sektor

RCN

Jumat, 27 Mei 2011

TEOLOGI PEMBEBASAN (dariku aku ber-Tuhan)

Oleh : A.R. Hisfani

Sesungguhnya Islam sarat akan spirit revolusioner, nilai!nilai moral yang membebaskan, yang mendorong ke arah terciptanya tatanan hidup yang lebih baik, layak, dan manusiawi. Banyak alasan yang bisa disebut mengapa ketakberdayaan itu tak kunjung usai. Salah satunya ialah ketiadaan motivasi religius. Sejauh menyangkut élan-vital ajaran Islam sendiri, fakta ketakberdayaan umat itu memang berkait rekat dengan ketiadaan motivasi religius yang mampu berperan sebagai motivator perubahan, yang berperan transformatif dan menggerakkan mereka untuk membebaskan diri dari serimpung realitas sosial tak mengenakkan.

Berbicara tentang teologi pembebasan dalam diskusi-diskusi resmi atau tak resmi memang terasa problematik. Seringkali diskusi seperti ini dicurigai sebagai gerakan pemikiran kekiri-kirian yang diasosiasikan dengan pendukung “komunisme” atau dianggap menyebarkan pemikiran subversif. (khususnya pada era Orde Baru lalu). Setelah Orba jatuh dan kebebasan berpikir mulai terbuka diskusi semacam ini juga dianggap tabu dan dipandang dengan mata sinis oleh sebagian kalangan. Rupanya persepsi itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya kesalahpahaman mengenai term teologi pembebasan (liberation theology) itu sendiri. Kedua, karena teologi pembebasan adalah terminologi yang lahir dari tradisi Kristiani, khususnya di Amerika Latin, dan tidak pernah dikenal secara eksplisit dalam khazanah pemikiran Islam. Dan ketiga, karena teologi pembebasan sedikit banyak diinspirasikan oleh ideologi kiri dari pemikiran Marxisme yang dalam sejarah perpolitikan Indonesia dianggap memiliki cacat yang tak termaafkan setelah peristiwa G 30 S.

Urgensi dari penghadiran suatu konstruk teologi yang secara paradigmatik transformatif dan membebaskan bertolak dari postulat bahwa élan-vital Islam pada dasarnya adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide pembebasan merupakan salah satu major themes of Islam. Ide!ide dimaksud berhulu terutama pada tiga gagasan revolusioner Islam, yakni al-‘adâlah (keadilan), al-musâwah (egalitarianisme; kesetaraan; persamaan derajat), dan al-hurriyah (kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang transformatif menghendaki perlunya redefinisi makna teologi. Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan.
Pada mulanya istilah “teologi pembebasan” atau liberation theology diperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada pertengahan abad lalu. Para teolog ini mau membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia.
Ada banyak macam penamaan yang secara subtansial amat dekat dengan gagasan teologi pembebasan ini, diantaranya: teologi pemerdekaan (Romo Mangun), teologi Kiri (Kiri Islam ala Hassan Hanafi), Pribumisasi Islam (Gus Dur), teologi kaum mustadh’afin, teologi kaum tertindas, dan lain-lainnya. Masing-masing penamaan ini hendak mengartikulasikan suatu cara beragama yang otentik, yang lahir dari situasi, sejarah dan keprihatinan atas penderitaan kaum miskin dan tertindas. Oleh karena itu dengan pengertian tersebut jelas sekali teologi pembebasan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan “bebas semau gue” atau sikap permisif sebagaimana yang sudah disalahpahami. Anggapan seperti itu tentu saja salah alamat dan menunjukkan kebodohan saja. Untuk lebih jelas mengenai karakter dan jalan yang ditempuh teologi pembebasan, mari sejenak melihat teologi pembebasan Amerika Latin.
Teologi pembebasan tentu sangat berbeda dengan pandangan teologis kaum konservatif di atas yang menggunakan agama sebagai instrumen status quo. Kaum konservatif telah memperlakukan “agama sebagai candu” untuk mencapai kenikmatan sesaat, seraya mengabaikan panggilan profetik kenabian yang bersolidaritas terhadap kaum miskin dan tertindas. Di tangan kaum konservatif ini pulalah energi agama yang sesungguhnya menjadi kekuatan untuk melawan kezaliman, ketidakadilan dan penindasan menjadi susut dan akhirnya musnah. Konservatisme biasanya juga selalu berkarakter sempit dalam cara berpikir dan tertutup dalam wawasan. Mereka menolak keterbukaan karena dianggap mengurangi kadar keimanannya. Sehingga dalam beberapa kesempatan mereka menolak teologi pembebasan yang telah memakai analisis kelas yang dikembangkan Marxisme. Bagi mereka konflik kelas dalam Marxisme telah menyebabkan agama telah kehilangan watak spiritualitasnya sekaligus menjadi sekadar gerakan sosial yang kerap diperjuangkan dengan cara-cara kekerasan. Oleh pandangan-pandangan yang sempit inilah, lalu dalam setiap wacana dan gerakannya teologi pembebasan banyak disalahpahami dan dicibir. Bukannya menjadi sarana belajar dan refleksi kritis atas praksis untuk memperkaya pemahaman keagamaan yang sudah usang.
Bagi Gutierrez bahwa pembelaan terhadap kaum miskin dan perlawanan terhadap para penindas sesungguhnya adalah konsekuensi dari iman seseorang kepada Allah. Iman seseorang tidak bermakna apapun tanpa keterlibatan dirinya dalam praksis sosial dan sejarah. Karena bagi Gutieres, makna teologi itu sendiri sebenarnya adalah suatu refleksi kritis terhadap praksis dalam terang Kitab Suci. Oleh karena itu pula makna spiritualitas selalu terkait langsung dengan tindakan. Gutierrez menunjukkan tiga karakteristik teologi pembebasan (Alfred T. Hannelly, 1995: 12). Pertama, teologi pembebasan adalah pemahaman yang progresif dan terus menerus atas dasar komitmen kemanusiaan dan keberimanan yang selalu hidup. Oleh karena itu teologi sesungguhnya adalah praksis pembebasan dari belenggu ekonomi, sosial, politik, dan dari sistem masyarakat yang mengingkari kemanusiaan dan dari kedosaan yang merusak hubungan manusia dengan Allah. Kedua, teologi adalah sebuah refleksi yang lahir dari tindakan. Di sini Gutierrez menulis dalam sebuah paragraf yang cantik : “Teologi adalah sebuah refleksi, yakni suatu tindakan kedua, suatu gerak balik, sebuah perefleksian yang dilakukan setelah bertindak. Jadi bukan teologi, melainkan komitmenlah yang pertama. Teologi adalah hasil pemahaman dari komitmen, dan komitmen itu adalah kesediaan untuk bertindak. Inti tindakan adalah kemurahan hati yang disertai komitmen, setelah itu baru teologi hadir”
Oleh karena itu teologi harus menjadi kritis ketika berhadapan dengan masyarakat maupun terhadap institusi keagamaan. Ia harus menjadi pembebas bagi kedua institusi sosial itu dari berbagai macam ideologi, keberhalaan dan alienasi. Sehingga teologi itu sendiri pada akhirnya akan memberikan orientasi dan inspirasi bagi aksi tindakan selanjutnya. Inilah yang disebut dengan keberimanan dalam praksis sejarah, keberimanan yang transformative /Transformasi sosial. Dan ketiga, setiap tindakan kita harus disertai dengan refleksi untuk memberi orientasi masa depan yang diyakini dan diharapkan dan koherensi agar ia tidak jatuh pada aktivisme.
Meskipun Gutierrez telah memberikan ancangan rumusan metode teologi pembebasan, baru kemudian Juan Luis Segundo yang berhasil mensistematisasi rumusan metodologi teologi pembebasan. Sistematisasi inilah yang nantinya menjadi acuan berbagai metode “teologi-teologi pembebasan” (liberation theologies) lainnya di dunia. Dalam salah satu tulisannya “Two Theologies of Liberations”, ada pernyataan menarik dari Segundo yang dikutip oleh Michel Lowy (Michel Lowy, 1999). Ia menyatakan, “Jangan lupa kita hidup di tanah-tanah yang paling agamis dan di tanah-tanah yang paling tidak berprikemanusiaan”. Pernyataan ini tampaknya menyembunyikan tapi sekaligus menyingkap suatu ironi. Bagaimana mungkin penindasan justeru terjadi dalam masyarakat yang mayoritas beragama yang meyakini bahwa ajaran agamanya melawan ketidakadilan dan penindasan. Mengapa tidak ada protes atau perlawanan atas kondisi ini dari pihak kaum agamawan? Apakah kaum agamawan buta atau membutakan diri terhadap situasi yang ada?
Segundo menyadari bahwa ketidakmampuan mengambil sikap yang diperlihatkan para agamawan itu disebabkan ketidakmampuannya melihat persoalan sosial dan menganalisis struktur-struktur penindasan yang ada. Bukan hanya itu, berlanjutnya penindasan karena agama mengalami impotensi karena pemahaman terhadap teologi dan kitab suci didominasi oleh tafsir yang justeru tidak sensitif terhadap persoalan masyarakat tertindas. Oleh karena itu menurutnya perlu dilakukan deideologisasi terhadap realitas sosial dan superstruktur serta deideologisasi terhadap interpretasi kitab suci, agar iman kita bisa merespon situasi konkrit penindasan dan ikut berjuang bersama-sama kaum tertindas melawan para penindas. Kebekuan agamawan dalam merespon situasi konkrit ini mendorong Segundo untuk menawarkan metode berteologi yang bukan hanya sebagai usaha “ortodoksi” tapi juga suatu “ortopraksis”. Yang dimaksud adalah bahwa berteologi bukan hanya untuk memperteguh dan memantapkan ajaran, tapi juga menjadikan pengalaman konkrit sebagai basis menerapkan sebuah rumusan ajaran. Segundo merumuskan hal ini dalam suatu bentuk “lingkaran hermeneutik”. Apakah yang dimaksud dengan “lingkaran hermeneutik”?
“Hermeneutika” adalah proses interpretasi untuk membuat pesan kitab suci relevan dengan zamannya, sedangkan “lingkaran” menunjukkan bahwa usaha interpretasi itu bertitik tolak pada realitas baru yang lalu menuntut kita menginterpretasikan ajaran kitab suci secara baru pula dalam rangka mengubah realitas sebagaimana dituntutkan, dan akhirnya kembali kepada usaha menginterpretasikan kembali firman Allah, dan seterusnya. Menurut Segundo, lingkaran hermeneutik bisa berlangsung dengan dua syarat: pertama, kesangsian-kesangsian atas situasi nyata sungguh-sungguh dalam memperkaya, dan kedua, interpretasi atas kitab suci juga bersifat sungguh-sungguh dalam dan memperkaya (Fr. Wahono Nitiprawiro, 2000: 36-37). Dalam lingkaran hermeneutik ini sang penafsir dituntut untuk terus menerus melakukan kritik terhadap realitas yang ada sekaligus mengkritik pula pemahaman teologis terhadap realitas tersebut, dan lalu menafsirkannya kembali demi perubahan realitas tersebut. Dengan kata lain, di belakang kritik tersebut sesungguhnya kita selalu dituntut untuk selalu “mencurigai” suatu tafsir. Atau mencurigai status iman seseorang kepada siapa dia mengabdikan imannya. Pengandaiannya adalah bahwa iman itu sendiri bersifat ideologis karena ia lahir dari tanggapan yang menyejarah dan subjektif terhadap wahyu Allah. Oleh karena itu praksis iman seseorang harus senantiasa diberi kritik dengan selalu membenturkannya dengan realitas konkrit. Baru dengan begitu, makna keberimanan seseorang akan membawa transformasi bagi kehidupan ke arah yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masuk