Kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural, biasanya
dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya.
Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang
mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki
seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber
segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk
hidup; atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
Banyak tafsir daripada nama "Tuhan" ini yang bertentangan satu sama lain.
Meskipun kepercayaan akan Tuhan ada dalam semua kebudayaan dan peradaban,
tetapi definisinya lain-lain.
Istilah Tuan juga banyak kedekatan makna dengan kata Tuhan, dimana Tuhan juga
merupakan majikan atau juragannya alam semesta. Tuhan punya hamba sedangkan
Tuan punya sahaya atau budak.Tuhan atau Dewa?
Di dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, dua konsep atau nama yang
berhubungan dengan ketuhanan, yaitu: Tuhan sendiri, dan Dewa. Penganut
monoteisme biasanya menolak menggunakan kata Dewa di Indonesia, tetapi
sebenarnya hal ini tidaklah berdasar. Sebab di Prasasti Trengganu, prasasti
tertua di dalam bahasa Melayu yang ditulis menggunakan Huruf Arab (Huruf
Jawi) menyebut Sang Dewata Mulia Raya. Bagaimanapun, pada masa kini,
pengertian istilah Tuhan digunakan untuk merujuk Tuhan yang tunggal,
sementara Dewa dianggap mengandung arti salah satu dari banyak Tuhan sehingga
cenderung mengacu kepada politeisme.
Secara filsafat, prestasi dalam pencarian Tuhan biasanya berujung pada
penemuan eksitensi tuhan saja, dan tidak sampai pada substansi tentang Tuhan.
Dalam istilah filsafat eksistensi Tuhan itu dikenal sebagai absolut dan unik.
Absolut itu artinya keberadaanya mutlak bukannya relatif. Hal ini dapat
dipahami, bahwa pernyataan semua kebenaran itu relatif itu tidak benar. Kalau
semua itu relatif, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu itu relatif.
Padahal yang relatif itu menjadi satu-satunya eksistensi realitas. Ibarat
warna yang ada di seluruh jagat ini hanya putih, bagaimana kita bisa tahu
putih padahal tidak ada pembanding selain putih. Dengan demikian tidak bisa
disangkal adanya kebenaran itu relatif, dan secara konsisten tidak bisa
disangkal pula adanya kebenaran mutlak itu.
Dalam gagasan Nietzsche, istilah "Tuhan" juga merujuk pada segala sesuatu
yang dianggap mutlak kebenarannya. Jadi, di dalam hal ini ilmu pengetahuan
(sains) bisa saja di-"Tuhan"-kan oleh manusia. Sedang Nietzsche berpendapat
tiada "Kebenaran Mutlak"; yang ada hanyalah "Kesalahan yang
tak-terbantahkan". Karenanya, dia berkata, "Tuhan telah mati".
"Kesalahan yang tak-terbantahkan" dengan "Kebenaran yang-tak terbantahkan"
tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Sekiranya pemikiran Nietszhe ini
dimanfaatkan untuk melanjutkan proses pencairan Tuhan, maka Tuhan itu suatu
eksistensi yang tak terbantahkan. Dengan demikian eksistensi absolut, mutlak
dan tak terbantahkan itu sama saja.
Jadi, persoalan umat manusia dalam proses pencairan Tuhan tiada lain proses
penentuan peletakan dirinya kepada (segala) sesuatu yang diterimanya sebagai
'tak terbantahkan', atau mutlak, atau absolut. Muhammad 'Imaduddin
'Abdulrahim Ph.D mendefiniskan Tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap
penting dan dipentingkan sehingga dirinya rela didominirnya (Buku:Kuliah
Tauhid).
Perbedaan Tuhan dengan dewa hanya sekedar perbedaan terjemah bahasa, meski
masing-masing punya latar belakang perkembangan makna terkait dengan
apresiasi masing-masing atas konsepsi ketuhanannya. Namun secara universal
keduanya menunjuk pada eksistensi yang sama, yaitu soal 'yang tak
terbantahkan'
[sunting]
Konsekuensi Eksistensi Tuhan
Dengan kemutlakannya, Tuhan tentunya tidak terikat oleh tempat dan waktu.
Baginya tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang. Tuhan tidak
memerlukan tempat, sehingga pertanyaan tentang dimana Tuhan hanya akan
membatasi kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir atau kapan mati.
Manusia dalam mencari Tuhan dengan bekal kemampuan penggunaan akalnya dapat
mencapai tingkat eksisteninya. Kemungkinan sejauh ini, kemutlakan Tuhan
menyebabkan manusia yang relatif itu tidak dapat menjangkau substansi Tuhan.
Dengan demikian informasi tentang substansi Tuhan itu apa, tentunya berasal
dari sang mutlak atau Tuhan itu sendiri.
Di dunia ini banyak agama yang mengklaim sebagai pembawa pesan Tuhan. Bahkan
ada agama yang dibuat manusia (yang relatif) termasuk pembuatan substansi
Tuhan itu tentu. Karena banyaknya nama dan ajaran agama yang bervariasi tidak
mungkin semuanya benar. Kalau substansi si mutlak ini bervariasi, maka hal
itu bertentangan dengan eksistensinya yang unik. Untuk menemukan informasi
tentang substansi yang mutlak, yang unik dan yang distinct itu dapat
menggunakan uji autentistas sumber informasinya. Terutama terkait dengan
informasi tuhan dalam memperkenalkan dirinya kepada manusia apakah
mencerminkan eksisteninya itu.
[sunting]
Tuhan menurut monoteisme tradisi Abraham (Ibrahim)
Istilah umum Tuhan biasa dipakai sebagai sebutan oleh penganut monoteisme.
Beberapa istilah untuk Tuhan muncul dari perbedaan bahasa dan tradisi agama.
Kedua-dua cabang ini menghasilkan perkembangan arti istilah "Tuhan”".
Allah – Islam/Arab. Lihat pula 99 Asma Allah .
Yehowa atau Yahweh – salah satu istilah yang dipakai Alkitab. Istilah ini
berasal dari istilah berbahasa Ibrani tetragrammaton YHVH (יהוה). Nama ini
tidak pernah dilafalkan karena dianggap sangat suci, maka cara pengucapan
YHVH yang benar tidaklah diketahui. Biasanya yang dilafalkan adalah Adonai
yang berarti Tuan.
Sang Hyang Tritunggal maha suci yang artinya adalah Bapa, Putra, dan Roh
Kudus, terutama dipakai dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Konsep ini
dipakai sejak Konsili Nicea pada tahun 325 M.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masuk