Selasa, 04 Mei 2010
அகசி மேன்செர்டச்கன் NUSANTARA
AKSI MENCERDASKAN NUSANTARA
Oleh : Agus Riza Hisfani (Ketua (Rumah Cerdas Nusantara) RCN)
A. Rendahnya Kemampuan Baca
Kemampuan membaca (Reading Literacy) anak-anak Indonesia sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam kawasan ASEAN sekali pun. International Association for Evaluation of Educational (IEA) pada tahun 1992 dalam sebuah studi kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia, menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30.
Data di atas relevan dengan hasil studi dari Vincent Greannary yang dikutip oleh Worl Bank dalam sebuah Laporan Pendidikan “Education in Indonesia From Cricis to Recovery“ tahun 1998. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI Sekolah Dasar kita hanya mampu meraih kedudukan paling akhir dengan nilai 51,7 setelah Filipina yang memperoleh nilai 52,6 dan Thailand dengan nilai 65,1 serta Singapura dengan nilai 74,0 dan Hongkong yang memperoleh nilai 75.5
Buruknya kemampuan membaca anak-anak kita sebagaimana data di atas berdampak pada kekurangmampuan mereka dalam penguasan bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in International Mathematies and Science Study (TIMSS) dalam tahun 2003 pada 50 negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan bidang matematika dengan nilai 411 di bawah nilai rata-rata internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan mereka hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata internasioal 474. Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka telah berhasil menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang matematika yang memperoleh nilai 508 di atas nilai rata-rata internasional. Dan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka menduduki peringkat ke 20 dengan nilai 510 di atas nilai rata-rata internasional. Dengan demikian tampak jelas bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh ketinggalan di bawah negara-negara berkembang lainnya.
United Nations Development Programme (UNDP) menjadikan angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) sebagai suatu barometer dalam mengukur kualitas suatu bangsa. Tinggi rendahnya angka buta huruf akan menentukan pula tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index – HDI) bangsa itu.
Berdasarkan laporan UNDP tahun 2003 dalam “Human Development Report 2003” bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks – HDI) berdasarkan angka buta huruf menunjukkan bahwa “pembangunan manusia di Indonesia“ menempati urutan yang ke 112 dari 174 negara di dunia yang dievaluasi. Sedangkan Vietnam menempati urutan ke 109, padahal negara itu baru saja keluar dari konflik politik yang cukup besar. Namun negara mereka lebih yakin bahwa dengan “membangun manusianya“ sebagai prioritas terdepan, akan mampu mengejar ketinggalan yang selama ini mereka alami.
Melihat beberapa hasil studi di atas dan laporan United Nations Development Programme (UNDP) maka dapat diambil kesimpulan (hipotesis) bahwa “ kekurangmampuan anak-anak kita dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia adalah akibat membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa. Oleh sebab itu membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita. Mengingat membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut H.A.R Tilaar (1999 : 381) maka untuk mengubah perilaku masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat kita. Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari “politicaal will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah berkisar sekitar 15 – 25 tahun.
B. Ancaman (Threats) Era Globalisasi
Apabila rendahnya minat dan kemampuan membaca masyarakat kita sebagaimana terwakili oleh anak-anak dalam beberapa penelitian di atas dibiarkan sampai pada suatu saat tetap status quo maka dalam persaingan global kita akan selalu ketinggalan dengan sesama negara berkembang, apalagi dengan negara-negara maju lainnya. Kita tidak akan mampu mengatasi segala persoalan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya selama SDM kita tidak kompetitif, karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, akibat lemahnya kemauan dan kemampuan membaca.
Pengalaman pahit telah menerpa bangsa kita pada pertengahan tahun dalam bulan Juli 1997. Akibat krisis moneter yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Kawasan Asia Timur maka ekonomi kita telah tercabik-cabik.
Perkelanaan krisis ekonomi kita terlalu panjang waktunya bila dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara dan kawasan Asia Timur. Korea Selatan, Thailand, Malaysia dan Singapura, mampu mengatasi krisis ekonomi bangsanya relatif dalam waktu pendek hanya sekitar 2 – 3 tahun saja. Mereka telah mempunyai SDM yang kompetitif, unggul, kreatif, siap menghadapi segala bentuk perubahan sosial, ekonomi, politik, budaya dan lainnya. Mereka telah siap jauh-jauh waktu sebelum diberlakukanya perdagangan bebas kawasan ASEAN tahun 2003 yaitu Asean Free Trade Area (AFTA) atau perdagangan bebas dalam kawasan Asia Pasifik yaitu Asia Pacific Ekonomic Cooperation (APEC) yang akan dimulai pada tahun 2020 mendatang. Kesiapan SDM Unggul itulah sebagai kunci kemampuan suatu bangsa dalam menghadapi segala bentuk tantangan baik dari dalam maupun dari luar.
Kehidupan abad 21 ini menurut H.A.R Tillar (1999 : 55) adalah menuntut manusia unggul dan hasil karya yang unggul pula. Keunggulan dimaksud adalah keunggulan partisipatoris, artinya manusia unggul yang selalu ikut serta secara aktif di dalam persaingan yang sehat untuk mencari dan mendapatkan yang terbaik dari yang baik. Keunggulan partisipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi individual yang akan digunakan di dalam kehidupan yang penuh persaingan yang semakin lama semakin tajam dan akan menjadi kejam bagi manusia yang tidak mau bekerja keras dan belajar keras. Suatu upaya untuk mendukung perwujudan manusia unggul, maka kita harus mengadakan perubahan sikap dan perilaku budaya dari tidak suka membaca menjadi masyarakat membaca (reading society). Karena membaca menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca kita akan melangkah menuju masyarakat belajar (learning society). Prinsip belajar dalam abad 21 menurut UNESCO (1996) harus didasarkan pada empat pilar yaitu : 1) learning to thing – belajar berpikir ; 2) learning to do ---- belajar berbuat ; 3) learning to be --- belajar untuk tetap hidup, dan 4) learning to live together ---- yaitu belajar hidup bersama antar bangsa. Berangkat dari terwujudnya masyarakat belajar (learning society) maka akan mencapai bangsa yang cerdas (educated nation) sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat Madani (Civil Society) Bal Dhatun Tayyibatun Wa Rabbun Ghafuur.
C. Lemahnya Sarana dan Prasarana Pendidikan
Salah satu faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak kita tergolong rendah karena sarana dan prasarana pendidikan khususnya perpustakaan dengan buku-bukunya belum mendapat prioritas dalam penyelenggaraannya. Sedangkan kegiatan membaca membutuhkan adanya buku-buku yang cukup dan bermutu serta eksistensi perpustakaan dalam menunjang proses pembelajaran.
Faktor lain yang menghambat kegiatan anak-anak untuk mau membaca adalah kurikulum yang tidak secara tegas mencantumkan kegiatan membaca dalam suatu bahan kajian, serta para tenaga kependidikan baik sebagai guru, dosen maupun para pustakawan yang tidak memberikan motivasi pada anak-anak peserta didik bahwa membaca itu penting untuk menambah ilmu pengetahuan, melatih berfikir kritis, menganalisis persoalan, dan sebagainya.
1. Perpustakaan dan Buku
Di hampir semua sekolah pada semua jenis dan jenjang pendidikan, kondisi perpustakaannya masih belum memenuhi standar sarana dan prasarana pendidikan. Perpustakaan sekolah belum sepenuhnya berfungsi. Jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan, serta peralatan dan tenaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Padahal perpustakaan sekolah merupakan sumber membaca dan sumber belajar sepanjang hayat yang sangat vital dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Buku-buku bermutu yang menyangkut isi, bahasa, pengarang, lay-out atau penyajiannya yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan kecerdasan seseorang akan dapat “merangsang berahi membaca” orang tersebut. Demikian pula kalau buku-buku dalam semua jenisnya tersebar luas secara merata ke berbagai lapisan masyarakat, mudah didapat dimana-mana, serta harganya dapat dijangkau oleh semua tingkatan sosial ekonomi masyarakat, maka kegiatan membaca akan tumbuh dengan sendirinya. Pada akhirnya akan tercipta sebuah kondisi “masyarakat konsumen membaca” yang akan mengkonsumsi buku-buku setiap hari sebagai kebutuhan pokok dalam hidup keseharian.
Perluasan jangkauan layanan perpustakaan baik melalui perpustakaan menetap atau perpustakaan mobil keliling di pusat-pusat kegiatan masyarakat desa, RW/RT secara merata dan berkesinambungan akan dapat menjadikan masyarakat membaca (reading society). Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar luas, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat.
2. Sistem Pendidikan Nasional dan Kurikulum
Sistem Pendidikan Nasional yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diharapkan dapat memberikan arah agar tujuan pendidikan di tanah air semakin jelas dalam mengembangkan kemampuan potensi anak bangsa agar terwujudnya SDM yang kompetitif dalam era globalisasi, sehingga bangsa Indonesia tidak selalu ketinggalan dalam kecerdasan intelektual. Oleh sebab itu penyelenggaraan pendidikan harus memenuhi beberapa prinsip antara lain :
a) sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
b) Mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
Kedua prinsip di atas harus saling bergayut. Artinya dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat, harus diisi dengan kegiatan pengembangan budaya membaca, menulis dan berhitung.
Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi khususnya dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia harus memuat kegiatan pengembangan budaya membaca dan menulis dengan alokasi waktu yang cukup memberi kesempatan banyak untuk membaca.
Demikian pula dalam bahan kajian seni dan budaya, cakupan kegiatan menulis harus jelas dan berimbang dengan kegiatan menggambar/melukis, menyanyi dan menari.
Kegiatan membaca dan menulis tidak saja menjadi prioritas dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia dan Bahan Kajian Seni dan Budaya, tetapi hendaknya juga secara implicit harus tercantum dalam Bahan-bahan Kajian lainnya.
3. Paradigma Tenaga Kependidikan
Guru, dosen maupun para pustakawan sekolah sebagai tenaga kependidikan, harus merubah mekanisme proses pembelajaran menuju “membaca” sebagai suatu sistem belajar sepanjang hayat.
Setiap guru, dosen dalam semua bahan kajian harus dapat memainkan perannya sebagai motivator agar para peserta didik bergairah untuk banyak membaca buku-buku penunjang kurikulum pada bahan kajian masing-masing. Misalnya dengan memberi tugas-tugas rumah setiap kali selesai pertemuan dalam proses pembelajaran. Dengan sistem reading drill secara kontinu maka membaca akan menjadi kebiasaan peserta didik dalam belajar.
Pustakawan pada perpustakaan sekolah yang didukung oleh para guru kelas sedapat mungkin harus dapat menciptakan “kemauan” para peserta didik untuk banyak membaca dan meminjam buku-buku di perpustakaan. Sistem promosi perpustakaan harus diadakan dan diprioritaskan secara kontinu agar perpustakaan dikenal apa fungsi, arti, kegunaan dan fasilitas yang dapat diberikannya. Tanpa promosi perpustakaan yang gencar, mustahil orang akan mengenal dan tertarik untuk datang ke perpustakaan.
III. UPAYA PEMBUDAYAAN MEMBACA
A. Diskusi dan Seminar
Sejak saya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Perpustakaaan Negara Banjarmasin tanggal 1 Agustus 1972 sudah terjadi hiruk-pikuk penyelenggaraan seminar, diskusi, simposium, lokakarya, dan beberapa istilah lainnya, baik di pusat maupun di daerah-daerah yang membicarakan tentang rendahnya minat baca masyarakat kita. Saya pun jadi ikut-ikutan latah dengan menyelenggarakan Seminar Minat Baca Generasi Muda Kotamadya Banjarmasin pada September 1973, bekerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Banjarmasin dan Dewan Mahasiswa Universitas Lambung – Mangkurat serta IAIN Antasari dalam rangka Pembentukan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Daerah Kalimantan Selatan.
Bila kita amati dari satu seminar ke seminar lainnya seakan-akan kita berada dalam lingkaran setan, dimana masalah minat baca sepertinya tidak berujung pangkal dan sulit untuk mencari penyelesaiannya. Semua masalah selalu menghadapi jalan buntu, oleh sebab itu forum seminar hanya sebatas mengumbar idea, wawasan, keluh kesah, konsep, dan setelah itu panitia penyelenggara maupun pemakalah tidur lelap tanpa menindak lanjuti keputusan atau konsep yang telah diambil. Besok-besok diselenggarakan lagi seminar dengan tema yang sama yaitu masalah minat baca yang rendah. Hingga saat ini sudah 33 (tiga puluh tiga) tahun saya menjadi pegawai perpustakaan, namun masalah minat baca, perpustakaan, buku, sistem pendidikan, kurikulum, dan sebagainya seolah-olah tidak dapat diselesaikan oleh siapa pun karena masalahnya dianggap terlalu rumit dan saling kait-berkait. Dengan demikian timbul pertanyaan, benarkah masalah minat baca begitu ruwet dan tidak bisa diselesaikan di negara kita ini. Ataukah solusi penyelesaiannya yang tidak menyentuh akar permasalahan.
B. Pembentukan Beberapa Organisasi
Salah satu upaya pengentasan rendahnya minat baca masyarakat, beberapa kelompok profesi membentuk organisasi seprofesi dengan salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan minat baca sesuai dengan bidang masing-masing. Misalnya para penerbit buku mendirikan organisasi Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), para tokoh buku mendirikan Gabungan Toko Buku Seluruh Indonesia (GATSBI), para pustakawan mendirikan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), kelompok perpustakaan mendirikan Klub Perpustakaan Indonesia (KPI), para pencita buku mendirikan Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca (PMGM), kelompok peduli minat baca mendirikan Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB), Rumah Cerdas Nusantara (RCN), kelompok-kelompok lainnya mendirikan berbagai organisasi. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), Yayasan-yayasan membaca dan buku serta berbagai organisasi lainnya, telah menebar kegiatan-kegiatan dalam upaya meningkatkan minat baca.
Organisasi-organisasi, yayasan LSM dan lain-lain tersebut kenyataannya juga tidak mampu mengungkit minat baca (meminjam istilah H.A. Tilaar) masyarakat lebih banyak lagi. Kegiatan-kegiatan mereka hanya berputar-putar dalam seminar-seminar, mendirikan kelompok-kelompok baca secara terbatas pada suatu tempat, belum dapat mengangkat dan menyelesaikan persoalannya secara nasional dan bersinambungan. Kalau kita boleh menghitung-hitung biaya yang telah dikeluarkan oleh panitia maupun peserta seminar dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan secara sendiri-sendiri itu barangkali kita sudah dapat mendirikan sebuah perpustakaan megah di ibukota negara Republik ini.
IV. MEWUJUDKAN LEMBAGA NASIONAL PEMBUDAYAAN MEMBACA
Banyak pengalaman dari berbagai pihak dalam upaya “pengentasan rendahnya minat baca sejak tiga empat puluh tahun yang lalu hingga kini, baik melalui seminar-seminar, pembentukan organisasi-organisasi, namun hasilnya begitu-begitu saja. Saya beranggapan bahwa upaya untuk pengentasan rendahnya minat baca masyarakat tidak akan membuahkan hasil optimal bilamana dilaksanakan secara sendiri-sendiri, terpisah-pisah dan terpotong-potong. Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama, Perpustakaan Nasional dan lembaga-lembaga lain-lainnya tentu tidak akan dapat banyak diharapkan untuk mengatasi hal ini. Kegiatan mereka terlalu sarat dengan program-program rutinitas, yang tidak banyak menyentuh secara langsung soal-soal minat baca. Oleh sebab itu pembentukan sebuah Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca atau apapun namanya adalah suatu “solution to a problem“ dalam pengentasan rendahnya minat baca masyarakat kita.
Lembaga tersebut merupakan sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan bersifat independen. Artinya tidak di bawah kordinasi departemen apa pun, meski dalam perencanaan dan operasional tetap berkoordinasi dengan departemen-departemen atau lembaga terkait lainnya karena tersangkut dengan sekolah, sistem pendidikan, kurikulum, perpustakaan, masyarakat dan lain sebagainya.
Dalam Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca itu didalamnya terdapat para pakar seperti pakar pendidikan, pakar perpustakaan, pakar pemeritahan dan kemasyarakatan, pakar peneliti, pakar psikologi dan sosiologi dan lain-lain yang ada hubungan dengan masalah pembudayaan masyarakat membaca.
Tugas-tugas para pakar meliputi kegiatan memikirkan, merencanakan, merumuskan kegiatan-kegatan operasional, mengkoordinasikan serta memantau dan mengevaluasi hasil-hasil pelaksanaan kegiatan pembudayaan masyarakat membaca. Misalnya dalam hubungannya dengan murid-murid sekolah maka bagaimana sistim pendidikan nasional berbasis membaca dan belajar mandiri dirancang, bagaimana kurikulum sekolah dalam semua jenis dan jenjang pendidikan dari SD, SLTP, SLTA hingga ke perguruan tinggi yang memuat wajib baca dan wajib ke perpustakaan. Bagaimana program penyelenggaraan perpustakaan di sekolah dan perguruan tinggi desa, kota, kabupaten, propinsi, rumah-rumah ibadah, instansi pemerintah dll.
Bagaimana program perbukuan, pengarang, penerbit, toko buku dan sebagainya. Dalam hal pengentasan buta huruf misalnya bagaimana kelanjutannya setelah mereka melek huruf, ke mana harus disalurkan. Gerakan membaca nasional dilaksanakan melalui program apa saja yang berlangsung secara kontinuitas dalam semua lapisan masyarakat.
Struktur organisasi kelembagaan diusulkan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia. Konsepsi organisasi kelembagaan terdiri dari para pakar dari beberapa bidang seperti : Pakar Perpustakaan dan para senioritasnya, Pakar Pendidikan, Pakar Psikologi Anak dan Perkembangannya, Pakar Sosiologi, Pakar Peneliti dan Studi Perbandingan Tokoh-Tokoh Perbukuan, tokoh-tokoh organisasi-organisasi seperti : Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB), Gabungan Toko Buku Seluruh Indonesia (GATSBI), Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan lain-lain. Para tokoh masyarakat serta pakar yang ada hubungannya pengembangan minat baca masyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk