sektor

RCN

Kamis, 01 Januari 2009

Pelopor Kajian Filsafat Indonesia:

A)M. Nasroen
B)Sunoto
C)R. Parmono
D)Jakob Sumardjo

M. Nasroen
M. Nasroen (1907-1968) adalah seorang pelopor kajian Filsafat Indonesia. Puncak karirnya ialah ketika ia menjabat sebagai Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia. Karyanya yang membahas langsung Filsafat Indonesia ialah Falsafah Indonesia (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967), yang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dikategorikan sebagai ‘buku langka’ dengan Nomor Panggil (Shelf Number) 181.16 NAS f.

Dalam karyanya itu, Nasroen menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu Filsafat khas yang ‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan (hal.14, 24, 25, 33, dan 38).

Bukunya yang hanya setebal 90 halaman itu, sayangnya, hanya memberikan garis besar, penjelasan umum yang tidak detil, dan masih membutuhkan penjabaran dan penjelasan yang lebih luas. Kekurangannya itu kelak disempurnakan oleh generasi pengkaji Filsafat Indonesia berikutnya.

Bukunya yang lain, Dasar Falsafah Adat Minangkabau (Jakarta: Bulan Bintang, 1957), sering dikutip oleh pengkaji feminisme baik di Indonesia maupun di Barat sebagai karya yang membahas konsep matriarki secara genial. Peggy Reeves Sanday, seorang etnografer Minangkabau yang juga aktivis Feminisme senang mengutip karya M. Nasroen ini dalam tulisannya Matriarchy as a Socio-Cultural Form

Sunoto
Soenoto (EYD: Sunoto; lahir pada tahun 1929) merupakan pengkaji Filsafat Indonesia generasi kedua di era 1980-an. Pendidikan kefilsafatan pertama kali diperoleh dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta (Sarjana dan Magister Ilmu Sosial dan Politik), lalu Vrije Universiteit Amsterdam (Doktor Ilmu Sosial dan Politik). Jabatan yang pernah dipegang ialah Dosen Tetap UGM (sejak 1958), Dekan Fakultas Filsafat UGM (1967-1979), Peneliti Filsafat Pancasila di Dephankam, Ketua Survei Pengamalan Pancasila di UGM dan Depdagri RI. Karya-karyanya yang langsung berhubungan dengan kajian Filsafat Indonesia ialah: Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981), Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983), dan Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa sebelum Proklamasi Kemerdekaan (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1987).

Dalam ketiga karyanya itu Sunoto menyempurnakan karya rintisan Nasroen dengan menelusuri tradisi kefilsafatan Jawa dan memberikan penjabaran yang amat detil tentang tradisi itu. Tentu saja, walaupun karya ini berhasil menyempurnakan Nasroen, tetapi tetap saja masih memiliki kekurangan, sesuatu yang sangat diakui Sunoto sendiri. R. Parmono, salah seorang dosen UGM pula, akan menyempurnakan kekurangannya tadi.



R. Parmono
R. Parmono (lahir pada tahun 1952), adalah salah seorang pelopor Filsafat Indonesia. R. Parmono menempuh jenjang pendidikan kefilsafatan di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta (Sarjana Filsafat), lalu setelah lulus pada 1976, beliau meneruskan pendidikan di Program Pasca-Sarjana Jurusan Filsafat Indonesia di UGM pula. Setelah memperoleh gelar Magister, ia diterima sebagai Dosen Filsafat di UGM, bahkan pernah menjadi Sekretaris Jurusan (Sekjur) pada Jurusan Filsafat Indonesia yang dirintisnya bersama-sama dengan Sunoto. Selain mengajar di UGM, beliau juga salah seorang anggota Peneliti Filsafat Pancasila (1975-1979) di Dephankam. Karya-karyanya yang membahas Filsafat Indonesia ialah: Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), Penelitian Pustaka: Beberapa Cabang Filsafat di dalam Serat Wedhatama (1982/1983), dan Penelitian Pustaka: Gambaran Manusia Seutuhnya di dalam Serat Wedhatama (1983/1984).

Dalam Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, R. Parmono menyempurnakan kekurangan kajian Sunoto yang mengkaji sebatas tradisi kefilsafatan Jawa dengan melebarkan lingkup kajian pada tradisi filsafat Batak, Minang, dan Bugis. Dalam buku itu pula Parmono mencoba mendefinisi-ulang istilah ‘Filsafat Indonesia’, sebagai ‘…pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah…’ (hal. iii). Jadi, Filsafat Indonesia berarti segala filsafat yang ditemukan dalam adat dan budaya etnik Indonesia. Definisi ini juga dianut oleh pelopor yang lain, Jakob Sumardjo.

Jakobus Sumardjo
Jakobus Sumardjo (lahir di Klaten pada tahun 1939) adalah salah seorang pelopor kajian Filsafat Indonesia.
Karir kefilsafatannya dimulai ketika ia menulis kolom di harian KOMPAS, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Pembaruan dan majalah Prisma, Basis, dan Horison sejak tahun 1969. Sejak tahun 1962 mengajar di Fakultas Seni Rupa Daerah di Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung dalam mata kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah Teater, daan Sosiologi Seni. Buku-bukunya yang khusus membahas Filsafat Indonesia ialah: Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN: 979-9440-29-7), dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).

Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik, pakaian, tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno, dan lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’.

Definisinya tentang Filsafat Indonesia sama dengan pendahulu-pendahulunya, yakni, ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, artinya ‘…filsafat [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…’ (Mencari Sukma Indonesia, hal. 116).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masuk