oleh Zainun Kamal
Paham teologi Asy'ari termasuk paham teologi tradisional,
yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang
menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang
leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu'tazilah
dan Salafiyah, tetapi "benang merah" sebagai jalan tengah
yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak
Mu'tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali
lagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang
bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. [1]
Untuk meninjau pemikiran-pemikiran al-Asy'ari lebih baik
memaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas.
Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakang
pemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksi
zaman dan kondisi dari suatu masyarakat. Dan al-Asy'ari juga
tidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri.
Sebenarnya, nama asli Imam Asy'ari adalah Ali Ibn Ismail [2]
-keluarga Abu Musa al-Asy'ari. [3] Panggilan akrabnya Abu
al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M
[5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat
di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.
Abu al-Hasan al-Asy'ari pada mulanya belajar membaca,
menulis dan menghafal al-Qur'an dalam asuhan orang tuanya,
yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.
Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadits, Fiqh, Tafsir
dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah
al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, Abdur Rahman
Ibn Khalf dan lain-lain. [7] Demikian juga ia belajar Fiqih
Syafi'i kepada seorang faqih: Abu Ishak al-Maruzi (w. 340
H./951 M.) -seorang tokoh Mu'tazilah di Bashrah. Sampai umur
empat puluh tahun ia selalu bersama ustaz al-Juba'i, serta
ikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran
Mu'tazilah. [9]
Pada tahun 300 H./915 M dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasan
al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Untuk hal
ini terdapat beberapa pendapat mengenai sebab-sebab
meninggalkan atau keluar dari Mu'tazilah. Sebab klasik yang
biasa disebut perpisahan dia dengan gurunya karena
terjadinya dialog antara keduanya tentang salah satu ajaran
pokok Mu'tazilah, yaitu masalah "keadilan Tuhan." Mu'tazilah
berpendapat, "semua perbuatan Tuhan tidak kosong dari
manfaat dan kemashlahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu,
kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Dia mesti
menghendaki yang baik dan terbaik untuk kemashlahatan
manusia. Paham ini di sebut al-Shalah wa 'l-Ashlah. [10]
Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:
Al-Asy'ari (A) - Bagaimana pendapat tuan tentang nasib tiga
orang bersaudara setelah wafat; yang tua mati dalam
bertaqwa; yang kedua mati kafir; dan yang ketiga mati dalam
keadaan masih kecil.
Aldubba'i (J) - yang taqwa mendapat terbaik; yang kafir
masuk neraka; dan yang kecil selamat dari bahaya neraka.
A - Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebih
baik di Sorga, mungkinkah?
J - Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai dengan
jalan ibadat dan kepatuhan kepada Tuhan. Adapun anak kecil
belum mempunyai ibadat dan kepatuhan kepada-Nya.
A- Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukan
salahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan
mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yang
taqwa itu.
J - Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, Aku tahu,
jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat dan
engkau akan mendapat siksa; maka Saya (Allah - Red) matikan
engkau adalah untuk kemaslahatanmu.
A - Sekiranya saudaranya yang kafir mengatakan, "Ya Tuhanku
Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa
depannya, mengapa Engkau tidak jaga kepentinganku?
Al-Jubba'i menjawab, "Engkau gila, (dalam riwayat lain
dikatakan, bahwa Al-Jubba'i hanya terdiam dan tidak
menjawab). [11]
Dalam percakapan di atas, al-Jubba'i, jagoan Mu'tazilah itu,
tampaknya dengan mudah saja dapat ditumbangkan oleh
al-Asy'ari. Tetapi dialog ini kelihatannya hanyalah sebuah
ilustrasi yang dibuat para pengikut al-Asy'ari sendiri untuk
memperlihatkan perbedaan logikanya dengan logika orang-orang
Mu'tazilah.
Bagi Mu'tazilah, si anak kecil tentu tidak akan mengajukan
protes kepada Allah, karena dia sendiri tahu, bahwa sesuai
dengan keadilan Tuhan, tempat yang cocok untuknya memang di
sana. Kalau Tuhan menempatkan anak kecil sederajat dengan
tempat orang yang taqwa, tentu dia sendiri akan merasakan
bahwa Tuhan sudah tidak adil lagi terhadap dirinya. Sebab,
tempatnya memang bukanlah seharusnya sederajat dengan
orang-orang yang taqwa.
Di alam akhirat, menurut Mu'tazilah, tidak ada lagi
perdebatan tentang keadilan Tuhan. Di sana, manusia sudah
mendapati al-Wa'ad wa al-Wa'id. Dia sudah menepati janji.
Yang taqwa mendapat sorga, yang kafir mendapat neraka, dan
jika di sana terdapat yang meninggal dunia dalam keadaan
masih kecil, baik anak-anak orang mukmin atau kafir, maka
bagi mereka tidak ada alasan untuk disiksa, karena Tuhan
Maha Suci dari penganiayaan. [12]
Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhan
lebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidak
menghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir sama
artinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendiri
sudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal dan
petunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkan
Tuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia
dianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidak
rasional.
Sebab lain yang biasa disebutkan adalah meninggalkan
ajaran-ajaran Mu'tazilah karena pernah bermimpi melihat
Rasulullah saw sebanyak tiga kali. Mimpi itu terjadi pada
bulan Ramadhan. Mimpi pertama terjadi pada tanggal 10; mimpi
kedua pada tanggal duapuluh, dan mimpi ketiga pada tanggal
tigapuluh. [14] Dalam mimpi yang terjadi pada bulan Ramadlan
itu Rasulullah menyampaikan bahwa madzhab ahli haditslah
yang benar, karena itulah madzhabnya yang berasal dari saya.
[15]
Diriwayatkan bahwa al-Asy'ari sebelum mengambil keputusan
untuk keluar dari Mu'tazilah, ia mengisolir diri di rumahnya
selama limabelas hari. Sesudah itu ia pergi ke mesjid lalu
naik mimbar dan menyampaikan:
"Saya dulu mengatakan, bahwa al-Qur'an adalah makhluk; Allah
swt. tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin
di akhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya
sendiri. Sekarang saya taubat dari semuanya itu. Saya
lemparkan keyakinan-keyakinan lama saya, sebagaimana saya
lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya). Dan saya keluar
dari kekejian dan skandal Mu'tazilah." [16]
Terlepas dari soal sesuai atau tidaknya uraian di atas
dengan fakta sejarah; maka dari sisi lain dapat pula kita
ungkapkan sebab yang mendorong al-Asy'ari meninggalkan faham
Mu'tazilah. Sebab itu ialah rasa skeptis dan
ketidakpercayaannya lagi terhadap kemampuan akal,
sebagaimana yang pernah pula dialami oleh al-Ghazali di
kemudian hari. Pada kedua tokoh ini terdapat suatu indikasi
kesamaan yang sangat mirip.
Al-Asy'ari, sebagai contoh pendiri aliran, setelah belajar
pada Mu'tazilah, kemudian merasa tidak puas, lantas
menyerangnya. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali,
sebagai benteng pertahanan yang kokoh terhadap aliran
al-Asy'ari, setelah ia belajar filsafat, kemudian merasa
tidak puas, lalu menyerang pula. Al-Asy'ari memakai
ungkapan-ungkapan yang pedas sekali dalam menyerang
Mu'tazilah, dengan tuduhan sebagai golongan sesat,
penyeleweng, dan majusinya umat. Begitu pula al-Ghazali
menyerang para filsuf, dengan tuduhan sebagai golongan
bid'ah dan kufur. Al-Asy'ari melakukan sanggahan terhadap
Mu'tazilah setelah ia mengetahui benar akan aliran
Mu'tazilah itu. Setelah itu ia menulis sebuah buku yang
bernama Maqalat al-Islamiyyin yang berisikan kepercayaan
aliran-aliran. Dan untuk bantahannya ia menulis lagi sebuah
buku yang bernama al-Ibanah. Demikian juga halnya dengan
al-Ghazali, setelah mengkaji filsafat secara mendalam,
kemudian ia tulis pemikiran-pemikiran filsuf itu dalam
sebuah buku yang bernama Maqasid al-Falsafah. Setelah itu,
baru ia melakukan bantahan-bantahan terhadap para filsuf
dengan mengarang sebuah buku yang bernama Tahafut
al-Falasifah (kesalahan para filsuf).
Sebagaimana diketahui, pemegang janji rasional pada masa
al-Asy'ari adalah para tokoh Mu'tazilah, karena itu
sanggahannya tertuju langsung pada Mu'tazilah. Sementara
para filsuf yang dinilai sebagai pewaris pemikiran rasional
Mu'tazilah, maka al-Ghazali sebagai pembela ikhlas terhadap
aliran al-Asy'ari harus dengan tegas pula melakukan
sanggahan terhadap filsuf.
Pemikiran al-Asy'ari yang asli baru dapat diketahui setelah
ia menyatakan pemisahan dirinya dari Mu'tazilah dan
pengakuannya menganut paham aqidah salafiyah aliran Ahmad
bin Hambal. [17] Yaitu keimanan yang tidak didasari
penyelaman persoalan gaib yang mendalam. Di sisi lain, ia
hanya percaya pada akidah dengan dalil yang ditunjuk oleh
nash, dan dipahami secara tekstual sebagaimana yang tertulis
dalam Kitab suci dan sunnah Rasul. Fungsi akal hanyalah
sebagai saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil al-Qur'an.
[18] Jadi akal terletak di belakang nash-nash agama yang
tidak boleh berdiri sendiri. Ia bukanlah hakim yang akan
mengadili. Spekulasi apapun terhadap segala sesuatu yang
sakral dianggap suatu bid'ah. Setiap dogma harus dipercayai
tanpa mengajukan pertanyaan bagaimana dan mengapa.
Sekarang permasalahannya ialah, sampai seberapa jauh
al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah dan
keikhlasannya terhadap ajaran Salafiyah. Untuk mengetahui
ajaran-ajaran al-Asy'ari, kita dapat melihat pada
kitab-kitab yang ditulisnya, terutama:
1.Maqalat al-Islamiyyin, merupakan karangan yang pertama
dalam soal-soal kepercayaan Islam. Buku ini menjadi sumber
yang penting, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.
Buku ini terdiri -dari tiga bagian:
a.Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam
b.Aqidah aliran Ashhab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah, dan
c.Beberapa persoalan ilmu Kalam.
2.Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, berisikan uraian tentang
kepercayaan Ahl al-Sunnah dan pernyataan penghargaannya
terhadap persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dalam
buku ini ia menyerang dengan pedas aliran Mu'tazilah.
3.Kitab al-Luma' fi al-Radd 'ala ahl al-Zaigh wa al-bida',
berisikan sorotan terhadap lawan-lawannya dalam beberapa
persoalan ilmu Kalam.
Para ahli mempertanyakan tentang perbedaan kandungan yang
terdapat pada kedua kitabnya al-Ibanah dan al-Luma'. Yang
pertama, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal. Dalam
arti, Salafiahnya lebih dominan dibandingkan Mu'tazilah.
Sedangkan buku kedua (al-Luma'), peranan akal lebih tinggi
dalam memahami nash-nash. Di sini terlihat adanya anjuran
kembali untuk memahami nash-nash agama dengan metode ilmu
kalam. [19]
Perbedaan ini bisa terjadi, karena al-Asy'ari pada kitabnya
al-Ibanah ditulisnya langsung setelah pernyataannya keluar
dari Mu'tazilah. Jadi, secara psikologis, bukunya dalam
rangka menonjolkan sikap loyalnya terhadap kaum Salafi,
sebagai rekan barunya. Dan sikap kebenciannya terhadap
Mu'tazilah karena penilaiannya sebagai musuh yang sedang
dihadapinya, meski dulu teman akrabnya. Sebenarnya, ini
dapat dipahami. Sebab, seseorang yang selama ini dijadikan
teman baik, oleh karena suatu hal berubah menjadi musuh,
maka ia akan memperlihatkan sikap bencinya terhadap musuh
itu. Dan sebaliknya akan memperlihatkan sikap loyalnya
terhadap teman baru. Karena itu, kitab al-Ibanah
mencerminkan tingkat kesunyian secara penuh. Sebaliknya,
menampakkan sikap bencinya terhadap Mu'tazilah lebih nyata.
Karena itu, kitab al-Ibanah menurut para ahli ditulis
langsung setelah al-Asy'ari meninggalkan faham Mu'tazilah.
Lain halnya dengan kitabnya al-Luma', yang ditulis setelah
kitab al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.
Maka di sini terlihat kembali kajian keagamaan al-Asy'ari
dengan dalil-dalil rasional dan membangun ilmu kalamnya
sendiri. Dengan demikian, ketika menulis kitab al-Luma',
argumentasi rasional al-Asy'ari menonjol kembali dalam
memahami nash-nash agama dan terlihat interpretasi
metaforisnya (ta'wil). Kecenderungannya pada metode kaum
Mu'tazilah inilah yang menyebabkan kaum Hambali menolak
paham teologi al-Asy'ari.
Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikap
al-Ghazali yang mencoba menyerang para filsuf, tetapi
kenyataannya ia tetap mempergunakan metode falsafah dalam
kajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah yang
dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk ke
dalam kandang falsafah, kemudian berusaha keluar, dan
berputar-putar mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdaya
lagi untuk keluar.
Sebagai penentang Mu'tazilah, sudah barang tentu al-Asy'ari
berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan
sendiri merupakan pengetahuan ('Ilm). Yang benar, Tuhan itu
mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya,
bukanlah dengan Zat-Nya. Demikian pula bukan dengan
sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar dan
melihat. [20]
Disini terlihat, al-Asy'ari menetapkan sifat kepada Tuhan
seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup
berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah,
sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.
Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwa
sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu
hati-hatinya mereka dalam menjaga persamaan Allah dengan
makhluk-Nya, sehingga mereka mengatakan, "Siapa yang
tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi
"Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku," lalu ia langsung
mengatakan, wajib dipotong tangannya." [21]
Lain halnya dengan al-Asy'ari, baginya arti sifat tidak jauh
berbeda dengan pengertian sifat bagi Muitazilah. Bagi
al-Asy'ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat bukan Zat,
dan bukan pula lain dari Zat. Ungkapan al-Asy'ari yang
seperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak terlepas dari
paradoks. [22]
Bagi Mu'tazilah, sifat sama dengan Zat. Sifat tidak
mempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika dikatakan, yang
mengetahui ('Alim), maka artinya menetapkan pengetahuan
('Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah Zat-Nya
sendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untuk
memahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakan
yang berkuasa (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah)
bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya sendiri. Artinya,
menafsirkan kelemahan Allah. [23]
Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran al-Asy'ari yang
lain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu,
al-Asy'ari membawakan argumen rasio dan nash. Yang tidak
dapat dilihat, kata al-Asy'ari, hanyalah yang tak punya
wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan
oleh karena itu dapat dilihat. [24]
Argumen al-Qur'an yang dimajukannya antara lain,
"Wajah-wajah yang ketika itu berseri-seri memandang kepada
Allah" (QS. al-Qiyamah: 22-23).
Menurut al-Asy'ari kata nazirah dalam ayat itu tak bisa
berarti memikirkan seperti pendapat Mu'tazilah, karena
akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berarti
menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang
menunggu adalah manusia. Lagi pula, di sorga tidak ada
penungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuat
kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti
berarti melihat dengan mata kepala. [25]
Sungguhpun al-Asy'ari berpendapat, bahwa orang-orang mukmin
nanti dapat melihat Tuhan di Akhirat dengan mata kepala,
namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi
menghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhan
itu tidak mesti mempunyai tempat dan terarah pada tujuan,
tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan
kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan
bagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]
Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat
dilihat nanti di akhirat, maka al-Asy'ari memerlukan pula
untuk menafsirkan atau menta'wilkan ayat yang berikut ini:
Artinya: "Penglihatan tak dapat menangkap-Nya tetapi ia
dapat mengangkat penglihatannya." (al-An'am: 103) Ayat
tersebut di atas diartikan oleh al-Asy'ari, bahwa yang
dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan
bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihat
Tuhan di akhirat bagi orang kafir. [27]
Apa yang telah kita ungkapkan di atas, adalah merupakan
sebagian dari pemikiran al-Asy'ari tentang tauhid. Sekarang
kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengaja
dirangkaikan keadilan dengan tauhid, karena pembahasan
tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata,
sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq
dengan makhluknya.
Al-Asy'ari, seperti Mu'tazilah, meyakini bahwa Allah adalah
Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kita
mewajibkan sesuatu kepada Allah. Dan juga menolak faham
al-Shalah wa al-Ashlah Mu'tazilah, artinya, Tuhan wajib
mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan
manusia. Allah, kata al-Asy'ari, bebas memperbuat apa yang
kehendaki-Nya. [28]
Al-Asy'ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya "menempatkan
sesuatu pada tempat yang sebenarnya," yaitu seseorang
mempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya serta
mempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik. [29]
Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy'ari, kalau Tuhan
memasukkan seluruh umat manusia ke dalam sorga, termasuk
orang-orang kafir, dan juga tidak dapat dikatakan Tuhan
bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam
neraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak adil menurut
pendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan
karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum,
maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.
[31]
Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak,
dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap
makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari
kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmim, atau
memasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka Tuhan tidaklah
berbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.
[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan
hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.
Paham keadilan al-Asy'ari ini mirip dengan paham sebagian
umat yang merestui seorang raja yang absolut diktator. Sang
raja yang absolut diktator itu, memiliki hal penuh untuk
membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian digambarkan,
bahwa sang raja itu diatas dari undang-undang dan hukum,
dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada
undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu
adalah bikinannya sendiri.
Dari asumsi itu, kemudian al-Asy'ari menganalogikan bahwa
Allah adalah memiliki kemerdekaan mutlak. Dia memperbuat
sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpun
yang dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah mengenai
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini, maupun di
akhirat. [33] Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia,
baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yang
akan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti
seorang raja yang absolut diktator, kalau ia menganiaya
seluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sanggup
menentangnya. Karena manusia, bagi al-Asy'ari, selalu
digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya
dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan
absolut mutlak. [34] Karena manusia dipandang lemah, maka
paham al-Asy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham
Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will).
Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak
dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan
dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari memakai
istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia
dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang
faham kasb ini, al-Asy'ari memberi penjelasan yang sulit
ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia
dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap
bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi,
dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif
dalam perbuatannya. [35] Kasb, kata al-Asy'ari, adalah
sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan
perantaraan daya yang diciptakan. [36]
Melihat kepada pengertian, "sesuatu yang timbul dari yang
berbuat" mengandung atas perbuatannya. Tetapi keterangan
bahwa "kasb itu adalah ciptaan Tuhan" menghilangkan arti
keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif
dalam perbuatan-perbuatannya.
Argumen yang dimajukan oleh al-Asy'ari tentang diciptakannya
kasb oleh Tuhan adalah ayat:
"Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu." (QS.
al-Shaffat 37:96)
Jadi dalam paham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan manusia
adalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat (agent)
bagi kasb kecuali Allah. [38] Dengan perkataan lain, yang
mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy'ari,
sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan,
dapat dilihat dari pendapat al-Asy'ari tentang kehendak dan
daya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy'ari
menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin
dikehendaki. Tidak satupun didalam ini terwujud lepas dari
kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki
sesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinya
niscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan:
"Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki" (QS.
al-Insan 76:30).
Ayat ini diartikan oleh al-Asy'ari bahwa manusia tak bisa
menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia
supaya menghendaki sesuatu itu. [40] Ini mengandung arti
bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan,
dan kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak
lain dari kehendak Tuhan.
Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam
perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan
Tuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki
dan perbuatan manusia adalah majazi (sebagai lambang).
Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut.
Tuhan dan manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti dua
orang yang mengangkat batu b esar ; yang seorang mampu
mengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidak
mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu
besar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat
tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu
tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia.
Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya daya
Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat
sebagai pembuat. [43]
Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam paham
al-Asy'ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya,
daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh
dan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah
daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau
tidak disokong oleh daya Tuhan.
Karena manusia dalam teori kasb al-Asy'ari tidak mempunyai
pengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahli
menilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkan
Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai,
sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution juga
berpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy'ari
kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya
Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan dan
bukan perbuatan manusia. [46]
Ibn Taimiyyah menilai al-Asy'ari telah gagal dengan konsep
kasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah dengan
Jabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nya
al-Asy'ari itu telah membawa para pengikutnya berfaham
Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya
kemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yang
sudah kita uraikan di atas, al-Asy'ari menegaskan bahwa kasb
manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkan
perbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah
menilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy'ari itu tidak
masuk akal. [46]
PENGARUH KALAM AL-ASY'ARI
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologi
al-Asy'ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yang
lemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat
berhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapan
dengan kekuasaan mutlak Allah.
Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dan
kultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakat
Islam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selalu
berkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untuk
menghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidak
perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebab
undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.
Karena teologi al-Asy'ari didirikan atas kerangka landasan
yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang
lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia
dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang
bersifat sederhana dalam pemikiran.
Kunci keberhasilan teologi al-Asy'ari ialah karena sejak
awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya - umat
Islam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni.
Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan
ajaran-ajaran Mu'tazilah.
Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy'ari telah berhasil
menarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campur
tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini
membatalkan aliran Mu'tazilah sebagai paham resmi pada waktu
itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy'ari pada tahun 935M.
Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain,
al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliran
itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat
Islam menganutnya sampai detik ini.
Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi
al-Asy'ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya
terhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis
dari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan
demikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi aliran
dari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, paham
al-Asy'ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruh
negatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiran
rasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiran
rasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umat
Islam selama berabad-abad.
Karena akal manusia, menurut al-Asy'ari, mempunyai daya yang
lemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai
ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma,
tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni,
yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain
dari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek.
Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapat
mengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapat
merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat
kemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, Sayeed
Ameer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam
sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme
al-Asy'ari. [49]
Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatan
manusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan makna
pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, dan
lebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak mau
bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwa
terowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari faham
Fatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendak
Tuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawab
atasnya.
Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, seperti
rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan
manusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri dan
merubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkan
takdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yang
terjadi.
Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambil
bahwa faham teologi al-Asy'ari mempunyai basis yang kuat
pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara
hidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapi
teologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapan
perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru.
CATATAN
1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir,
tahun 1976, h. 46
2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail
Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa
al-Asy'ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-lbanah 'an
Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,
1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat
juga Abu al-Hasan al-Asy'ari, maqalat al-Islamiyyin wa
Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir,
1969, h. 3
3.Abu Musa al-Asy'ari adalah salah seorang sahabat
Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali
Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan
Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy'ari,
Mesir, 1973 h. 60
4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10
5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun
lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52
270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303
(dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung
menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari
Mu'tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu
itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali
Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam,
Iskandariyah, 1980, h. 310
6.Hamuddh, Al-Asy'ari, hal. 60
7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29
8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h.
36
9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain
al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h 93
10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu'tazilah. Bairut, 1974, h. 102
11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah,
h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm
al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy'ari, h.65
12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h.
159.
13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan
perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu'tazilah, dapat
dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah
al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165
14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31
15.Ibid., h. 34
16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II,
Iskandiyah, h. 41
17.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-Ibanah'an Ushul al-Dinayah,
Mesir,1397 H. H.8
18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35
19.Hasan Mahmud al-Asy'ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa
Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38
20.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Kitab al-Luma' Fi al-Rad'ala ahl
al-Zaigh wa al-Bida', Kairo, 1965, h. 30
21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz
M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104
22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50
23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51
24.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani,
Al-Mihal I, h. 100
25.Al-Asy'ari, Ibid, h. 13
26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour,
27.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 16
28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113
29.Ibid., h. 101
30.Ibid
31.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 71
32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167
33.Mahmud Kasim, h. 168
34.Ibid.
35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah,
Kairo, tt., h.205
36.Al-Asy'ari, al-Luma', h. 76
37.Ibid., h. 70
38.Ibid., h. 72
39.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 51
40.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 57
41.Ibid, h. 41
42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut,
1971, h. 562
43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut,
1981, h. 133-134
44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205
45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h.
112
46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17
47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34
48.Sayeed Ameer Alim, The Spirit Of Islam, Delhi, tt., h.
472 473.
Minggu, 01 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk