Minggu, 01 November 2009
KONSEP-KONSEP KEADILAN
oleh Abdurrahman Wahid
Tidak dapat dipungkiri, al-Qur'an meningkatkan sisi keadilan
dalam kehidupan manusia, baik secara kolektif maupun
individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu dihinggapi
semacam rasa cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim
dengan temuan yang mudah diperoleh secara gamblang itu.
Sebagai hasil lanjutan dari rasa puas diri itu, lalu muncul
idealisme atas al-Qur'an sebagai sumber pemikiran paling baik
tentang keadilan. Kebetulan persepsi semacam itu sejalan
dengan doktrin keimanan Islam sendiri tentang Allah sebagai
Tuhan Yang Maha Adil. Bukankah kalau Allah sebagai sumber
keadilan itu sendiri, lalu sudah sepantasnya al-Qur'an yang
menjadi firmanNya (kalamu 'l-Lah) juga menjadi sumber
pemikiran tentang keadilan?
Cara berfikir induktif seperti itu memang memuaskan bagi
mereka yang biasa berpikir sederhana tentang kehidupan, dan
cenderung menilai refleksi filosofis yang sangat kompleks dan
rumit. Mengapakah kita harus sulit-sulit mencari pemikiran
dengan kompleksitas sangat tinggi tentang keadilan? Bukankah
lebih baik apa yang ada itu saja segera diwujudkan dalam
kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah refleksi
yang lebih jauh hanya akan menimbulkan kesulitan belaka?
"Kecenderungan praktis" tersebut, memang sudah kuat terasa
dalam wawasan teologis kaum skolastik (mutakallimin) Muslim
sejak delapan abad terakhir ini.
Argumentasi seperti itu memang tampak menarik sepintas lalu.
Dalam kecenderungan segera melihat hasil penerapan wawasan
Islam tentang keadilan dalam hidup nyata. Apalagi dewasa ini
justru bangsa-bangsa Muslim sedang dilanda masalah
ketidakadilan dalam ukuran sangat massif. Demikian juga,
persaingan ketat antara Islam sebagai sebuah paham tentang
kehidupan, terlepas dari hakikatnya sebagai ideologi atau
bukan, dan paham-paham besar lain di dunia ini, terutama
ideologi-ideologi besar seperti Sosialisme, Komunisme,
Nasionalisme dan Liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan
serba praktis seperti itu adalah sebuah pelarian yang tidak
akan menyelesaikan masalah. Reduksi sebuah kerumitan menjadi
masalah yang disederhanakan, justru akan menambah parah
keadaan. Kaum Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari
pemecahan yang hakiki dan berdayaguna penuh untuk jangka
panjang, dan merasa puas dengan "pemecahan" sementara yang
tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka panjang.
Ketika Marxisme dihadapkan kepada masalah penjagaan hak-hak
perolehan warga masyarakat, dan dihadapkan demikian kuatnya
wewenang masyarakat untuk memiliki alat-alat produksi,
pembahasan masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan
menekankan slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktis
yang menyederhanakan masalah. Memang berdayaguna besar dalam
jangka pendek, terbukti dengan kemauan mendirikan
negara-negara Komunis dalam kurun waktu enam dasawarsa
terakhir ini. Namun, "pemecahan masalah" seperti itu ternyata
membawa hasil buruk, terbukti dengan "di bongkar pasangnya"
Komunisme dewasa ini oleh para pemimpin mereka sendiri di
mana-mana. Rendahnya produktivitas individual sebagai akibat
langsung dari hilangnya kebebasan individual warga masyarakat
yang sudah berwatak kronis, akhirnya memaksa parta-partai
Komunis untuk melakukan perombakan total seperti diakibatkan
oleh perestroika dan glasnost di Uni Soviet beberapa waktu
lalu.
Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk
juga meninjau masalah keadilan dalam pandangan Islam secara
lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada persoalan, bahkan yang
paling rumit sekalipun, haruslah diangkat ke permukaan dan
selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan
wawasan kemasyarakatan Islam yang lebih relevan dengan
perkembangan kehidupan umat manusia di masa-masa mendatang.
Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh paham
yang dikembangkan Islam, juga akan dihadapkan kepada nasib
yang sama dengan yang menentang Komunisme, jika tidak dari
sekarang dirumuskan pengembangannya secara baik dan tuntas,
bukankah hanya melalui jalan pintas belaka.
Pembahasan berikut akan mencoba mengenal (itemize) beberapa
aspek yang harus dijawab oleh Islam tentang wawasan keadilan
sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an. Pertama-tama akan dicoba
untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian dicoba pula untuk
menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang
dihadapi umat manusia. Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas
hal-hal pokok dan sosok kasar dari apa yang harus dilakukan
selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam hati.
PENGERTIAN KEADILAN
Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata
atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata
yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan
juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata
sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh
al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam
berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya
yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti
mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).
Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan
dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu
sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan
hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil
keputusan ("Hendaknya kalian menghukumi atau mengambil
keputusan atas dasar keadilan"). Secara keseluruhan,
pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi
keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan
dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl
dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja,
sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan"
mendapat tempat dalam al-Qur'an, sehingga dapat dimengerti
sikap kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan
keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama
al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.
Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan
dorongan al-Qur'an agar manusia memenuhi janji, tugas dan
amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan
kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesama
warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya.
Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum
Muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar
keadilan dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan keadilan itu
tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan
warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup
makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya
dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang
beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil dalam
urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan
mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran
agama masing-masing.
Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara
wawasan atau sisi keadilan oleh al-Qur'an dengan upaya
peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga
masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya
dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin,
janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian.
Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan
sebagai pengejawantahan keadilan. Orientasi sekian banyak
"wajah keadilan" dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak
karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan
dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural.
Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an
itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar
sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya
merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan
diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari
perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian, wawasan
keadilan dalam al-Qur'an mudah sekali diterima sebagai sesuatu
yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang
dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan
segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata
dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani
yang mengingkari keadilan itu
Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini,
bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur'an
ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif. Ini
mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan keadilan
itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang katakanlah
legal-formalistik.
PERMASALAHAN
Mengingat sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik
dalam al-Qur'an itu, secara langsung kita dapat melihat adanya
dua buah persoalan utama yaitu keterbatasan visi yang dimiliki
wawasan keadilan itu sendiri, dan bentuk penuangannya yang
terasa "sangat berbalasan" (talionis, kompensatoris).
Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan, bahwa kalau suatu
bentuk tindakan telah dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban
berbuat adil, walaupun dalam sisi-sisi yang lain justru
wawasan keadilan itu dilanggar. Dapat dikemukakan sebagai
contoh, umpamanya, seorang suami telah "bertindak adil" jika
"berbuat adil" dengan menjaga ketepatan bagian menggilir dan
memberikan nafkah antara dua orang isteri, tanpa mempersoalkan
apakah memiliki dua orang isteri itu sendiri adalah sebuah
tindakan yang adil. Dengan demikian, pemenuhan tuntutan
keadilan yang seharusnya berwajah utuh, lalu menjadi sangat
parsial dan tergantung kepada pelaksanaan di satu sisinya
belaka.
Warna kompensatoris dari wawasan keadilan yang dibawakan
al-Qur'an itu juga terlihat dalam sederhananya perumusan apa
yang dinamakan keadilan itu sendiri. Wanita yang diceraikan
dalam keadaan hamil berhak memperoleh santunan hingga ia
melahirkan anak yang dikandungnya, cukup dengan jumlah
tertentu berupa uang atau bahan makanan. Sangat terasa watak
berbalasan dari "pemenuhan keadilan" yang berbentuk seperti
ini, karena ada "pertukaran jasa" antara mengandung anak (bagi
suami) dan memberikan santunan material (bagi isteri).
Dari pengamatan akan kedua hal di atas lalu menjadi jelas,
bahwa permasalahan utama bagi wawasan keadilan dalam pandangan
al-Qur'an itu masih memerlukan pengembangan lebih jauh,
apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan wawasa keadilan
dalam kehidupan itu sendiri.
Sampai sejauh manakah dapat dikembangkan wawasan demokrasi
yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang
dimiliki al-Qur'an itu? Dapatkah kepada kelompok demokrasi
yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang
dimiliki al-Qur'an itu? Dapatkah kepada kelompok minoritas
agama diberikan hak yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan?
Dapatkah wawasan keadilan itu menampung kebutuhan akan
persamaan derajat agama dikesampingkan oleh kebutuhan akan
hukum yang mencerminkan kebutuhan akan persamaan perlakuan
hukum secara mutlak bagi semua warga negara tanpa melihat
asal-usul agama, etnis, bahasa dan budayanya? Dapatkah
dikembangkan sikap untuk membatasi hak milik pribadi demi
meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya
demokrasi ekonomi? Deretan pertanyaan fundamental, yang
jawaban-jawabannya akan menentukan mampukah atau tidak wawasan
keadilan yang terkandung dalam al-Qur'an memenuhi kebutuhan
sebuah masyarakat modern di masa datang.
Diperlukan kajian-kajian lebih lanjut tentang peta
permasalahan seperti dikemukakan di atas, namun jelas sekali
bahwa visi keadilan yang ada dalam al-Qur'an dewasa ini harus
direntang sedemikian jauh, kalau diinginkan relevansi
berjangka panjang dari wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya
lalu menjadi rumit dan memerlukan refleksi filosofis, di
samping kejujuran intelektual yang tinggi untuk
merampungkannya secara kolektif. Masalahnya, masih punyakah
umat Islam kejujuran intelektual seperti itu, atau memang
sudah tercebur semuanya dalam pelarian sloganistik dan
"kerangka operasionalisasi" serba terbatas, sebagai pelarian
yang manis?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk