Minggu, 01 November 2009
DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA
oleh Jalaluddin Rakhmat
Pada waktu Nabi saw sakit keras, beliau bersabda, "Bawa
kepadaku Kitab agar kalian tidak akan sesat sesudahku." Umar
berkata. "Sakit keras menguasai diri. Pada kita ada kitab
Allah itu cukup buat kita." Orang-orang pun bertikai dan
ramailah pembicaraan. Nabi saw berkata, "Enyahlah kalian dari
sini. Tidak pantas bertikai di hadapanku."
Peristiwa ini konon terjadi pada hari Kamis, sehingga Ibnu
Abbas yang meriwayatkan hadits di atas menyebutkannya sebagai
tragedi hari Kamis. "Alangkah tragisnya kejadian yang
menghalangi Nabi saw. untuk menuliskan wasiatnya," kata Ibnu
Abbas. Kita tidak tahu mengapa Ibnu Abbas menyebutkan sebagai
tragedi. Apakah ia menyesalkan pertikaian sahabat di hadapan
Nabi saw. yang sedang udzur, sehingga Nabi saw. murka kepada
mereka? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar yang menuduh
perintah Nabi saw itu dilakukan tidak sadar (Dalam riwayat
lain, Umar mengatakan Nabi saw. mengigau!), sehingga tidak
perlu dipatuhi? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar bahwa
al-Qur'an saja sudah cukup, tidak perlu lagi ada petunjuk
Rasulullah saw di luar itu?
Ibnu Abbas sebagai ulama salaf boleh menyesalkan peristiwa
itu, tapi para ulama salaf tidak. Mereka bahkan memuji
kebijakan Umar, yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Kata
al-Qurthubi, "Memang yang diperintah harus segera menjalankan
perintah. Tapi Umar beserta kelompok sahabat lainnya melihat
perintah itu bukan wajib; hanya pengarahan pada cara yang
terbaik. Mereka tidak ingin membebani Nabi saw dengan sesuatu
yang memberatkannya dalam keadaan (sakit) seperti itu. Apalagi
ada firman Allah "Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini
sedikit pun," dan al-Qur'an itu menjelaskan segala sesuatu.
Karena itu Umar berkata, "Cukuplah Kitab Allah bagi kita."
Kata al-Khithabi, "Sesungguhnya Umar berpendapat seperti itu,
karena sekiranya Nabi saw. menetapkan sesuatu yang
menghilangkan ikhtilaf (di kalangan kaum muslim), tentu tak
ada gunanya lagi ulama dan ijtihad pun tidak perlu lagi." Kata
Ibn al-Jawzi. "Umar kuatir sekiranya Nabi saw. menuliskan
dalam keadaan sakit, kelak orang-orang munafik akan mencari
jalan untuk mengecam apa yang dituliskan itu."
Apapun komentar para ulama, perkataan Umar, "Kitab Allah ...,"
telah memulai problematika sunnah atau hadits yang berada di
luar al-Qur'an. Betulkah al-Qur'an saja sudah cukup? Atau
bisakah kita menyimpulkan bahwa hanya al-Qur'an sajalah karya
ilahi, sedangkan sunnah atau hadits adalah produk pemikiran
manusia; dan karena itu tidak mengikat?
Sikap Umar terhadap hadist adalah sikap Abu Bakar juga.
Al-Dzahabi, ketika menulis biografi Abu Bakar, mengisahkan
satu peristiwa ketika Abu Bakar mengumpulkan orang banyak
setelah Nabi saw wafat. Abu Bakar berkata: "Kamu sekalian
meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah saw, sehingga
kalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebih
keras lagi bertikai. Janganlah kalian meriwayatkan hadits
sedikit pun dari Rasulullah saw. Bila ada orang yang meminta
kalian (meriwayatkan hadits), katakan di antara kita dan Anda
ada Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan
apa yang diharamkannya."
Baik Abu Bakar maupun Umar, menegaskan sikap mereka dengan
tindakan. Mereka melarang periwayatan hadits dengan keras.
Aisyah bercerita, "Ayahku telah menghimpun 500 hadits dari
Nabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, "Bawa
hadits-hadits itu kepadaku. Saya pun membawakan untukmu." Ia
lalu membakarnya dan berkata: Aku takut setelah aku mati,
meninggalkan hadits-hadits itu kepadamu."
Kemenakan Aisyah, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, berkata,
"Hadits-hadits makin bertambah banyak pada zaman Umar.
Kemudian beliau memerintahkannya untuk dikumpulkan. Setelah
hadits-hadits itu terkumpul, Umar meletakkannya di atas bara
api, sembari berkata: Tidak boleh ada matsnat seperti matsnat
Ahli Kitab."
Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk
al-Khulafa' al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar
sahabat, juga sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibn
Jubair, al-Nakha'i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa'id bin
Musayyab tidak mau menuliskan hadits. Situasi seperti ini
berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketika
beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan
hadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah.
Al-Awza'i di Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammar
di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah.
Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umar
merujuk selain al-Qur'an? Ketika mereka ingin mengetahui
cara-cara shalat yang tidak diuraikan al-Qur'an atau
menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan
Islam, apa yang mereka jadikan acuan? Fazlur Rahman menjawab,
mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu
mereka melihat hadits. Sekarang, dalam rangka membuka pintu
ijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. Saya melihat
perkembangan sebaliknya: dari hadits ke sunnah. Untuk membuka
pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada
kedua konsep itu.
DARI SUNNAH KE HADITS
Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah adalah praktek
kaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasal
dari kebiasaan Jahiliyah (pra-Islam) yang dilestarikan dalam
Islam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukum
Islam terhadap sunnah yang ada, di tambah unsur-unsur yang
berasal dari kebudayaan Yahudi, Romawi, dan Persia. Ketika
gerakan hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah yang
ada, dinisbahkan kepada Nabi saw, dan disebut "Sunnah Nabi."
Fazlur Rahman mengkoreksi pandangan orientalis ini dengan
menegaskan:
Sekarang kami akan menunjukkan (1) Bahwa sementara kisah
perkembangan Sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan
kandungannya, tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya
yang menyatakan sunnah Nabi tetap merupakan konsep yang
memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam
hingga masa kini, (2) Bahwa kandungan sunnah yang bersumber
dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan
bersifat spesifik secara mutlak; (3) Bahwa konsep sunnah
sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tapi juga
penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut; (4) Bahwa
sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan
ijma' yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin
meluas secara terus-menerus; dan yang terakhir sekali (6)
Bahwa setelah gerakan pemurnian Hadits yang besar-besaran,
hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma' menjadi
rusak.
TELADAN NABI SAW
|
PRAKTEK PARA SAHABAT
|
PENAFSIRAN INDIVIDUAL
|
OPINIO GENERALIS
|
OPINIO PUBLICA (SUNNAH)
|
FORMALISASI SUNNAH (HADITS)
Jadi, para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw. sebagai
teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Setelah Nabi saw. wafat, berkembanglah penafsiran
individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian
sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi
sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free
market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah,
Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama
di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah.
Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim,
berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr
al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain daripada
opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua
Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang
ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi
sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah
ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan
menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
Mungkin banyak ulama akan tercengang membaca pandangan Fazlur
Rahman tentang hadits, seperti saya kutip di bawah ini:
Berulang kali telah kami katakan --mungkin sampai membosankan
sebagian pembaca-- bahwa walaupun landasannya yang utama
adalah teladan Nabi, hadits merupakan hasil karya dari
generasi-generasi muslim. Hadits adalah keseluruhan aphorisme
yang diformulasikan dan dikemukakan seolah-olah dari Nabi,
oleh kaum muslimin sendiri; walaupun secara historis tidak
terlepas dari Nabi. Sifatnya yang aphoristik menunjukkan bahwa
hadits tersebut tidak bersifat historis. Secara lebih tepat
hadits adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umat
muslim di masa lampau.
Walhasil, setelah kaum muslim awal secara berangsur-angsur
sepakat menerima sunnah, mereka menisbatkan sunnah itu kepada
Nabi saw. Kemudian, mereka merumuskan sunnah itu dalam bentuk
verbal. Inilah yang disebut hadits. Bila sunnah adalah proses
kreatif yang terus menerus, hadits adalah pembakuan yang kaku.
Ketika gerakan hadits unggul, ijma' (yang merupakan opinio
publica) dan ijtihad (yang merupakan proses interpretasi umat
terhadap ajaran Islam) menjadi tersisihkan.
DARI HADITS KE SUNNAH
Sepakat dengan Fazlur Rahman, saya juga berpendapat bahwa
perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi
perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang
bermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai
dengan Nabi saw. Nabi saw. berulangkali menyuruh sahabat
menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw. berkata, "Shalatlah
kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, ia
berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw.
menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah
itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak
termasuk golonganku."
Namun, berlawanan dengan tesis Fazlur Rahman, saya berpendapat
bahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalah
hadits. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat
untuk menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang
dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka yang menuliskannya.
Misalnya Ali, seperti diriwayatkan Bukhari, mempunyai mushaf
di luar al-Qur'an, yang menghimpun keputusan-keputusan hukum
yang pernah dibuat Rasulullah saw. Abdullah bin Amr bin Ash
juga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi.
Dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam pengantar di
atas, kita melihat 'Aisyah juga menyimpan catatan-catatan
hadits (mungkin ditulis Abu Bakar). Umar sendiri pernah
mengumpulkan catatan-catatan hadits yang berserakan dan
membakarnya.
Kita tidak akan mengupas mengapa dua khalifah pertama
mengadakan gerakan "penghilangan" hadits. Yang jelas, pengaruh
kedua sahabat besar ini terasa sampai lebih dari satu abad.
Keengganan mencatat hadits, menurut Rasm Ja'farian, telah
mengakibatkan hal-hal yang merugikan umat Islam. Pertama,
hilangnya sejumlah besar hadits. Urwah bin Zubayr pernah
berkata, "Dulu aku menulis sejumlah besar hadits, kemudian aku
hapuskan semuanya. Sekarang aku berpikir, alangkah baiknya
kalau aku tidak menghancurkan hadits-hadist itu. Aku bersedia
memberikan seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnya
kembali."
Kedua, terbukanya peluang pada pemalsuan hadits. Abu al-Abbas
al-Hanbaly menulis, "Salah satu penyebab timbulnya perbedaan
pendapat di antara para ulama adalah hadits-hadits dan
teks-teks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah
yang bertanggung jawab atas kejadian ini, karena para sahabat
meminta izin untuk menulis hadits tapi Umar mencegahnya.
Seandainya para sahabat menuliskan apa-apa yang pernah
didengarnya dari Rasulullah saw, sunnah akan tercatat tidak
lebih dari satu rantai saja (dalam penyampaian) antara Nabi
saw dan umat sesudahnya."
Ketiga, periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima
hadits secara lisan, ketika menyampaian hadits itu mereka
hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan,
redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah
persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadits berkembang
sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Keempat, terjadilah perbedaan pendapat. Bersamaan dengan
perbedaan pendapat ini, lahirlah akibat yang kelima, yang
mengandalkan ra'yu. Karena sejumlah hadits hilang, orang-orang
mencari petunjuk dari ra'yu-nya. Dalam pasar ra'yu yang
"bebas" (dalam kenyataannya, pasar gagasan umumnya tidak
bebas) sebagian ra'yu menjadi dominan. Ra'yu dominan inilah,
menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra'yu
menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya
demokrasi; boleh jadi juga karena dipaksakan penguasa. Tidak
mungkin kita memberi contoh-contohnya secara terperinci
disini.
Dalam semua kejadian ini, dominasi ra'yu sangat ditopang oleh
hilangnya catatan-catatan tertulis. Untuk memperparah keadaan,
tidak adanya rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara
bebas membuat hadits untuk kepentingan politis, ekonomi, atau
sosiologis. Abu Rayyah menulis, "Ketika hadits-hadits Nabi
saw. tidak dituliskan dan para sahabat tidak berupaya
mengumpulkannya, pintu periwayatan hadits palsu terbuka baik
untuk orang taat maupun orang sesat, yang meriwayatkan apa
saja yang mereka inginkan tanpa takut kepada siapapun."
Pendeknya, hilangnya catatan-catatan hadits telah menimbulkan
dominasi ra'yu, yang kemudian disebut sunnah. Panjangnya
rangkaian periwayatan hadits telah memungkinkan orang-orang
menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadits-hadits.
Tidak mengherankan, bila Fazlur Rahman sampai kepada
kesimpulan, hadits adalah produk pemikiran kaum muslim awal
untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan
sebagai produk para ahli hukum Islam: yang kemudian
dinisbahkan kepada Nabi saw. Jadi, mula-mula muncul hadits.
Kemudian, orang berusaha menghambat periwayatan hadits,
terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebih
merujuk pada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah
masyarakat, daripada pada teks. Ketika hadits-hadits
dihidupkan kembali, melalui kegiatan para pengumpul hadits,
kesulitan menguji hadits menjadi sangat besar.
Ulum al-Hadits mungkin membantu kita mengatasi kesulitan ini
dengan menambah kesulitan baru. Kesulitan bahkan muncul ketika
kita mendefinisikan hadits dan sunnah. Bila saya mendaftar
kesulitan yang disebut terakhir, saya hanya ingin mengajak
pembaca merekonstruksi kembali pandangannya tentang hadits dan
sunnah.
MENCARI DEFINISI HADITS DAN SUNNAH
Pada suatu hari Marwan bin Hakam berkhotbah di Masjid Madinah.
Waktu itu ia menjadi Gubernur Madinah yang ditunjuk oleh
Mu'awiyah. Ia berkata. "Sesungguhuya Allah ta'ala telah
memperlihatkan kepada Amir-u 'l-Mu'minin yakni Muawiyah
pandangan yang baik tentang Yazid, anaknya. Ia ingin menunjuk
orang sebagai khalifah. Jadi ia ingin melanjutkan sunnah
Abubakar dan Umar. Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar berkata, "Ini
sunnah Heraklius dan Kaisar. Demi Allah, Abubakar tidak pernah
menunjuk salah seorang anaknya atau salah seorang keluarganya
untuk menjadi khalifah. Tidak lain Muawiyah hanya ingin
memberikan kasih-sayang dan kehormatan kepada anaknya." Marwan
marah dan menyuruh agar Abd-u 'l-Rahman ditangkap. Abd-u
'l-Rahman lari ke kamar saudaranya, Aisyah Ummu 'l-Mukminin.
Marwan melanjutkan khotbahnya, "Tentang orang inilah turun
ayat yang berkata pada orang tuanya 'cis' bagimu berdua."
Ucapan itu sampai kepada Aisyah. Ia berkata, "Marwan berdusta.
Marwan berdusta. Demi Allah, bukanlah ayat itu turun untuk
dia. Bila aku mau, aku dapat menyebutkan kepada siapa ayat ini
turun. Tapi Rasulullah saw. telah melaknat ayahmu ketika kamu
masih berada di sulbinya. Sesungguhnya kamu adalah tetesan
dari laknat Allah."
Hadits ini diriwayatkan al-Nasa'i, Ibn Mundzir, al-Hakim dan
al-Hakim menshahihkannya (lihat Mustadrak al-Hakim 4:481;
Tafsir al-Qurthubi 16:197; Tafsir Ibn Katsir 4:159; Tafsir
Al-Fakhr al-Razi 7:491, Tafsir al-dur al-Mansur 6:41 dan
kitab-kitab tafsir lainnya). Bukhari meriwayatkan hadits ini
dengan singkat. Ia membuang laknat Rasulullah saw. kepada
Marwan dan menyamarkan ucapan Abd-u 'l Rahman. Inilah riwayat
Bukhari,
Marwan di Hijaz sebagai gubernur yang diangkat Muawiyah. Ia
berkhotbah dan menyebut Yazid ibn Muawiyah supaya ia dibaiat
sesudah bapakuya. Maka Abdurrahman mengatakan sesuatu. Ia
berkata, "Tangkaplah dia." Ia masuk ke rumah Aisyah dan mereka
tidak berhasil menangkapnya Kemudian Marwan berkata,
"Sesungguhnya dia inilah yang tentang dia Allah menurunkan
ayat-ayat dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya
'cis' bagimu berdua, apakah kalian menjanjikan padaku dan
seterusnya. Aisyah berkata dari balik hijab: Allah tidak
menurunkan ayat apapun tentang kami kecuali Allah menurunkan
ayat untuk membersihkanku.
Hadits ini adalah hadits No. 4826 dalam hitungan Ibnu Hajar
al-Asqalani (lihat Fath al-Bari 8:576). Yang menarik kita
bukanlah apa yang dibuang Bukhari, tetapi "perang hadits"
antara dua orang sahabat --Marwan ibn Hakam dan 'Aisyah. Yang
pertama menyebutkan, asbab al-nuzul ayat al-Ahqaf itu
berkenaan dengan 'Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar. Yang kedua
menegaskan bahwa yang pertama berdusta, karena ayat itu turun
berkenaan dengan orang lain. 'Aisyah malah menegaskan dengan
hadits yang menyatakan bahwa Marwan adalah orang yang dilaknat
Allah dan Rasul-Nya.
KERANCUAN PENGERTIAN HADITS
Riwayat di atas disebut "hadits" padahal yang diceritakan
adalah perilaku para sahabat. Para ahli ilmu hadits
mendefinisikan hadits sebagai "apa saja yang disandarkan
(dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan,
taqrir, atau sifat-sifat atau akhlak (Lihat Dr. Nurrudin Atar,
Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, halaman 26). Riwayat di atas
tidak menceritakan hal ihwal Nabi saw. ia bercerita tentang
perilaku para sahabatnya.
Bila kita membuka kitab-kitab hadits, segera kita menemukan
banyak riwayat di dalamnya, tidak berkenaan dengan ucapan,
berbuatan atau taqrir Nabi saw. Sekedar memperjelas persoalan
di sini, dikutipkan beberapa saja diantaranya. Pada Shahih
Bukhari, hadits No. 117 menceritakan tangkisan Abu Hurairah
kepada orang-orang yang menyatakan Abu Hurairah terlalu banyak
meriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak disibukkan
dengan urusan ekonomi, seperti sahabat-sahabat Anshar dan
Muhajirin. Ia selalu menyertai Nabi saw. Untuk mengenyangkan
perutnya, menghadiri majelis yang tidak dihadiri yang lain,
dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang lain.
Perhatikan Bukhari memasukkan sebagai salah satu kitab
haditsnya, padahal riwayat ini tidak menyangkut ucapan,
perbuatan atau taqrir Nabi saw. Hadits yang menceritakan
sahabat disebut hadits mawquf (istilah yang didalamnya
terdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaan
dengan Nabi saw.). Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarh
al-Bukhari menyebutkan secara terperinci hadits-hadits mawquf
dalam Shahih Bukhari.
Mungkin bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masih
dapat dianggap hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah
"apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw.
berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak
dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat." Namun
jangan terkejut kalau ahli hadits bahkan menyebut riwayat,
para ulama di luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayat
tentang para tabi'in yakni ulama yang berguru kepada para
sahabat, disebut hadits maqthu. Dalam Shahih Bukhari,
misalnya, ada hadits yang berbunyi "Iman itu perkataan dan
perbuatan, bertambah dan berkurang." Ini bukan sabda Nabi saw.
Menurut Bukhari, ini adalah ucapan para ulama di berbagai
negeri (lihat Fath-u 'l-Bari 1:47). Karena itu menurut Dr.
Atar, definisi hadits yang paling tepat ialah "apa saja yang
disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan,
perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan apa saja
yang dinisbahkan kepada para sahabat dan tabi'in."
Sampai di sini kita bertanya apakah kita sepakat dengan
definisi Dr. Atar. Bila ya, harus mengubah anggapan kita
selama ini. Ternyata hadits itu tidak semuanya berkenaan
dengan Nabi saw. Kembali kepada Rasulullah saw. Yang paling
menyusahkan kita ternyata tidak semua hadits walaupun shahih
meriwayatkan sunnah Rasulullah saw. Boleh jadi banyak amal
yang kita lakukan selama ini ternyata bersumber pada "hadits"
yang bukan hadits (menurut definisi yang pertama).
Salah satu contohnya adalah hadits yang sering disampaikan
kaum modernis untuk menolak tradisi slametan ("tahlilan") pada
kematian. Hadits itu berbunyi, "Kami menganggap berkumpul pada
ahli mayit dan menyediakan makanan sesudah penguburannya
termasuk meratap." Hadits ini merupakan ucapan 'Abd-u l-Lah
al-Bajali, bukan ucapan Bani saw. (lihat Nayl al-Awthar
4:148). Demikian pula, kebiasaan melakukan adzan awal pada
shalat Jum'at di kalangan ulama tradisional, didasarkan kepada
hadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman Utsman
ibn 'Affan. Ucapan "al-shalat-u khair-un min al-nawm" dalam
adzan Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umar
ibn Khatab. Akhirnya, perhatikanlah hadits ini:
Dari Jabir ra: Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang muth'ah
tetapi Ibn Abbas memerintahkannya. Ia berkata: Padaku ada
hadits. Kami melakukan muth'ah pada zaman Rasulullah saw. Dan
pada zaman Abu Bakar ra. Ketika Umar berkuasa, ia berkhotbah
kepada orang banyak: Sesungguhnya Rasulullah saw. Adalah Rasul
ini, dan sesungguhnya al-Qur'an itu adalah al-Qur'an ini. Ada
dua muth'ah yang ada pada zaman Rasulullah saw. Tetapi aku
melarangnya dan akan menghukum pelakunya. Yang pertama muth'ah
perempuan. Bila ada seorang laki-laki menikahi perempuan
sampai waktu tertentu, aku aakan melemparinya dengan batu.
Yang kedua muth'ah haji (haji tamattu').
Hadits ini diriwayatkan dalam Sunnah Baihaqi 7:206;
dikeluarkan juga oleh Muslim dalam shahihnya. Hadits ini
menceritakan khotbah sahabat Umar yang mengharamkan muth'ah
yang dilakukan para sahabat sejak zaman Rasulullah saw. Sampai
ke zaman Abu Bakar ra. Manakah yang harus kita pegang: hadits
taqrir Nabi saw. Yang membiarkan sahabatnya melakukan muth'ah
atau hadits larangan Umar? Umumnya kita memilih yang kedua.
Walhasil, dengan memperluas definisi hadits sehingga juga
memasukkan perilaku para sahabat dan tabi'in, kita mengamalkan
juga sunnah para sahabat, yang tidak jarang bertentangan
dengan sunnah Rasulullah saw. Kerancuan definisi hadits ini
membawa kita kepada ikhtilaf mengenai apa yang disebut sunnah.
KERANCUAN PENGERTIAN SUNNAH
Para ahli hadits, dan banyak di antara kita, menyamakan hadits
dengan sunnah. Ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai
"apa saja yang keluar dari Nabi saw. Selain al-Qur'an berupa
ucapan, perbuatan, dan taqrir, yang tepat untuk dijadikan
dalil hukum syar'i" (Muhammad Ajjaj al Khathib, al-Sunnah Qabl
al-Tadwin, h.16)
Jadi menurut ulama ushul fiqh, tidak semua hadits mengandung
sunnah. Imam Ahmad pernah diriwayatkan berkata, "Dalam hadits
ini ada lima sunnah, fi hadza 'l-hadits khams-u sunnah." Tidak
semua ulama setuju dengan pernyataan Ahmad. Mungkin saja buat
sebagian di antara mereka, dalam hadits hanya ada tiga sunnah.
Masalahnya sekarang: kapan perkataan, perbuatan dan taqrir
Nabi saw. Itu tepat disebut sunnah?
Seandainya seorang sahabat berkata, "Aku mendengar Rasulullah
saw. Batuk tiga kali setelah takbirat-u 'l-ihram," dapatkah
kita menetapkan perilaku Nabi saw. Dalam hadits itu sebagai
sunnah? Anda berkata tidak, karena perbuatan Nabi saw. Itu
hanya kebetulan saja dan tidak mempunyai implikasi hukum.
Batuk tidak bernilai syar'i.
Tetapi bagaimana pendapat anda bila Wail bin Hajar melaporkan
apa yang disaksikannya ketika Nabi saw. duduk tasyahhud, "Aku
melihatnya menggerakkan telunjuknya sambil berdoa?" Tidakkah
anda menyimpulkan bahwa gerakan telunjuk itu sama dengan batuk
--yang hanya secara kebetulan tidak mempunyai implikasi hukum.
Bukankah Ibnu Zubair melihat "Nabi saw. memberi isyarat dengan
telunjuknya tapi tidak mengerakkannya?" (Nayl al-Awthar
2:318). Banyak orang, termasuk para ulama yang menyamakan
hadits dengan sunnah, menyebut sunnah pada semua perilaku Nabi
saw. yang dllaporkan dalam hadits. Abdullah bin Zaid bercerita
tentang istisqa Nabi saw. Pada waktu khotbah istisqa Nabi saw.
Membalikkan serbannya, sehingga bagian dalam serban itu di
luar dan sebalik. Dalam riwayat lain, Nabi saw. memindahkan
serbannya, sehingga ujung serban sebelah kanan disimpan pada
bahu sebelah kiri dan ujung serban sebelah kiri disimpan pada
bahu sebelah kanan. Jumhur ulama termasuk Imam Syafi'i dan
Malik menetapkan pembalikan atau pemindahan serban itu sebagai
sunnah. Kata Syafi' i, "Nabi saw. Tidak pernah memindahkan
serban kecuali kalau berat." Jadi pemindahan dalam khotbah
istisqa itu tentu mempunyai implikasi syar'i. Imam Hanafi dan
sebagian pengikut Maliki menetapkan bukan sunnah. Pemindahan
itu hanya kebetulan saja. Para ulama juga ikhtilaf untuk
menetapkan apakah pemindahan serban itu berlaku bagi imam atau
berlaku bagi jemaah juga, apakah yang sunnah itu pemindahan
atau pembalikkan. Anda melihat bagaimana para ulama berbeda
dalam mengambil sunnah hanya dari satu hadits saja.
Karena itu, Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihad
menegaskan adanya unsur penafsiran manusia dalam sunnah.
Sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan hadits.
Ketika terjadi perbedaan paham, maka yang disebut sunnah
adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan
ijma'. Karena sunnah adalah hasil penafsiran, nilai sunnah
tentu saja tidak bersifat mutlak seperti al-Qur'an.
Pernyataan Fazlur Rahman ini bagi kebanyakan orang sangat
mengejutkan. Bukanlah selama ini yang kita anggap benar secara
mutlak adalah al Qur'an dan sunnah? Patut dicatat bahwa
kesimpulan Fazlur Rahman itu didasarkan pada sunnah dalam
pengertian sunnah Rasulullah saw. Dengan latar belakang uraian
tentang hadits sebelumnya, kita menemukan juga adanya sunnah
para sahabat, bahkan sunnah para tabi'in. Definisi sunnah
seperti disebutkan di atas, pada kenyataannya tidak lagi
dipakai. Bila sunnah sudah mencakup juga perilaku sahabat,
kemusykilan tentang sunnah makin bertambah.
PENUTUP.
Ketika kita sedang giat melakukan islamisasi ilmu, budaya,
ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita tidak bisa tidak harus
merujuk pada hadits dan sunnah (tentu saja sesudah al-Qur'an).
Bahkan ketika merujuk pada al-Qur'an pun, kita harus melihat
hadits. Pembaruan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran
Islam, harus mengacu pada teks-teks yang menjadi landasan
ajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya hadits dan sunnah
dalam merealisasikan ajaran Islam. Yang sering kita lupakan
adalah bersikap kritis terhadap keduanya. Sikap kritis ini
seringkali dicurigai akan menghilangkan hadits atau sunnah.
Kita lupa bahwa kritik terhadap keduanya telah diteladankan
kepada kita oleh para ulama terdahulu.
Bila para pembaru Islam terdahulu memulai kiprahnya dari
kritik terhadap hadits dan sunnah (Ingat bagaimana
Muhammadiyah dan PERSIS "men-dha'if-kan" hadits-hadits yang
dipergunakan orang-orang NU), mengapa kita tidak mau
melanjutkannya. Konon Imam Bukhari bermimpi, ia duduk di
hadapan Rasulullah saw, dan di tangannya ada kipas untuk
mengusir lalat agar tidak mengenai tubuh Nabi saw. Ketika ia
bertanya kepada orang-orang pandai apa arti mimpi itu, mereka
berkata, "Anda akan membersihkan hadits Nabi saw. dari
kebohongan." Inilah yang mendorong Bukhari mengumpulkan
hadits-hadits yang sahih saja, dengan membuang ribuan hadits
yang dianggap dha'if (lemah). Siapa yang ingin melanjutkan
tradisi Imam Bukhari dewasa ini?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk