Oleh : Agus Riza Hisfani
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang lahir dalam pergulatan social, budaya dan politik tahun 1960-an merupakan sayap kultur dari ormas NU, yang kemudian independent pada tahun 1972. PMII merupakan settingan global elit lembaga Pendidikan pondok pesantren (kiai/KH.) dalam menghadapi arus Islam trans-Nasional yang bermadzhab kanan. Status santri sekaligus mahasiswa yang disandang oleh kader PMII mampu melahirkan akulturasi keilmuan yang diharapkan oleh elit ponpes dan NU. Hal ini terbukti dengan lahirnya khittoh NU melalui instrument gerakan pemuda Nahdhiyyin dan masuknya mata pelajaran umum dilingkungan pesantren yang dalam decade sebelumnya diharamkan.
Pendidikan memang bagaikan kotak Pandora. Output yang dihasilkan tidak mudah ditebak arahnya. Kaumsantri yang awalnya terbiasa bersikap normative dan tawadlu’ terhadap guru/ustadz , kini harus belajar menggunakan pendekatan kritis. Namun. kekritisan santri hingga hari ini masih dipandang sebagai bentuk pembangkangan bahkan diidentikkan sebagai bentuk kenakalan. Lantas. Apakah setiap santri yang tawadlu’ merupakan sebuah keharusan bagi santri yang belajar, terutama santri yang memiliki status ganda (santri & mahasiswa). Sedangkan keseharian mereka dididik untuk menjadi orang yang kritis..?
Penilaian pengurus ponpes Nyai Hj. Ashfiyah dan pengurus YPS Ar-Rosyid. Bahwa kader PMII Ar-Rosyid amoral, su’ul adhab, atau yang lebih keras “santri yang menghancurkan pesantren”. Terlepas dari benar atau salah. Penilaian tersebut seharusnya menjadi evaluasi bagi kader PMII Ar-Rosyid. Agar penilaian tersebut tidak lagi membumbung dilingkungan ponpes dan kampus. Namun, dalam aturan PMII, baik AD/ART, NDP, GBHO, dan PO. Tidak ditemukan ayat atau pasal yang memiliki spirit santri atau mahasiswa yang amoral, su’ul adhab, atau yang lebih keras “santri yang menghancurkan pesantren” sebagaimana yang sering dituduhkan terhadap kader PMII Ar-Rosyid. Bila demikian, penilaian pengurus ponpes Nyai Hj. Ashfiyah dan pengurus YPS Ar-Rosyid terlihat sebelah mata. Baik penilaian personal maupun institusional.
Status ganda (santri dan mahasiswa) yang dimiliki kader PMII Ar-Rosyid seharusnya disadari oleh pengurus ponpes Nyai Hj. Ashfiyah dan pengurus YPS Ar-Rosyid sebagai keniscayaan perkembangan santri yang memiliki dualisme proses belajar. Dukungan secara moral serta kepercayan kepada mereka. Lebih memberikan sumbangsi yang besar terhadap perkembangan mereka, daripada cacian, penggembosan, apalagi pelarangan beraktifitas. Sangat disayangkan ketika kader-kader PMII Ar-Rosyid lari dari keberpihakan advokasi dan pengembangan ponpes maupun yayasan. Ketika mereka merasa didhilomi oleh ketidak fahaman pengurus ponpes Nyai Hj. Ashfiyah dan pengurus YPS Ar-Rosyid akan arah gerakan PMII Ar-Rosyid.
Seleksi yang keras dalam proses pemberdayaan kader PMII, akan melahirkan orang yang tidak mudah menyerah dalam kondisi apapun. Kepekaan serta kepedulian social, budaya, Pendidikan, politik dan ekonomi menjadi keharusan yang ada pada kader PMII. Terlebih kader diajarkan untuk mengorbankan kepentingan ekonominya untuk orang lain dalam setiap momentum apapun. Intensitas interaksi keilmuan (baca, diskusi dan menulis) kader dituntut lebih keras dan memiliki dasar yang kuat serta valid. Bukan hanya sekedar membaca, diskusi dan menulis tanpa landasan yang jelas.
Mewujudkan santri yang kritis dalam berfikir, serta proporsional dan professional dalam bertindak merupakan nafas yang dikembangkan oleh PMII Ar-Rosyid. Karenanya. Proses pelatihan formal, informal dan nonformal diPMII seharusnya menjadi landasan awal berproses bagi kader, yang dilanjutkan dengan pendalaman teori dan praktek keilmuan melalui proses mambaca buku, berdiskusi, menulis serta penanaman Nilai Dasar Pergerakan (NDP).
Berangkat dari spirit nilai positif. Bukan bermaksud memberikan nilai lebih atau menjatuhkan salah satu pihak (ponpes, yayasan atau PMII). Ponpes Nyai Hj. Ashfiyah dan yayasan harus banyak belajar dari histori ibu kandungnya, yaitu NU. Bagaimana NU dimasa awal kelahiran, peperangan ideology, masa transisi, serta masa khittoh. NU sebagai ibu ponpes. Lahir dari spirit pelestarian tradisional ajaran yang kemudian mengalami masa transisi ketika banyak santrinya belajar di PT. (Perguruan Tinggi). Hingga hari ini NU menjadi plural serta moderat (mengambil jalan tengah). Baik secara personal pengurus dan kader disemua sector maupun institusi NU sendiri.
Sama halnya dengan PMII Ar-Rosyid. Yang harus belajar dari fanding father pendiri PMII. Spirit arus balik kaum pinggiran yang menjadi cita-cita, tidak boleh menghapus kenyataan masa transisi PMII ketika banyak kader yang menjadi petinggi NU dan ponpes. Filosofi arus balik kaum pinggiran seharusnya menjadi hirrah gerakan kader PMII serta menjadi landasan untuk memberikan pemahaman bagi lembaga lain akan kehadirannya.
Instrument yang menjadi inisiasi gerakan bagi kedua lembaga (ponpes, yayasan & PMII) adalah histori gerakan di internal lembaga tersebut. Namun yang pasti. Sangat disayangkan ketika kader PMII Ar-Rosyid mencurahkan pikiran dan tenaganya kepada lembaga lain ditengah gersangnya ide dan gagasan yang mampu melahirkan inovasi pembaharuan dan pengembangan di ponpes Nyai Hj. Ashfiyah dan yayasan yang membesarkan kita (kader PMII Ar-Rosyid).
Sebuah harapan yang akan terukir, semoga memberikan evaluasi dan pencerahan berfikir bagi santri dan elit yayasan, Ponpes, STAIR dan PMII yang kemudian memilih langkah tepat dalam menilai dan mengambil sikap serta kebijakan.
Buku Bacaan
1.A. Malik Haramain, PMII di Simpang Jalan?. Jakarta : Pustaka Pelajar, 1997.
2.As’ad Said Ali, Pergolakan dijantung tradisi : NU yang saya amati. Jakarta : LP3ES, Cet., I, 2008.
3.K. Bernites, NU : tradisi, jaringan dan kekuasaan, Jakarta : LKiS, Cet., I, 2008.
Minggu, 01 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk