Oleh A. Rahman Zainuddin
Dalam pemikiran Islam, konsep "bersih" bukanlah suatu konsep
yang berkenaan dengan harta benda saja, tapi mencakup seluruh
aspek dan segi kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa
seluruh ajaran Islam telah direkayasa untuk menciptakan suatu
kehidupan yang bersih bagi manusia, dalam hal kepercayaannya,
pemikirannya, dan juga tingkah lakunya. Pembersihan dan
pemurnian dasar-dasar pemikiran dan titik tolak dalam hidup
terjelma dengan jelas dalam rukun iman yang enam. Sebelum
segala sesuatunya, manusia harus mempunyai titik tolak
keimanan yang bersih dalam hidup ini.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka kepercayaan pada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa, adalah pemurnian kepercayaan par
excellence. Dengan kepercayaan itu manusia mendapatkan makna
yang baru dan dimensi yang lebih dalam tentang ikatan yang
dimilikinya dalam alam semesta ini. Tauhid adalah proses
pembebasan manusia yang tiada tara. Proses ini mencakup segala
hubungan yang ada, seperti hubungan antara manusia dengan
dirinya, antara manusia dengan sesama, dan antara manusia
dengan alam semesta, yang merupakan lokus sementara baginya
dalam kehidupan duniawi ini. Dengan konsep tauhid, segala tali
hubungan itu telah mendapatkan unsur transendensinya. Segala
hubungan itu dibangun kembali, sesuai dengan kaidah-kaidah
yang telah ditentukan Tuhan.
Dengan petunjuk dan iradah-Nya pulalah ditentukan bahwa
manusia diciptakan di atas dunia ini bukan sebagai robot yang
telah diprogramkan sampai pada perincian-perinciannya, tapi
suatu makhluk yang telah diberi kemampuan menentukan nasibnya
sendiri (QS. al-Ra'd: 11). Dengan demikian hidup manusia telah
berubah menjadi kehidupan yang benar-benar selaras, serasi dan
seimbang dengan ketentuan-ketentuan Ilahi.
Kepercayaan pada para rasul tak lain daripada kepercayaan akan
jembatan yang terdapat antara bumi dan langit, dan dengan
demikian manusia menjadi sadar akan satunya dunia yang
terlihat dengan dunia yang tak terlihat. Dan antara kedua
dunia itu terdapat saluran komunikasi yang berbentuk para
rasul itu. Kepercayaan pada buku-buku suci adalah kepercayaan
bahwa komunikasi yang telah terjadi itu direkam untuk
kepentingan umat manusia. Tapi sayang sekali bahwa manusia,
dalam pandangan Islam, cenderung untuk "campur-tangan" dalam
arti yang sesungguhnya dalam masalah rekaman komunikasi antara
langit dan bumi itu, sehingga dalam kepercayaan orang Islam,
dengan mengecualikan al-Qur'an, semua buku-buku yang terdahulu
telah mengalami kerancuan karena campur-tangan manusia dalam
bentuk yang tak semestinya itu. Hanya al-Qur'an-lah yang telah
memperoleh jaminan Tuhan untuk diperlihara kemurniannya sampai
hari kiamat, tanpa mengalami pencemaran seperti telah dialami
buku-buku suci lain. Dan sekaligus al-Qur'an itu jugalah yang
merupakan koreksi total dan terakhir segala buku suci yang
terdapat sebelumnya.
Kepercayaan pada para malaikat adalah kepercayaan yang
mengajarkan pada manusia bahwa apa yang ada itu bukanlah apa
yang mereka raba, lihat dan rasakan saja. Di balik eksistensi
alam yang mereka indrai masih terdapat alam lain, yaitu alam
malakut, yang lebih tinggi tingkatannya dari alam dunia (yang
rendah) yang diindrai manusia ini. Sekaligus kepercayaan
tersebut merupakan peringatan bagi manusia, bahwa kemampuan
rasionalitas mereka terbatas dalam suatu rentangan eksistensi
yang relatif kecil sekali. Karena itu, tepatlah kiranya apa
yang tersebut dalam al-Qur'an bahwa "Tuhan Maha Tahu dan kamu
tak mengetahui" (QS. al-Baqarah: 232; 'Ali Imran: 66; dan
al-Nahl: 74).
Kepercayaan terhadap hari akhirat, di samping mengantarkan
manusia ke alam yang belum pernah mereka alami, juga
menyadarkan mereka bahwa kehidupan dunia ini bukanlah suatu
kehidupan tanpa arti dan makna, yang hanya akan berakhir
apabila manusia telah sampai pada kematian. Hidup di dunia ini
adalah suatu kehidupan yang serius yang harus dijalani dengan
penuh keseriusan pula, karena ia merupakan babak pendahuluan
yang pendek bagi suatu kehidupan lain yang jauh lebih kekal
dan lebih abadi. Jenis kehidupan akhirat yang akan ditemui
manusia nanti, ditentukan oleh cara-cara ia melalui kehidupan
dunia ini. Kehidupan akhirat itulah yang lebih baik dan lebih
kekal (QS. al-A'la: 17). Di samping itu, kepercayaan akan
kehidupan akhirat meminta manusia hidup dalam suasana yang
penuh tanggung jawab, karena segala sesuatu yang dilakukannya
akan diperlihatkan kepadanya nanti, dan akan diminta
pertanggungjawabannya. Malah perilaku manusia ini nanti akan
disaksikan Allah dan Rasul-Nya dan seluruh orang-orang yang
beriman (QS al-Taubah: 94,105).
Kepercayaan pada takdir (al-qadr) yang baik dan yang tak baik
juga merupakan pelajaran tentang bagaimana kecil dan lemahnya
manusia sebagai suatu eksistensi, terlepas dari kemandiriannya
dan kebebasannya dalam beribadah dan mengubah hidupnya sesuai
dengan keinginannya, ia adalah makhluk yang penuh
ketergantungan terhadap faktor-faktor yang dapat dikatakan
seluruhnya berada di luar pengendaliannya.
Dengan bertumpu pada keenam dasar yang kokoh kuat ini, manusia
telah berada dalam kondisi sebaik-baiknya untuk mengarungi
alam tindakan, atau alam praktis, yang terlambang dalam lima
rukun islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan ibadah
haji. Syahadat adalah pernyataan kebulatan tekad untuk
menyatukan bumi dan langit dalam diri kita, dengan mengakui
tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu pesuruh Allah.
Shalat selain merupakan mi'rajnya orang-orang yang beriman,
juga memiliki aspek pemusatan pemikiran terhadap tujuan, aspek
memupuk kehidupan sosial dalam masyarakat, yang juga
menggalakkan kepatuhan pada pimpinan, tanpa menghilangkan hak
kontrol sosial dan hak menegur dalam setiap tahap dari
pelaksanaannya. Internalisasi penderitaan dalam rangka memupuk
rasa solidaritas sesama manusia, selain dari kepatuhan pada
Tuhan, terjelma dalam ibadah puasa. Sedangkan manifestasi dan
pembuktian yang bersifat kebendaan dari solidaritas ini tampak
dalam zakat yang membersihkan jiwa dan harta manusia. Dalam
haji terlihat aspek kesatuan dan persamaan umat manusia, aspek
kehidupan internasional, aspek pengorbanan, aspek pernyataan
hak-hak asasi manusia dalam Islam, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, secara sepintas lalu telah tampak bagaimana
rukun iman dan rukun Islam merupakan sarana menciptakan suatu
kehidupan dunia yang lebih bermakna, sebagai pendahuluan bagi
manusia dalam menuju kehidupan akhirat yang "lebih baik dan
lebih kekal." Dengan kedua rukun itu, kehidupan manusia
diharapkan menjadi bersih dan transendental, baik dalam
dasar-dasar teoritisnya, maupun dalam prakteknya.
BERBAGAI PANDANGAN TENTANG ZAKAT
Sebagai rukun Islam, zakat telah dipelajari sepanjang sejarah
Islam. Baik buku-buku kuning yang dikarang beberapa abad lalu,
maupun buku-buku yang lebih baru dan lebih modern, semuanya
mempelajari zakat. Dalam buku-buku lama, yang dipelajari
biasanya pengertian zakat secara bahasa dan secara istilah,
dasar-dasar yang mewajibkannya, siapa saja yang memikul
kewajiban ini, jenis harta mana saja yang wajib dizakatkan,
syarat-syarat apa saja yang harus ada pada harta itu, dan yang
terakhir siapa-siapa saja yang boleh menerima zakat tersebut.
Pendapat-pendapat para ulama dalam hal ini pada umumoya sama,
kecuali perbedaan pendapat dalam perincian-perinciannya
(mushali dan samarqandi).
Tulisan-tulisan modern di dunia Arab yang diperhatikan dalam
tulisan ini adalah Shalih, Sabiq dan Thabbarah, di samping
penulis-penulis lain, seperti Mubarak, Tawati, Salamah, Affar
dan lain-lain. Para ulama muda Indonesia, yang berusaha
menegakkan ajaran Islam seutuhnya di negeri ini juga tak
kurang jumlahnya. Dalam tulisan ini diperhatikan Mas'udi dan
Kuntowijoyo. Seringkali juga terdengar di Indonesia pendapat
yang lebih memandang bahwa zakat itu suatu jenis pajak
(Mas'udi,1991).
Para penulis biasanya menganggap zakat sebagai bukti, sistem
ekonomi yang dimiliki Islam itu jelas batas-batasnya, dan sama
sekali bebas sepenuhnya dari semua sistem yang terdapat di
dunia. Sebagian besar kaidah-kaidah utama sistem ini terambil
dari al-Qur'an sedangkan penjelasan-penjelasannya diberikan
Rasulullah saw. dan memang telah dilaksanakan di masa beliau
masih hidup (Shalih 1965, 354). Zakat merupakan pendapatan
utama negara Islam, di samping pajak-pajak lain seperti pajak
tanah, pajak kepala, rampasan perang, pajak hasil bumi dan
lain-lain (Shalih 1965, 354-355).
Zakat itu adalah bagian dari harta benda manusia yang
dikeluarkan karena perintah Allah swt. untuk kepentingan fakir
miskin dan lain-lain. Zakat itu adalah salah satu rukun Islam,
yang dalam delapan puluh dua ayat al-Qur'an disebutkan
bersama-sama dengan shalat. Kewajiban zakat itu dibuktikan
dengan adanya ayat al-Qur'an mengenai hal itu, dengan adanya
hadits Nabi saw., dan dengan adanya suatu kewajiban agama
(Sabig 73, 286).
Dipandang dari segi pengertiannya, zakat berarti kebersihan
dan pertumbuhan, sesuai dengan yang tersebut dalam al-Qur'an
(QS. al-Taubah: 103). Zakat dimaksudkan untuk membersihkan
harta benda orang lain yang dengan sengaja atau tak sengaja
telah termasuk ke dalam harta benda kita. Dalam mengumpulkan
harta benda, seringkali hak orang lain termasuk ke dalam harta
benda yang kita peroleh karena persaingan yang tak pantas,
karena kelicikan dan lain-lain sebagainya. Akibatnya banyak
orang lain yang merasa sakit hati dengan perolehan kita itu.
Mereka tak dapat menuntut, karena tak cukup bukti, atau karena
tak memiliki keahlian untuk itu. Mereka hanya diam dalam
penderitaan mereka. Untuk membersihkan harta benda daripada
kemungkinan-kemungkinan seperti itu, maka zakat dibayarkan.
Zakat berarti juga pertumbuhan, karena dengan memberikan hak
fakir miskin dan lain-lain yang terdapat dalam harta benda
kita, maka terjadilah suatu sirkulasi uang dalam masyarakat
yang mengakibatkan bertambah berkembangnya fungsi uang itu
dalam masyarakat. Di belakang pendapat tersebut terdapat
asumsi, seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun (1958,102-103),
bahwa harta benda itu selalu beredar di antara penguasa dan
rakyat. Ia menganggap negara dan pemerintahan itu sebagai
suatu pasar yang besar, malah yang terbesar di dunia (al-suq
ala'zham), dan bahwa ia itu adalah inti budaya manusia (maddat
al-'umran). Jadi apabila negara atau pemerintah, atau penguasa
menahan harta benda dalam bentuk pajak yang telah
dikumpulkannya dalam kalangannya saja, maka jumlah uang yang
beredar dalam masyarakat sudah pasti berkurang pula, dan
pendapatan rakyat akan menjadi berkurang pula, padahal rakyat
itu merupakan kalangan terbanyak umat manusia ini. Gejala ini
menimbulkan kemacetan ekonomi di kalangan masyarakat.
Keuntungan yang diperoleh para pedagang juga akan menjadi
lebih sedikit pula. Pada akhirnya yang akan menderita kerugian
adalah negara itu sendiri. Sebagai suatu pasar yang terbesar
maka kemakmuran negara itu adalah dengan melihat banyaknya
harta benda yang masuk dan keluar. Apabila terjadi kemandekan
dalam sirkulasi ini, maka semua pihak, termasuk pemerintah
sendiri dirugikan. Jadi harta benda itu selalu bolak-balik
antara rakyat dan penguasa. Apabila penguasa menimbunnya, maka
rakyat tak akan memilikinya. Samarqandi (1958, 412) menjadikan
pertumbuhan itu satu-satunya sebab disyari'atkannya zakat.
Karena itu harta yang wajib dizakatkan hanya dua macam, yaitu
yang bertumbuh seperti binatang ternak dan tanam-tanaman,
serta harta perdagangan.
Zakat diwajibkan pertama kali di Makkah pada permulaan
turunnya Islam, tapi ketika itu kewajiban tersebut baru
bersifat umum saja, dan belum mencakup perincian-perinciannya,
baik mengenai harta benda jenis apa yang diwajibkan, dan
berapa besarnya zakat yang harus dikeluarkan. Pada mulanya hal
itu diserahkan pada perasaan dan kebaikan hati orang Islam
saja. Namun baru pada tahun kedua Hijriah, menurut pendapat
yang terkuat di kalangan para ahli, zakat diwajibkan dalam
bentuk yang lebih terperinci (Shalih, 276-277).
Bagi Garaudy (1981, 32), zakat itu bukanlah suatu karitas,
bukan suatu kebaikan hati pihak orang yang memberikannya, tapi
suatu bentuk keadilan internal yang terlembaga, suatu yang
diwajibkan, sehingga dengan rasa solidaritas yang bersumber
dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme dan
kerakusan dirinya. Dalam kesempatan yang lain (1986, 337) ia
menyatakan bahwa al-Qur'an dan Sunnah mengatur pembagian
kekayaan dengan jalan melembagakan zakat, yaitu suatu pungutan
yang bukan bersifat sukarela, tapi pungutan wajib, yang bukan
berdasarkan penghasilan, melainkan berdasarkan kekayaan. Ia
selanjutnya menyatakan bahwa dengan tarif umum dua setengah
persen setahun maka kekayaan itu akan habis dalam waktu satu
generasi, yaitu dalam jangka waktu empat puluh tahun, dengan
demikian tak akan ada orang yang dapat hidup sebagai parasit
dari kekayaan yang diwarisinya dari orang tuanya. Ia
berpendapat bahwa dalam suatu masyarakat dimana hukum seperti
ini dilaksanakan dengan tuntas, maka tak akan ada orang yang
terpaksa mencuri, selain dari orang yang berpenyakit seperti
kleptomaniak.
Boisard (64-65) menyitir pendapat-pendapat yang mengatakan
zakat itu menyucikan manusia yang memberikannya, dengan
kemenangan terhadap egoisme, atau bahwa ia memperoleh kepuasan
moral, karena ia telah ikut mendirikan sebuah masyarakat Islam
yang lebih adil. Zakat baginya bukanlah belas kasihan, akan
tetapi kewajiban orang kaya dan hak orang miskin. Zakat adalah
pembagian sesama sekutu dalam kekayaan umum, dan menjelmakan
persaudaraan dan solidaritas. Dan lebih daripada orang yang
lebih banyak melihat unsur pajak dalam zakat, maka orang Islam
memandangnya sebagai kewajiban agama. Ia juga merupakan
penegasan kembali kenyataan bahwa semua harta benda yang
dimiliki manusia pada hakikatnya milik Tuhan, sedangkan apa
yang ada pada manusia adalah hak guna saja. Karena itu, zakat
tak lebih dari mengembalikan sebagian harta itu kepada
pemiliknya yang asli (Tuhan), demi menghindarkan diri dari
penderitaan yang akan ditimbulkannya nanti di akhirat.
Salamah (1978, 98-99) berpendapat bahwa dalam permasalahan
manusia yang bersifat keuangan dan perekonomian, Islam
menentukan batas-batas dan meletakkan kaidah-kaidah yang
sangat jelas, yaitu yang sesuai dengan prinsip-prinsip
kebenaran, keadilan dan kepercayaan. Islam menyatakan bahwa
harta benda itu bukan tujuan dalam hidup ini, akan tetapi
hanya alat semata untuk mempertukarkan manfaat dan saling
memenuhi keperluan, yang digunakan untuk mencapai keadilan
sosial yang dicita-citakan Islam. Harta benda itu sendiri
sebagai alat yang tunduk kepada kehendak manusia adalah
netral. Jadi kehendak manusia itu dapat menjadikan harta benda
itu sebagai nikmat, rejeki, dan kurnia yang berguna, demi
untuk mencapai yang baik. Namun kehendak manusia itu pulalah
yang dapat mengubah harta benda itu menjadi sumber azab dan
sengsara bagi manusia itu sendiri.
Salamah (h. 100) merasa heran karena dewasa ini umat Islam
pada umumnya mentolerir praktek-praktek riba dalam bidang
keuangan dan ekonomi, yang berdasarkan eksploitasi dalam
bentuknya yang paling buruk, sehingga gejala ini memperlihatk
an bahwa harta benda itu telah menguasai hak-hak asasi
manusia. Ia berpendapat bahwa kegiatan yang berdasarkan riba
ini pulalah yang menyebabkan mengapa sebagian besar harta
benda menumpuk di tangan segelintir kecil manusia yang sangat
kaya.
Zakat sebagai rukun Islam ketiga, menurut pendapatnya,
disamping membersihkan jiwa dan harta benda, juga merupakan
alat pemerataan yang ampuh dari harta benda dalam masyarakat
(h. 102). Ia juga berpendapat bahwa zakat merupakan sebagian
besar dari pendapatan negara yang menjadikan negara-negara
dulu kaya dan makmur, serta tak mengenal kemiskinan dan
penderitaan. Selanjutnya ia memandang bahwa relevansi zakat di
masa sekarang menjadi semakin penting, terlepas daripada pajak
yang telah ada, karena tempat penyalurannya berbeda. Zakat
merupakan faktor utama dalam pemerataan harta benda di
kalangan masyarakat, dan juga merupakan sarana utama dalam
menyebarluaskan perasaan senasib-sepenanggungan dan
persaudaraan di kalangan umat manusia. Karena itu dapat
dikatakan bahwa zakat, kalau akan dinamakan pajak, maka ia
adalah pajak dalam bentuk yang amat khusus (h. 103).
Bagi Tawati (1986, h. 27), kedatangan Islam adalah untuk
memperbaiki kehidupan manusia yang dipenuhi ketidak-adilan.
Dalam hubungan ini zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk
mendirikan keadilan sosial dalam masyarakat Islam. Ia
bertujuan membersihkan jiwa manusia dari kekotoran, kebakhilan
dan ketamakan, serta untuk memenuhi kebutuhan mereka yang
fakir miskin dan diselubungi penderitaan. Zakat juga digunakan
untuk mendirikan segala sesuatu yang penting bagi kepentingan
umat, seperti memerangi inflasi dan memperkecil jurang antara
berbagai lapisan sosial.
Menurut pendapat Tawati, definisi-definisi yang diberikan para
ulama terhadap zakat memberikan kesan, semuanya itu bermuara
pada seruan mendirikan masyarakat Islam yang kokoh, kerjasama
antara anggota umat berdasarkan kebaikan dan ketaqwaan, dan
seruan untuk berusaha sedapat mungkin agar semua orang dapat
hidup dalam suatu tingkat kehidupan yang layak dan mulia,
karena kepentingan-kepentingannya yang utama dalam hidup telah
terpenuhi (h. 28). Perbedaan yang mendasar antara zakat dan
pajak, menurut pendapatnya, adalah bahwa pajak dibayar orang
karena terpaksa, tapi zakat dibayarkan sebagai lambang
kerjasama, persaudaraan yang sungguh-sungguh, yang
dilaksanakan dengan cara yang berbeda pula (h. 30). Dan yang
lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa zakat itu adalah
ibadah (h. 31).
Sementara itu, studi-studi kaum orientalis semenjak dulu telah
berusaha memberikan gambaran yang salah dan penafsiran yang
tak benar tentang Islam pada umumnya, termasuk mengenai zakat
ini (Daniel 1980, 222-223). Bagi mereka, kata-kata zakat itu
sendiri tak jelas asal usulnya dalam bahasa Arab dan baru
dikenal Nabi dalam pengertian yang lebih luas karena beliau
mengetahuinya dari pengertian yang diberikan orang Yahudi dan
orang Aramaik. Bersama dengan sadaqah, Rasul mungkin mengenal
konsep ini dari orang Yahudi yang ditemuinya di Madinah.
Konsep seperti ini sangat diperlukannya terutama dalam rangka
memberikan bantuan pada orang muhajirin yang baru datang dari
Makkah. Suatu praktek yang pada mulanya sangat bernapaskan
agama. Lama-lama kehilangan motif keagamaannya. Harta benda
yang diperoleh dari zakat itu tak hanya untuk menolong fakir
miskin, tapi juga untuk tujuan-tujuan militer dan politik.
Untuk hal ini, yang dirasakan berat bagi kebanyakan orang,
maka ia menggunakan nama Allah, atau untuk jalan Allah
(Schacht 1961).
Dalam pemikiran para sarjana Muslim di Indonesia, zakat adalah
alat pemerataan dan mencegah tertumpuknya modal sehingga tak
akan lahir monopoli dan monopsoni (Kuntowijoyo 1991, 167).
Baginya zakat berpusat pada keimanan, tapi ujungnya adalah
menciptakan terwujudnya kesejahternan sosial (h. 229).
Penelitian membuktikan, zakat telah terbukti dapat mengurangi
jumlah orang miskin di beberapa tempat tertentu (h. 257).
Karena itu zakat dapat dipahami dalam konteks yang lebih real
dan lebih faktual (h. 284).
Mas'udi (h. 139) melaporkan bahwa ada pendapat-pendapat di
Indonesia yang ingin lebih memberikan penekanan pada tarif
yang tinggi (20%) dari zakat dengan berpegang kepada rikaz,
yang dirasakan Mas'udi sendiri merupakan suatu kebuntuan.
Memang merupakan masalah apakah kaum Muslim, atau para ulama
mereka, berhak mengubah suatu ketentuan agama yang telah baku
(qath'i) demikian saja berdasarkan perubahan situasi dan
kondisi. Bagi golongan Syi'ah hal ini tak menjadi masalah,
karena seperti dilaporkan Nasr (1975), dalam kalangan Syi'ah
praktek khums adalah suatu praktek yang telah biasa.
Penulis juga tertarik oleh apa yang dilaporkan Thabbarah (h.
317-318) tentang perbedaan antara fakir dan miskin dalam
membicarakan golongan-golongan orang yang berhak menerima
zakat. Menurut pendapat 'Akramah Maula Ibn 'Abbar, yang
dimaksud dengan fakir itu adalah golongan miskin kaum Muslim,
sedangkan yang dimaksud dengan miskin itu adalah golongan
miskin kaum non-Muslim (ahl al-kitab). Pendapat ini diperkuat
pula oleh pendapat 'Umar bin Khattab yang menafsirkan
al-masakin dengan golongan lemah ahl al-kitab. Suatu kali ia
melihat seorang zhimmi yang buta tergeletak di pintu kota.
'Umar bertanya kepadanya, "Kenapa Anda?" Ia menjawab, "Dahulu
mereka memungut jizyah dariku. Ketika saya telah buta, mereka
menelantarkan saya. Tak ada orang yang membantu saya
sedikitpun". Umar menjawab, "Kalau begitu, kami telah berlaku
tak adil terhadapmu." Setelah itu ia memerintahkan agar diberi
makan dan belanja untuk memperbaiki tingkat hidupnya. 'Umar
berpendapat ini adalah penafsiran perkataan Tuhan, innama
'I-shadaqatu li 'I-fuqara' wa 'I masakin. Jadi baginya,
masakin itu adalah orang-orang ahl al-kitab yang tak mampu
lagi bekerja, atau menderita penyakit yang tak dapat sembuh
lagi. Namun pendapat itu tentu saja bertentangan dengan
pendapat jumhur ahli fiqh yang berpendapat, zakat itu hanya
diberikan kepada orang Islam saja.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Affar, Muhammad 'Abd al-Mun'im. 1977. "An-Nizham al-lqtishadi
al-Islami." Al-Wa'y al Islami, 154: 36-43.
Boisard, Masrcel A. 1980. Humanisme dalam Islam. Edisi
Indonesia terjemahan Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan
bintang.
Booth, Jr., Newell S. 1970. "The Historical and the Non
Historical in Islam". The Muslim World LX (2): 109-122.
Daniel, Norman. 1980. Islam and the West: The Making of an
Image. Edinburgh: University Press.
Garaudy, Roger. 1986. Mencari Agama pada Abad XX: Wasiat
Filsafat Roger Garaudy. Edisi Indonesia terjemahan Prof Dr.
H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Garaudy, Roger. 1981. Promesses de l'Islam. Paris: Editions de
Seuil.
Ibn Khaldun. 1958. The Muqaddimah: An Introduction to History.
Diterjemahkan Franz Rosenthal ke dalam bahasa Inggris dalam
tiga jilid. New York: Bollingen Foundation.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi.
Bandung: Mizan.
Mas'udi, Masdar F. 1991. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak)
dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Mubarak, Muhammad. 1972. Nizham al-Islam: al-Iqtishad, Mabadi
wa Qawa'id 'Ammah. Makkah: Dar al-Fikr.
Musholi, 'Abdullah bin Mahmud bin Maudud al-. 1951.
Al-Ikhtiyar li Ta'lil al-Mukhtar. Lima Jilid. Kairo: Mustafa
al-Halabi
Nasr, Seyyed Hossein. 1975. Ideals and Realities of Islam.
Boston: Beacon Press,
Sabiq, as-Syaid. 1973. Fiqh as-sunnah. 2 jilid. "Zakat" di
jilid I. Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi.
Salamah, 'Abd al-Rahim bin. 1987. "al-Siyasat al-Maliyah fi'l
Islam al-Manhal 48 (No. 407): 98-109.
Samarqandi, 'Ala al-din as-. 1958. Tuhfat al-Fuqaha'. Tiga
Jilid, Damaskus: Universitas Damaskus.
Schacht, J. 1961. "Zakat". Shorter Encyclopedia of Islam, ed.
H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers. Leiden: EJ. Brill.
Shalih, Subhi as-. 1965. Al-Nuzhum al-Islamiyah: Nasyatuha wa
Tathawwuruha. Beirut: Dar al-'Ilmi li-'l-malayin.
Tabataba'i, Muhammad Husayn. 1975. Shi'ite Islam. London:
Allen & Unwin.
Tawati, 'Abd al-Karim at-.1986. "Mafhum al-Zakah wa Ab'aduha
wa Hikmatu Tasyri'iha fi 'l-Islam". al-Manhal 447: 24-41.
Thabbarah, 'Afif 'Abd al-Fattah. 1959. Ruh al-Din al-Islami.
Beirut: Dar al-'Ibad.
Minggu, 01 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk