Minggu, 01 November 2009
ETIKA DALAM KITAB SUCI DAN RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN MODERN STUDI KASUS DI TURKI
Oleh Komaruddin Hidayat
Dalam tradisi filsafat istilah "etika" lazim difahami sebagai
suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa
yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku
manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal
budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup
yang baik. Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang
atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis.
Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit,
sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis
yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam
kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. [1]
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan
manjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama
berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat
obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham
ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam
etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan
karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan
kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme
universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama
pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam
Islam --pada batas tertentu-- ialah aliran Muitazilah. [2]
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu
tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau
pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja berupa
subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja
subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam
beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes
sampai ke faham tradisionalismenya Asy'ariyah.
Menurut faham Asy'ariyah, nilai kebaikan suatu tindakan
bukannya terletak pada obyektivitas nilainya, melainkan pada
ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy'ariyah berpandangan bahwa
menusia itu bagaikan 'anak kecil' yang harus senantiasa
dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu
memahami mana yang baik dan mana yang buruk.
Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis
rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya
dengan teori etika dalam kitab suci? sedangkan telah
disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham
rasionalisme yang diwakili oleh Mu'tazilah dan faham
tradisionalisme yang diwakili oleh Asy'ariyah.
Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena
pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena
narasi ayat-ayat al-Qur'an sendiri yang mendorong lahirnya
perbedaan penafsiran. Di dalam al-Qur'an pesan etis selalu
saja terselubungi oleh isyarat-isyarat yang menuntut
penafsiran dan perenungan oleh manusia. [3]
ETIKA DAN KEBEBASAN
Menurut aliran voluntarisme rasional, suatu tindakan etis akan
terwujud bilamana tindakan itu produk pilihan sadar dalam
situasi bebas, bukannya terpaksa. Suatu pertanggungjawaban
etis bisa diberlakukan hanya ketika seseorang berbuat dalam
keadaan sadar dan bebas. Dengan demikian, etika senantiasa
mengamsumsikan kebebasan. Semakin besar wilayah kebebasan,
semakin besar pula pertanggungjawaban moralnya.
Dalam perspektif di atas, maka faham Jabariah yang
berpandangan bahwa tindakan manusia adalah bagaikan,gerak
wayang, yang ditentukan oleh 'dalang' tak ada tempat bagi
konsep etika voluntarisme rasional Kantianisme.
Etika voluntarisme rasional melahirkan suatu pandangan
terhadap manusia sebagai sosok manusia berakal yang dewasa
suatu pandangan positif bahwa manusia memang pantas
mendapatkan julukan ahsan-u 'l-taq wim, puncak ciptaan Tuhan
meskipun keunggulan kualitas manusia itu masih harus
diperjuangkan dan disempurnakan sendiri oleh manusia.
Barangkali saja dalam perspektif yang demikian ini kita bisa
memahami mengapa pewahyuan Tuhan melalui para rasulNya telah
diakhiri, sementara kehidupan menusia kian hari kian
berkembang sedemikian kompleknya.
Sebelum kerasulan Muhammad problema kehidupan manusia tidak
sekomplek pasca-Muhammad, namun justeru pada masa-masa itu
Allah sering mengirimkan rasul-rasulNya. Mengapa demikian,
biasanya kita mengajukan dua jawaban. Pertama, tuntutan Allah
yang diturunkan kepada manusia. Kedua, manusia dengan
kemampuan rasionalitasnya telah mampu mengevaluasi kehidupan
kesejarahan untuk menciptakan kebaikan hidup mereka.
Klaim yang menyatakan Islam sebagai agama universal dan agama
paripurna tersirat pada surat al-Maidah ayat 3 dan surat
al-Anbiya ayat 107. Yang pertama menyebutkan bahwa Islam
adalah nikmat Tuhan yang telah disempurnakan, yang kedua
menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam.
Secara dogmatis theologis kedua klaim di atas memang sudah
lazim diterima oleh umat Islam, namun secara rasional dan
empiris tampaknya masih perlu dirumuskan serta diuji kembali
kebenarannya dalam perjalanan sejarahnya.
Dari analisis bahasa dan sosio-historis, Islam hadir bukannya
dalam ruang kosong, melainkan dalam wacana yang memiliki sifat
lokal dan partikular. Secara eksplisit disebutkan bahwa
al-Qur'an disebarluaskan dengan menggunakan bahasa Arab.
Bahasa mau tidak mau bersifat budaya, ia terikat dengan
kaidah-kaidah sosial dan konsensus budaya. Jadi, universalitas
pesan al-Qur'an akan bisa terkomunikasikan kalau manusia juga
memiliki dimensi universal. Dalam hal ini rasionalitas dan
substansi bahasalah yang secara jelas merupakan dimensi
universal yang melekat pada manusia. Manusia dibedakan dari
binatang terutama adalah karena manusia merupakan animal
symbolicum, yaitu makluk yang hidup dengan symbol-symbol. [4]
Berbahasa pada dasarnya adalah berpikir, dan berpikir tidaklah
mungkin tanpa bahasa, meskipun berbahasa tidak selalu harus
berbicara ataupun menulis.
Karena adanya rasionalitas dan kemampuan berbahasa maka suatu
masyarakat tercipta, komunikasi antar mereka berlangsung, dan
dunia di sekitarnya memperoleh makna. Barangkali fenomena
inilah yang telah diisyaratkan oleh al-Qur'an surat al-Baqarah
ayat 31 dimana Allah telah mengajar 'nama-nama' pada Adam.
Karena rasionalitas dan sistem symbol yang dimiliki manusia
maka realitas masa lampau bisa direkontruksi, diceritakan dan
dihadirkan kembali di hadapan kita melalui narasi sejarah.
Suatu nilai, cita-cita dan gagasan masa lampau pun bisa
diwariskan kepada generasi ke generasi lantaran adanya sistem
simbol ini. Dan sesungguhnya hanyalah al-Qur'an yang secara
eksplisit dan tegas agar umat Islam mengembangkan rasionalitas
dan sistem simbol untuk membangun peradabannya. Kita bisa
membuat suatu pengandaian, kalau saja al-Qur'an bertentangan
dengan rasionalitas, maka bisa dipastikan bahwa Islam telah
terdistorsi dalam perjalan sejarahnya. Lebih dari itu etika
Islam akan teranomali dalam kehidupan modern.
Dengan kata lain, al-Qur'an dan pesan-pesannya kini telah
menjadi bagian integral dari realitas sejarah masa lampau dan
tetap hidup sampai kini, tanpa adanya revisi dan campur tangan
Tuhan, baik isi maupun redaksionalnya. Di sini tersirat
pandangan positif al-Qur'an tentang manusia. Kalau kita telaah
ayat-ayat al-Qur'an segera kelihatan bahwa etika al-Qur'an
amat humanistik dan rasionalistik. Pesan al-Qur'an seperti
halnya ajakan kepada keadilan, kejujuran, kebersihan,
menghormati orang tua, bekerja keras, cinta ilmu, dan lain
sebagainya, semuanya amat sejalan dengan prestasi rasionalitas
manusia sebagaimana tertuang dalam karya-karya para filosof.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri
utama. Pertama, etika Islam tidak menentang fithrah manusia.
Kedua, etika Islam amat rasionalistik. Sekedar sebagai
perbandingan baiklah akan saya kutipkan pendapat Alex Inkeles
mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap
berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, Inkeles
membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut,
yaitu: kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba
metode-metode baru; kesediaan buat menyatakan pendapat;
kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan
mendatang ketimbang waktu yang telah lampau; rasa ketepatan
waktu yang lebih baik; keprihatinan yang lebih besar untuk
merencanakan organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang
dunia sebagai suatu yang bisa dihitung; menghargai kekuatan
ilmu dan teknologi; dan keyakinan pada keadilan yang bisa
diratakan. [5]
Rasanya tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang
dikemukakan Inkeles dan diklaim sebagai sikap modern itu
memang sejalan dengan etika al-Qur'an. Dalam diskusi tentang
hubungan antara etika dan moral, problem yang seringkali
muncul ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang bersifat
partikular dan individual dalam perspektif teori etika yang
bersifat rasional dan universal.
Islam yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan
direalisasikan cenderung menjadi peristiwa partikular dan
individual. Pendeknya, tindakan moral adalah tindakan konkrit
yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral ini akan
menjadi pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama terjadi
konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas kadangkala
berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran. Di sinilah
letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi
amat penting. Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan suatu
tindakan subyektif dalam kerangka nilai-nilai etika obyektif,
tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah
dalam acuan sikap batin.
Dalam teori etika, tindakan moral mengamsumsikan adanya
otonomi perbuatan manusia. Menurut Islam, untuk mencapai
otonomi dan kebebasan sejati tidaklah harus ditempuh dengan
menyatakan 'kematian Tuhan' sebagaimana diproklamasikan oleh
Nietzsche atau Sartre misalnya, keduanya berpendapat bahwa
manusia akan terkungkung dalam kekerdilan dan ketidakberdayaan
serta dalam perbudakan selama tindakan moralnya masih
membutuhkan kekuatan dan kesaksian dari Tuhan. Oleh karenanya,
menusia haruslah bertanggungjawab kepada dirinya sendiri,
bukannya pada Tuhan. Lebih dari itu, untuk mencapai derajat
kemanusiaannya secara prima manusia harus meniadakan Tuhan dan
kemudian menggali dan mengaktualisasikan potensi
kemanusiaannya.
Dasar pemikiran seperti di atas tentu saja berangkat dari
konsepsi ketuhanan dalam tradisi Kristen. Dalam sejarah
pemikiran Barat kita mencatat bahwa untuk mencapai derajat
filsuf biasanya mereka mesti bentrok dengan doktrin gereja
tentang Tuhan. Sedangkan dalam Islam justru ketika tindakan
kita diorientasikan pada Tuhan Yang Maha Absolut, Yang Maha
Bebas, maka kita tidak akan terjebak dalam relativisme dunia
dan sebaliknya kita akan terangkat menuju pada atmosphere Yang
Maha Otonom.
Pengakuan bahwa kita bukan makluk sempurna yang sudah jadi,
dan kemudian diikuti dengan usaha kontinyu menuju Yang Maha
Sempurna, di sanalah terletak makna keimanan yang dinamis.
Menurut Kant, puncak rasionalitas pada akhirnya akan
mengantarkan pada pintu keimanan yang bersifat supra-rasional.
Tuhan, keimanan, dan kemerdekaan bukanlah obyek ilmu
pengetahuan. Semua berada di luar jangkauan rasio, namun
puncak rasionalitas mengantarkan menusia untuk melakukan
loncatan ke arah sana. [6]
ETIKA ISLAM: PENGAMATAN DI TURKI
Islam di Turki mempunyai sejarah panjang, bisa ditelusuri ke
belakang sejak abad ke-19 sampai hari ini. Bangsa Turki yang
sekarang berpusat di wilayah Balkan dan Anatolia itu pada
mulanya pendatang dari daerah Turkestan, terletak antara Rusia
dan Cina.
Untuk menyederhanakan diskusi kita, saya akan membagi
periodisasi Islam di Turki, yaitu Islam di masa Ottoman dan
Islam semasa Republik, yang berlangsung sejak 1924 hingga hari
ini. Ada tiga pertanyaan pokok yang hendak diangkat dalam
uraian berikut ini. Pertama, bagaimanakah pergumulan antara
nilai-nilai keislaman dan tradisi bangsa Turki di masa
Ottoman? Kedua apakah dampak gerakan Kemal Ataturk terhadap
kelanjutan Islam di Turki? Ketiga, bagaimana perkembangan
Islam di Turki dewasa ini dalam etika Islam?
ISLAM DI MASA OTTOMAN
Dinasti Ottoman yang berdiri pada abad ke 14 dan berakhir pada
awal abad-20 tentu saja merupakan lahan kajian sejarah yang
amat kaya sehingga tidak mungkin makalah singkat ini bisa
manyajikan potret global yang memadai. Namun begitu bisa saja
kita membuat karakterisasi keislaman bangsa Turki pada masa
Ottoman, meskipun bahaya simplifikasi dan reduksi tidak bisa
dielakkan.
Secara antropologis bangsa Turki kadangkala disebut 'war
nation' ataupun 'war machine.' Hal ini terlihat dari karir
mereka dalam perluasan wilayah kekuasaan Ottoman yang
terbentang sejak dari Afrika, India, Persia dan bahkan sampai
Eropa. Sejak mulanya ideologi Ottomanisme dan Islamisme saling
kait berkait sedemikian rupa, keduanya didukung oleh ethos dan
keunggulan militer yang sulit dicari tandingnya. Baik semasa
Abasid maupun Seljuk bangsa Turki ini telah dikenal sebagai
pasukan berkuda yang handal. Militansi kemiliteran ini
ditopang oleh spirit jihad melawan orang kafir Eropa sehingga
dengan begitu semangat penaklukan semakin berkobar.
Abad-16 merupakan masa puncak kejayaannya, yang diikuti
kemudian oleh berbagai krisis, dan berakhirlah dinasti ini
setelah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I. Krisis ini
datang dari dua jurusan dari dalam dan dari luar.
Massa rakyat di bawah kekuasaan Ottoman adalah kaum petani
yang tidak mendapat pendidikan secara baik. Dengan
mengandalkan kontrol secara militer dan doktrin ketaatan pada
Sultan sebagai pemimpin agama, pada mulanya rakyat secara
mudah bisa dikuasai. Tetapi situasi demikian tidak bertahan
selamanya. Berbagai kelompok agama, suku, dan bangsa yang
bernaung di bawahnya lama kelamaan berkembang sebagai ancaman,
terutama setelah meletusnya Revolusi Perancis dimana semangat
nasionalisme menggulir dan menggerogoti kekuasaan Ottoman.
Sejak itu secara diam-diam muncul tiga ideologi, yaitu
Ottomanisme, Islamisme, dan Turkisme. Karena kekuasaan
cenderung berpihak pada ambisi pribadi bukannya akal sehat,
Raja-raja Osmani (Ottoman) tetap mempertahankan ideologi
Ottomanisme, sementara Islam cenderung diperalat sebagai
ideologi pendukungnya. Dengan kata lain, keislaman semasa
Ottoman adalah keislaman yang berciri ideologi untuk ambisi
kekuasaan, bukannya keislaman yang melahirkan ethos keilmuan
dan peradaban modern.
Krisis Ottoman semakin terlihat di permukaan ketika apa yang
disebut 'millet system' semakin otonom dari kontrol pusat
sementara Eropa sudah bangkit dari keterbelakangannya. [7]
Millet system dan capitulation adalah suatu bentuk perjanjian
antara Ottoman dan kekuasaan asing untuk menjalin kerjasama
ekonomi berdasarkan pengelompokan agama. Sebagai akibatnya
kelompok-kelompok agama non-Muslim yang berada di bawah
kekuasaan Ottoman lama-lama berubah manjadi perpanjangan
tangan dari kekuatan Kristen Eropa untuk menghancurkan Ottoman
dari dalam, melalui jalur penguasaan ekonomi oleh kelompok
minoritas non-muslim. [8] Krisis yang melanda Libanon hari ini
akar penyebabnya bisa ditelusuri pada millet system ini.
Sebagaimana dikemukakan oleh Don Peretz, "The general decay of
Ottoman governmental institutions coincided with the rise of
more powerful European nation states". [9] Berbagai cara untuk
mengantisipasi kemerosotan Ottoman telah dicoba, misalnya saja
oleh gerakan Tanzimat, Turki Muda, dan Sultan Mahmud II
(1808). Di antara ciri-ciri gerakan yang ditawarkan ialah
berusaha untuk mengenalkan mesin percetakan, ilmu kemiliteran,
dan semacamnya yang dipandang sebagai gerakan baru di Eropa.
Namun berbagai usaha itu gagal, antara lain disebabkan oleh
fanastisme teologis yang menimbulkan keyakinan kuat di
kalangan Sultan bahwa Tuhan mesti berpihak pada dirinya, dan
orang kafir Eropa tidak mungkin bisa mengalahkan kekuatan
Islam. Lebih dari itu, sistem pembagian kekuasaan secara
rasional dengan melibatkan partisipasi massa sama sekali di
luar jangkauan para sultan. Pendeknya Sultan adalah pusat
kekuasaan, sedangkan gagasan-gagasan baru yang dikenalkan dari
Eropa yang tengah bangkit itu dicurigai sebagai kekuatan yang
merongrong wibawa Sultan serta dicap sebagai budaya kafir
Eropa.
Demikianlah, Islam yang pada mulanya telah mengantarkan
kejayaan Ottoman, pada akhirnya Islam di ideologisasikan
sebagai kekuatan penyangga Ottoman yang nampak besar tetapi
sangat rapuh. Tampaknya perjumpaan antara Islam dan bangsa
Turki Usmani lebih menonjol dalam melahirkan ethos jihad dan
ketaatan pada uli al-amri ketimbang ethos kerja dan ethos
keilmuan. Oleh karenanya kita akan kecewa kalau mencari
tokoh-tokoh pemikir Islam yang brilian yang dilahirkan oleh
bangsa Turki Usmani.
GERAKAN KEMAL ATATURK: MASALAH PENAFSIRAN
Mengawali uraian saya mengenai Islam pasca-Ottoman saya akan
mengutip tiga pendapat sarjana ahli tentang Turki:
After a century of Westernization, Turkey has undergone
immense changes-greater than any outside observe had
thought possible. But the deepest Islamic roots of
Turkish life and culture are still alive, and the
ultimate identity of Turk and Muslim in Turkey is still
unchallenged. (Bernard Lewis, 1961)
It has often been thought that this secularism signified
the separation of state and religion somewhat along the
lines of French laicism and the involved and
anti-religious policy seeking to eliminate Islamic
faith. These assumptions are no correct. In fact, the
new Turkish Republican regime tried to implement its
constitutional mandate of freedom of concience by
setting up goverment agencies charged with helping
citizens to approach Islam through reason rather than
tradition. (Howard A. Reed, 1981)
The revitalization of Islam in this country is partly
due to the success of the campaign to universalize
education which was the foundation stone of the secular
Turkish Republic and partly to economic achievements in
the period 1950-1980. Syerif Mardin, 1989)
Pada 29 Oktober 1923 secara resmi Republik Turki
diproklamirkan oleh sidang parlemen dimana Mustafa Kemal
terpilih sebagai Presiden pada umurnya yang ke-42 tahun.
Gerakan republiken ini sekaligus menghadapi dua musuh, yaitu
kekuatan Sekutu yang hendak menguasai Turki, dan kekuatan
tradisional yang berpihak pada ideologi teokratik Osmani.
Bila kita telaah bunyi ke-6 sila ideologi Kemalisme, akan
terlihat begitu jelas bahwa setiap silanya merupakan kritik
dan sekaligus anti-thesis terhadap paradigma Ottomanisme. [10]
Sila yang dianggap kontroversial tentu saja dengan
dinyatakannya bahwa Turki menganut faham sekuler. Pernyataan
ini dinilai oleh dunia Islam lainnya sebagai tindakan 'murtad'
dalam pemikiran politik Islam.
Tetapi kalau gerakan Ataturk kita tempatkan dalam perspektif
sejarah, akan terlihat bahwa gerakannya merupakan mata rantai
yang berkesinambungan dengan gerakan sebelumnya. Apa yang
dilakukan Ataturk merupakan pengejawantahan ide-ide gerakan
modernisasi dan westernisasi yang pernah dicanangkan oleh
tokoh-tokoh sebelumnya, terutama Ziya Gokalp.
Zia Gokalp, starting with Durkheim, formulated his own
concept of community and society, which he defined as
culture group and cilivization group. Turkism, according
to Gokalp, aimed at synthesis of Turkish nationalism,
islam, and modernization, althouh its formula was very
different from that of the Islamic modernist." [11]
Apa yang dirumuskan Gokalp di atas sampai kini hampir tidak
pernah ditentang oleh para intelektual Turki. Hal ini
mengisyaratkan bahwa secara cultural dan intelektual Islam
tetap bertahan dan bahkan sebagai identitas bangsa Turki
sampai hari ini. Bila semasa Ottoman Islam telah mengalami
ideologisasi untuk mendukung ambisi kekuasaan, kini keislaman
bangsa Turki lebih bersifat individual dan cultural. Dengan
ungkapan lain, Ataturk, sebagaimana Gokalp, akan sependapat
untuk mengatakan "Islam-Yes, Negara Islam-No".
Yang secara tegas-tegas ditentang oleh gerakan Ataturk adalah
Ideologi Klerikisme, bukannya nilai-nilai Islam. Bahkan dalam
prateknya sikap Ataturk begitu ekstrim mengikis warisan
klerikisme Ottoman, hal ini tidak bisa diingkari. Namun
begitu, adakah cukup sah untuk menghukum Ataturk sebagai
pengkianat dan telah membuat 'blunder' bagi perkembangan Islam
di Turki ataukah justeru Ia telah tampil sebagai penyelamat
eksistensi Islam bagi bangsa Turki, kita dihadapkan pada
masalah interpretasi sejarah.
Ketika Turki Usmani berada di ambang kehancuran, terutama
setelah kekalahannya dalam Perang Dunia I, Ataturk melihat
bahwa satu-satunya ideologi gerakan yang bisa memobilisasi
massa dan kaum intelektual Turki waktu itu tak ada lain
kecuali ideologi nasionalisme. Sedangkan model pembaharuan dan
alternatif satu-satunya ialah meniru Barat.
Ideologi kekhalifahan tidak lagi memiliki daya panggil untuk
berjihad melawan kekuatan Sekutu. Bahkan sejak sebelum
meletusnya Perang Dunia ke-I beberapa wilayah Ottoman telah
menunjukkan usahanya untuk memberontak dan melepaskan diri
dari pusat simbol nasionalisme. Di sini sosok 'nasionalisme'
menampilkan dua fungsinya yang berlawanan.
Ketika Ottoman pada puncak kejayaan, Eropa menggunakan isu
nasionalisme untuk memobilisasi massa melawan Eropa.
Demikianlah, sebagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia,
ideologi nasionalisme dan Islamisme secara simbolik digunakan
Ottoman.
Kemudian, bagaimana kita mesti merumuskan peran Ataturk dan
gerakan revolusinya dalam perspektif perjalanan Islam di
Turki? Ada kemiripan antara Ottoman dan gerakan Ataturk
melihat Islam. Yaitu Islam didekati secara amat pragmatik
untuk tujuan politik. Sebagai pengagum Durkheim, Ataturk
melihat Islam sebagai refleksi sosial masyarakat Turki yang
telah berakar sedemikian rupa yang memiliki kekuatan
integratif bagi pertumbuhan bangsa Turki. Dengan demikian,
sejak semula tokoh-tokoh gerakan modernisasi dan westernisasi
di Turki tidak pernah menyatakan anti-agama, melainkan ingin
mengadakan rasionalisasi agama, agar agama menjadi kekuatan
penopang bagi kemajuan bangsa Turki.
Jadi, kalaupun Ataturk bisa dianggap penyelamat bagi
kelangsungan Islam di Turki dari ancaman Eropa dan dari
penetrasi para missionaris Kristen, jasanya terhadap Islam
merupakan implikasi tidak langsung dari dedikasinya dalam
membela bangsa Turki dengan semangat nasionalismenya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Syerif Mardin, sistem pendidikan
Barat yang dipaksakan oleh Ataturk ternyata telah berjasa
besar bagi peningkatan intelektual 'kaum santri.' Sistem
pendidikan Barat yang sejak awal abed-19 hendak diterapkan di
Turki oleh kalangan intelektual muda dan selalu ditentang oleh
jajaran Sultan, baru berhasil direalisir pada awal abad-20
dengan cara paksa dan setelah Ottoman berada diujung
kehancuran. Dengan demikian, kalau saja Revolusi Ataturk ini
berlangsung seabad sebelumnya, mungkin sekali nasib dunia
Islam tidak akan tertinggal sedemikian jauhnya dari Barat
dalam bidang iptek dan sosial kemasyarakatan.
Bagaimana ketertutupan Ottoman dari pengaruh gerakan
modernisme Eropa waktu itu diungkapkan oleh Bernad Lewis
sebagai berikut:
... the scientific awakening, humanism, liberalism,
rationalism, the enlightenment - all great European
adventures and confilcts of ideas passed unnoticed and
unreflected in society to which they were profoundly
alien and irrelevant. The same is true of the great
social, economic, and political changes. The rise and
fall of the baronage, the rise of the new middle class,
the struggle of money and land, of city-state, and
Empire all the swift yet complex evolution of European
life and society, have no parallel in the Islamic and
Middle Eastern civilization of the Ottomans. [12]
EKSPERIMEN SEJARAH YANG MONUMENTAL
Suatu hal yang sudah pasti amat berharga bagi dunia Islam pada
umumnya ialah bahwa Turki telah melakukan eksperimen sejarah,
secara terang-terangan menyatakan sebagai negara sekuler serta
mengambil Barat sebagai model modernisasinya.
Tidak lama setelah meletusnya Revolusi Iran (1979), beberapa
wartawan asing berdatangan ke Turki dengan perhitungan bahwa
negara yang akan mudah tersulut oleh Revolusi itu ialah Turki.
Dugaan itu tidaklah terlalu salah. Pertama, pemeluk Syiah di
sana diperkirakan sekitar 10 juta, meskipun angka ini tidak
pernah terungkap secara resmi. Kedua, walaupun Turki
dinyatakan sebagai negara sekuler, Islam tetap berakar kuat
pada masyarakat Turki, sementara agama selain Islam tak ada
hak hukum untuk menyebar-luaskan missinya.
Republik Turki yang berjumlah sekitar 55 juta itu sebanyak 99%
adalah muslim dan antara 'keislaman' dan 'keturkian' telah
menyatu sebagai identitas diri setiap orang Turki, betapapun
kadar dan corak keislaman mereka. Sebutan 'sekuler' bagi
negara Turki sejak mulanya sesungguhnya tidak tepat kalau
istilah sekuler itu difahami dalam konteks negara Barat.
Di Barat paham sekularisme muncul antara lain sebagai akibat
logis dari doktrin gereja dan akibat pertumbuhan sains,
teknologi dan ekonomi, dimana etika Kristiani secara
epistemologis tidak sanggup menghubungkan antara faham
modernisme dan keyakinan agama. Sedangkan di Turki,
sebagaimana dikemukakan Syerif Mardin, hasil westernisasi dan
modernisasi sistem pendidikan yang diimport Ataturk justeru
pada gilirannya telah memberikannya peluang dan fasilitas bagi
umat Islam Turki untuk beradaptasi dengan dunia Barat tanpa
harus terserabut keyakinan agamanya.
Jadi, corak keislaman yang muncul dewasa ini bisa dikatakan
sebagai keislaman pasca-Ottoman dan pasca-Kemalisme. Terutama
sejak 1O tahun terakhir ini, secara ideologis antara Kemalisme
dan Pancasila hanya berbeda dalam teorinya saja, namun pada
praktek kenegaraan tidak jauh berbeda, yaitu baik Turki maupun
Indonesia bukanlah negara teokratis, bukan pula sekuler.
Negara bertanggungjawab bagi pembinaan dan pengembangan Islam
bagi masyarakat Turki. Hal ini antara lain termanifestasikan
dalam pembinaan sekolah-sekolah agama, sejak dari tingkat SD
sampai Perguruan Tinggi, sejak dari pengangkatan para imam
atau khatib sebagai pegawai negeri sampai pengangkatan Atase
Agama pada kedutaan Turki untuk memberikan pelayanan agama
pada masyarakat Turki di negeri orang.
Secara sosiologi, barangkali saja keislaman model Turki akan
juga dilalui oleh masyarakat Islam lainnya ketika mereka
memasuki kehidupan modern. Salah satu cirinya ialah agama
cenderung sebagai urusan pribadi, sebagai tuntutan etis
terjadinya depolotisasi dan deideologisasi agama, praktek
ibadah yang cenderung "longgar" meningkatnya minat orang pada
tasawuf.
Semua ini begitu menyolok menggejala di Turki atau bahkan
telah menjadi corak keberagamaan mereka. Satu hal yang mereka
tidak miliki, dibanding Indonesia, ialah rasa 'persaingan'
dengan agama lain di dalam negeri sendiri. Lebih dari itu,
baru akhir-akhir ini saja mulai muncul generasi baru yang
merepresentasikan generasi Islam pasca-Ottoman dan
pasca-Kemalis, yaitu generasi yang tetap konsisten dan
memiliki wawasan keislaman dan sekaligus juga wawasan sikap
kemodernan sebagaimana yang dilihat Gokalp ataupun Ataturk
pada masyarakat Barat.
PENUTUP
Dari eksperimen sejarah yang dilakukan Turki, hasilnya
memperkuat teori yang mengatakan bahwa konsep sekularisme
Barat tidak akan tumbuh ketika ditabur atau diterapkan dalam
masyarakat muslim. Kedua, semakin modern dan semakin rasional
seseorang atau masyarakat, keislaman mereka cenderung
terefleksikan dalam etika pribadi dan sosial, sedangkan
hubungannya dengan Tuhan cenderung pada pendekatan sufistik.
Ketiga, meskipun pada level praksis dan ideologi Islam
senantiasa dipengaruhi oleh tradisi lokal serta
kepentingan-kepentingan subyektif, secara epistemologis Islam
tetap memiliki vitalitas yang bersifat rasional, sehingga
dengan demikian modernisasi tidak akan menjadikan ancaman bagi
Islam.
CATATAN
1. Taylor, Paul W., Problems of Moral Philosophy.
California: Deckenson Publishing Compant Inc., p. 3
2. Hourani, George F., Reason and Traditon in Islamic
Ethics. Cambridge: Cambridge University Press, p. 25
3. Ayat al-Qur'an berulangkali menuntut pembacanya agar
berjihad dengan menggunakan akalnya untuk menangkap
pesan-pesan etis yang terkandung di dalamnya. Oleh
karenanya adalah hal yang logis saja bahwa dalam sejarah
Islam selalu terjadi perbedaan dan konflik intelektual
yang dinamis antara sesama ahli pikir.
4. Lihat Erns Cassirer, An Essay on Man, Yale University
Press,
5. Weiner, Myron., Modernisasi, Dinamika Pertumbuhan,
Gajah Mada University Press, 1980, p. xii
6. Lihat karya-karya Immanuel Kant, terutama Critique
Pure Reason dan Religion within the Limit of Reason
Alone.
7. Peretz, Don, The Middle East Today, New York, 1986,
p. 59
8. Ibid, loc. cit.
9. Ibid, p. fi2
10. Ke-6 sila dalam ideologi Kemalisme ialah:
republikanisme, nasionalisme, populisame, sekularisme,
etistisme, revolusionisme. semua sila di atas secara
konotatif merupakan kritik frontal terhadap ideologi
Ottomanisme.
11. Lihat Ergun Ozbodun (ed)., Ataturk, Founder of
Modern State, London, 1981. Juga dalam Modern Turkey:
Continuity and Change, Opladen, 1984
12. Bernard Lewis, The Emergence of Modern Turkey,
London, 1967, p. 482
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk