Jumat, 30 Oktober 2009
MENGGUGAT RAMPOKISASI BUMN
Oleh: Drs. Revrisond Baswir, MBA -- Staf Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Pengajar FE-UGM Yogyakarta
Salah satu agenda “program penyesuaian struktural” yang paling banyak mengundang kontroversi dalam lima tahun belakangan ini adalah pelaksanaan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Agenda yang semula diharapkan dapat turut mempercepat proses pemulihan ekonomi Indonesia itu ternyata tidak hanya cenderung mengundang keresahan, tetapi juga cenderung menyeret bangsa Indonesia ke tubir ‘Balkanisasi.’
Di Jawa Tengah, pelaksanaan privatisasi PT Telkom menuai protes dari para karyawannya. Di Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur, pelaksanaan privatisasi PT Semen Gresik Grup (SGG), mendapat perlawanan secara hampir merata dari warga masyarakat, para karyawan, anggota DPRD, dan dari masing-masing pemerintah daerah yang bersangkutan. Sedangkan di Kalimantan Timur, rencana pelaksanaan privatisasi PT Pupuk Kaltim justru mendorong pemerintah daerah setempat untuk menjadikan perusahaan tersebut sebagai perusahaan daerah.
Salah satu faktor yang turut memicu mencuatnya perlawanan terhadap agenda yang diperintahkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) itu adalah adanya keinginan yang sangat kuat pada sejumlah kalangan untuk memaksakan pelaksanaannya. Dengan atau tanpa alasan yang jelas, privatisasi seolah-olah telah ditetapkan terlebih dulu sebagai satu-satunya cara yang tepat untuk mereformasi BUMN. Pertanyaannya, atas dasar alasan apakah penjualan perusahaan rakyat kepada para pemodal swasta itu dipandang sebagai cara yang tepat untuk menyehatkan BUMN? Apakah sesungguhnya misi dan tujuan penyelenggaraan BUMN? Dan apa pula persoalan utama yang dihadapi BUMN dalam memperbaiki kinerjanya?
Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk itu, tulisan ini akan dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama dan kedua membahas peran dan tantangan BUMN di Indonesia. Bagian ketiga dan keempat membahas perkembangan pelaksanaan privatisasi dalam dua dekade belangan ini. Sedangkan bagian kelima menguraikan secara singkat strategi alternatif yang perlu ditempuh untuk mereformasi BUMN. Tulisan ini akan diakhiri dengan menarik beberapa kesimpulan.
Kedudukan dan Peran BUMN
Keberadaan BUMN di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari amanat Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan oleh bagian penjelasan Pasal tersebut, “Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”
Berdasarkan penjelasan pasal 33 UUD 1945 itu dapat diketahui bahwa ayat 1, 2 dan 3 Pasal 33 UUD 1945 pada dasarnya adalah dasar dari demokrasi ekonomi atau Sistem Ekonomi Kerakyatan yang hendak diselenggarakan di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah sebuah sistem perekonomian yang sangat menekankan pentingnya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses penyelenggaraan perekonomian. Sehubungan dengan itu, dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan, setiap anggota masyarakat tidak dapat hanya diperlakukan sebagai objek perekonomian. Ia adalah subjek perekonomian, yaitu yang memiliki hak untuk berpartisipasi secara langsung dalam proses penyelenggaraan perekonomian, serta dalam mengawasi berlangsungnya proses perekonomian tersebut (Baswir, 2001).
Dengan diperlakukannya setiap anggota masyarakat sebagai subjek perekonomian, secara tidak langsung hal itu mengungkapkan dijaminnya campur tangan negara dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Sebagaimana dikemukakan secara tegas oleh Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dengan dijaminnya campur tangan negara oleh UUD 1945 dalam penyelenggaraan Sistem Ekonomi Kerakyatan, kedudukan BUMN sebagai salah satu instrumen campur tangan negara dengan sendirinya memiliki landasan konstitusional yang sangat kuat di Indonesia. Tetapi sebagaimana berkembang selama ini, justru dari sinilah biasanya perdebatan mengenai kedudukan dan peran BUMN dimulai. Para pihak yang ingin mempertahankan keberadaan BUMN cenderung menafsirkan secara serampangan bahwa yang dimaksud dengan “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat 2 dan 3 itu sama dengan dimiliki atau diselenggarakan secara langsung oleh pemerintah. Karena ungkapan “dikuasai oleh negara” ditafsirkan sebagai dimiliki atau diselenggarakan oleh pemerintah, maka BUMN serta merta ditafsirkan sebagai pengejawantahan amanat Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 tersebut.
Padahal, sebagaimana dikemukakan berulangkali oleh Bung Hatta, yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat 2 itu lebih ditekankan pada segi dimilikinya hak oleh negara (bukan pemerintah) untuk melakukan pengendalian. Artinya, dengan dikuasainya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut oleh negara, berarti negara memiliki hak untuk mengendalikan kegiatannya. “Penyelenggaraannya secara langsung dapat diserahkan kepada badan-badan pelaksana—BUMN atau perusahaan swasta, yang bertanggungjawab kepada pemerintah, yang kerjanya dikendalikan oleh negara,” (Hatta, 1963).
Sebaliknya, para pihak yang ingin melakukan privatisasi atau mengalihkan kepemilikan modal BUMN dari tangan negara kepada para pemodal swasta, cenderung secara serampangan pula menafsirkan hak negara untuk mengendalikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu sebagai hak untuk membuat peraturan perundang-undangan. Padahal terdapat perbedaan yang sangat besar antara hak untuk mengendalikan dengan hak untuk membuat peraturan perundang-undangan.
Dalam hak untuk mengendalikan, selain terdapat hak untuk membuat peraturan perundang-undangan, juga terdapat hak untuk membangun lembaga, termasuk hak untuk menyelenggarakan BUMN, yaitu guna menjamin tercapainya tujuan pelaksanaan campur tangan negara yang bersangkutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan, BUMN dipandang sebagai salah satu instrumen yang sengaja dikembangkan oleh negara untuk meningkatkan kemampuannya dalam menjamin pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya, bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan kedudukan seperti itu, peran BUMN dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan dapat dikategorikan sebagai salah satu instrumen bagi negara dalam mewujudkan demokrasi ekonomi, yaitu untuk menjamin pengutamaan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang. Jika koperasi adalah instrumen demokrasi ekonomi yang dimiliki oleh para anggotanyat, maka BUMN adalah instrumen demokrasi ekonomi yang dimiliki seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai instrumen demokrasi ekonomi, tentu tidak ada alasan bagi BUMN untuk memonopoli suatu cabang produksi tertentu. Ini tidak hanya berlaku pada cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, tetapi juga pada cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Bahkan, sama sekali tidak tertutup peluang bagi BUMN untuk mengikutsertakan pemilik modal perseorangan sebagai pemilik minoritas sahamnya.
Sebaliknya, tidak ada pula alasan untuk mengharamkan keberadaan BUMN atau memindahkan kepemilikan modalnya secara penuh kepada para pemodal perseorangan. Mengharamkan keberadaan BUMN tidak hanya akan melemahkan kemampuan negara dalam mengendalikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu, tetapi dapat secara langsung mengancam pemenuhan amanat konstitusi untuk mengutamakan kemakmuran masyarakat.
Tantangan BUMN
Berdasarkan peran sebagaimana diuraikan tersebut, dapat disaksikan bahwa tantangan yang dihadapi BUMN pada dasarnya tidak dapat begitu saja disamakan dengan tantangan perusahaan swasta. Karena BUMN memiliki misi dan tujuan yang berbeda dari perusahaan swasta, tantangan BUMN terutama harus dilihat dari segi efektifitas perusahaan milik rakyat itu dalam mengemban misi dan tujuan penyelenggaraannya. Menyamakan tantangan BUMN dengan tantangan perusahaan swasta, sama saja dengan menelikung amanat konstitusi.
Sebaliknya, mengabaikan pemenuhan amanat konstitusi dalam penyelenggaraan BUMN, sama saja dengan membiarkan kesewenang-wenangan mereka yang berkuasa terhadap rakyat banyak. Sebagaimana ditegaskan oleh penjelasan Pasal 33 UUD 1945, “Sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Jika tidak, tampuk produksi dapat jatuh ke tangan orang seorang dan rakyat yang banyak ditindasnya.”
Tabel 1. Perkembangan Kinerja BUMN, 1988 –1997
_________________________________________________________________________
Jumlah BUMN
Tingkat Kesehatan __________________________________________
88 89 91 93 95 97
__________________________________________________________________________
Sehat Sekali 35 58 54 43 49 41
Sehat 25 38 51 38 43 33
Kurang Sehat 37 29 29 38 37 29
Tidak Sehat 92 59 52 64 49 57
Jumlah 189 184 186 183 178 160
Sumber: Diolah dari berbagai sumber oleh Revrisond Baswir
Tabel 2. Aset dan Laba Sebelum Pajak BUMN 1988 - 1997
(dalam triliun rupiah)
Tahun Aset Pertambahan Laba Pertambahan ROA
1988 124 - - 5,2 - - 4,2%
1989 144 20 (16%) 6,6 1,4 ( 27%) 4,6%
1990 179 35 (24%) 8,3 1,7 ( 26%) 4,6%
1991 201 22 (12%) 6,8 -1,5 (-18%) 3,4%
1992 238 37 (18%) 7,7 0,9 ( 13%) 3,2%
1993 268 30 (12%) 7,4 -0,3 (- 4%) 2,7%
1994 291 23 ( 9%) 7,9 0,5 ( 8%) 2,7%
1995 319 28 (10%) 8,2 0,3 ( 3%) 2,4%
1996 n/a n/a n/a
1997 425 11,2 2,6%
________________________________________________________________________
Sumber: Diolah dari berbagai sumber oleh Revrisond Baswir
Dilihat dari sudut itu, tantangan yang dihadapi BUMN dalam garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi tantangan internal dan tantangan eksternal. Secara internal, tantangan BUMN antara lain terungkap pada kian merosotnya kinerja keuangannya. Sebagaimana tampak pada Tabel 1 dan 2, kondisi kesehatan BUMN (yang
dihitung berdasarkan pembobotan tertentu atas rasio ROI, Likuiditas, Rentabilitas, dan Solvabilitas; lihat KMK No. 740/KMK/00/1989), secara keseluruhan memang membaik. Tahun 1988, BUMN yang kurang dan tidak sehat berjumlah 129 perusahaan. Sedangkan yang sehat dan sehat sekali hanya berjumlah 60 perusahaan. Tahun 1997, jumlah BUMNyang kurang dan tidak sehat turun menjadi 86 perusahaan. Sedangkan yang sehat dan sehat sekali meningkat menjadi 74 perusahaan.
Yang mengejutkan adalah bila dibandingkan antara pertambahan nilai aset BUMN dengan pertambahan laba sebelum pajaknya. Walaupun dalam periode 1988 - 1997 nilai aset BUMN rata-rata meningkat 17 persen per tahun, laba sebelum pajak yang diperolehnya ternyata tidak banyak berubah. Laba sebelum pajak BUMN tahun 1988 berjumlah Rp5,2 triliun. Sepuluh tahun kemudian hanya meningkat menjadi Rp11,8 triliun. Selama sepuluh tahun tersebut, laba sebelum pajak BUMN rata-rata hanya meningkat sebesar 10 persen. Peningkatan laba yang lebih rendah daripada peningkatan nilai aset itu jelas mengungkapkan semakin menurunnya produktifitas aset BUMN. Return on Aset (ROA) BUMN dalam periode 1988 - 1997 memang merosot dari 4,2 persen menjadi 2,6 persen.
Salah satu faktor yang menyebabkan semakin merosotnya produktifitas aset BUMN itu adalah buruknya kinerja BUMN sektor keuangan. Sebagaimana terungkap pada kondisi BUMN tahun 2001, dari total aset seluruh BUMN sebesar Rp845,5 triliun, Rp525,6 triliun (62%) di antaranya adalah aset BUMN sektor keuangan. Sementara itu, dari Rp606 trilyun utang BUMN untuk tahun yang sama, Rp489,4 trilyun (80%) di antaranya adalah utang BUMN sektor keuangan. Laba bersih BUMN sektor keuangan pada tahun 2001 hanya Rp8,3 trilyun. Sedangkan laba bersih BUMN non-keuangan, yang memiliki aset Rp314,5 trilyun dan utang Rp116,6 trilyun, mencapai Rp11,9 trilyun. Akibatnya, ketika ROA BUMN non-keuangan pada tahun 2001 mencapai 3,8 persen, ROA BUMN sektor keuangan hanya mencapai 1,5 persen.
Berdasarkan angka-angka tersebut, dapat disaksikan bahwa kesalahan terbesar dalam menilai kinerja BUMN selama ini antara lain terletak pada dilakukannya penggabungan secara serampangan antara kinerja BUMN non-keuangan dengan kinerja BUMN keuangan. Padahal, sebagaimana diketahui secara luas, kinerja buruk BUMN keuangan tidak berbeda dari kinerja buruk perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak pada sektor yang sama. Artinya, kinerja buruk BUMN keuangan sesungguhnya lebih tepat digolongkan sebagai gambaran kinerja sektor keuangan, bukan gambaran kinerja BUMN.
Terlepas dari persoalan itu, salah satu tindakan yang selama ini sering dikemukakan oleh pemerintah untuk memperbaiki kinerja keuangan BUMN adalah dengan cara meningkatkan profesionalitas manajemennya. Walaupun BUMN memiliki peran yang tidak sama dengan perusahaan swasta, hal itu sama sekali tidak berarti bahwa manajemen BUMN dapat mengabaikan arti penting profesionalitas dalam melaksanakan fungsinya. Hanya melalui peningkatan profesionalitas manajemen itulah BUMN akan dapat memperbaiki kinerja keuangannya serta berperan secara efektif sebagai instrumen penyeimbang bagi bekerjanya mekanisme pasar secara berkeadilan.
Tetapi sebagai kelompok perusahaan yang dikendalikan oleh kekuasaan, peningkatan profesionalitas manajemen BUMN tidak mungkin berjalan sendiri. Campur tangan kekuasaan yang terlanjur sangat besar terhadap BUMN, tidak hanya telah menghambat proses pembenahan manajemen BUMN, tetapi juga telah menghambat kelincahan BUMN dalam berusaha. Sebagaimana dikemukakan Ketua Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sudarjono (1992), "Bagaimana bisa bertindak cepat menangkap peluang bisnis kalau masih banyak pengelola BUMN yang mesti lapor dulu ke atasannya sebelum melakukan sesuatu yang mestinya bisa dilakukan sendiri."
Dengan latar belakang seperti itu, dapat disaksikan bahwa tantangan eksternal BUMN sesungguhnya tidak secara langsung berkaitan dengani meningkatnya kondisi persaingan usaha, melainkan lebih erat kaitannya pada buruknya pola relasi antara manajemen BUMN dengan kekuasaan yang mengendalikannya. Bahkan, sebagaimana sudah menjadi pengetahuan umum, alih-alih menjadi pembina BUMN, birokrasi pemerintah selama ini cenderung muncul sebagai ‘pembinasa’ BUMN. Hal tersebut diperparah oleh masuknya campur tangan para politisi ke dalam tubuh BUMN. Ujung-ujungnya, pola relasi antara manajemen BUMN dengan pemerintah dan parlemen, sering menyebabkan terjerumusnya BUMN ke dalam skenario ‘sapi perah’ mereka yang berkuasa.
Rampokisasi BUMN
Dengan tantangan sebagaimana diuraikan itu, dapat disaksikan bahwa semakin merosotnya kinerja BUMN selama ini bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia memiliki kaitan yang sangat erat dengan buruknya pola hubungan antara manajemen BUMN dengan pemerintah dan DPR, serta buruknya transparansi dan akuntabilitas kekuasaan terhadap rakyat banyak. Bila demikian, dapatkah privatisasi atau pemindahan modal BUMN kepada para pemodal swasta diandalkan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan tersebut? Sebelum menjawab pertanyaan itu, tentu ada baiknya bila pengertian dan perkembangan pelaksanaan privatisasi BUMN di Indonesia diulas secara singkat.
Secara umum, privatisasi memang cenderung dipahami sebagai suatu proses sistematis untuk memindahkan status kepemilikan BUMN atau harta publik lainnya, dari tangan seluruh anggota masyarakat (negara) kepada para pemodal swasta. Dengan pengertian seperti itu, privatisasi sesungguhnya hanyalah salah satu unsur saja dari agenda besar liberalisasi ekonomi dalam arti seluas-luasnya (Petras dan Veltemeyer, 2001).
Tetapi dalam pengertian yang lebih longgar, privatisasi sesungguhnya dapat pula diartikan sebagai suatu proses gradual untuk mentransformasikan metode pengelolaan BUMN dan harta publik lainnya itu, yaitu agar lebih menyerupai metode pengelolaan yang terdapat di sektor swasta. Dilihat dari segi pengertian privatisasi yang terakhir ini, pelaksanaan program privatisasi sesungguhnya sama sekali bukan hal baru bagi Indonesia.
Pada tahun 1988, pemerintahan Orde Baru pernah melaksanakan program privatisasi sebagai bagian dari satu paket program deregulasi dan debirokratisasi nasional. Titik tekan pelaksanaan program privatisasi ketika itu adalah pada perbaikan kinerja BUMN. Dalam rangka itu, secara gradual pemerintah berusaha mengubah status badan hukum BUMN dari perusahaan jawatan (perjan) menjadi perusahaan umum (perum), dan dari perum menjadi perusahaan perseroan (persero).
Sebagai ilustrasi, tahun 1988 masih terdapat dua BUMN yang berbentuk perjan. Tetapi sejak 1990, BUMN jenis ini hilang sama sekali. Demikian halnya dengan BUMN yang berbentuk perum. Tahun 1988, jumlah BUMN yang berbentuk perum masih tercatat sebanyak 32 unit. Tetapi tahun 1993, jumlahnya merosot menjadi hanya 19 unit. Akibat perubahan bentuk badan hukum BUMN dari perjan menjadi perum, dan dari perum menjadi persero tersebut, dalam periode 1988 – 1994, jumlah BUMN yang berbentuk persero meningkat dari 120 unit menjadi 142 unit (Baswir, 1997).
Sejauh dapat dipantau dari pelaksanan program privatisasi sepanjang era Orde Baru itu, walau pun sasaran pelaksanaannya banyak yang tidak tercapai, secara umum ia cenderung jauh dari kontroversi. Sebaliknya, sebagian besar direksi dan karyawan BUMN cenderung berlomba-lomba untuk mengubah status perusahaannnya menjadi persero. Perhatikanlah misalnya perjuangan Perusahaan Jawatan Kereta API (PJKA), yang dalam waktu relatif singkat mengalami transformasi menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) dan PT Kereta Api Indonesia. Demikian halnya dengan Perusahaan Jawatan Pegadaian. Setelah berhasil mengubah status menjadi Perum Pegadaian, hingga kini perusahaan ini masih terus berjuang untuk mengubah status badan hukumnya menjadi PT Pegadaian Indonesia.
Jika dibandingkan dengan pelaksanaan program privatisasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru tersebut, pelaksanaan program privatisasi yang diperintahkan IMF dalam rangka pelaksanaan program penyesuaian struktural itu, memang sangat berbeda tujuannya. Program privatisasi yang diamanatkan IMF tidak hanya ditujukan untuk memperbaiki kinerja BUMN, tetapi secara langsung diarahkan untuk mengubah status kepemilikan BUMN menjadi perusahaan swasta.
Sebagaimana tercantum dalam letter of intent (LOI), selama lima tahun keberadaan IMF di sini (1998 – 2002), pemerintah dan IMF sepakat untuk melego sekurang-kurangnya 16 BUMN. Beberapa diantaranya adalah PT Pupuk Kaltim, PT Kimia Farma, PT Telkom, PT Indosat, dan PT Semen Gresik (selengkapnya lihat Tabel.3). Dari hasil privatisasi ke 16 BUMN tersebut, pemerintah berharap dapat menerima tambahan pemasukan sebesar rata-rata Rp6,5 triliun per tahun.
Dengan latar belakang seperti itu, dapat disaksikan betapa pelaksanaan privatisasi BUMN yang diperintahkan oleh IMF, selain sangat erat kaitannya dengan beban utang luar negeri yang dihadapi pemerintah, sangat erat pula kaitannya dengan agenda besar liberalisasi ekonomi yang sedang dijalankan oleh lembaga itu di sini. Bahkan, karena dilaksanakan di tengah-tengah situasi krisis, tindakan tersebut sangat mudah untuk ditafsirkan sebagai upaya sengaja IMF untuk merampok BUMN demi keuntungan para pemodal internasional (Palast, 2001).
Indikasi adanya unsur kesengajaan IMF untuk merampok BUMN itu antara lain diperkuat oleh beberapa fakta berikut:
Tabel 3. RENCANA PELAKSANAAN PRIVATISASI BUMN 1998 – 2002
BUMN Bidang Usaha Saham Saham
Pemerintah Dijual
(%) (%)
1. Indo Farma Farmasi 100 10 - 49
2. Pupuk Kaltim Pupuk 100 10 - 49
3. Wisma Nusantara Hotel 42 s.d 42
4. Kimia Farma Farmasi 100 10 - 35
5. Sucofindo Surveyor 95 15 - 20
6. PTPN II Perkebunan 100 10 - 35
7. Sarinah Ritel 100 s.d 100
8. Socfindo Perkebunan 40 20 - 30
9. TBB Bukit Asam Pertambangan 100 10 - 35
10. Krakatau Steel Industri baja 100 s.d 49
11. Bank Mandiri Perbankan 100 s.d 35
12. Angkasa Pura II Manajemen 100 s.d 49
13. Indocement Industri Semen 25 s.d 25
14. Semen Gresik Industri Semen 51 ---
15. Telkom Industri 65 s.d 11
16. Indosat Industri 65 s.d 11
_______________________________________________________________________________
Sumber: Dirjen Pembinaan BUMN, Departemen Keuangan
Pertama, terungkapnya pernyataan CEO Cemex SA de CV Lorenzo Zambarano, sehubungan dengan alasan perusahaannya untuk melakukan ekspansi ke Asia. Menurut pemilik salah satu perusahaan semen terbesar di dunia tersebut, sebagaimana disiarkan oleh harian the Financial Times, “Sebelum krisis, perusahaan-perusahaan semen di Asia bernilai sekitar 500 dolar AS per ton kapasitas. Tetapi kini, setelah krisis, nilai perusahaan-perusahan semen di Asia merosot hanya menjadi 100 dolar AS per ton kapasitas,” (Crawford, 1997). Yang membuat miris, ketika Cemex SA de CV membeli saham PT Semen Gresik Group (PT SGG) pada tahun 1998, perusahaan itu ternyata tidak perlu mengeluarkan uang sebesar 100 dolar AS per ton kapasitas, tetapi cukup 47 dolar AS per ton kapasitas.
Kedua, adanya kecenderungan IMF untuk membiarkan berlangsungnya proses privatisasi BUMN tanpa dasar hukum yang jelas. Ini tidak hanya berkaitan dengan tidak adanya UU Privatisasi, tetapi berkaitan pula dengan belum dimilikinya UU BUMN oleh Indonesia. Padahal, pelaksanaan program privatisasi dengan payung UU merupakan hal yang sangat lazim di seluruh dunia. Di Yordania, pelaksanaan privatisasi dipayungi dengan UU No. 25/2000. Di Rumania, pelaksanan privatisasi dipayungi dengan UU No. 99/1999. Sedangkan di Brazil, kegiatan tersebut dipayungi dengan UU No. 13-IV/1990.
Sikap IMF yang cenderung membiarkan berlangsungnya pelaksanaan privatisasi BUMN tanpa dasar hukum yang jelas itu, sangat bertolak belakang dengan sikap IMF ketika mengupayakan pelaksanaan privatisasi di Nigeria. Di negeri Afrika tersebut, IMF justru memutuskan untuk membekukan pencairan pinjamannya kepada negara tersebut, semata-mata karena ditolaknya keinginan IMF untuk menyusun UU Privatisasi, oleh lembaga legislatif negara yang bersangkutan.
Ketiga, ada kecenderungan IMF untuk bersikap pura-pura tidak tahu terhadap berbagai skandal pelaksanaan program privatisasi BUMN selama ini. Tahun 1998, pelaksanaan program privatisasi sempat dihebohkan oleh mencuatnya skandal penjualan PT Karakatau Steel kepada Ispat Internasional NV. Skandal penjualan diam-diam yang diduga melibatkan Menteri Pemberdayan BUMN Tanri Abeng tersebut, tidak hanya menuai protes, tetapi berakibat pada ditangguhkannya rencana tersebut hingga saat ini.
Kemudian, masih pada tahun yang sama, pelaksanaan program privatisasi kembali dihebohkan oleh mencuatnya indikasi insider trading dalam proses privatisasi PT SGG. Sebagaimana terungkap secara terinci dalam laporan pengaduan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) kepada Kejaksaan Agung yang dikutip oleh Majalah Berita Mingguan Gamma edisi No. 26-3/2001 tersebut, setidak-tidaknya terdapat 14 perusahaan yang diduga terlibat dalam praktik pat gulipat yang berujung pada pemecatan Ketua Bapepam IPG Ary Suta itu.
Beberapa diantaranya adalah Danareksa Sekuritas, Semen Gresik, Bahana Sekuritas, Cemex, New Old Investment, dan Harita Kencana Sekuritas. Sedangkan beberapa nama orang dalam yang diduga turut mengetahui informasi penjualan saham PT SGG tersebut adalah Tantri Abeng, Herwidiyatmo, Sudjiono Timan, Agus Projosasmito, dan Harry Tanusudibyo. Sebagaimana diketahui, beberapa waktu yang lalu, indikasi skandal serupa kembali mencuat ke permukaan sehubungan dengan pelaksanaan privatisasi PT Indosat.
Keempat, adanya kecenderungan IMF untuk tidak segan-segan memasuki wilayah politik guna menekan pemerintah agar mempercepat pelaksanaan program privatisasi di Indonesia. Hal itu antara lain tampak secara mencolok ketika IMF tetap mendorong pelaksanaan privatisasi lanjutan PT SGG di tengah-tengah memuncaknya perlawanan masyarakat Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan terhadap rencana tersebut.
Dengan tetap mendorong pelaksanaan program privatisasi lanjutan PT SGG, ditengah-tengah penolakan Komisi V dan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu, secara tidak langsung IMF tidak hanya cenderung melecehkan keberadaan lembaga legislatif tersebut, tetapi juga cenderung tidak segan-segan menerapkan praktik adu domba yang dapat menjerumuskan Indonnesia ke tubir ‘Balkanisasi’ (Koran Tempo, 2001).
Kelima, sehubungan dengan pemanfaatan dana hasil privatisasi, IMF cenderung membiarkan digunakannya dana-dana tersebut tanpa aturan yang jelas. Padahal, dalam UU Privatisasi di Yugoslavia (Serbia), misalnya, dana hasil privatisasi tidak hanya dikelola oleh sebuah lembaga khusus yang dibentuk untuk keperluan tersebut, tetapi juga langsung diatur peruntukannya. Selain dipergunakan untuk membiayai program pembangunan (50%), dana hasil privatisasi di Yugoslavia juga diserahkan kepada Departemen Tenaga Kerja (25%), dan untuk membiayai program pensiun dan asuransi pegawai (25%).
Akibat ketiadaan aturan yang jelas, maka tidak aneh jika dana hasil privatisasi BUMN di Indonesia cenderung dipakai oleh para penguasa sesuka hati mereka. Dana hasil privatisasi PT SGG, misalnya, sebagaimana diakui oleh Umar Juoro dan Direktur Pengawasan BI Siti Fadjriah kepada saya, dipakai oleh pemerintah pada masa itu untuk melakukan intervensi ke pasar uang. Dengan demikian, mudah dimengerti, jika dalam tempo yang relatif singkat, rupiah menguat ke level Rp6.700 per satu dolar AS.
Mencermati pelaksanaan program privatisasi BUMN yang berbau rampokisasi tersebut, sangat wajar jika target-target penerimaan negara dari pelaksanaan program privatisasi sulit dicapai. Jangankan mencapai target, sebagai telah disinggung pada permulaan tulisan ini, pelaksanan program privatisasi ala IMF itu justru cenderung mengundang keresahan dan menyeret bangsa Indonesia ke tubir ‘Balkanisasi.’
Demokratisasi BUMN
Untuk mengakhiri berlanjutnya proses privatisasi BUMN yang berbau rampokisasi itu, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah dan DPR kecuali segera menata kembali orientasi pelaksanaan reformasi BUMN di Indonesia. Adanya keinginan sejumlah kalangan untuk memaksakan pelaksanaan privatisasi BUMN, patut dicurigai sebagai upaya jalan pintas untuk menanggulangi persoalan yang dihadapi pemerintah, atau sekedar untuk meniadakan BUMN (Farazmand, 1999).
Karena tidak benar-benar dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja BUMN, tentu sangat wajar bila pelaksanaan program privatisasi cenderung sarat dengan indikasi rampokisasi. Ibaratnya, gagasan good governance hanya berlaku bagi BUMN, tetapi tidak berlaku dalam pelaksanaan reformasi BUMN (Paliwala, 2000; Baswir, 2001).
Pertanyaannya, tindakan apakah yang perlu dilakukan untuk mengakhiri berlanjutnya proses rampokisasi BUMN dan sekaligus untuk memperbaiki kinerja BUMN di masa yang akan datang? Jawabannya saya kira sangat mudah. Jika pemerintah dan DPR dapat bersepakat untuk mengindependenkan Bank Indonesia (BI), maka strategi utama yang perlu ditempuh untuk meningkatkan profesionalitas manajemen BUMN adalah dengan cara melakukan demokratisasi pengelolaan BUMN di Indonesia.
Hal itu dapat dilakukan dengan menjauhkan manajemen BUMN dari campur tangan pemerintah dan DPR, serta dengan cara meningkatkan keikutsertaan karyawan, konsumen, dan pemerintah daerah selaku pengendali BUMN. Dengan dilakukannya demokratisasi BUMN, otoritas penuh pemerintah pusat dalam membentuk manajemen BUMN dengan sendirinya harus segera diakhiri.
Untuk keperluan itu, antara pemerintah dan DPR dengan manajemen BUMN, perlu segera dibentuk sebuah badan independen yang bertanggungjawab secara khusus dalam mengembangkan BUMN. Badan independen yang mungkin dapat disebut sebagai Badan Pengembangan BUMN tersebut, dipimpin oleh sebuah Dewan Pimpinan yang diangkat oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. Badan ini selanjutnya bertanggungjawab kepada pemerintah dan memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan perkembangan kinerja BUMN kepada parlemen, pemilik saham, dan secara langsung kepada masyarakat.
Dengan diserahkannya fungsi pengelolaan dan pengembangan BUMN kepada Badan Pengembangan BUMN, kedudukan Menteri Keuangan atau Menteri Negara BUMN selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BUMN sebagaimana berlangsung selama ini, harus segera diakhiri. Demikian halnya mengenai penunjukkan dewan komisaris, dewan direksi, pelaksanaan investasi dan divestasi BUMN. Dengan cara itu, peluang masuknya intervensi politik ke dalam tubuh BUMN diharapkan akan dapat diakhiri pula.
Sehubungan dengan keikutsertaan karyawan, konsumen, dan pemerintah daerah dalam mengendalikan BUMN, peluang ketiga pihak ini untuk turut menjadi pemilik saham BUMN layak mendapat perhatian. Keikutsertaan karyawan, konsumen, dan pemerintah daerah sebagai pemilik saham BUMN, tidak hanya akan mendorong BUMN untuk menjadi lebih demokratis, tetapi juga akan mendorong perusahaan rakyat itu untuk lebih transparan. Selain itu, dengan cara seperti itu, BUMN akan dipaksa untuk tidak hanya mengabdi kepada para penguasa di pusat, tetapi juga kepada para karyawan, konsumen, dan kepada masing-masing pemerintah daerah di mana perusahaan yang bersangkutan melakukan kegiatannya.
Sebagai dasar pembentukan Badan Pengembangan BUMN, dan sekaligus sebagai titik tolak untuk meletakkan dasar-dasar kebijakan pengelolaann BUMN, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), tindakan pertama yang harus segera dilakukan oleh pemerintah dan DPR adalah melakukan amandemen terhadap UU BUMN No. 19/2003. Hal-hal yang perlu diatur dalam UU BUMN yang baru setidak-tidaknya meliputi beberapa hal berikut: (a) misi dan tujuan BUMN; (b) penjenisan BUMN; (c) kebijakan umum pengelolaan BUMN; (d) pola hubungan antara pemerintah dan DPR dengan BUMN; (e) pembentukan, fungsi, dan peran Badan Pengembangan BUMN (f) mekanisme investasi, divestasi, likuidasi, dan pertanggungjawaban BUMN; dan (g) peran serikat pekerja dalam pengelolaan BUMN.
Dengan tersusunnya UU BUMN baru dengan kandungan sebagaimana dikemukakan tersebut, serta terbentuknya Badan Pengembangan BUMN yang bersifat independen, berbagai kesimpangsiuran yang melanda pengelolaan BUMN sebagaimana berlangsung selama ini, mudah-mudahan dapat segera diakhiri. Kinerja BUMN untuk selanjutnya dapat diperbaiki, demikian halnya dengan kemampuan BUMN untuk berperan sebagai penyeimbang bekerjanya mekanisme pasar secara berkeadilan. Sebaliknya, pemanfaatan BUMN sebagai sapi perah kekuasaan atau sebagai objek rampasan kekuatan modal internasional, mudah-mudahan akan dapat diakhiri pula.
Simpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di muka adalah sebagai berikut.
Pertama, BUMN memiliki peran yang sangat strategis dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan. Walau pun sama-sama bergerak dalam sektor dunia usaha, peran BUMN dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan tidak dapat disamakan dengan perusahaan swasta. Peran BUMN dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah sebagai instrumen bagi negara untuk menjamin pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kedua, kemampuan BUMN dalam mengemban misi dan tujuannya selama ini masih jauh dari memuaskan. Selain disebabkan oleh buruknya kinerja manajemen BUMN, hal itu terutama disebabkan oleh tidak dimilikinya konsep yang jelas oleh pemerintah dan DPR dalam menyelenggarakan BUMN secara demokratis. BUMN selama ini cenderung menjadi sapi perah mereka yang berkuasa.
Ketiga, privatisasi bukanlah cara yang tepat, apalagi merupakan satu-satunya cara, untuk menanggulangi tantangan yang dihadapi BUMN. Privatisasi, lebih-lebih yang dilakukan di bawah tekanan IMF, hanyalah sebuah jalan pintas untuk mengalihkan kepemilikan BUMN ke tangan para pemodal swasta. Dengan demikian, privatisasi memiliki potensi yang sangat besar untuk dimanfaatkan oleh kekuatan modal internasional dan para kaki tangannya untuk merampok Indonesia.
Keempat, strategi yang tepat untuk membenahi tata kelola penyelenggaraan BUMN adalah dengan melakukan demokratisasi BUMN. Sehubungan dengan itu, agar kemampuan BUMN untuk mengemban misinya dapat ditingkatkan, perlu segera dibentuk Badan Pengembangan BUMN yang bersifat independen. Kepemilikan saham BUMN sebaiknya segera didistribusikan kepada para karyawan, konsumen, dan kepada pemerintah daerah tempat masing-masing perusahaan melaksanakan kegiatannya.
Kelima, UU BUMN No. 19/2003 harus secepatnya diamandemen, yaitu untuk menyusun UU BUMN yang lebih komprehensif dan sesuai dengan amanat konstitusi. Dengan demikian, tujuan UU BUMN yang baru, sebagai pengganti UU BUMN No. 19/2003, bukanlah untuk meletakkan dasar legitimasi bagi pelaksanaan privatisasi, melainkan untuk menjabarkan amanat konstitusi mengenai kedudukan BUMN dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan, serta untuk meletakkan dasar-dasar kebijakan pengelolaan BUMN sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.
Referensi
Baswir, Revrisond (1999), Strategi Penyehatan BUMN, dalam Baswir (2000), Dilema Kapitalisme Perkoncoan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
________________ (2001), Sistem Ekonomi Kerakyatan, dalam St. Sularto, ed. (2001), Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Penerbit Kompas, Jakarta
________________ (2001), Geger Obral BUMN, Jawapos, 10 Desember
________________ (2002), Strategi Reformasi BUMN, makalah disajikan dalam Seminar Nasional Reformasi BUMN, diselenggarakan atas kerjasama FE UGM dan Harian Bisnis Indonesia, Jakarta, 27 Maret
Crawford, Leslie (1997), How Thinking Big Helped the Group Survive, Financial Times, edisi 7 Nopember (http://www.ft.com/reports/v5e396.htm.)
Farazmand, Ali (1999), Privatization or Reform? Public Enterprise Management in Transition, International Review of Administratif Sciences Vol. 65 No. 4, London
Hatta, Mohammad (1963), Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia, dalam Swasono dan Ridjal, ed., (1992) Mohammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
Palast, Greg (2001), The World bank’s former Chief Economst’s accussations are eye popping—including how the IMF and US Treasury fixed the Russian elections, The Observer, London, October 10
(http://www.globalexchange.org/wbim/observer101001.html)
Paliwala, Abdul (2000), Privatisation in Developing Countries: The Governance Issue, Law, Social justice & Global Development Journal (LGD)
http://elj.warwick.ac.uk/global/issue/2000-1/paliwala.html
Pasaribu, Benny (2001), Peran BUMN dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan, Manajemen No. 156/2001, Jakarta
Petras, James dan Henry Veltemeyer (2001), Globalisation Unmasked: Imperialism in the 21st Century, Fernwood Publishing, Canada
Republik Indonesia (2001), UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional, Penerbit Grafika, Jakarta
Majalah Berita Mingguan Gamma, Santailah Ivan-ivan Kecil, edisi no. 26-3/2001
Harian Umum Koran Tempo, IMF: Pemeriantah Harus Sosialisasikan Privatisasi, edisi 23 Oktober 2001
6 Juni 2009
LAMPIRAN
BUNG HATTA DAN BUMN
“Suatu politik perekonomian yang didasarkan atas inisiatif partikelir hanya akan membuka jalan bagi masuknya kapitalis asing ke Indonesia. Dan dengan itu, sejarah kolonialisme ekonomi, berulang kembali.” [1]
[1] Mohammad Hatta, Masalah Bantuan Perkembangan Ekonomi Bagi Indonesia (1967), dalam Swasono dan Ridjal, Mohammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, UI Press, Jakarta, 1992, hal. 213
“...pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar-besar seperti membangun tenaga listrik, menggali saluran pengairan, membuat jalan-jalan perhubungan, menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pendek kata, apa yang disebut dalam bahasa Inggris public utilities diusahakan oleh pemerintah. Milik perusahaan-perusahaan besar tersebut sebaik-baiknya di tangan pemerintah. Tetapi management perusahaannya diberikan kepada tangan yang cakap.”[2]
[2] Mohammad Hatta, Sesudah Duapuluh Lima Tahun (1970), dalam Mohammad Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia, Inti Idayu Press, Jakarta, 1985, hal. 83
“Bukan saja perusahaan yang tergolong masuk ‘public utilities’ diselenggarakan oleh Pemerintah, melainkan juga cabang-cabang produksi yang penting sebagai industri dasar, tambang dan lain-lainnya dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah. Dikuasai oleh pemerintah tidak berarti bahwa Pemerintah sendiri menjalankan perusahaannya dengan alat-alat birokrasinya. Manajemen perusahaan boleh diserahkan kepada orang-orang yang cakap yang bertanggungjawab kepada Pemerintah.”[3]
[3] Mohammad Hatta, opcit., dalam Swasono dan Ridjal, Mohammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, UI Press, Jakarta, 1992, hal. 210
“Apabila pimpinan perusahaan yang cakap itu tidak terdapat di antara bangsa kita sendiri, disewa manajer asing dengan syarat, bahwa selama ia memimpin perusahaan negara itu dididiknya gantinya dari orang Indonesia sendiri. Contoh politik perusahaan yang semacam itu sudah pernah kita lakukan dengan perusahaan negara, pabrik semen di Gresik.”[4]
[4] Mohammad Hatta, opcit., dalam Mohammad Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia, Inti Idayu Press, Jakarta, 1985, hal. 83
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk