oleh Harun Nasution
Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil. Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.
Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri dari teologi rasional ini ialah:
1.Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil dalam memahami wahyu.
2.Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.
3.Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M. Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796-873M) satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar. Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai argumen-argumen rasional.
Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada "Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan tidak dilarang, tetapi wajib.
Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat (kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals). Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis.
Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan filsafat Islam. Dalam hal ini al-Farabi (870-950 M) memberi konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan, Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang esa.
Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi (al-faid, pancaran) dari al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa. Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah gambaran berikut:
Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.
Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah malaikat. Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.
Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut paham emanasi. Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan.
Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik al-Ghazali. Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran yang diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia membagi jiwa kepada tiga bagian:
1.Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2.Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari:
a)Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra
b)Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi
c)Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
d)Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
e)Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
3.Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
a)Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b)Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik.
Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:
1.Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti murni.
2.Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni.
3.Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak menangkap arti-arti murni.
4.Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni. Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah. Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni.
Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak.
Dari paham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan jasmani yang juga dikritik al-Ghazali. Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam. Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis (al-jins) serta diferensiasi (al-fasl). Sebagai seorang Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.
Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada falsafat emanasi yang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena Tuhan dalam filsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung dengan yang banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan mengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, II dan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan yangterjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmanitak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang sains para filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hokum alam.
Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam. Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka kepada kekufuran, yaitu:
1.Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman
2.Pembangkitan jasmani tak ada
3.Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran dalam pendapat al-Ghazali karena qadim dalam filsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah: la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan.
Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid yang sebagaimana dilihat di atas para filsuf mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya. Inilah yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filsuf yang percaya bahwa alam ini qadim.
Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin "Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini?. Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya pertama kali." Maka pengkafiran di sini berdasar atas berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.
Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an. Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat al-An'am: Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu sebelum zaman al-Ghazali telah muncul teologi baru yang menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu jelas ia meninggalkan paham Mu'tazilahnya dan munculkan sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari.
Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari hal-hal
1.Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan filosofis.
2.Karena akal lemah manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis.
3.Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hokum alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan.
Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali, teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filsuf-filsuf Islam.
Di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang sesudah serangan al-Ghazali tersebut. Ibn Bajjah (1082-1138) dalam bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan menghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina.
Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahafut al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah. Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai permulaan dalam zaman, konsep al-Ghazali bahwa alam hadis, alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil.
Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan. Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim menyebut pula, Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap.Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia' mengatakan pula, Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air. Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda yang berlainan.
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada," seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti yang dikatakan para filsuf. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun, menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah. Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada" tetapi dari sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah seperti disebut oleh ayat di atas. Filsafat memang tidak menerima konsep penciptann dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada," kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang terjadi ialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhan menjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula langit. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi susunannya adalah baru (hadis).
Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa kepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran filsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampau sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan, Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat 47/8 dari surat Ibrahim menyebut: Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.
Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya dihari kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang lain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi asal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur ini Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai dengan kandungan al-Qur'an.
Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filsuf dalam filsafat mereka tentang qadimnya alam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan pihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing tentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi pendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali. Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tak pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahui perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan mengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi dan materi dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifat immateri dan tak mempunyai pancaindra.
Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam Tahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut hal itu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahajut al-Falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.
Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filsuf, dan kelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali dari filsafat mereka. Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain, menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil adalah meningga]kan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.
Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam harmoni ini akal mempunyai kedudukan tinggi. Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat filsafat benar, sungguhpun menurut agama salah. Agama mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa. Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tinggal di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada 1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam bagian barat.
Di dunia Islam bagian timur, kecuali di kalangan Syi'ah, teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan dari pada jalan filsafat. Hilanglah pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga dating abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam bidang pemikiran, filsafat dan sains, sebagaimana disebut di atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berpikir Ibn Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.
Daftar Kepustakaan
De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R.Jones, London, Luzac & Co., 1970
Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t.
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966.
_________, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni, 1961.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1983.
Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964.
_________, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969.
Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938.
O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs, London, Routledge & Kegan Paul, 1964.
Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden, 1963.
Minggu, 01 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk