kitab Suci Hindu, mengatakan:
Dia yang tidak terlihat oleh mata, yang tidak terucapkan oleh lidah, dan yang tidak tertangkap oleh pikiran. Dia yang tidak kita ketahui, juga yang tidak mampu kita ajari. Berbedalah Dia dengan yang diketahui, dan berbedalah Dia dengan yang tidak diketahui. Demikian kita ketahui dari sang bijak. Yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata tetapi dengan-Nya lidah berbicara ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dipahami oleh pikiran tetapi dengan-Nya pikiran memahami --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dilihat oleh mata tetapi dengan-Nya mata melihat --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak didengar oleh telinga tetapi dengan-Nya telinga mendengar --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak ditarik oleh nafas tetapi dengan-Nya nafas ditarik --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Jika engkau mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik kebenaran Brahman, ketahuilah bahwa engkau mengetahui [hanya] sedikit. Apa yang anda kira sebagai Brahman pada diri anda, atau apa yang anda kira sebagai Brahman dalam tuhan-tuhan [atau dewa-dewa] --itu bukanlah Brahman" (Kena Upanisad).
Karena Brahman tidak dapat diungkapkan oleh apa pun dan selalu di luar kata-kata dan di luar pemikiran, maka Brihadaranyaka Upanisad mengatakan bahwa Brahman mustahil dibicarakan. Brahman adalah "bukan ini, bukan ini", "bukan ini, bukan itu" ("neti, neti"). Brahman tidak dapat dikatakan bagaimana, tidak bersifat ("nirguna"). Karena itu, Brahman pada tingkat ini disebut "nirguna Brahman". Pada tingkat ini Dia adalah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya.
Prolog Tao Te Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya dianggap ditulis oleh Lao-Tze, dibuka dengan kata-kata: "Tao yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang sebenarnya atau kekal. Nama-nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang sebenarnya atau kekal" (Tao Te Ching 1:1). Chuang-Tze, penulis Cina abad keempat SM, dengan nada yang sama mengatakan:
Tao Yang Agung tidak dinamai/dinamakan;
Diskriminasi-diskriminasi Yang Agung tidak dibicarakan;
Kemurahan Hati Yang Agung bukanlah murah hati;
Kerendahan Hati Yang Agung bukanlah rendah hati;
Keberanian Yang Agung bukanlah menyerang;
Jika Tao dijelaskan, itu bukanlah Tao.
(Chuang-Tze, Bab 2)
Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat diungkapkan dan dijelaskan dengan kata-kata; Ia adalah di luar bahasa. Itulah Tao yang sebenarnya, yang merupakan Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang Absolut itu oleh Laot-Tze disebut "Misteri di belakang segala misteri" ("hsuan chih yu hsuan") dan oleh Chuang-Tze disebut "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa", "No-No-Nothing", atau "Bukan-Bukan-Bukan-Wujud", "Non-Non-Non-Being" ("wu-wu-wu"). "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa" adalah Tao atau "Tiada-Apa-apa metafisis yang bukan suatu 'tiada-apa-apa' yang sederhana, tetapi suatu TiadaApa-apa yang berada di seberang 'wujud' dan 'bukan-wujud' sebagaimana biasanya dipahami".177 Yang Absolut dalam kebsolutan-Nya seperti ini dalam Sufisme Ibn al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" dan "Misteri Yang Paling Suci", dalam mistisisme Kristen disebut "Ketuhanan", dan dalam tradisi Hindu disebut "nirguna Brahman".
C. Teologi Apofatik
Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis yang selalu menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang transenden terhadap alam dan manusia adalah immanen dalam alam dan manusia? Menurut Thomas Merton (1915-1968), seorang teolog dan mistikus Katolik Roma berkebangsaan Amerika, para teolog mistis menghadapi persoalan ini sebagai persoalan "mengatakan apa yang sesungguhnya tidak dapat dikatakan" ("saying what cannot really be said").178 Persoalan ini dapat pula dideskripsikan dengan ungkapan-ungkapan paradoksikal lain, seperti membicarakan yang tidak dapat dibicarakan" ("speaking of the unspeakable"),179 "mengetahui Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui" ("knowing the Unknowable God"),180 "menamai yang tidak dapat dinamai," "menamakan apa yang tidak dapat dinamakan" ("naming the unnamable"),181 "mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan" ("expressing the inexpressible"),182 "memikirkan yang tidak dapat dipikirkan" ("thinking of the unthinkable"), "memahami yang tidak dapat dipahami" ("comprehending the incomprehensible"), "membayangkan yang tidak dapat dibayangkan" ("conceiving the unconceivable"), dan "melukiskan yang tidak dapat dilukiskan" ("describing the indescribable").
Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan suatu teologi yang disebut "teologi apofatik" ("apophatic theology"), teologi "tidak mengetahui" (the theology of "unknowing"), yang melukiskan pengalaman transenden tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu "mengetahui dengan tidak mengetahui" ("knowing by unknowing") dan suatu "melihat yang bukan melihat" ("seeing that is not seeing").183 Seorang mistikus dan penulis spiritual Inggris abad keempatbelas, penulis anonim The Cloud of Unknowing, adalah salah satu contoh terbaik wakil teologi apofatik karena kecenderungan teologinya itu menekankan bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan penegasian: "kita dapat mengetahui lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa yang adalah Dia" ("we can know much more about what God is not than about what He is").184 Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan menggunakan tema paradoksikal "mengetahui" dan "tidak mengetahui." Menjelang bagian akhir karyanya itu, ia menegaskan intisari pandangan apofatiknya dengan mengutip kata-kata Dionysius orang Areopagus (St. Denis), "Dan karena itu St. Denis berkata, 'Mengetahui yang paling saleh [paling tinggi] akan Tuhan adalah [mengetahui] yang dikenal dengan tidak mengetahui'" ("And therefore St. Denis said 'The most godly knowing of God is that which is known by unknowing'").185
William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah komentar yang menarik tentang tema paradoksikal ini. Ia berkata: "Kita mengetahui Tuhan, namun tidak mengetahui-Nya; kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui; kita mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan cinta".186 Bagi penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Meskipun jiwa manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan dengan pemahaman rasional, ia dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta. "Karena mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat dicintai dengan baik, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak".187 Menurut mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu dan segala gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya "getaran buta dari cinta" ("the blind stirring of love") yang menembus "awan tidak mengetahui", "awan ketidaktahuan" ("The Cloud of Unknowing"), yang membawa sang hamba kepada suatu pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan tertinggi.
Penulis The Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh Diosynisius orang Areopagus, yang menurut penelitian belakangan adalah seorang rahib Siria yang hidup pada ujung abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi. Dionysius memandang bahwa pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik dengan cara afirmatif maupun dengan cara negatif (meskipun yang terakhir ini ditekankannya karena ia menegaskan transendensi Tuhan), tidak memadai. Ia memilih pengetahuan mistis, yang menurut pandangannya lebih tinggi dari pengetahuan rasional yang diperoleh melalui spekulasi teologis dan filosofis dengan menggunakan akal. Pengetahuan mistis adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah dari Tuhan. Pengetahuan mistis seperti ini tidak ditemukan dalam buku-buku, tidak juga diperoleh dengan usaha manusia, karena ia adalah suatu pemberian ilahi. Bagaimana pun, manusia dapat mempersiapkan diri menerimanya dengan doa dan penyucian.
Karena indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai Tuhan, indera dan intelek harus "dikosongkan" dari semua makhluk dan disucikan supaya Tuhan dapat menuangkan cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek itu. Dalam arti ini, indera dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam hubungan dengan segala ciptaan tetapi pada saat yang sama dipenuhi dengan cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa "Kegelapan Ilahi" (the "Divine Darkness') adalah cahaya yang tidak dapat dihampiri yang dikatakan di dalamnya Tuhan bersemayam". Ketika semua daya dikosongkan dari semua pengetahuan manusiawi, maka berkuasalah dalam jiwa suatu "keheningan mistik" ("mystic silence") yang membawanya kepada klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan visi tentang Dia sebagai Dia pada diri-Nya".188 Pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang berlangsung dengan "tidak mengetahui" ("unknowing") atau "ketidaktahuan" ("ignorance"), yang berarti bahwa sang hamba harus mencampakkan pengetahuan konsepsual manusiawi untuk menerima pengetahuan anugerah ilahi.
Bagi Dionysius, satu-satunya jalan mengetahui Tuhan adalah dengan "tidak mengetahui", dengan menyeberang di luar konsep, di luar pikiran rasional dan dengan menerima suatu sinar "kegelapan ilahi". Mistikus ini menyerukan agar sang pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi, imaginasi, dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala sesuatu yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju Tuhan, agar sang pencari memasuki "kegelapan ilahi" yang melebihi segala sesuatu dan "mengetahui dengan tidak mengetahui".
Teologi apofatik Dionysius ini menjadi dasar mistisisme apofatik Kristen di kemudian hari. Pengaruh mistikus ini dapat ditemukan, misalnya, pada Maximus Sang "Confessor", Yohanes Scotus Erigena, Thomas Aquinas, Bonaventura, Dante, dan Penulis The Cloud of Unknowing.
Bagaimana tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan teologis yang rumit ini? Kaum Kabbalis, seperti dikemukan di atas, memandang bahwa Tuhan adalah rahasia yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Namun, roh manusia, atau wujud rohani manusia, mampu membenamkan dirinya dalam jurang yang dalam sekali tanpa alas dari "Ketiadaan" ilahi. Ketika Musa melihat Kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, ia mencapai pengalaman rohani seperti itu; "ketika ia naik selangkah demi selangkah sehingga masuk ke dalam kegelapan awan Tuhan".189 Ketika itu Musa menutup matanya kepada semua pengetahuan positif, menyingkirkan semua pikiran dan penglihatan, karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak terjangkau oleh pikiran dan penglihatan, sehingga ia bersatu dengan Dia yang tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan. Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut bittul ha-yesy, "kemusnahan eksistensi" dalam Ain, "Ketiadaan" ilahi, yang berarti kemusnahan pikiran manusiawi dan "kontemplasi tentang Ketiadaan"190 Pengalaman spiritual seperti itu tidak dapat diperoleh melalui pikiran, tetapi diperoleh melalui pertolongan Tuhan. Agar pertolongan itu diperoleh, seseorang harus memusnahkan pikiran dan pada saat yang sama harus melakukan kontemplasi tentang Ketiadaan.
Bahasa apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan dalam Upanisad. Suatu bagian Kitab Suci ini berbunyi: "Orang yang dengan benar mengetahui Brahman adalah orang yang mengetahui-Nya sebagai di luar pengetahuan; orang yang mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui, tetapi orang bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan" (Kena). Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah pengetahuan negatif: "mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya."
Menurut Ibn al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan "peniadaan pengetahuan". Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya; pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia berkata: "Orang yang tidak mempunyai pengetahuan membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul", karena "pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil". "Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui".191
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a., Ibn al-'Arabi berkata: "Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi" ["Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan"] (Al-'ajz 'an dark al-idrak idrak).192 Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman: "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya [yaitu Tuhan], tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan" (Q., s: al-An'am/6:103)?
D. Catatan Akhir
Teologi apofatik menegaskan kemustahilan pengetahuan manusia tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya, Tuhan yang sebenarnya. Pengetahuan yang benar dan tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak mengetahui" atau "ketidaktahuan" karena Tuhan di luar jangkauan pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia. Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh dengan pikiran, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan doa dan penyucian. Seperti disebut di atas, penulis The Cloud of Unknowing mengatakan bahwa Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Tuhan dapat dihampiri dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak. Tuhan bukan untuk dipikirkan dengan akal, tetapi untuk dicintai dan "dirasakan" dengan Kalbu (qalb).
Semua orang yang percaya kepada Tuhan tentu saja ingin mencintai Tuhan. Cinta seorang hamba kepada Tuhan pasti dibalas. Tuhan mencintai hamba yang mencintai-Nya. Jika sang hamba mencintai Tuhan, ia harus mengikuti Tuhan dan panutan yang diutus-Nya. Tuhan berfirman: "Katakanlah: 'Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, nicaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah adalah Maha Pengampun dan Maya Penyayang." (Q. s. Alu 'Imran/3:31). "Aku menunjukkan cinta-Ku kepada beribu-ribu generasi, yaitu orang-orang yang mencintai-Ku dan mematuhi hukum-hukum-Ku." (Keluaran 20:6). Yesus menyerukan: "Jika kamu menuruti perintah-perintahku, kamu akan tetap dalam cintaku, seperti aku menuruti perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam cinta-Nya" (Yohanes 15:10).
Cinta vertikal antara sang hamba dan Tuhannya tidak akan terwujud jika tidak disertai dengan cinta horisontal antara sang hamba dan sesamanya. Seperti disebutkan di atas, Nabi berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit". Pada kesempatan lain beliau berkata: "Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri". Yesus membenarkan perkataan seorang ahli Taurat: "Cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu sendiri." (Lukas 10: 27).
Teologi apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah suatu cara berpikir atau aktivitas mental yang digunakan oleh banyak mistikus atau Sufi untuk menempuh perjalanan menuju Tuhan dan sekaligus untuk menyuarakan protes keras terhadap kelancangan dan keangkuhan para teolog dan para filsuf yang menganggap bahwa mereka mempunyai konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya. Teologi apofatik adalah peringatan bagi orang yang mereduksi Tuhan menjadi sesuatu yang rasional belaka. Teologi apofatik menunjukkan bahwa orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan dengan "kotak" akalnya. Ia menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran "kotak" akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Ia telah mempertuhankan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-'Arabi, adalah "hamba nalar" ('abd nazhar), bukan "hamba Rabb" ('abd rabb).
Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi 'l-shawab.
Catatan kaki:
176 Bede Griffiths, A New Vision of Reality (Springfield, Illinois: Templegate,1990), h. 163-164.
177 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosiphical Concepts (Los Angeles: University of California Press, 1983), 376, 379; idem, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), h. 48-49.
178 Thomas Merton, "Foreword," dalam William Johnston, The Mysticism of The Cloud of Unknowing (Wheathampstead Hertfordshire, England: Anthony Clarke, 1978), h. viii.
179 Leszek Kolakowski, Religion (New York & Oxford: Oxford University Press, 1982), h. 161-206; James P. Carse, The Silence of God: Meditations on Prayer (New York: Macmillan, 1985), h. 9.
180 David B, Burrell, Knowing the Unknowable God: Ibn-Sina, Maimonides, Aquinas (Notre Dame, Indiana University of Notre Dame Press, 1986).
181 Samuel Rayan, "Naming the Unnamable," dalam Robert P. Scharlemann, ed., Naming God (New York: Paragon House, 1985), h. 3-28.
182 Martin Palmer, The Elements of Taoism (Brisbane Queensland: Element, 1993), h. 3; James P. Carse, The Silence of God, h. 9.
183 Thomas Merton, loc. cit. Kata "apofatik" ("apophatic") digunakan oleh Dionysius yang membicarakan "teologi negatif," sebagai lawan "teologi positif".
184 W. Johnston, op.cit., h.1.
185 The Cloud of Unknowing, edited by Justin McCann (London: Burns and Oates, Ltd., 1952), 125:11.
186 W. Johnston, op.cit, h.17.
187 The Cloud of Unknowing, 26;3.
188 W. Johnston, op.cit, h. 33-34.
189 Leo Schaya, op.cit, h.166.
190 Ibid.
191 Futuhat, 2:552.
192 Futuhat, 2:619; 3:132.
VII. Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan
oleh Jalaluddin Rakhmat
Ketua Yayasan Muthahari, Bandung
ALKISAH, seorang Arab Badawi bermaksud menjual sekarung gandum ke pasar. Berulangkali ia mencoba meletakkan karung itu di atas punggung unta; dan berulangkah ia gagal. Ketika ia hampir putus asa, terkilas pada pikirannya pemecahan yang sederhana. Ia mengambil satu karung lagi dan mengisinya dengan pasir. Ia merasa lega, ketika kedua karung itu bergantung dengan seimbang pada kendaraannya. Segera ia berangkat ke pasar.
Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang asing yang berpakaian compang-camping dan berkaki telanjang. Ia diajak oleh orang asing itu untuk berhenti sejenak, beristirahat, dan berbincang-bincang. Sebentar saja, orang Badawi itu menyadari bahwa yang mengajaknya berbincang itu orang yang banyak pengetahuan. Ia sangat terkesan karenanya. Tiba-tiba, orang asing itu menyaksikan dua buah karung bergantung pada punggung unta.
"Bapak, katakan apa yang bapak angkut itu; kelihatan sangat berat", tanya orang asing itu. "Salah satu karung itu berisi gandum yang akan saya jual ke pasar. Satu lagi karung berisi pasir untuk menyeimbangkan keduanya pada punggung unta", jawab orang Badawi. Sambil tertawa, orang pintar itu memberi nasehat, "Mengapa tidak ambil setengah dari karung yang satu dan memindahkannya ke karung yang lain. Dengan begitu, unta menanggung beban yang ringan dan ia dapat berjalan lebih cepat."
Orang Badawi takjub. Ia tidak pernah berpikir secerdik itu. Tetapi sejenak kemudian, ketakjubannya berubah menjadi kebingungan. Ia berkata, "Anda memang pintar. Tapi dengan segala kepintaran ini mengapa Anda bergelandangan seperti ini, tidak punya pekerjaan dan bahkan tidak punya sepatu. Mestinya kepandaian Anda yang dapat mengubah tembaga menjadi emas akan memberikan kekayaan kepada Anda."
Orang asing itu menarik nafas panjang, "Jangankan sepatu, hari ini pun saya tidak punya uang sepeser pun untuk makan malam saya. Setiap hari, saya berjalan dengan kaki telanjang untuk mengemis sekerat atau dua kerat roti."
"Lalu apa yang Anda peroleh dengan seluruh kepandaian dan kecerdikan Anda itu."
"Dari semua pelajaran dan pemikiran, aku hanya memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa. Percayalah, semuanya itu hanya bencana bagiku, bukan keberuntungan."
Orang Badawi itu berdiri, melepaskan tali unta, dan bersiap-siap untuk pergi. Kepada filsuf yang kelaparan di pinggir jalan, ia memberi nasehat, "Hai, orang yang tersesat. Menjauhlah dariku, karena aku kuatir kemalanganmu akan menular kepadaku. Bawalah semua kepandaianmu itu sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya dengan ilmumu itu kamu ambil suatu jalan, aku akan mengambil jalan yang lain. Sekarung gandum dan sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi itu lebih baik daripada kecerdikan yang sia-sia. Anda boleh jadi pandai, tetapi kepandaian Anda itu hanya kutukan; saya boleh jadi bodoh, tapi kebodohan saya mendatangkan berkat, karena walaupun saya tidak cerdik, tetapi hati saya dipenuhi rahmat-Nya dan jiwa saya berbakti kepada-Nya."
Kisah Jalal al-Din Rumi, yang saya ceritakan kembali dengan bahasa saya itu, merupakan kritik halus kepada para filsuf yang berusaha mengetahui Tuhan dengan akalnya. Moral cerita ini ditutup dengan kuplet-kuplet berikut:
Jika kau ingin derita
benar-benar hilang dari hidupmu
Berjuanglah untuk melepaskan
'kebijakan' dari kepalamu
Kebijakan yang lahir dari tabiat insani
tak menarik kamu lebih dari khayalan
Karena kebijakan itu tidak diberkati
yang mengalir dari cahaya kemuliaan-Nya
Pengetahuan tentang dunia
hanya memberikan dugaan dan keraguan
Pengetahuan tentang Dia, kebijakan ruhani sejati
membuatmu naik keatas duniawi
Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan
semua pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati
dalam kecerdikan dan permainan bahasa
Raja sejati adalah dia
yang menguasai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya
Menguasai dunia dan dirinya
Rumi menunjukkan bahwa dengan intelek kita tidak akan memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Intelek mempunyai kemampuan terbatas; dan karena itu, tidak akan mampu mencerap Tuhan yang tidak terbatas. Sekiranya intelek mencoba memahami Tuhan, ia akan memberikan batasan kepada-Nya. Tuhan para pemikir adalah Tuhan yang didefinisikan.
Rumi mewakili para sufi yang ingin mengetahui Tuhan melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak ingin mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan dan kontroversi. Melalui mujahadah dan 'amal, kita dapat menyaksikan Tuhan dengan penuh keyakinan.
Dalam Matsnawi, Daftar-e Sevon, Bait 1267, Rumi menyingkatkan pengetahuan hasil pemikiran: Az nazar keh guftesyan syud mukhtalef, an yeki dalesy laqb dad in alef. Karena pemikiran ucapan mereka bertentangan, kata yang satu dal kata yang satu alif. Seperti Kucing Schroedinger dalam fisika, pengamat menciptakan realitas. Tuhan menjadi hasil konstruksi manusia. Tuhan dapat muncul dalam berbagai "bentuk" sesuai dengan siapa yang memahami-Nya.
Seperti Rumi, Ibn 'Arabi menunjukkan kekeliruan pengetahuan tentang Tuhan yang dilakukan oleh para filsuf dan ahli ilmu kalam. Pemikiran tidak mungkin mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan; malahan pemikiran seperti itu hanya menghasilkan tipuan, khayalan, dan pertentangan. Ia menulis:
Pengetahuan ahli ilmu kalam dan filsuf berkenaan dengan esensi Tuhan bukanlah cahaya. Tidak ada satu madzhab pun yang tidak punya para pendukungnya. Mereka sendiri tidak sepakat, tetapi mereka tetap juga digambarkan sebagai kaum Mu'tazilah atau Asy'ariyah, seperti itu juga pada filsuf dalam ajaran mereka tentang Tuhan dan apa yang harus dipercayainya. Mereka belum sepakat di antara mereka tetapi setiap kelompok mempunyai status dan nama ... Kita melihat nabi dan rasul yang terdahulu dan yang kemudian sejak Adam sampai Muhammad, termasuk yang datang di antara mereka 'alayhim al-salam; mereka tidak pernah berikhtilaf dalam akar keimanan mereka pada Tuhan ... Jadi, berpegang-teguhlah kepada keimanan dan lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu dan ingat Tuhanmu pada waktu pagi dan sore (Q., s. alA'raf/7:205) dengan zikir yang ditetapkan syari'at kepadamu baik dengan mengulangi la ilaha illa Allah (tahlil) atau tasbih dan takutlah kepada Tuhan. Jika al-Haqq berkehendak untuk memberikan kepadamu apa yang Dia mginkan berupa pengetahuan tentang Dia, hadirkan akalmu dan hatimu (lubb) apa yang Dia berikan dan anugerahkan kepadamu berupa pengetahuan tentang Dia. Sesungguhnya inilah pengetahuan yang bermanfaat dan cahaya yang dengan itu hatimu hidup, dan berjalan bersamamu di dunia ini. Dengannya kamu selamat dari kegelapan syubhat dan keraguan yang terjadi pada pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikiran (afkar) ... Saya sudah membimbingmu, saudara, bagaimana mencapai jalan pengetahuan yang bermanfaat. Jadi, bila kamu sudah merintis jalan yang lurus, ketahuilah bahwa Tuhan sudah membimbing tanganmu, memeliharamu, dan telah mempersiapkan kamu untuk diri-Nya.
Pada tempat lain, Ibn 'Arabi menulis:
Di antara berbagai kelompok, tidak ada seorang pun yang lebih tinggi dari orang yang memperoleh pengetahuan melalui taqwa. Taqwa terletak pada tingkat pencapaian pengetahuan yang paling tinggi. Ia saja yang memiliki keputusan yang pasti. Otoritasnya berada di atas setiap keputusan yang ada dan di atas setiap orang yang membuat keputusan. Ia adalah qadli yang terbaik. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh pada tingkat permulaan. Karena itu, hanya orang yang berilmu di antara orang yang beriman yang dipilih untuk memperolehnya: yakni, mereka yang tahu bahwa ada Seseorang untuk kembali, dan menyaksikan-Nya dapat diraih. Jika mereka jahil dari pengetahuan ini, aspirasinya (himmah) akan sangat lemah sehingga sekiranya al-Haqq menampakkan diri-Nya (tajalli) kepada mereka, mereka akan menafikan-Nya dan menolak-Nya, karena pandangan mereka dibatasi (muqayyad) oleh sesuatu. Selama faktor pembatas itu tidak ada pada waktu penampakan diri-Nya (tajalli), mereka pasti akan menolak bahwa itu Tuhan, sekalipun Tuhan berbicara kepada mereka secara langsung atau mereka mendengar ucapan bahwa Dia itu Tuhan. Karena tidak memperoleh ilham dan karena pemikiran rasional mereka meyakinkan mereka bahwa tidak mungkin siapa pun dapat melihat al-Haqq --seperti para filsuf dan kaum Mu'tazilah-- bahkan sekiranya kita mengetahui-Nya, mereka niscaya menolak-Nya dalam penampakan-Nya kepada mereka. Diperlukan bagi orang beriman agar cahaya imannya membawanya kepada apa yang telah membawa Musa a.s. ketika ia bertanya: Ya Tuhanku, tampakkan diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-Mu (Q., s. al-A'raf/7:143).
Apa yang dikritik Ibn 'Arabi dan para sufi lainnya bukan intelek dalam pengertian akal, tetapi salah satu di antara fakultas (quwwah) dibawah kekuasaan akal. Kekuatan itu disebut daya pikir (quwwah mufakkirah). Tidak mungkin kita mengulas epistemologi Ibn 'Arabi di sini, baik karena keterbatasan waktu maupun karena sudah adanya tulisan orang lain yang lebih lengkap. Tetapi secara singkat bisa kita katakan, bahwa Ibn 'Arabi menyatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan hanya dapat diperoleh bila intelek dihadapkan kepada hati dan mengambil pelajaran dari hati.
Sekali intelek diyakinkan tentang perlunya mengambil pelajaran dari hati, manusia memulai kelahiran baru dalam perjalanan panjangnya. Ia akan beristirahat di tempat tinggalnya, berhenti di daerah-daerah pedesaan, merasakan situasi baru setiap saat, menunggu dengan penuh gairah apa yang bakal datang, tetapi ia tidak akan pernah sampai, karena pengetahuan tidak punya akhir dan tidak ada batasnya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui hati adalah pengetahuan yang sejati. Pengetahuan ini tidak didasarkan pada pendefinisian Tuhan, tetapi pada penyaksian Tuhan. Dalam istilah al-Qur'an, pengetahuan ini disebut pertemuan (liqa'). Bersama Ibn 'Arabi, al-Ghazali, al-Nasafi, dan tokoh-tokoh sufi lain sepanjang zaman kita diberi petunjuk bagaimana sampai kepada Pertemuan Agung ini.
Sebelum saya mengakhiri makalah ini dengan petunjuk Ibn'Arabi dalam Risalah al Anwar fi ma Yumnah al-Khalkwah min al-Asrar, saya tergoda untuk mengutip al-Syaykh Ahmad Rifa'i al-Husayni, tokoh sufi yang hidup pada abad keenam Hijriyah:
Kebanyakan orang mengetahui Tuhan melalui berita tentang Tawhid yang dibawa dari Nabi Muhammad s.a.w. Mereka membenarkannya dengan hati, mengamalkannya dengan tubuh, tetapi mengotori diri mereka dengan dosa dan maksiat. Maka hiduplah mereka di dunia dalam kebodohan dan kekurangan. Mereka berada dalam bahaya besar kecuali yang disayangi oleh Yang Pengasih dari segala yang mengasihi.
Lebih tinggi dari itu, ada sekelompok manusia yang mengenal Tuhan dengan pembuktian. Mereka adalah ahli pikir, nalar, dan akal. Mereka meyakini tawhid berdasarkan dalil, ayat-ayat, dan tanda-tanda ketuhanan. Mereka mengetahui yang gaib atas dasar yang konkret. Mereka meyakini kebenaran dalil. Mereka berada pada jalan yang benar, hanya saja, mereka terhalang tirai dari Allah Ta'ala dengan perhatian mereka kepada dalil-dalil mereka.
Ahli ma'rifat khusus mengetahuinya dengan keyakinan yang paling utama. Mereka tenteram dalam pengetahuan mereka. Tidak merisaukan mereka dalil. Tidak memalingkan mereka sebab. Dalil mereka Rasulullah s.a.w. Iman mereka al-Qur'an. Cahaya mereka menerangi di hadapan mereka.
Barangsiapa yang mengenal Allah Ta'ala berdasarkan berita maka ia seperti saudara-saudara Yusuf ketika mengetahui rupanya tapi tidak menyadarinya, sehingga mereka dipermalukan di hadapannya, ketika mereka berkata: jika ia mencuri maka sesunggulmya saudaranya telah mencuri pula sebelum itu (Q., s. Yusuf/12:77).
Barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan dalil maka ia seperti Ya'qub a.s. ketika tahu bahwa Yusuf masih hidup, sehingga bertambah-tambah tangisan dan penderitaannya, sehingga ditanggungnya berbagai bala sampai putih matanya karena kesedihan, karena tahu bahwa Yusuf masih hidup dan karena rindu untuk berjumpa dengannya. Ia berkata: Pergilah selidiki keadaan Yusuf, aku sudah mencium bau Yusuf. Karena ucapannya itu, orang-orang yang tidak tahu berkata; Demi Allah sesungguhnya engkau dalam kesesatanmu yang terdahulu (Q.,s.Yusuf/12:59). Mereka berkata: Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-arang yang celaka (Q., s. Yusuf/12:85).
Perumpamaan orang yang mengenal Tuhan melalui Tuhan adalah seperti Bunyamin yang diambil Yusuf untuk dirinya. Yusuf berkata: "Saudaraku, apakah kamu ingin menyaksikanku atau kembali kepada bapakmu?" Ia berkata: "Aku ingin menyaksikanmu". Yusuf berkata: "Jika kamu menginginkan aku, bersabarlah atas ujianku". Ia berkata: "Aku siap, karena engkau akan kupikul segala bencana asalkan aku tinggal bersamamu dan tidak berpisah denganmu". Kemudian Yusuf mengeluarkan gandum dari kantong Bunyamin dan menuduh saudaranya mencuri. Seluruh penduduk kola mengecam dan mengejek Bunyamin. Saudara-saudaranya mempersalahkannya. Tetapi ia sendiri bergembira, tertawa dalam kesendiriannya. Ia tidak takut pada ejekan orang-orang yang mengejek. Inilah perumpamaan ahli yaqin dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan.
Minggu, 01 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk