sektor

RCN

Jumat, 24 Oktober 2008

"TUHAN"

Kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural, biasanya

dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya.

Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang

mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki

seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber

segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk

hidup; atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.

Banyak tafsir daripada nama "Tuhan" ini yang bertentangan satu sama lain.

Meskipun kepercayaan akan Tuhan ada dalam semua kebudayaan dan peradaban,

tetapi definisinya lain-lain.

Istilah Tuan juga banyak kedekatan makna dengan kata Tuhan, dimana Tuhan juga

merupakan majikan atau juragannya alam semesta. Tuhan punya hamba sedangkan

Tuan punya sahaya atau budak.Tuhan atau Dewa?

Di dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, dua konsep atau nama yang

berhubungan dengan ketuhanan, yaitu: Tuhan sendiri, dan Dewa. Penganut

monoteisme biasanya menolak menggunakan kata Dewa di Indonesia, tetapi

sebenarnya hal ini tidaklah berdasar. Sebab di Prasasti Trengganu, prasasti

tertua di dalam bahasa Melayu yang ditulis menggunakan Huruf Arab (Huruf

Jawi) menyebut Sang Dewata Mulia Raya. Bagaimanapun, pada masa kini,

pengertian istilah Tuhan digunakan untuk merujuk Tuhan yang tunggal,

sementara Dewa dianggap mengandung arti salah satu dari banyak Tuhan sehingga

cenderung mengacu kepada politeisme.

Secara filsafat, prestasi dalam pencarian Tuhan biasanya berujung pada

penemuan eksitensi tuhan saja, dan tidak sampai pada substansi tentang Tuhan.

Dalam istilah filsafat eksistensi Tuhan itu dikenal sebagai absolut dan unik.

Absolut itu artinya keberadaanya mutlak bukannya relatif. Hal ini dapat

dipahami, bahwa pernyataan semua kebenaran itu relatif itu tidak benar. Kalau

semua itu relatif, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu itu relatif.

Padahal yang relatif itu menjadi satu-satunya eksistensi realitas. Ibarat

warna yang ada di seluruh jagat ini hanya putih, bagaimana kita bisa tahu

putih padahal tidak ada pembanding selain putih. Dengan demikian tidak bisa

disangkal adanya kebenaran itu relatif, dan secara konsisten tidak bisa

disangkal pula adanya kebenaran mutlak itu.

Dalam gagasan Nietzsche, istilah "Tuhan" juga merujuk pada segala sesuatu

yang dianggap mutlak kebenarannya. Jadi, di dalam hal ini ilmu pengetahuan

(sains) bisa saja di-"Tuhan"-kan oleh manusia. Sedang Nietzsche berpendapat

tiada "Kebenaran Mutlak"; yang ada hanyalah "Kesalahan yang

tak-terbantahkan". Karenanya, dia berkata, "Tuhan telah mati".

"Kesalahan yang tak-terbantahkan" dengan "Kebenaran yang-tak terbantahkan"

tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Sekiranya pemikiran Nietszhe ini

dimanfaatkan untuk melanjutkan proses pencairan Tuhan, maka Tuhan itu suatu

eksistensi yang tak terbantahkan. Dengan demikian eksistensi absolut, mutlak

dan tak terbantahkan itu sama saja.

Jadi, persoalan umat manusia dalam proses pencairan Tuhan tiada lain proses

penentuan peletakan dirinya kepada (segala) sesuatu yang diterimanya sebagai

'tak terbantahkan', atau mutlak, atau absolut. Muhammad 'Imaduddin

'Abdulrahim Ph.D mendefiniskan Tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap

penting dan dipentingkan sehingga dirinya rela didominirnya (Buku:Kuliah

Tauhid).

Perbedaan Tuhan dengan dewa hanya sekedar perbedaan terjemah bahasa, meski

masing-masing punya latar belakang perkembangan makna terkait dengan

apresiasi masing-masing atas konsepsi ketuhanannya. Namun secara universal

keduanya menunjuk pada eksistensi yang sama, yaitu soal 'yang tak

terbantahkan'

[sunting]
Konsekuensi Eksistensi Tuhan

Dengan kemutlakannya, Tuhan tentunya tidak terikat oleh tempat dan waktu.

Baginya tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang. Tuhan tidak

memerlukan tempat, sehingga pertanyaan tentang dimana Tuhan hanya akan

membatasi kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir atau kapan mati.

Manusia dalam mencari Tuhan dengan bekal kemampuan penggunaan akalnya dapat

mencapai tingkat eksisteninya. Kemungkinan sejauh ini, kemutlakan Tuhan

menyebabkan manusia yang relatif itu tidak dapat menjangkau substansi Tuhan.

Dengan demikian informasi tentang substansi Tuhan itu apa, tentunya berasal

dari sang mutlak atau Tuhan itu sendiri.

Di dunia ini banyak agama yang mengklaim sebagai pembawa pesan Tuhan. Bahkan

ada agama yang dibuat manusia (yang relatif) termasuk pembuatan substansi

Tuhan itu tentu. Karena banyaknya nama dan ajaran agama yang bervariasi tidak

mungkin semuanya benar. Kalau substansi si mutlak ini bervariasi, maka hal

itu bertentangan dengan eksistensinya yang unik. Untuk menemukan informasi

tentang substansi yang mutlak, yang unik dan yang distinct itu dapat

menggunakan uji autentistas sumber informasinya. Terutama terkait dengan

informasi tuhan dalam memperkenalkan dirinya kepada manusia apakah

mencerminkan eksisteninya itu.

[sunting]
Tuhan menurut monoteisme tradisi Abraham (Ibrahim)

Istilah umum Tuhan biasa dipakai sebagai sebutan oleh penganut monoteisme.

Beberapa istilah untuk Tuhan muncul dari perbedaan bahasa dan tradisi agama.

Kedua-dua cabang ini menghasilkan perkembangan arti istilah "Tuhan”".
Allah – Islam/Arab. Lihat pula 99 Asma Allah .
Yehowa atau Yahweh – salah satu istilah yang dipakai Alkitab. Istilah ini

berasal dari istilah berbahasa Ibrani tetragrammaton YHVH (יהוה). Nama ini

tidak pernah dilafalkan karena dianggap sangat suci, maka cara pengucapan

YHVH yang benar tidaklah diketahui. Biasanya yang dilafalkan adalah Adonai

yang berarti Tuan.
Sang Hyang Tritunggal maha suci yang artinya adalah Bapa, Putra, dan Roh

Kudus, terutama dipakai dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Konsep ini

dipakai sejak Konsili Nicea pada tahun 325 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masuk