Oleh Agus Riza Hisfani
A.Monolistik Fiqh di Indonesia
Islam; memiliki cita-cita besar (Rahmat al-Alam) yang kemudian melahirkan teori demokrasi, meskipun teori tersebut hanya mengambil makna dari kata rahmat dengan menanggalkan kata Islam dan al-Alam, dimana kedua kata tersebut merupakan kerangka pemikiran hukum Islam bagi muslim di Negara manapun.
Eksistensi hukum Islam di Indonesia memiliki akar genealogis yang sangat panjang, yaitu saat pertama kali masuk ke-Nusantara, dari sinilah kita bisa menemukan sejauhmana implikasi watak eksklusif Hukum Islam, meskipun banyak tokoh (baik dalam maupun luar Negeri) masih bersitegang mengenai tahun berapa Islam pertamakali masuk di Nusantara. Namun terlepas dari polemic yang berkepanjangan tersebut, tidak berlebihan kalau kita melihat teori Alwi Shihab1 dan tokoh Pemikiran Islam yang lain,2 bahwa kedatangan Islam ke-Nusantara memiliki tiga teori. Pertama Teori yang dikembangkan oleh Fatimi bahwa, Islam datang pertama kali di Nusantara dari Benggali (Bangladesh), karena tokoh terkemuka di Pasai adalah oran Benggali atau keturunannya. Islam pertama kali muncul di Semenanjung Malaya adalah dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (malak), yaitu melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu serta adanya kesamaan doktrin ajaran (madzhab) Islam di Semenanjung fengan Islam di Phanrang.
Kedua Islam masuk ke-Nusantar pada abad I H./VII M., berasal dari Arab (Hadramaut) ke-Pesisir Aceh. Meskipun banyak tokoh yang meragukan teori ini, karena hanya didasarkan pada keinginan emosional para sejarawan Islam yang ingin memastikan bahwa Islam yang ada di Nusantara adalah otentik dan asli, bukan peripheral atau sinkretis. Meskipun terlihat gagap untuk memberi kontitum, teori ini didukung oleh Naquib al-Attas, Hamka, A. Hasjim, M. Yunus Jamil serta Niemann, DE Holander, Keyzen, Crawfurt dan Vetsh yang tercatat sebagai sejarawan asing.
Ketiga Islam pertama dibawah oleh keturunan anak Benua India, bukan dari Arab dan Persia yang dikaitkan denga Malabar dan Gujarat. Menurut Teori ini, setelah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’I berimigrasi dan menetap di India, mereka kemudian membawa Islam ke-Nusantara. Para muslim Deccan inilah yang pertama membawa islam dan kemudian diteruskan oleh para Sayyid dan Syarif yang menyelesaikan proses konversi agama pada abad XII M., mereka telah mentransplantasi dan menghadirkan sentuhan harmonis dari unsure budaya local kedalam ajaran Islam hingga menjadikan ajarannya sinergis dengan tradisi yang dianut oleh masyarakat. Teori ini digagas oleh sarjana-sarjana Belanda seperti Pijnappel, G. W. J. Drewes dan Snouck Hurgronje.
Saat jatuhnya Bagdad pada 1258 M. fenomena sufisme menjadi gerakan massal di dunia Islam. Tarekat dan persaudaraan sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin. Secara sirkumtansial keadaan Bagdad tersebut membentuk karakteristik Islam Indonesia dengan corak sufi, dimana watak intelektualis-filosofis redup di dalamnya, wacana intelektual Islam lebih menampakkan nuansa sufistik-sinkretik. Keadan yang tidak menguntungkan ini diperparah dengan kenyataan bahwa Islam pertama yang hadir di Indonesia adalah Islam yang berada pada anti klimaks sejarah peradaban dunia Islam dan adanya slogan bahwa pintu ijtihad sudah dinyatakan tertutup (insidad bab ijtihad) oleh gelombang arus sejarah. Secara otomatis, situasi stagnasi pemikiran dan taklid yang manjadi trade mark dunia Islam saat itu, sangat mempengaruhi nuansa stagnasi pemikiran ke-Islam-an di Indonesia hingga sekarang.
Islam di Indonesia secara langsung menjadi soft copy momentum dan kemampuan yag adekuat untuk mengembangkan diri secara mandiri dalam segala bidang, terutama bidang hukum Islam. Uforia mistisisme Ghazalian, yaitu suatu tradisi yang lebih mendahulukan asketisme dan menafikan masalah-masalah duniawi. Begitu kuatnya pengaruh dari tradisi ini, menjadikan pemikiran-pemikiran hukum Islam terjebak dalam pararelisme epistemology tasawuf. Perubahan dari tasawuf ke syari’at baru mendapatkan tempat ketika terjadinya pembaharuan Islam dengan ditandai dengan munculnya gerakan Paderi (diilhami dari semangat Wahabi Makah) pada abad XVI M., gerakan tarekat Naqsabandiyah pada akhir abad XIX., dan adanya gerakan-gerakan modernis yang muncul pada abad XX M., seperti Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persis yag mengumandangkan perlunya kembali ke al-Qur’an dan hadits sebagai rujukan ajaran Islam.
Namun, gerakan tersebut masih memberikan porsi domain pemikiran tasawuf. Hal ini secara sederhana bisa dilihat dengan adanya bukti bahwa mainstream keberagaman umat Islam masih berada dalam jalur orientasi tasawuf. Titik tolak kehidupan yang cenderung bersifat teologis dan tasawuf oriented menjadi tidak sebanding dengan diksi-diksi ilmiah yang ditawarkan hukum Islam (fiqh). Bisa dibayangkan bahwa kreativitas dan improvisasi pemikiran hukum Islam akan menjadi mental dan tereliminir oleh kuat dan mengkristalnya memori tradisi tersebut secara luas di tubuh ummat Islam. Keadaan ini diperkuat oleh masuknya madzhab Syafi’I yang banyak diikuti oleh mayoritas ummat Islam di Indonesia. Eksistensi mandzab Syafi’i sebagai sintesis ahl ar-ra’yu dan ahl al-hadits dengan sifatnya yang adoptif, adaptif dan kompromis, dalam banyak hal bisa dikatakan selaras dengan orientasi pemikiran tasawuf, dimana keseimbangan pemikiran tasawuf dan fiqh hanya tercapai pada titik mungkin, wajar, dan batas yag paling vulgar, yakni karena adanya kesaman dan kedekatan antara tasawuf dengan madzhab Syafi’I yang memungkinkan keduanya bertemu dalam titik kepentingan dan pengembangan. Akan terlihat kontras ketika implikasi madzhab fiqh pertama yang berkembang di Indonesia adalah madzhab Maliki, Hambali, Hanafi ataupun Syi’ah, sebab madzhab-madzhab ini memiliki cara pandang dan baca yang berbeda ats fenomena tasawuf. Meskipun prakonsepsi ini masih memerlukan bukti-bukti pendukung yang lebih konkrit dan disertai penelitian tersendiri dalam ruang gerakan hukum Islam di Indonesia.
Tasawuf sebagai manivesto kerangka hukum Islam tidak dapat di hindari lagi, hingga dikemudian hari tasawuf menjadi kerangka berfikir setiap ajaran Islam, termasuk hukum Islam. Polarisasi dua karakteristik epistemology tasawuf dan fiqh ini menjadi baku ketika madzhab Syafi’I masuk ke-Indonesia pada abad XII dan XIII M. Boleh dibilang, tidak ada karya yang otentik dan original dari para pemikir (ulama’) di Indonesia, yang disebabkan situasi yang kurang menguntungkan dari proses, waktu, dan karakter Islam pertama di Indonesia. Meskipun hukum Islam di Indonesia memiliki wajah partisipatif (rekayasa sosial), counter discourse, emansipatoris, dan pembebasan. Namun, nuansa dan perspektif baru tersebut merupakan anotasi dari karya lama secara nasab dan ditambahi dengan realitas social-politik yang bergumul dalam kehidupan tokoh.3
Pada abad sebelum XX M., pemikir Islam pertama banyak lahir dari daerah dimana datangnya Islam pertama di Nusantara. Melalui kebijakan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah dan ultan sesudahnya yang sangat antusias mendatangkan para ulama’ yang bermadzhab Syafi’I dalam memperkaya pemikiran Islam terutama dalam bidang hukum. Corak hukum Islam yang dilahirkan oleh pemikir sebelum abad XX M. adalah tonggak para pembaharu pemikiran hukum Islam hingga sekarang yang banyak dipengaruhi oleh madzhab Syafi’I dan tasawuf.4
Hamzah Fansuri, dan Syamsuddin as-Sumatrani adalah tokoh yang memiliki pengaruh yang kuat lewat karya tulisnya, baik dalam bahasa Arab maupun melayu. Dibawah pengaruh dan dominasi Intelektual kedua tokoh ini, dimana Syamsuddin as-Sumatrani menduduki posisi sebagai mufti dan penasehat sultan. Masa ini disebut tradisi tasawuf falsafi, memiliki murid dan pengikut yang sangat luas dengan pemahaman tasawuf Panteisme.5 Namun, sepeninggal dua tokoh ini, tradisi beralih kepada tasawuf Suni.6
Seiring dengan naiknya Sultan Iskandar II sebagai penguasa, Nuruddin ar-Raniri (w. 1068 H./ 1658 M.) yang kemudian juga diangkat menjadi mufti kerajaan. Usaha yang paling menonjol dari seorang Nuruddin ar-Raniri adalah pembantaian faham dan pengikut tasawuf Panteisme (wujudi/ atheis/ wihdat al-wujud) dengan menghukumi sesat penganutnya dan membakar karya Hamzah Fansuri, dan Syamsuddin as-Sumatrani. Tarekat Qodiriyah, Rifa’iyah dan Audarusiyah adalah tarekat yang diwajibkan, keadaan ini menjadikan pemikiran hukum islamnya bernuansa sufistik, dan sebaliknya, pemikiran tasawufnya berhaluan fiqh dengan tujuan harmonisasi syari’ah dan tasawuf dalam ajaran Islam dengan gerakan yang terlihat sangat provokatif. Metode pemikiran hukum (istinbath al-ahkam) yang dipergunakan ar-Raniri adalah pola pemikiran madzhab Syafi’i. ar-Raniri telah tampak mempraktikkan apa yang dalam Bahsul Masa’il NU biasanya disebut sebagai pola bermadzhab qauli (tekstualis) dan sekaligus manhaji (metodologis) meskipun hanya dalam satu arah madzhab saja.7
Tokoh lain yang memiliki pengaruh yang cukup kuat di Aceh adalah Abdurrauf as-Sinkili (1204-1105 H.). Dia adalah seorang ulama yang cukup moderat, kompromis dan akomodatif. Hal ini terlihat dari karya Abdurrauf as-Sinkili yang sengaja dibuat untuk memenuhi permintaan sultan perempuan Aceh, Sayyidat ad-Din.8 Sifat moderat Abdurrauf as-Sinkili ternyata membuatnya gagab ketika harus menjawab pertanyaan tentang status hukum perempuan yang menjadi penguasa (pemimpin). Dia tidak memberikan jawaban konkrit, melainkan hanya memberikan uraian tentang syarat-syarat menjadi seorang pemimpin. Terlepas dari sifat Abdurrauf as-Sinkili, kontroversi dan kritik pun melayang dari pengamat. Salah satunya adalah Azyumardi Asra, mengatakan bahwa Abdurrauf as-Sinkili telah mengorbankan integritas intelektualnya, bukan hanya kerena ia menerima pemerintah perempuan, melainkan hal itu juga belum memecahkan masalah secara layak.9
Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M.) adalah tokoh yang mengawali gerakan pada abad XVIII M., sekaligus pemikir terakhir dari luar Jawa. pemikirannya yang futuristic, spekulatif,dan fiktif/prediktif banyak dipengaruhi oleh tradisi fiqh timur tengah yang sering disebut sebagai fiqh al-iftiradi (fiqh prediktif). Namun ada beberapa hal yang menyelamatkan Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai tokoh yag berpengaruh, yaitu istinbath hukum yang memiliki kualitas dan otoritas sendiri melalui karakter karyanya yang humanis dan emansipatoris dengan menyantuni aspek lokalitas, seperti halnya pernyatan sahnya pembagian waris berdasarkan adat perpantangan.10 Hal ini merupakan pengembangan radikal dari hukum Islam. Ia bukan semata beranjak dari fiqh klasik, melainkan lebih dari itu ia telah keluar dari dictum resmi al-Qur’an.
Corak pemikiran ini menempatkan Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai potret pemikir ideal madzhab Syafi’I, walaupun hanya masuk dalam jenjang mujtahid fatwa atau tarjih. Kontribusi terpenting Muhammad Arsyad al-Banjari dalam proses teopassing hukum Islam sebenarnya terletak dalam upaya memperkenalkan doktrin fiqh sebagai acuan dalam pengadilan criminal; (atas izin sultan), mendirikan lembaga pengadilan sipil, dan memperkenalkan lembaga mufti sebagai institusi yang bertanggung jawab untuk memberikan fatwa agama dan social
Setelah Muhammad Arsyad al-Banjari, Indonesia banyak melahirkan tokoh yang cukup terkenal dan mendunia, yang notabennya lahir dari pulau Jawa seperti Ahmad Rifa’I Kalisasak (1786-1876 M.), Nawawi al-Bantani (1813-1898 M.), Muhammad Salih Ibn Umar/ Kiai Saleh, dan M. Hasyim Asy’ari. Tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya, para pemikir hukum Islman yang lahir di Jawa banyak dipengaruhi oleh madzhab Syafi’I dan tasawuf sebagai metodologis istinbats pengambilan hukum Islam dalam setiap karyanya. Corak yang membedakannya hanya pada titik konsentrasi untuk melahirkan agitan pemikiran hukum Islam yang mudah dicerna oleh masyarakat awam daripada membuat pola-pola pemikiran dan tawaran yang membumbung dan subtil. Penyelarasan doktrin aturan hukum Islam yang sudah tertuang dalam madzhab Syafi’I hanya dikawinkan dengan realitas social yang ada dengan menitik beratkan pangsa pasarnya adalah komunitas ‘awam dan mu’allaf. Sedangkan ahl al-jumud wa at-taqlid menjadi beautiful strategy dalam memberikan tuntunan ajaran agama.11 Praktis gagasan-gagasan yang dilahirkan para ulama’ pada masa ini hanya bersifat resume. Secara aplikatif, pemikiran yang dibilang sangat penting adalah fatwa jihad (perang suci) terhadap Belanda yang diserukan oleh M. Hasyim Asy’ari, mengingat Indonesia bukanlah Negara Islam, sehingga terlalu ”riskan” jika seseorang mengeluarkan fatwa seperti itu. Pemikiran aplikatif dari M. Hasyim Asy’ari inilah yang kemudian menjadi pemikiran penutup (tertutupnya pintu ijtihad), karena generasi yang lahir setelahnya tenggelam dalam uforia kejayaan kerajaan Islam di Nusantara serta semakin domainnya tasawuf sebagai karakter gagasan hukum Islam.
B.Dependensi Fiqh di Indonesia
Terlepas dari dominasi tasawuf dan madzhab Syafi’I dalam membentuk stagnasi fiqh, kepentingan penguasa, baik pra-maupun pasca kemerdekaan Indonesia juga turut andil dalam masifitas stagnasi gerakan fiqh. Hal ini dapat dibuktikan saat Belanda VOC mengeluarkan Resolutie der Indeshe Regeering sebagai peraturan perkawinan dan waris dan kemudian dilanjutkan dengan Compendium der Voornamste Javaanche Weten Naukeuring Getrokken Uit Het Mohammedaanche Wetboek Mogharrer sebagai keberlanjutan agitasi Belanda yang mana isinya berdasarkan kitab al-Muharrar karya Imam Rafi’i. Meskipun peradaban Islam dimulai melalui kebudayaan Fiqh, eksistensi peradaban Yunani dimulai dengan pengembangan kebudayan Filsafat, maka, sedangkan peradaban barat dimulai dengan kebudayaan Iptek.12 Fiq tidak mampu mengambil momentumnya untuk memasifkan gerakan penguasaan yang sesuai dengan zaman. Terlebih ada pepatah; adapt bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, dengan syara’ yang mengata, adat yang memakai.
Melalui ide yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht dengan tokoh intelektualnya Van Vollenhoven dan S.S. Hurgronje, yang kemudian dikenal dengan teori Receptie, pemerintah kemudian melakukan penyempitan terhadap keberlakuan hukum Islam. Hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adapt mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adapt. Jadi hukum adatlah yang menetukan ada dan tidaknya hukum Islam.
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan untuk membentuk hukum nasional setidaknya mengalami empat masa, pertama masa transisi (1940 – 1950 M.), kedua masa pasca revolusi, tepatnya setelah sistem Demokrasi terpimpin, ketiga masa Orde Baru (1966 – 1998 M.), keempat masa reformasi sampai sekarang. 13 Fenomena gagasan hukum Islam agar terlegalisasikan dan legislasi terlihat pertama kali muncul setidaknya berbarengan dengan lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dimana sila pertama berbunyi; Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Perjuangan untuk melegislasikan hukum Islam mulai kehabisan tenaganya. Ide pertama ini juga mejai ide terakhir bagi kekuatan hukum Islam. Karena hukum-hukum Islam setelahnya hanya diperuntukkan bagi umat Islam sendiri dan tidak berlaku bagi agama non-Islam. Seperti halnya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, PP. No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Inpres No.1 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991, dan UU No. 38 tentang Pengelolaan zakat tahun 1999, dan UU No. 17 tentang Penyelenggaraan Haji tahun 1999.
Dari apa yang telah dihasilkan oleh hukum Islam dalam bentuk legalitas hukum Nasional, terdapat pesan moral, bagaimana ia tidak dipolitisasi sebagai legaitimasi atas segala kehendak pemerintah (penguasa), apalagi sebagai aksesoris politik untuk pelestarian suatu rezim. Sebab, hukum Islam akan kehilangan vitalitasnya sebagai sistem nilai moral dan etika yang terus berkembang dimasyarakat. Hukum Islam yang (fatwa) yang diobral sesuai permintaan, sangat memprihatinkan dan kontradiktif dengan nurani serta falsafah hukum itu sendiri. Dalam konteks institusi negara, ia dihadirkan dengan paket nama konstitusi hukum Islam yang justru esensinya kering. Labelisasai hukum Islam untuk menjustifikasi berbagai kemauan negara (penguasa) ini, sering kali secara terselubung dengan menafikan dimensi kemaslahatan umum.
Seiring bergulirnya gerakan civil society dan demokratisasi, kehadiran pemikir-pemikir Islam alternatif seperti halnya Abdurrahman Wahid, Nurkhalis Madjid, Azyumardi Azra, Khamaruddin Hidayat, Masdar Farid Mas’udi, Ali Yafie, Jalaluddin Rahmat dan tokoh-tokoh lain, memberikan warna tersendiri atas hukum Islam. Sekaligus mereka menjadi harapan lahirnya sebuah gagasan yang mampu menerjemahkan ajaran Islam (al-Qur’an) dengan lebih plural, serta mampu menjawab keraguan zaman atas cita-cita Islam (rahmat al-alam) yang mampu membentuk kerahmatan (perdamaian/ keselarasan).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk