sektor

RCN

Jumat, 26 Maret 2010

ISLAM RAHMAT AL-ALAMIN; Embrio yang Gagal Lahir

Oleh Agus Riza Hisfani

A.Universal dan Kosmopolitan Islam
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tawhid), etika (akhlaq, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat dimuka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kedlaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas. Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri. Keterbukaan yang membuat kaum Muslim selama sekian abad menyerap segala macam menifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi antara peradaban-peradaban yang dikenal itu, waktu itu di kawasan "Dunia Islam" waktu itu, yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Kisah kedua wajah Islam itu, universalisme ajaran dan kosmopolitanisme peradaban akan disajikan pada kesempatan ini.
Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan social dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup (Worldview, Weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial. 1
Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kedhaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah ummat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia. Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah "orang besar", walaupun sasarannya selalu "orang kecil". Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun masyarakat. Justru toleransilah yang melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagal dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak nyata dari tilikan aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan. 2
Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran, kelompok supra-keluarga senantiasa mencoba menghilangkan, atau setidak-tidaknya mempersempit, ruang gerak individu warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan kebenaran masing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita, dan dalam proses itu membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Disamping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalu proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan kemasyrakatan terkecil yang bernama keluarga. Di lingkungan sangat kecil itulah individu dapat mengembangkan pilihan-pilihannya tanpa gangguan, sementara kohesi social masih terjaga karena keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya secara umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar.
Jaminan dasar akan keselamatan harta-benda (al-milk, property) merupakan sarana bagi berkembanguya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Batas paling praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah pemilikan harta-benda oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau cara yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat. Sejarah ummat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta-benda inilah yang menjadi penentu kreativitas warga masyarakat, berarti kesediaan melakukan transformasi itulah warga masyarakat memperlihatkan wajah universal kehidupannya?
Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum kehidupan masyarakat, karena pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat, yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri. Ini berarti keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antara hak-hak individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi situasional yang serba eksistensial sebagai wadah untuk menguji kebenaran keyakinan dalam rangkaian kejadian yang tidak terputus-putus: bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut pandangan keimanan saya, padahal diharuskan oleh profesi saya? Rasanya tidak ada yang lebih universal dari pencarian jawaban akan wujud kebenaran dalam rangkaian kejadian seperti disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu.
Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun, kesemua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik (atau mungkin bahkan hanya moralistik belaka) yang tidak berfungsi, juga tidak didukung oleh kosmopolititanisme peradaban Islam. Watak cosmopolitan dari peradaban Islam itu telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad s.a.w mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis Muslim awal (seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijri, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa Hellenisme hingga peradaban anak benua India.
Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Kalau ditelusuri dengan cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama sejarah Islam, akan tampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh kaum Muslim waktu itu. Kalaupun hal itu dianggap sebagai kemelut kehidupan beragama kaum Muslim, karena tidak adanya konsensus atas hal-hal dasar, maka harus juga dibaca dengan cara lain bahwa pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka, karena mampu saling berdialog secara demikian bebas. Kebebasan kaum Mu'tazilah untuk mempertanyakan kebenaran ajaran sentral bahwa al-Qur'an turun dalam bentuk huruf dan bahasa yang sekarang dikenal (bahasa Arab, huruf Hija'iyyah) dan menganggap Kitab Suci kaum Muslim tersebut diturunkan hanya secara maknawi belaka, sesuatu yang sekarang tentunya dianggap sikap seorang murtad dari agama Islam, adalah dari pertanda kuatnya watak kosmopolitan dari peradaban Islam waktu itu. Pertanyaan bagaimanapun gilanya mendapatkan peluang untuk diutarakan dengan bebas. Dalam situasi seperti itu tokoh tidak ada bahaya apapun bagi Islam, karena proses dialog serba dialektik akan memunculkan koreksi budayanya sendiri, yang dalam kasus Mu'tazilah mengambil bentuk koreksi al-Asy'ari, al-Maturidi dan al-Baqillani yang berujung pada ilmu kalam skolastik dari kaum Sunni. Koreksi itupun memperlihatkan watak kosmopolitan, karena ia tidak muncul sebagai hardikan atau tuntutan ilegal-yuridis, melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil sikap mengadili atau menghakimi.3 Baru ketika kemapanan masyarakat Islam mengambil tindakan melarang perdebatan ilmiah sajalah, sambil memproklamasikan ajaran-ajaran al-Asy'ari dan kawan-kawan sebagai kebenaran ajaran Islam, watak cosmopolitan dari peradaban Islam mulai terputus dengan sendirinya. 4
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normative kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim). Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka. Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan hak dan derajat diantara sesama warga masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan secara konkrit dalam bentuk kemasyarakatan faktual? Jarak yang demikian sempit antara kebebasan berfikir disatu pihak dan imperatif norma-norma ajaran agama memerlukan upaya luar biasa dari para pemikir, budayawan dan negarawan untuk menjaga jarak antara keduanya, agar tidak saling menghimpit. Ketegangan intelektual (intellectual tension) yang mewarnai situasi seperti itu akan memotori kosmopolitanisme yang menjadi keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran Islam secara keseluruhan.
Dalam semangat seperti itulah para zahid (kaum asketik) Muslim dahulu mengembangkan peradaban Islam. Imam Hasan al-Basri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga adalah ilmuwan di bidang bahasa. Imam al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang dengan kesalehannya yang luar biasa, ternyata adalah peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya agung beliau, Qamus al-A'ain, yang sepenuhnya menggunakan pembagian ilmu pengetahuan melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi'I mujtahid di bidang hukum agama (fiqh), justru menundukkan proses pengambilan hukum agama (istinbat al-ahkam) kepada sejumlah kaidah metodologis tertentu, bukannya hanya sekedar menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi belaka. Kelahiran usul fiqh sebagai teori hukum, sebenarnya merupakan proses kreatif yang dapat mempertemukan antara kebutuhan masa dan norma ajaran agama, namun sangat disayangkan ia akhirnya menjadi alat yang dipergunakan oleh para penganut fiqh secara tidak kreatif dan dengan sendirinya berubah fungsi menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan mematikan kreativitas.

B.Personalitas dan monolistik Islam
Islam; memiliki cita-cita besar (Rahmat al-Alam) yang kemudian melahirkan teori demokrasi, meskipun teori tersebut hanya mengambil makna dari kata rahmat dengan menanggalkan kata Islam dan al-Alam, dimana kedua kata tersebut merupakan kerangka pemikiran hukum Islam bagi muslim di Negara manapun. Eksistensi hukum Islam di Indonesia memiliki akar genealogis yang sangat panjang, yaitu saat pertama kali masuk ke-Nusantara, dari sinilah kita bisa menemukan sejauhmana implikasi watak eksklusif Hukum Islam, meskipun banyak tokoh (baik dalam maupun luar Negeri) masih bersitegang mengenai tahun berapa Islam pertamakali masuk di Nusantara. Namun terlepas dari polemic yang berkepanjangan tersebut, tidak berlebihan kalau kita melihat teori Alwi Shihab5 dan tokoh Pemikiran Islam yang lain,6 bahwa kedatangan Islam ke-Nusantara memiliki tiga teori.
Pertama Teori yang dikembangkan oleh Fatimi bahwa, Islam datang pertama kali di Nusantara dari Benggali (Bangladesh), karena tokoh terkemuka di Pasai adalah oran Benggali atau keturunannya. Islam pertama kali muncul di Semenanjung Malaya adalah dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (malak), yaitu melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu serta adanya kesamaan doktrin ajaran (madzhab) Islam di Semenanjung fengan Islam di Phanrang. Kedua Islam masuk ke-Nusantar pada abad I H./VII M., berasal dari Arab (Hadramaut) ke-Pesisir Aceh. Meskipun banyak tokoh yang meragukan teori ini, karena hanya didasarkan pada keinginan emosional para sejarawan Islam yang ingin memastikan bahwa Islam yang ada di Nusantara adalah otentik dan asli, bukan peripheral atau sinkretis. Meskipun terlihat gagap untuk memberi kontitum, teori ini didukung oleh Naquib al-Attas, Hamka, A. Hasjim, M. Yunus Jamil serta Niemann, DE Holander, Keyzen, Crawfurt dan Vetsh yang tercatat sebagai sejarawan asing. Ketiga Islam pertama dibawah oleh keturunan anak Benua India, bukan dari Arab dan Persia yang dikaitkan denga Malabar dan Gujarat. Menurut Teori ini, setelah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’I berimigrasi dan menetap di India, mereka kemudian membawa Islam ke-Nusantara. Para muslim Deccan inilah yang pertama membawa islam dan kemudian diteruskan oleh para Sayyid dan Syarif yang menyelesaikan proses konversi agama pada abad XII M., mereka telah mentransplantasi dan menghadirkan sentuhan harmonis dari unsure budaya local kedalam ajaran Islam hingga menjadikan ajarannya sinergis dengan tradisi yang dianut oleh masyarakat. Teori ini digagas oleh sarjana-sarjana Belanda seperti Pijnappel, G. W. J. Drewes dan Snouck Hurgronje.
Saat jatuhnya Bagdad pada 1258 M. fenomena sufisme menjadi gerakan massal di dunia Islam. Tarekat dan persaudaraan sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin. Secara sirkumtansial keadaan Bagdad tersebut membentuk karakteristik Islam Indonesia dengan corak sufi, dimana watak intelektualis-filosofis redup di dalamnya, wacana intelektual Islam lebih menampakkan nuansa sufistik-sinkretik. Keadan yang tidak menguntungkan ini diperparah dengan kenyataan bahwa Islam pertama yang hadir di Indonesia adalah Islam yang berada pada anti klimaks sejarah peradaban dunia Islam dan adanya slogan bahwa pintu ijtihad sudah dinyatakan tertutup (insidad bab ijtihad) oleh gelombang arus sejarah. Secara otomatis, situasi stagnasi pemikiran dan taklid yang manjadi trade mark dunia Islam saat itu, sangat mempengaruhi nuansa stagnasi pemikiran ke-Islam-an di Indonesia hingga sekarang. Islam di Indonesia secara langsung menjadi soft copy momentum dan kemampuan yag adekuat untuk mengembangkan diri secara mandiri dalam segala bidang, terutama bidang hukum Islam. Uforia mistisisme Ghazalian, yaitu suatu tradisi yang lebih mendahulukan asketisme dan menafikan masalah-masalah duniawi. Begitu kuatnya pengaruh dari tradisi ini, menjadikan pemikiran-pemikiran hukum Islam terjebak dalam pararelisme epistemology tasawuf. Perubahan dari tasawuf ke syari’at baru mendapatkan tempat ketika terjadinya pembaharuan Islam dengan ditandai dengan munculnya gerakan Paderi (diilhami dari semangat Wahabi Makah) pada abad XVI M., gerakan tarekat Naqsabandiyah pada akhir abad XIX., dan adanya gerakan-gerakan modernis yang muncul pada abad XX M., seperti Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persis yag mengumandangkan perlunya kembali ke al-Qur’an dan hadits sebagai rujukan ajaran Islam.
Namun, gerakan tersebut masih memberikan porsi domain pemikiran tasawuf. Hal ini secara sederhana bisa dilihat dengan adanya bukti bahwa mainstream keberagaman umat Islam masih berada dalam jalur orientasi tasawuf. Titik tolak kehidupan yang cenderung bersifat teologis dan tasawuf oriented menjadi tidak sebanding dengan diksi-diksi ilmiah yang ditawarkan hukum Islam (fiqh). Bisa dibayangkan bahwa kreativitas dan improvisasi pemikiran hukum Islam akan menjadi mental dan tereliminir oleh kuat dan mengkristalnya memori tradisi tersebut secara luas di tubuh ummat Islam. Keadaan ini diperkuat oleh masuknya madzhab Syafi’I yang banyak diikuti oleh mayoritas ummat Islam di Indonesia. Eksistensi mandzab Syafi’i sebagai sintesis ahl ar-ra’yu dan ahl al-hadits dengan sifatnya yang adoptif, adaptif dan kompromis, dalam banyak hal bisa dikatakan selaras dengan orientasi pemikiran tasawuf, dimana keseimbangan pemikiran tasawuf dan fiqh hanya tercapai pada titik mungkin, wajar, dan batas yag paling vulgar, yakni karena adanya kesaman dan kedekatan antara tasawuf dengan madzhab Syafi’I yang memungkinkan keduanya bertemu dalam titik kepentingan dan pengembangan. Akan terlihat kontras ketika implikasi madzhab fiqh pertama yang berkembang di Indonesia adalah madzhab Maliki, Hambali, Hanafi ataupun Syi’ah, sebab madzhab-madzhab ini memiliki cara pandang dan baca yang berbeda ats fenomena tasawuf. Meskipun prakonsepsi ini masih memerlukan bukti-bukti pendukung yang lebih konkrit dan disertai penelitian tersendiri dalam ruang gerakan hukum Islam di Indonesia.
Tasawuf sebagai manivesto kerangka hukum Islam tidak dapat di hindari lagi, hingga dikemudian hari tasawuf menjadi kerangka berfikir setiap ajaran Islam, termasuk hukum Islam. Polarisasi dua karakteristik epistemology tasawuf dan fiqh ini menjadi baku ketika madzhab Syafi’I masuk ke-Indonesia pada abad XII dan XIII M. Boleh dibilang, tidak ada karya yang otentik dan original dari para pemikir (ulama’) di Indonesia, yang disebabkan situasi yang kurang menguntungkan dari proses, waktu, dan karakter Islam pertama di Indonesia. Meskipun hukum Islam di Indonesia memiliki wajah partisipatif (rekayasa sosial), counter discourse, emansipatoris, dan pembebasan. Namun, nuansa dan perspektif baru tersebut merupakan anotasi dari karya lama secara nasab dan ditambahi dengan realitas social-politik yang bergumul dalam kehidupan tokoh. Pada abad sebelum XX M., pemikir Islam pertama banyak lahir dari daerah dimana datangnya Islam pertama di Nusantara. Melalui kebijakan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah dan ultan sesudahnya yang sangat antusias mendatangkan para ulama’ yang bermadzhab Syafi’I dalam memperkaya pemikiran Islam terutama dalam bidang hukum. Corak hukum Islam yang dilahirkan oleh pemikir sebelum abad XX M. adalah tonggak para pembaharu pemikiran hukum Islam hingga sekarang yang banyak dipengaruhi oleh madzhab Syafi’I dan tasawuf.
Hamzah Fansuri, dan Syamsuddin as-Sumatrani adalah tokoh yang memiliki pengaruh yang kuat lewat karya tulisnya, baik dalam bahasa Arab maupun melayu. Dibawah pengaruh dan dominasi Intelektual kedua tokoh ini, dimana Syamsuddin as-Sumatrani menduduki posisi sebagai mufti dan penasehat sultan. Masa ini disebut tradisi tasawuf falsafi, memiliki murid dan pengikut yang sangat luas dengan pemahaman tasawuf Panteisme.7 Namun, sepeninggal dua tokoh ini, tradisi beralih kepada tasawuf Suni.8 Seiring dengan naiknya Sultan Iskandar II sebagai penguasa, Nuruddin ar-Raniri (w. 1068 H./ 1658 M.) yang kemudian juga diangkat menjadi mufti kerajaan. Usaha yang paling menonjol dari seorang Nuruddin ar-Raniri adalah pembantaian faham dan pengikut tasawuf Panteisme (wujudi/ atheis/ wihdat al-wujud) dengan menghukumi sesat penganutnya dan membakar karya Hamzah Fansuri, dan Syamsuddin as-Sumatrani. Tarekat Qodiriyah, Rifa’iyah dan Audarusiyah adalah tarekat yang diwajibkan, keadaan ini menjadikan pemikiran hukum islamnya bernuansa sufistik, dan sebaliknya, pemikiran tasawufnya berhaluan fiqh dengan tujuan harmonisasi syari’ah dan tasawuf dalam ajaran Islam dengan gerakan yang terlihat sangat provokatif. Metode pemikiran hukum (istinbath al-ahkam) yang dipergunakan ar-Raniri adalah pola pemikiran madzhab Syafi’i. ar-Raniri telah tampak mempraktikkan apa yang dalam Bahsul Masa’il NU biasanya disebut sebagai pola bermadzhab qauli (tekstualis) dan sekaligus manhaji (metodologis) meskipun hanya dalam satu arah madzhab saja.9
Tokoh lain yang memiliki pengaruh yang cukup kuat di Aceh adalah Abdurrauf as-Sinkili (1204-1105 H.). Dia adalah seorang ulama yang cukup moderat, kompromis dan akomodatif. Hal ini terlihat dari karya Abdurrauf as-Sinkili yang sengaja dibuat untuk memenuhi permintaan sultan perempuan Aceh, Sayyidat ad-Din.10 Sifat moderat Abdurrauf as-Sinkili ternyata membuatnya gagab ketika harus menjawab pertanyaan tentang status hukum perempuan yang menjadi penguasa (pemimpin). Dia tidak memberikan jawaban konkrit, melainkan hanya memberikan uraian tentang syarat-syarat menjadi seorang pemimpin. Terlepas dari sifat Abdurrauf as-Sinkili, kontroversi dan kritik pun melayang dari pengamat. Salah satunya adalah Azyumardi Asra, mengatakan bahwa Abdurrauf as-Sinkili telah mengorbankan integritas intelektualnya, bukan hanya kerena ia menerima pemerintah perempuan, melainkan hal itu juga belum memecahkan masalah secara layak.11
Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M.) adalah tokoh yang mengawali gerakan pada abad XVIII M., sekaligus pemikir terakhir dari luar Jawa. pemikirannya yang futuristic, spekulatif,dan fiktif/prediktif banyak dipengaruhi oleh tradisi fiqh timur tengah yang sering disebut sebagai fiqh al-iftiradi (fiqh prediktif). Namun ada beberapa hal yang menyelamatkan Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai tokoh yag berpengaruh, yaitu istinbath hukum yang memiliki kualitas dan otoritas sendiri melalui karakter karyanya yang humanis dan emansipatoris dengan menyantuni aspek lokalitas, seperti halnya pernyatan sahnya pembagian waris berdasarkan adat perpantangan.12 Hal ini merupakan pengembangan radikal dari hukum Islam. Ia bukan semata beranjak dari fiqh klasik, melainkan lebih dari itu ia telah keluar dari dictum resmi al-Qur’an.
Corak pemikiran ini menempatkan Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai potret pemikir ideal madzhab Syafi’I, walaupun hanya masuk dalam jenjang mujtahid fatwa atau tarjih. Kontribusi terpenting Muhammad Arsyad al-Banjari dalam proses teopassing hukum Islam sebenarnya terletak dalam upaya memperkenalkan doktrin fiqh sebagai acuan dalam pengadilan criminal; (atas izin sultan), mendirikan lembaga pengadilan sipil, dan memperkenalkan lembaga mufti sebagai institusi yang bertanggung jawab untuk memberikan fatwa agama dan social
Setelah Muhammad Arsyad al-Banjari, Indonesia banyak melahirkan tokoh yang cukup terkenal dan mendunia, yang notabennya lahir dari pulau Jawa seperti Ahmad Rifa’I Kalisasak (1786-1876 M.), Nawawi al-Bantani (1813-1898 M.), Muhammad Salih Ibn Umar/ Kiai Saleh, dan M. Hasyim Asy’ari. Tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya, para pemikir hukum Islman yang lahir di Jawa banyak dipengaruhi oleh madzhab Syafi’I dan tasawuf sebagai metodologis istinbats pengambilan hukum Islam dalam setiap karyanya. Corak yang membedakannya hanya pada titik konsentrasi untuk melahirkan agitan pemikiran hukum Islam yang mudah dicerna oleh masyarakat awam daripada membuat pola-pola pemikiran dan tawaran yang membumbung dan subtil. Penyelarasan doktrin aturan hukum Islam yang sudah tertuang dalam madzhab Syafi’I hanya dikawinkan dengan realitas social yang ada dengan menitik beratkan pangsa pasarnya adalah komunitas ‘awam dan mu’allaf. Sedangkan ahl al-jumud wa at-taqlid menjadi beautiful strategy dalam memberikan tuntunan ajaran agama. Praktis gagasan-gagasan yang dilahirkan para ulama’ pada masa ini hanya bersifat resume. Secara aplikatif, pemikiran yang dibilang sangat penting adalah fatwa jihad (perang suci) terhadap Belanda yang diserukan oleh M. Hasyim Asy’ari, mengingat Indonesia bukanlah Negara Islam, sehingga terlalu ”riskan” jika seseorang mengeluarkan fatwa seperti itu. Pemikiran aplikatif dari M. Hasyim Asy’ari inilah yang kemudian menjadi pemikiran penutup (tertutupnya pintu ijtihad), karena generasi yang lahir setelahnya tenggelam dalam uforia kejayaan kerajaan Islam di Nusantara serta semakin domainnya tasawuf sebagai karakter gagasan hukum Islam.
Terlepas dari dominasi tasawuf dan madzhab Syafi’I dalam membentuk stagnasi fiqh, kepentingan penguasa, baik pra-maupun pasca kemerdekaan Indonesia juga turut andil dalam masifitas stagnasi gerakan fiqh. Hal ini dapat dibuktikan saat Belanda VOC mengeluarkan Resolutie der Indeshe Regeering sebagai peraturan perkawinan dan waris dan kemudian dilanjutkan dengan Compendium der Voornamste Javaanche Weten Naukeuring Getrokken Uit Het Mohammedaanche Wetboek Mogharrer sebagai keberlanjutan agitasi Belanda yang mana isinya berdasarkan kitab al-Muharrar karya Imam Rafi’i. Meskipun peradaban Islam dimulai melalui kebudayaan Fiqh, eksistensi peradaban Yunani dimulai dengan pengembangan kebudayan Filsafat, maka, sedangkan peradaban barat dimulai dengan kebudayaan Iptek.13 Fiq tidak mampu mengambil momentumnya untuk memasifkan gerakan penguasaan yang sesuai dengan zaman. Terlebih ada pepatah; adapt bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, dengan syara’ yang mengata, adat yang memakai.
Melalui ide yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht dengan tokoh intelektualnya Van Vollenhoven dan S.S. Hurgronje, yang kemudian dikenal dengan teori Receptie, pemerintah kemudian melakukan penyempitan terhadap keberlakuan hukum Islam. Hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adapt mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adapt. Jadi hukum adatlah yang menetukan ada dan tidaknya hukum Islam.
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan untuk membentuk hukum nasional setidaknya mengalami empat masa, pertama masa transisi (1940 – 1950 M.), kedua masa pasca revolusi, tepatnya setelah sistem Demokrasi terpimpin, ketiga masa Orde Baru (1966 – 1998 M.), keempat masa reformasi sampai sekarang. 14 Fenomena gagasan hukum Islam agar terlegalisasikan dan legislasi terlihat pertama kali muncul setidaknya berbarengan dengan lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dimana sila pertama berbunyi; Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Perjuangan untuk melegislasikan hukum Islam mulai kehabisan tenaganya. Ide pertama ini juga mejai ide terakhir bagi kekuatan hukum Islam. Karena hukum-hukum Islam setelahnya hanya diperuntukkan bagi umat Islam sendiri dan tidak berlaku bagi agama non-Islam. Seperti halnya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, PP. No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Inpres No.1 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991, dan UU No. 38 tentang Pengelolaan zakat tahun 1999, dan UU No. 17 tentang Penyelenggaraan Haji tahun 1999.
Dari apa yang telah dihasilkan oleh hukum Islam dalam bentuk legalitas hukum Nasional, terdapat pesan moral, bagaimana ia tidak dipolitisasi sebagai legaitimasi atas segala kehendak pemerintah (penguasa), apalagi sebagai aksesoris politik untuk pelestarian suatu rezim. Sebab, hukum Islam akan kehilangan vitalitasnya sebagai sistem nilai moral dan etika yang terus berkembang dimasyarakat. Hukum Islam yang (fatwa) yang diobral sesuai permintaan, sangat memprihatinkan dan kontradiktif dengan nurani serta falsafah hukum itu sendiri. Dalam konteks institusi negara, ia dihadirkan dengan paket nama konstitusi hukum Islam yang justru esensinya kering. Labelisasai hukum Islam untuk menjustifikasi berbagai kemauan negara (penguasa) ini, sering kali secara terselubung dengan menafikan dimensi kemaslahatan umum. Seiring bergulirnya gerakan civil society dan demokratisasi, kehadiran pemikir-pemikir Islam alternatif seperti halnya Abdurrahman Wahid, Nurkhalis Madjid, Azyumardi Azra, Khamaruddin Hidayat, Masdar Farid Mas’udi, Ali Yafie, Jalaluddin Rahmat dan tokoh-tokoh lain, memberikan warna tersendiri atas hukum Islam. Sekaligus mereka menjadi harapan lahirnya sebuah gagasan yang mampu menerjemahkan ajaran Islam (al-Qur’an) dengan lebih plural, serta mampu menjawab keraguan zaman atas cita-cita Islam (rahmat al-alam) yang mampu membentuk kerahmatan (perdamaian/ keselarasan).
Sebuah agenda baru dapat dikembangkan sejak sekarang untuk menampilkan kembali universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam dimasa datang. Pengembangan agenda baru itu diperlukan, mengingat kaum Muslim sudah menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif, sehingga tidak mampu lagi mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia yang akan muncul di masa pasca-indrustri nanti (yang sekarang sudah mulai nampak sisi pinggirannya dalam cibernetika dan rekayasa biologis). Kaum Muslim bahkan merupakan beban bagi kebangkitan peradaban bagi umat manusia nanti. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya akan menjadi obyek perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang bermartabat dan berderajat penuh seperti yang lainnya. Jika itu yang diinginkan, mau tidak mau haruslah dikembangkan agenda universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa kegunaannya bagi ummat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencekam kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini. Dari proses itu akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru yang selanjutnya, akan bersama-sama faham dan ideology lain-lain, turut membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomis dan kebiadaban rejim-rejim politik yang dhalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya dan kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan mampu memberikan perangkat sumberdaya manusia yang diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar, melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masuk