sektor

RCN

Jumat, 26 Maret 2010

PENDIDIKAN KEKERASAN DAN KEKERASAN PENDIDIKAN DI DALAM YPS AR-ROSYID (Upaya Rekonsiliasi Teks dengan Konteks sebagai Aplikasi keilmuan)

Oleh : Agus Riza Hisfani

Abstrak
Ajaklah mereka kejalan Tuhanmu (agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya (QS. 16:125) serta ingat ”Barang siapa yang mengkafirkan saudara yang beragama Islam, Justru ialah yang kafir (man kaffara akhahu muslim fahuwa kafirun)” (Hadits Muhammad SAW.). Ketika generasi muda ikut arus universal yang sangat beragam dan teknologi maju, menjadi kewajiban kita untuk Tutwuri Handayani dengan memberi motivasi dan pembinaan. Agar generasi Indonesia yang akan datang mempunyai kepribadian membangun dan peka terhadap reaksi sosial agar tercipta kemerdekaan yang hakiki (Ki Hadjar Dewantara)
Kata Kunci : Pendidikan, Kekerasan, Pembebasan, YPS Ar-Rosyid

Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian), manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi di sekitarnya, hingga manusia lanjut usia bahkan meninggal dunia (Hadits Muhammad SAW), ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi dalam melihat persoalan yang dihadapi, dan inilah proses pembelajaran. Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa depan. Kedua, mentransfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban. Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”.

Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata sosial dan tata nilai yang ada di masyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan. Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam pendidikan, yaitu ketika terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan pendidikan di satu sisi dan kepentingan kebutuhan masyarakat di sisi lainnya. Kepentingan pendidikan seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat. Artinya, fungsi konservasi budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa depan secara akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik terhadap sistem pendidikan. Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah mengalami stagnasi, yang kemudian melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan. Salah sati kritik yang muncul adalah bahwa pendidikan mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Bisa juga dikatakan bahwa proses pendidikan mengalami “kegagalan” ketika melihat beberapa kasus yang lalu muncul ke permukaan.

YPS Ar-Rosyid Surabaya merupakan lembaga yang bergerak didua konsentrasi yaitu’ Sosial dan pendidikan Islam (berupa Ponpes dan lembaga pendidikan formal; RA. Ashfiyah, MA. Ar-Rosyid dan STAI Ar-Rosyid). Dua wilayah gerakan YPS Ar-Rosyid tersebut menempatkan peran central YPS Ar-Rosyid dalam mencetak kader-kader pembaharu (tajdid) dan Pembebasan (tahrir/liberation). Namun apakah benar kerangka visi dan misi YPS Ar-Rosyid tersebut sudah tercapai dalam tataran teoritis, aplikatif serta pragmatis ? semoga makalah ini bisa memberikan pencerahan. Bukan sebuah pencercaan, meskipun hal itu sudah tidak asing bagi penulis.

Makna Pembebasan dalam Perspektif Penulis
Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan.1 Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan unutuk memilih. Manusia juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk. Sementara pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”.2 Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”).3 Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”.4 Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.

Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ;5 Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban. Namun realitas-empiris, pendidikan telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas.6 "Pendidikan gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru, guru, ustad/ dosen adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Realitas "konsep pendidikan gaya bank” juga memelihara (kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid". Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, ustad/ dosen, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Paulo Friere sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).7 Menurutnya, kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan fikiran mereka, akan membawa rasa takut yang berat. Padahal kebebasan menghendaki mereka, untuk menolak citra diri tersebut harus menggatinya dengan perasaan bebas serta tanggungjawab. Kebebasan hanya bisa “direbut” bukan “dihadiahkan”.8

Sebagai argumentasi terhadap situasi yang mengungkung manusia modern ; “(manusia) menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya bertindak dan berfikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak bebas, jika ia tahu tentang masalahnya.9 Yang menjadi persoalan adalah ketika mereka tidak tahu. Karena ia tidak tahu, maka ia akan menyesuaikan diri dengan penguasa yang tidak dikenalnya dan ia akan meng-ia-kan hal-hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, maka ia semakin tidak berdaya untuk merasa dan ia semakin ditekan untuk menurut. Manusia modern, kata Nietzsche, telah dikuasai oleh kekuatan mitos-mitos dan telah dimanipulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye ideology, dan lainnya tanpa disadari oleh manusia modern, yang pada gilirannya akan menghilangkan kemampuan untuk memilih dan mengambil keputusan secara bebas. Manusia modern, kemudian tidak terbiasa untuk menangkap sendiri tugas-tugas zaman, melainkan hanya menerima apa adanya dari hasil penafsiran penguasa atau kaum “elit”. 10

Jika kita mau memandang perjalanan peradaban manusia sendiri, yaitu ketika gerakan Islam masa Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah di Timut Tengah dan renaissance dan Aufklaerung di Eropa dan Barat itu muncul, berangkat dari tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud dan teraktualisasi. Atau jika kita mengikuti pendapat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa yang kita butuhkan adalah pembebasan dari rasa tidak berdaya dan dari ketergantungan “dari rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak oleh wewenang yang lebih tinggi atau oleh adat kebiasaan…”.11 Kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis dengan menggunakan teori “penyadaran (conscientizacao)”, yaitu pembacaan secara mendalam dan kritis terhadap “realitas akal sehat”, dengan upaya memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul disekitarnya (social budaya). Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.

Menggugat Pendidikan Kekerasan Dan Kekerasan Pendidikan Di Dalam Yps Ar-Rosyid
Kata ”menggugat” memang terkesan kasar dan arogan, namun hal ini merupakan keharusan agar kita dapat terhindar atau bahkan memberangus tindakan yang lebih arogan dan anarkis, yaitu pengekangan kebebasan dengan wujud pendidikan kekerasan dan kekerasan pendidikan yang ada didalam YPS Ar-Rosyid. Pada dasarnya pendidikan kekerasan dan kekerasan pendidikan yang ada didalam YPS Ar-Rosyid sudah lama dilakukan dengan tidak sadar. Adapun indikasi dari pendidikan kekerasan dan kekerasan pendidikan yang diterapkan YPS Ar-Rosyid sebagaimana berikut :

A.Praktek Pendidikan Kekerasan didalam YPS Ar-Rosyid
Dalam wujud teoritis pendidikan kekerasan yang dilakukan oleh YPS Ar-Rosyid merupakan cerminan teori klasik dari pencapaian pendidikan itu sendiri. Namun dalam wujud nyata (empiris) ”pendidikan kekerasan” yang dilakukan oleh YPS Ar-Rosyid tercermin dari setiap sikap pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar dalam menerapkan faham-faham, pemikiran serta dogma-dogma yang menurut mereka benar. Kebenaran yang cenderung dipaksakan dalam bentuk penilaian tersebut, menempatkan posisi YPS Ar-Rosyid (pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar) sebagai pemegang hak veto kebenaran atau kebenaran mencoba di centralkan dengan sistem legal-formal.

Sistem legal-formal tersebut memposisikan setiap apa yang di ucapkan YPS Ar-Rosyid (pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar) sebagai kebenaran mutlak yang harus dilakukan oleh peserta didik (santri dan mahasiswa). Secara otomatis sistem legel-formal tersebut menghapus sistem dialogis yang padadasarnya menjadi jembatan antara pemahaman pemimpin dengan yang dipimpin, antara guru dengan murid.12 Sistem legal-formal tersebut juga memiliki kecenderungan menolak hal-hal baru, baik dalam bentuk pemikiran maupun gerakan.13 Proses dialog maupun gagasan baru merupakan sesuatu yang asing dan harus dibumihanguskan. Hal ini bertolak belakangan dengan sifat manusia yang cenderung evolution dalam memperbaharui hal-hal yang menurutnya kurang sesuai atau perlu adanya penyesuaian. 14

Telisik lebih jauh, sistem legal-formal tersebut melahirkan dampak keangkuhan pada YPS Ar-Rosyid (pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar) yang kemudian melupakan proses evolution terhadap diri sendiri, hal ini dapat dilihat dari berhentinya mahasiswa (yang bergelar ustad di PP. Nyai Hj. Ashfiyah) untuk senantiasa membaca buku dan berdiskusi guna menambah khasanah keilmuan mereka. Statmen yang mereka ugkapkan cenderung dangkal dan tidak memiliki dasar teoritis dan referensi, terlebih mereka merasa sudah mampu (pintar) hingga tidak perlu membaca buku dan berdiskusi. Dalam kehidupan pesantren, mereka cenderung memerintah dan tidak mau diperintah, dan tidak mampu menjadi suritauladan keilmuan, semisal, mereka sudah cukup dengan membaca kitab-kitab klasik saduran (editorial) dalam mempelajari hukum Islam (ushul fiqh, fiqh dan qawa’idul fiqh) yang bukan dari buku induk atau pengarangnya langsung semisal kitab taqrib (fiqh) yang diajarkan tidak mencoba diperdalam dengan al-Umm sebagai kitab induk madzhab Syafi’i. Sikap tersebut berlangsung secara kontinue begitu lama yang kemudian menciptakan sistem paralogisme (kesalafahaman). Ketika hal ini merambah pada peserta didik/ santri/ mahasiswa (yang bukan ustad) mereka akan mengkonsumsi keilmuan yang sepotong-sepotong yang akan mengukuhkan paralogisme itu sendiri. Bila kita mau jujur, fenomena ini memang sudah terjadi begitu lama dan mengakar dalam YPS Ar-Rosyid (pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar). Perlu kita pertahankan atau kita ubah secara bersama-sama...? pertanyaan yang padadasarnya perlu kita jawab bersama, atau kita cuekin aja, toh tidak berpengaruh pada gaji kita....!

B.Praktek Kekerasan Pendidikan didalam YPS Ar-Rosyid
Secara teoritis praktek kekerasan pendidikan merupakan tindakan pemaksaan pada pokok-pokok yang bukan subtansial, artinya kekerasan pendidikan terjadi dalam praktek yang paling halus dan terkadang dijadikan hukum lumrah (mafhum). Sedangkan dalam aplikasinya sering disebut pendidikan-Inklusif, dimana seorang pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar menempatkan posisinya pada kebenaran tunggal yang bersifat absolute dalam penyampaian pemahaman, pemikiran atau dogma-dogma.15 Benarkah lembaga kita (YPS Ar-Rosyid) melakukan ”kekarasan pendidikan”.? Karena kekerasan pendidikan lebih abstrak dibandingkan dengan pendidikan kekerasan, contoh yang akan ditampilkan kepermukan juga terlihat sangat abstrak dan sebagaiman sifatnya yang cenderung dijadikan hukum lumrah (mafhum). Semisal pemahaman tentang pentingnya pengembangan pemikiran Islam yang mendalam dan dilihat dari berbagai aspeknya, hal ini ditolak oleh YPS Ar-Rosyid (pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar) dengan pernyataan bahwa melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ qiyas (karya ulama, bukan metode berfikir ulama) sudah bisa memperdalam Islam itu sendiri. 16
Lebih lanjut, kekerasan yang dipraktekkan oleh YPS Ar-Rosyid (pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar) yaitu lebih mementingkan tujuan dari pada proses untuk mencapai tujuan itu sendiri. Hal ini sering dilakukan ketika melarang seorang santri & mahasiswa perempuan untuk ikut serta dalam kancah pertarungan dunia intelektual dan organisasi (terutama di tingkat Perguruan Tinggi/ STAI Ar-Rosyid) dengan dalih bahwa perempuan tidak perlu berorganisasi dan perempuan itu sumber fitnah. Dalam titik ini YPS Ar-Rosyid (pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar) bertentangan dengan bunyi hadits yang mengatakan ”Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim (laki-laki & perempuan), mulai dari buaian imu sampai lianglahat”, dan bukankah semua manusia itu sama dimata Allah SWT. dan hanya ketaqwaan sajalah yang membedakan tingkatan manusia, itupun hanya Allah yang tahu, manusia memiliki hak untuk menilai.
Contoh yang diungkapkan oleh penulis memang sangat sepele, namun kalau kita analisis lebih jauh, bukankah setiap sikap itu cermin dari hasil pemikira seseorang, sikap santri dan mahasiswa yang cenderung pragmatis dan malas dalam belajar, bukankah itu juga bagian dari dampak dilarangnya seorang santri (terutama perempuan) dan mahasiswa untuk ikut berpartisipasi aktif dalam organisasi, sehingga wacana dan pengetahuan mereka hanya berputar disekitar pewacanaan K2 (Kamar mandi & Kamar tidur) yang kemudian menghasilkan paradigma mudah menyerah, menuntut yang tidak realistis dan cenderung mudah menyalakan orang tanpa memberikan solusi dan menciptakan sifat individualistik yang kini sudah menjalar pada arogansi struktur dan kultur.17 Bila hal ini terus kita pertahankan, jangan bermimpi lembaga kita YPS Ar-Rosyid (pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar) akan bisa menantang era globalisasi dengan senantiasa memberikan perubahan positif terhadap zaman dengan tetap mengedepankan nilai-nilai pendidikan-Inklusif. Sebesar apapun dana yang akan digelontorkan kepada YPS Ar-Rosyid (pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar), bila sikap ”kekarasan pendidikan” masih dipertahankan, maka kita tinggal menunggu YPS Ar-Rosyid (pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar) diberangus oleh zaman, karena orang-orang yang ada didalamnya tidak memiliki kemampuan organisatoris dan jaringan yang mumpuni untuk mendidik kader-kader penerusnya yang siap dibidangnya masing-masing.

Mewujudkan YPS Ar-Rosyid Sebagai Proses Pembebasan
Berdasarkan cermin YPS Ar-Rosyid (pimpinan/ pengurus dan pendidik/ pengajar) sebagaimana diuraikan diatas, penulis mencoba menggali kembali hakekat keberadaan YPS Ar-Rosyid yang memiliki peran mulia sebagai garda terdepan atas pembebasan kaum tertindas, terutama diruang-ruang pendidikan. Pendidikan pembebasan yang telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya. Ali Engineer menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter.

Peran etis yang dimiliki YPS Ar-Rosyid sesuai dengan nilai-nilai yang dibawa oleh Islam. Dimana Islam sendiri adalah agama pembebasan karena "Islam memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas". Ayat-ayat Al Qur'an misalnya, diantaranya "...Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi..." (QS. 28:5), hal ini semakin menegaskan bahwa asal usul diturunkannya Islam (dan juga rasul-rasul) adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu ketertindasan dan ketidaksadaran. Nabi Muhammad dalam perjalanan sejarahya, telah mekalukan sebuah gerakan pembebasan yang cukup revolusioner. Nabi Muhammad bukan saja melakukan pembebabasan terhadap kaum perempuan yang selama berabad-abad telah tertidas oleh budaya Arab yang memarginalkan peran perempuan dalam berbagai sector publik, tetapi juga mewajibkan (faridhat) kepada setiap Muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan inilah, umat Islam diharapkan mempunyai “kesadaran terhadap realitas”. Dalam pandangan Asghar Ali Engineer, ilmu pengetahuan ini dapat dihubungkan dengan nur (cahaya), artinya dengan ilmu pengetahuan manusia mampu terbebas dari kegelapan menuju cahaya keselamatan. Sementara itu, di dalam Al Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali.18

Posisi YPS Ar-Rosyid dalam struktur masyarakat Surabaya pada dasarnya sangatlah strategis, yaitu; dihimpit oleh dua perumahan elit, disebelah barat ada Citra Raya (Land) dan disebelah timur oleh Pakuwon serta hadirnya Super Mall. Dari kaum elit tersebut, YPS Ar-Rosyid dapat memberikan tawaran kerjasama dalam bentuk apapun, terutama diwilayah pendidikan. Namun sebelum tawaran kerjasama tersebut dilayangkan, YPS Ar-Rosyid harus terlebih dahulu menyiapkan kader yang nantinya menjadi kelompok terdepan dalam mengawal kerjasama tersebut. Semisal, bagaimana YPS Ar-Rosyid memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak masyarakat sekitar yang tidak beruntung secara vinansial dengan mengumpulkan santri & mahasiswa yang berprofesi sebagai guru dan pengajar privat yang kemudian difasilitasi ruang dan waktu utuk menghimpun anak-anak tersebut.19 Hal ini sesuai dengan peran pendidikan sebagai pembebasan atas ketertindasan keadaan masyarakat sekitar dan bukankah itu yang diinginkan oleh Islam dengan menolong sesama.? Mudahkan, dalam berkata dan sulit, bahkan enggan dalam prakteknya sebab tidak mendatangkan uang.!

Penulis tidak akan memberikan bayangan-bayang yang menurut penulis adalah hal nyata namun bagi kebanyakan penghuni YPS Ar-Rosyid adalah hal yang sangat mustahil. Karenanya proses untuk menjadi tahu, mengerti, dan kemudian berinovasi menjadi sangat penting ditanamkan kepada santri & mahasiswa agar paradigma YPS Ar-Rosyid bukan paradigma pragmatis-kapitalis yang lebih menitik beratkan proses instan dan menghasilkan uang recehan. Sudah saatnya YPS Ar-Rosyid memikirkan masa depan yang lebih mapan dengan mempersiapkan kader yang berparadigma analisis-strategis yang memang terbentuk melalui proses panjang dan apabila di ukur dari segi finansial, kelompok ini justru menghasilkan cek atau transfer (uang receh dimasukkan amplop). Karena dalam proses panjang tersebut, kader YPS Ar-Rosyid akan bertarung dengan sekian banyak generasi yang ada diluar YPS Ar-Rosyid untuk berlomba-lomba dalam berproses. Dan bukankah suksesnya kader YPS Ar-Rosyid juga akan mengangkat YPS Ar-Rosyid dalam martabat dan martabat sendiri. Hal ini menjadi hukum pasti ketika YPS Ar-Rosyid secara proaktif memberikan motivasi positif dalam setiap tindakan santri dan mahasiswa atau kelompok yang mencoba memberikan pembaharuan dalam tubuh YPS Ar-Rosyid dengan tidak meninggalkan peran YPS Ar-Rosyid sebagai pembina.

Mungkinkah ini terjadi?
Pasti manakala yakin dan mustahil manakala kita acuh-takacuh

Semoga menjadi refleksi diri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masuk